Sore ini lumayan melelahkan. Dari pagi berkutat dengan draf petunjuk teknis dan permendikbud tentang pemberian insentif bagi guru/peserta SM-3T. Kami nyaris tak beristirahat kecuali hanya untuk makan siang dan salat. Itu pun tak lebih dari 45 menit. Seperti sudah jadi kesepakatan, kami maunya kerja cepat. Lupakan istirahat siang. Kerja, kerja dan kerja.
Pukul 16.00, akhirnya draf selesai. Tapi ini waktu yang serba tanggung. Mau langsung balik ke Surabaya, sudah tidak ada pesawat. Pesawat terakhir dari Bandung ke Surabaya sekitar pukul 16.00. Mau jalan-jalan ke Pasar Baru, sekedar cuci mata karena tidak ada keinginan membeli apa-apa, pukul 17.00 Pasar Baru juga sudah tutup. Maka pilihannya adalah masuk kamar, istirahat. Pulang besok pagi saja. Terpikir juga mau naik kereta malam, tapi membayangkan kedinginan semalaman di kereta api, badan saya sudah sakit semua.
Saya pun leyeh-leyeh di kamar. Menyalakan TV, melihat update banjir Jakarta, Subang, Pekalongan, Bogor dan Pati. Juga banjir bandang Menado dan korban letusan Gunung Sinabung. Berita wapres Budiono yang meninjau Menado dan rencana SBY yang akan menengok Sinabung. Miris hati saya melihat para kurban, salah satunya seorang nenek 70 tahun yang nyaris pingsan saat dievakuasi. Juga bayi-bayi dan balita di Kampung Pulo, Jakarta Timur, yang rumahnya terendam air sekitar enam meter. Petamburan dan Kampung Muara yang juga tergenang air. Hujan seharian ini, meski tidak terlalu lebat, telah membuat air kembali naik di banyak tempat. Para pengungsi di kawasan Petamburan yang kondisinya jauh dari layak. Hanya tidur beralas karpet dan tikar, tanpa kasur, bantal dan selimut. Meski ada posko dan dapur umum, juga bantuan dari masyarakat berupa makanan dan pakaian, namun kondisi mereka masih sangat memprihatinkan. Mereka sudah berada di tempat pengungsian itu sekitar 4-5 hari.
Di tengah ketermanguan saya menyaksikan semua kemalangan itu, tiba-tiba ponsel saya berdering. Bu Yoyoh, seorang teman dosen jurusan PKK UPI, menyapa. Menyampaikan progress penulisan buku. Oya, saat ini saya bersama dua orang teman dosen dari UNY dan UPI sedang menulis buku bersama. Judulnya adalah Ilmu Kesejahteraan Keluarga (IKK). Buku ini nanti akan digunakan sebagai buku referensi untuk mata kuliah IKK, setidaknya di tiga universitas, Unesa, UPI dan UNY.
Baru beberapa menit selesai mengobrol dengan bu Yoyoh, bu Ana menelepon. Bu Ana juga dosen PKK UPI. Waktu mengambil S3 di UNY, saya salah satu promotornya. Dia menyapa dan bertanya: "Ibu pingin makan apa?"
"Apa ya?"
"Kalau bakso, jam segini udah tutup, bu".
Kami mempunyai langganan bakso, kami namakan 'bakso keterlaluan', karena porsinya yang besar. Setiap kali ke Bandung, saya dan bu Ana, juga pak Dadang, teman dosen UPI juga, selalu menyempatkan makan bakso di gang Sa'ad, gang yang berada di dekat Gedung Asia Afrika itu. Bakso dan mienya enak sekali, juga es campurnya. Tapi ya itu...porsinya gede banget, maka kami menjulukinya 'bakso keterlaluan'.
"Pingin makan apa ya?" Saya balik bertanya. " Nggak usahlah, bu Ana, kan di hotel juga disediakan".
"Makan di luar aja, bu, ntar habis maghrib saya jemput ya?"
"Baik deh." Tiba-tiba saya ingat sesuatu. "Oya, bu Ana, saya pingin makan serabi oncom".
"Hah?" Bu Ana tertawa berderai. "Ibu kayak orang ngidam saja...."
Akhirnya malam ini, saya dan bu Ana, beserta seorang anak perempuannya yang masih TK, pengasuh anaknya dan supirnya, nongkrong di sebuah tempat makan di Jalan Burangrang. Di sepanjang Jalan Burangrang itu, mau makan apa saja ada. Batagor Riri yang terkenal itu juga ada. Juga martabak San Fransisco (waduh, jauh ya?). Juga kambing bakar Qairo. Bakso Malang bahkan di beberapa tempat. Dan juga...serabi dengan berbagai macam variasi isi dan rasa.
Saya pesan serabi oncom, tentu saja. Bu Ana juga. Supir dan pengasuh anaknya pesan serabi kuah kinca. Untuk minumnya, kami berempat pesan wedang kembang tahu. Bu Ana bilang, minuman itu cocok untuk hawa dingin seperti saat ini.
Tahukah Anda, apakah minuman kembang tahu itu? Ya, betul. Di Surabaya, dikenal dengan nama tahuwa. Ada juga yang menyebutnya tauwa. Minuman yang terbuat dari puding sari kedelei dengan kuah rasa jahe ini memang sangat cocok untuk mengusir dinginnya udara Bandung malam ini. Begitu disruput, hangatnya yang menyentuh tenggorokan seperti menjalar ke seluruh tubuh.
Bagaimana dengan serabi oncom? Wow, makanan ini tidak kalah ganasnya. Gundukan putih bernoda itu (nodanya dari oncom berbumbu), aromanya sedap sekali. Disajikan dengan sambal botol. Tapi boro-boro menyentuh sambalnya, makan serabinya saja sudah luar biasa pedasnya. Saya dan bu Ana sampai ngoweh-ngoweh kepedasan. Hidung bolong blong dan telinga terasa berasap. Haha, saking pedasnya.
Malam ini saya semakin menyadari betapa Maha Pemurahnya Allah SWT. Baru sore tadi saya berdoa, semoga bisa menikmati serabi oncom, ternyata malam ini doa saya terkabul. Bahkan tidak hanya dapat serabi oncom, tapi juga wedang kembang tahu.
Semoga Allah SWT juga segera mengembalikan Jakarta dan tempat-tempat lain terbebas dari banjir, meringankan penderitaan para kurban bencana banjir dan letusan gunung Sinabung. Semoga Dia juga membangkitkan kesadaran para pemimpin negeri untuk lebih peka pada penderitaan para kurban bencana dan melakukan tindakan yang nyata dan tidak sekedar formalita. Semoga Dia juga menumbuhkan keinsyafan setiap insan agar lebih menyayangi dan peduli pada bumi, hutan, udara, langit, dan seluruh alam sekitar. Semoga.
Hotel Horison, Bandung, 21 Januari 2014
Wassalam,
LN
Selasa, 21 Januari 2014
Serabi Oncom dan Kembang Tahu
Label:
Catatan Perjalanan
Diposting oleh
Luthfiyah Nurlaela
di
Selasa, Januari 21, 2014
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...