Pages

Selasa, 14 Januari 2014

Bersepeda dan Belajar Mlijo...

Pagi ini, selepas subuh, saya dan mas Ayik sudah di jalanan. Di bawah sinar lampu yang temaram, menyibak kegelapan dan kesejukan dini hari. Mengayuh seli (sepeda lipat), menuju Merakurak.

Ya, itu nama sebuah desa di Kabupaten Tuban. Jaraknya sekitar lima kilometer dari rumah kami, di Desa Jenu. Tempat yang hampir selalu kami kunjungi setiap kali kami pulang kampung.

Pulang kampung. Agenda ini seperti menjadi hutang yang tak pernah lunas terbayarkan bagi kami. Setiap kali ada kesempatan, kami selalu berusaha untuk bisa pulang kampung. Menengok ibu tercinta, mengunjungi saudara-saudara tersayang, menyapa para teman dan sahabat terkasih. 

Liburan hari Minggu kemarin, kami menghabiskan waktu di Tanggulangin sampai sore. Di Rumah bapak dan ibu. Sekedar berkunjung dan membantu ibu benah-benah rumah setelah hujan lebat yang membuat dapur dan ruang makan basah. Juga mendengarkan cerita ibu dan bapak tentang apa saja. Menjadi pendengar yang baik bagi ibu yang suka sekali bercerita. Untuk soal bercerita, ibu memang sangat berbakat. Sejak kami datang sampai menjelang pulang, cerita ibu mengalir terus seperti tak ada habisnya. 

Kembali ke cerita tentang Tuban. Tadi malam, kami berangkat dari Surabaya selepas isya. Setelah seharian berkutat di kampus, nguji empat kali, rapat dua kali, dan 'ngreviu' proposal penelitian dosen-dosen sampai menjelang maghrib. Pada saat menjelang maghrib itulah, mas Ayik pulang kantor. Hujan di sore itu membuat jalan macet, dan mas Ayik terjebak di Jagir Wonokromo. Makanya selepas isya, kami baru bisa berangkat ke Tuban.

Kami hanya berdua. Arga tidak ikut serta, dia ada acara motret ke Cangar bersama teman-temannya. Anak itu, memang luar biasa. Kuliahnya yang sudah tiga semester kacau (hanya bayar SPP saja tapi tidak memprogram), semester ini semakin kacau setelah mengenal fotografi dan bergabung dengan komunitas fotrografer. Dia multi-talented. Sampai bingung mau ngapain. Semua dicoba. Bermusik (mulai dari nge-band, orkestra, bikin aransemen, sampai jualan alat musik), jualan hape dan kaus, dan sekarang motret. Diarahkan untuk fokus kuliah, susah. Malah cenderung melawan. Dinasehati, 'mberik-mberik'. Ya sudah, biarkan saja dulu. Yang penting dia merasa nyaman di rumah, merasa nyaman dengan bapak ibunya. Sekolah diurus sambil jalan. Sampai dia 'menemukan jalannya'. Kami selalu mengembangkan pikiran positif, Arga sedang mencari jalannya. Dan insyaallah, Tuhan Yang Maha Mengatur akan menunjukkan jalan itu dan menata hidupnya dengan baik. Amin.

Lho, kok jadi cerita tentang Arga? Yak, sekarang kembali ke soal bersepeda, supaya gayut dengan judulnya.

Sekitar dua puluh lima menit sejak keluar dari rumah, kami sudah mencapai batas Desa Merakurak. Tidak jauh dari tempat itulah, serabi dan nasi uduk biasanya digelar. Tapi ternyata, pagi ini, nasi uduk tidak ada. Hanya ada nasi pecel. Menurut penjual langganan kami itu, tadi malam, orang-orang sudah 'bancakan' nasi uduk dalam rangka memperingati Maulud Nabi. Makanya pagi ini nasi uduk tidak dijual.

Tak berapa lama, belasan bungkus nasi pecel dan serabi kesukaan kami sudah kami dapatkan. Belum banyak orang yang antri. Kami termasuk pembeli di ring satu. Antriannya hanya bersama empat-lima orang. Selama kami menunggu pesanan kami, para pembeli yang masuk golongan ring kedua dan seterusnya berdatangan.

Kami tidak langsung pulang, singgah dulu di rumah teman SMP-SMA saya yang rumahnya hanya berjarak beberapa ratus meter. Nama teman saya itu sangat singkat, yaitu Ramto (jadi ingat nama sahabat saya yang namanya Rukin tok dan mahasiswa S3 bimbingan saya yang namanya Ana saja).

Tujuan kami singgah ke rumah mas Ramto adalah untuk mengantarkan serabi dan nasi pecel, sebagai 'tanda ingat'. Sekedar singgah, terus pamit pulang. Tapi olala....mas Ramto mengeluarkan sekarung beras, dan dipaksanya kami  membawa beras itu. Kami jelas-jelas menolak. Pertama karena kami membawa seli, tentu tidak layak untuk mengangkut sekarung beras. Kedua, rumah kami masih lumayan jauh, sekitar enam kilometer. Ketiga, kami sungkaannnn sekali. Ya, benar-benar sungkan (bukan singkatan dari 'sungguh-sungguh mengharapkan' lho).

Pasalnya, sekitar sebulan yang lalu, kami pernah singgah di rumah mas Ramto. Waktu itu isterinya baru saja melahirkan anak kedua mereka. Dengan ketulusan khas orang dusun, dia memaksa kami membawa beras sekarung dan seekor ayam. Ya, ayam. Ayam hidup, sodara-sodara. Ayam jago yang besar dan gagah. Sambil memaksa dia bilang, 'mbak, aku waktu ning Suroboyo kapan iko, njenengan tukokne soto ayam. Jan enak tenan kae. Opo maneh aku pas lesu-lesune. Iki....aku gak iso masak dewe. Tak gawani beras sak lawuhe. Njenengan masak dewe yo?"

Luar biasa. Soto semangkuk ditukar sekarung beras dan seekor ayam. Tentu ini sangat berlebihan. Tapi tidak. Ini bukan soal harga soto serta harga beras dan ayam. Ini sebuah bukti persahabatan. Dia sekeluarga akan sangat terluka kalau kami menolak membawa 'properti' itu. Ya sudahlah, kami bawalah beras dan ayam itu dengan sangat terpaksa (baca: dengan sangat suka cita).

Ayam itu, saya serahkan ke ibu. Biar disembelih dan dimakan ramai-ramai dengan para cucu. Belakangan saya tahu, ibu tidak sampai hati menyembelih si jago yang rupawan itu. Ibu malah membuatkan kandang untuknya, dan membeli seekor ayam wanita, eh, betina, untuk menemani hari-hari si ayam jago. Keduanya pun berproduksi. Sampai hari ini, mereka sudah menghasilkan telur dua puluh dua butir. Ya, tentu saja telur ayam kampung. Asli.

Berhenti dulu cerita soal ayam. Kami pun pamit dari rumah mas Ramto dengan membawa sekarung beras itu. Terpaksa (sekali lagi, baca: suka cita). Itu pun, tadinya kami sebenarnya dipaksa-paksa untuk membawa seekor ayam juga. Oh, no. Kami menolak dengan keras. Bayangkan, bersepeda, lengkap dengan helm dan berbagai atributnya, tapi yang dibawa sekarung beras dan seekor ayam. Sungguh tidak keren blas kan?

Beras itu akhirnya diletakkan di boncengan seli mas Ayik yang mini, dan pasti akan menyulitkan mas Ayik mengayuh selinya nanti. Tidak apalah. Demi menyenangkan hati seorang sahabat. Mas Ramto sekeluarga nampak puas sekali karena kami bersedia membawa beras hasil panennya sendiri itu, meski agak kecewa karena kami menolak membawa ayamnya.

Kami mengayuh sepeda menuju arah pulang, kembali ke jalan yang benar. Namun karena ibu tadi bertelepon dan meminta kami membelikan kacang panjang dan kangkung, kami bermaksud singgah dulu di pasar. Tapi belum mencapai pasar, di perjalanan itu, kami menemukan seorang ibu bersepeda yang membawa kacang panjang dan kangkung yang akan dijualnya di pasar. Wah, pucuk dicinta ulam tiba. Tidak perlu ke pasar, transaksi pun terjadi di jalan. Hanya dengan Rp.8.000,-, kami sudah dapatkan kacang panjang dan kangkung 'sak-umbruk'.

Kembali kami mengayuh seli yang tiba-tiba terasa agak berat, menuju jalan pulang, benar-benar jalan pulang. Dengan membawa sekarung beras, sekantung kangkung, 'sebagkelan' kacang panjang, dan tentu saja belasan bungkus nasi pecel dan serabi. Seli kami penuh dengan barang komoditi. Mirip dengan tukang sayur langganan kami. 

Sebuah pelajaran yang bisa kita petik dari peristiwa ini adalah, betapa menyenangkannya bersepeda. Membakar lemak, menyehatkan jantung, menguatkan otot-otot,  menikmati pemandangan, bersilaturahim, sekaligus belajar 'mlijo' (jualan sayur). Menyehatkan jasmasi dan rohani, jiwa dan raga, materiil spirituil.... 

"Selamat memperingati Maulud Nabi. Mari perbanyak membaca shalawat demi mendapatkan syafaat Rasulullah SAW. Amin YRA".

Tuban, 13 Januari 2014

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...