Pages

Rabu, 22 Januari 2014

Suami dan Istri Muda

Setelah menikah lebih dari dua puluh tiga tahun, saya harus menerima kenyataan. Suami memiliki istri kedua. Kondisi ini bahkan sudah terjadi sejak lama, sejak bertahun-tahun. Saya berusaha untuk menerimanya saja setelah protes saya tidak pernah didengar. 

Sebagai istri pertama, tentu saja saya seringkali merasa dinomor duakan. Bagaimana tidak. Perhatiannya kepada istri mudanya itu dalam pandangan saya terlalu berlebihan. Bahkan tanpa sungkan-sungkan, dia seringkali mencumbui, mengelus-elus istri keduanya itu di depan mata saya. Ya, di depan mata saya. Bisakah Anda membayangkan bagaimana perasaan saya?

Karena rumah yang kami tinggali sekarang ini hanya memiliki dua kamar, dan itu hanya untuk kamar kami dan anak kami Arga, maka suami menempatkan istri keduanya itu di rumah lama kami. Rumah lama kami itu ada empat kamar, plus satu kamar pembantu. Tempatnya hanya di seberang jalan saja. Dekat saja. Artinya, suami tidak perlu waktu lama kalau ingin menengok istri mudanya. Bahkan sewaktu-waktu dia bisa lakukan itu. 

Dan memang begitulah yang terjadi. Nggak peduli siang atau malam, dia selalu ke rumah lama kami. Demi apa lagi kalau tidak demi menengok istri mudanya itu. Kadang begitu bangun pagi, setelah salat, dia tanpa ba bi bu, langsung keplas ke rumah lama. Tak peduli saya sedang ngapain. Padahal saya sedang memasak untuk dia dan anak kami. Ya, tega bener kan? Parahnya, tiba-tiba dia muncul, dan membawa istri mudanya itu. Menggandengnya mesra, mengelus-elusnya, mencumbuinya, kadang di teras, kadang di ruang belakang dekat kolam ikan, kadang di dekat meja makan. Seperti sengaja memamerkannya pada saya kemesraan itu.

Ya sudahlah. Saya harus bersabar. Saya harus menerima kenyataan. Saya harus bisa menerima keadaan suami seperti apa pun dia. Saya sudah terlanjur sangat mencintainya. 

Sedihnya, sudah sejak beberapa tahun ini juga, dia meminta izin untuk mencari istri tambahan lagi. Oh Tuhan, begitu sampai hatinya dia...

Setelah dia merayu-rayu, akhirnya hati saya pun luluh. Saya izinkan dia, meski tentu saja, dengan berat hati. 

Olala, dasar laki-laki, dia tetap saja tidak puas dengan dua istri mudanya itu. Minta izin untuk nambah lagi. Memohon-mohon sambil merayu-rayu lagi. Herannya, saya kok ya mau saja dirayu-rayu begitu. Kok ya manut saja. Entah punya ilmu apa dia, begitu menurutnya saya pada kemauannya.

Akhirnya, karena saya begitu mencintainya, saya mengizinkannya. Begitu terus, berulang lagi. Sampai tahu-tahu, sekarang ini, istri muda suami jumlahnya mencapai belasan. Bayangkan, belasan. Bisakah Anda membayangkan bagaimana perasaan Anda jika ada pada posisi saya?

Oleh sebab itu, suatu ketika, ketika suami meminta izin untuk membeli Kawasaki, dan minta saya nguruni karena duwit dia kurang, dengan sewot saya bilang: "jual saja istri-istri mudamu itu..."

Lho? Apakah saya marah? Tidak. Apakah saya cemburu? Tidak. Apakah saya sedang merendahkan para istri muda itu sehingga saya meminta suami untuk menjualnya saja? Tidak. Apakah saya serius dengan kata-kata saya, supaya suami saya menjual istri-istri mudanya itu? Ya. Saya serius. Saya sangat serius. Kenapa? Karena istri-istri mudanya itu adalah....sepeda pancal....

Lha lapo kok akeh-akeh ngumpulno sepeda pancal. Ngebek-ngebeki omah....


OTW PPG, 23 Januari 2013

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...