Akhirnya GA yang saya tumpangi mendarat di Bandara Soekarno Hatta. Jakarta mendung. Kondisi ini sudah terasa sejak masuk pesawat di Bandara Juanda tadi, saat awak pesawat menginformasikan tentang kondisi cuaca berawan yang diprediksikan akan menemani sepanjang perjalanan. Dan benar, sepanjang perjalanan tadi, lampu kenakan sabuk pengaman hanya beberapa menit saja padam. Pesawat seperti sedang melaju di atas jalan makadam.
Setelah melepas hajat kecil di toilet, saya keluar menuju pangkalan taksi. Antrian orang yang menunggu taksi blue bird yang biasanya panjang, sepi. Tumben. Saya melenggang dengan suka hati. Berarti tidak perlu lama ngantri. Tapi ternyata, alamaakk... Blue bird terkena macet dan perlu berjam-jam untuk sampai di bandara. Kondisi taksi yang lain juga begitu. Heran. Seharusnya, sesuai namanya, blue bird tidak harus terhalang macet. Mestinya kan dia bisa terbang... Apa maksudnya bernama blue bird kalau ternyata terbang saja tidak bisa... Hehe.....
Saya ditanya petugas, "Ibu mau ke mana?"
"Ke Sahid".
"Ibu, kami antar ke pangkalan blue bird saja, karena taksinya lagi kena macet semua". Petugas berbaju biru itu menunjuk bus biru yang sewarna dengan taksi blue bird. Bus itu di bagian lambungnya ada tulisannya "Big Bird". Oh, ini toh, induk semangnya blue bird. Saya bayangkan, big bird itulah yang melahirkan banyak blue bird.
Saya mengikuti petugas yang membawakan koper kecil saya, masuk big bird. Di dalam, penumpang sudah penuh, tapi masih ada kursi untuk saya. Saya pikir, daripada menunggu blue bird yang tidak jelas kapan datangnya, mending naik big bird saja menuju pangkalan. Kalau petugas berani menggiring kami menuju pangkalan, mustinya karena kami dijamin akan dapat taksi di sana.
Dan benar. Lumayan, ada banyak taksi, cukup untuk kami semua sebus. Aman.
Saya pun duduk manis di taksi. Dengan bapak supir yang ramah. Baru beberapa menit melaju, pak supir bilang. "Dibuang ke atas, bu, ternyata tol bawah ditutup".
Saya melihat tiga polisi dan beberapa petugas yang lain sedang mengatur lalu lintas. Mengarahkan semua kendaraan mengambil jalur kiri, lewat atas. Beberapa traffic cone berderet. Menutup akses menuju tol bawah. Saya pastikan, penyebabnya adalah banjir.
Pak Supir menghidupkan radio. Siaran dari Elshinta menginformasikan berbagai tempat di Jakarta yang dilanda banjir. Langsung dari para pengendara yang sedang terjebak banjir. Arta Gading menuju Tanjung Priuk macet sudah tiga jam. Cakung ke arah Tanjung Priuk juga macet, lebih dari sembilan jam. Semua terjebak kemacetan karena volume kendaraan dan genangan air serta banjir. Tol bandara ke arah Pluit diarahkan lewat atas karena tol bawah juga tergenang air.
Macet, itulah kondisi yang sudah saya duga. Hampir satu jam di dalam taksi, saya masih belum beranjak dari jalan tol di kawasan bandara. Pak Supir beberapa kali menguap karena ngantuk dan bosan. Mobil hanya beringsut sedikit demi sedikit.
Mungkin seperti saya, pak supir itu mengantuk dan lapar. Saya membunuh waktu dengan SMS-an. Dengan Mas Rohman, membicarakan dua buku yang sudah di-layout dan siap naik cetak. 'Peta Pangan Olahan Kabupaten Sidoarjo' (buku hasil kajian kerjasama dengan Kabupaten Sidoarjo), dan buku 'Senandung Anak Sulung', buku kumpulan puisi mahasiswa PPG SM-3T program studi Pendidikan Bahasa Indonesia.
Di antara pembicaraan kami, mas Rohman bilang, "bu, sudah tahu Jakarta banjir kok malah ke Jakarta". Saya jawab, "justeru karena banjir itu, mas, saya harus inspeksi...".
"Kalau gitu jangan lupa bawa pelampung, bu."
"Saya bawa perahu karet, mas.."
Saya juga memantau anak-anak Himapala yang sedang melakukan perjalanan Pataka, dalam rangka ulang tahun Himapala yang ke 36. Mereka berjalan dari 0 mdpl sampai ke Puncak Welirang. Ternyata mereka sedang mendekat ke arah Tanggulangin, dan di sana makan siang sudah disiapkan mas Rukin. Olala...beruntunglah anak-anak itu, dapat makan siang gratis. Sedangkan saya, lagi lapar-laparnya, mau makan siang pakai duit saja kok ya tidak ada..
Untunglah, tiba-tiba ada penjual kacang goreng dan manisan mangga. Nggak tahu dari mana bapak-bapak penjual itu, tiba-tiba dia nongol begitu saja dan mengetuk-ngetuk jendela taksi. Tapi kehadirannya bagai malaikat pembagi rezeki saja...
Akhirnya, setelah berkendara dua jam lebih, sampailah saya di Hotel Grand Sahid di kawasan Panglima Sudirman. Lega rasanya. Sore nanti, pukul 16.00, pembukaan rapat koordinasi tim MBMI (Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia) akan dilaksanakan. Masih ada waktu beberapa saat. Salat, makan, dan bertemu dengan peserta PPG SM-3T yang minta dibawakan buku-buku.
Begitu masuk kamar, saya langsung menelepon room service. Pesan mie goreng jawa. Sepertinya enak disantap di siang yang suwejuk ini. Di buku menu dijelaskan, mie goreng jawa adalah 'stir-fried egg noodles with chicken and prawns, beef meatball served with satay'. Enak kan? Apa lagi kalau disantap dengan pelengkap acar dan cabe rawit. Nyam...nyam...
Dan Jakarta masih juga mendung. Muram. Tapi tak semendung dan semuram hati saya. Sebentar lagi akan ada yang mengirim mie goreng jawa....
Wassalam,
LN
Grand Sahid Hotel, Jakarta, 17 Januari 2014
Jumat, 17 Januari 2014
Big Bird, Macet dan Mie Goreng Jawa
Label:
Catatan Perjalanan
Diposting oleh
Luthfiyah Nurlaela
di
Jumat, Januari 17, 2014
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...