Pages

Senin, 12 September 2016

Tindak Kekerasan Pada Anak Sekolah di Daerah 3T

Oleh Luthfiyah Nurlaela
Jurusan PKK, FT, Unesa

Abstrak:  Pendidikan ramahanak merupakan pendidikan yang mengedepankan rasa kasih sayang dan bukan kekerasan, mengedepankan pujian bukan umpatan, mengedepankan asah, asih, dan asuh, dan bukan intimidasi atau tekanan. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan kejadian kekerasan pada anak sekolah; 2) mendeskripsikan pelaku tindak kekerasan pada anak sekolah; 3) mendeskripsikan upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya tindak kekerasan pada anak sekolah. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, angket, dan dokumentasi.Subyek penelitian adalah siswa dan guru di sekolah-sekolah kabupaten 3T (terdepan, terluar, tertinggal).Teknik analisis data dengan deskriptif kualitatif. Temuan penelitian menunjukkan bahwa: 1) kejadian kekerasan pada anak sekolah masih sering terjadi,baik kekerasan fisik, psikis, dan penelantaran; 2) pelaku tindak kekerasan pada anak adalah guru, keluarag, dan beberapa pihak lain; dan 3) upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya tindak kekerasan pada anak baru sebatas upaya persuasif,yang dilakukan oleh berbagai pihak, yaitu guru SM-3T, kepala sekolah, pemerintah, dan LSM. Rekomendasi yang diberikan adalah: 1) perlu sosialisasi pendidikan ramah anak di daerah 3T; dan 2) perlu upaya melakukan pendekatan individu, pendekatan sosial, dan pendekatan hukum.
                                                       
Kata Kunci: Kekerasan pada anak sekolah, Daerah 3T

Pendahuluan
Pendidikan adalah investasi jangka panjang.Pendidikan tidak hanya menjawab masalah-masalah yang sifatnya praktis dan teknis pada saat ini. Tujuan pendidikan adalah  memanusiakan manusia untuk membangun peradaban unggul di masa depan. Dengan demikian, pendidikan merupakan kebutuhan paling asasi bagi semua orang. Masyarakat yang berpendidikan setidaknya dapat mewujudkan tiga hal,  yaitu: 1) dapat membebaskan dirinya dari kebodohan dan keterbelakangan. 2)  mampu berpartisipasi dalam proses politik untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis, dan 3) memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dari kemiskinan.
Pentingnya pendidikan dalam mengembangkan sumber daya manusia tidak dapat disangkal lagi.Tidak ada satu orang pun yang tidak percaya bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh SDM.Lebih jauh, Tatyana (2000: 35) menyatakan bahwa pendidikan merupakan unsur yang sangat vital dalam pembangunan ekonomi. Di samping modal fisik seperti mesin, bangunan dan sejenisnya, modal manusia merupakan unsur vital. Untuk mencapai pembangunan ekonomi yang tinggi maka diperlukan modal manusia yang berpendidikan tinggi juga. Oleh sebab itu, pengembangan SDM menjadi hal yang sangat prioritas.
Bagi sebagian besar orang miskin, pendidikan merupakan salah satu alat mobilitas vertikal yang paling penting. Ketika modal yang lain tidak mereka miliki, terutama modal berupa uang atau barang, hanya dengan modal pendidikanlah mereka dapat berkompetisi untuk mendapatkan kesempatan memperoleh penghidupan yang lebih baik di masa depan (Sulistyastuti, 2007; Nuh, 2014).
Pendidikan yang tinggi, yang ditunjang dengan kondisi kesehatan yang baik, pada akhirnya  dapat meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mencapai kehidupan yang sejahtera. Pendidikan dan kesejahteraan memang tidak memiliki hubungan yang bersifat langsung, namun melalui proses panjang di mana pendidikan  yang baik akan memberi peluang pada anggota masyarakat untuk dapat terlibat di dalam proses pembangunan ekonomi. Mekanisme tersebut dapat terjadi dengan proses sebagai berikut: Kondisi pendidikan dan kesehatan yang baik merupakan prasayat terbentuknya SDM yang berkualitas. Dengan SDM yang berkualitas maka masyarakat akan memiliki produktivitas tinggi. Produktivitas yang tinggi pada gilirannya akan berkontribusi sangat signifikan pada upaya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi (Sulistyastuti, 2007; Nuh, 2014)
Kesempatan untuk dapat memperoleh pelayanan pendidikan, dengan demikian, dapat pula digunakan sebagai instrumen yang paling efektif untuk memotong matai rantai atau lingkaran setan kemiskinan (the vicious circle of poverty), di mana kemiskinan terjadi karena rendahnya produktivitas orang miskin yang disebabkan rendahnya kualitas SDM (pendidikan dan kondisi kesehatan) orang miskin tersebut. Rendahnya SDM orang miskin itu sendiri disebabkan kondisi kemiskinan mereka sehingga mereka tidak mampu melakukan investasi untuk pendidikan dan kesehatan.
Oleh sebab itu, program yang berpihak pada anak-anak dari keluarga miskin dan daerah-daerah tertinggal harus terus ditingkatkan.Nuh (2014) menyebutnya sebagai program keberpihakan (afirmasi), atau pendidikan yang ramah secara sosial.Tujuannya adalah agar anak-anak dari keluarga miskin mendapatkan pendidikan terbaik.Program semacam ini, selain berperan untuk memotong mata rantai kemiskinan, juga sekaligus meningkatkan harkat dan martabat.Prinsip dasar pendidikan adalah untuk semua, tidak boleh ada diskriminasi, termasuk karena status sosial ekonomi.Akses ke dunia pendidikan harus terbuka luas bagi setiap lapisan masyarakat.
Daerah 3T di Indonesia terdiri dari daerah perbatasan darat dan perbatasan laut.Ditinjau dari nilai strategis dan potensinya, daerah 3T memiliki keunggulan dan keunikan tersendiri baik dari sumber daya alam maupun budayanya.Daerah 3T juga merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara.
Tetapi sebagaimana diketahui, pembangunan di daerah 3T masih sangat jauh tertinggal dan kondisinya sangat timpang jika dibandingkan dengan kondisi daerah perkotaan di Indonesia.Daerah 3T dihuni oleh anggota masyarakat yang tergolong miskin, jauh dari sejahtera dan sangat tertinggal.Masih belum banyak tersentuh oleh program pembangunan sehingga akses terhadap prioritas pembangunan seperti infratruktur, pemberdayaan potensi, pelayanan sosial, ekonomi, dan pendidikan masih sangat terbatas.
Dalam bidang pendidikan, daerah 3T memerlukan upaya peningkatan mutu yang harus dikelola secara khusus dan sungguh-sungguh. Berbagai permasalahan pendidikan antara lain yang terkait dengan tenaga pendidik, seperti kekurangan jumlah guru (shortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification),  kurang kompeten (low competencies), dan ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched). Permasalahan lain dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah 3T adalah angka putus sekolah yang masih relatif tinggi, angka partisipasi sekolah yang masih rendah, sarana prasarana yang belum memadai, dan infrastruktur untuk kemudahan akses dalam mengikuti pendidikan yang masih sangat kurang.
Ketimpangan pendidikan di daerah 3T semakin diperparah dengan ‘budaya’ guru-guru yang mendidik anak-anak dengan cara kekerasan.  ‘Di ujung rotan ada roti’menjadi jargon yang sudah sangat umum di daerah 3T. Jargon tersebut menunjukkan bahwa kekerasan fisik mutlak diperlukan untuk membuat anak menjadi lebih baik, menurut, dan pintar. Tanpa kekerasan, anak-anak tidak akan bisa diatur dan menjadi anak yang tidak ‘tahu adat’.
Tindak kekerasan terhadap anak adalah perilaku dengan sengaja maupun tidak sengaja (verbal dan non verbal) yang ditujukan untuk mencederai atau merusak anak, baik berupa serangan fisik, mental sosial, ekonomi maupun seksual yang melanggar hak asasi manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat, berdampak trauma psikologis bagi korban. Kekerasan dapat terjadi dimana saja, termasuk di sekolah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF (2007), di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan yang terjadi pada siswa dilakukan oleh guru.
Di Indonesia,masih cukup banyak guru yang menilai cara kekerasan masih efektif untuk mengendalikan siswa (Phillip, 2007). Padahal cara ini bisa menyebabkan trauma psikologis, atau siswa akan menyimpan dendam, makin kebal terhadap hukuman, dan cenderung melampiaskan kemarahan dan agresi terhadap siswa lain yang dianggap lemah. Lingkaran negatif ini jika terus berputar bisa melanggengkan budaya kekerasan di masyarakat.
Berdasarkan laporan, di kawasan Jabodetabek saja, pada 2010, kekerasan pada anak mencapai 2.046 kasus.Laporan kekerasan pada anak tahun 2011 naik menjadi 2.462 kasus.Pada 2012 naik lagi menjadi 2.626 kasus dan pada 2013 melonjak menjadi 3.339 kasus.Bahkan, dalam tiga bulan pertama 2014, sejumlah 252 kasus kekerasan pada anak dilaporkan.Parahnya, kekerasan sering terjadi di tempat yang selama ini dianggap sebagai surga bagi anak-anak, yakni di rumah dan sekolah.
Data yang lain menyebutkan bahwa jumlah anak korban tindak kekerasan dan perlakuan salah pada tahun 2004 mencapai 48.526 kasus (Depsos, 2004). Jumlah ini diyakini lebih banyak lagi, seperti fenomena gunung es (the tip of ice berg) mengingat banyak kasus yang tidak terlaporkan maupun sengaja dirahasiakan karena dianggap aib, baik oleh korban, keluarga, maupun masyarakat sekitarnya.
Bagaimana dengan kondisi di daerah 3T?Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gambaran pendidikan di daerah 3T khususnya yang terkait dengan perilaku guru terhadap anak-anak sekolah. Secara rinci, penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan kejadian kekerasan pada anak sekolah; 2) mendeskripsikan pelaku tindak kekerasan pada anak sekolah; 3) mendeskripsikan upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya tindak kekerasan pada anak sekolah.

Metode
            Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dengan memaparkan data dan hasil penelitian dalam bentuk uraian-uraian.Teknik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, angket, dan dokumentasi.Observasi dilakukan secara tak berstruktur dan tersamar, di mana peneliti sebagai instrumen penelitian utama.Pelaksanaan observasi dilakukan pada saat peneliti berada di sekolah. Wawancara juga dilakukan secara tak berstruktur dengan informan kunci (key informan) adalah guru-guru para peserta Program SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan,Terluar, Tertinggal) dan siswa. Selain itu, angket juga digunakan untuk keperluan pengecekan dan pembanding (triangulasi).Triangulasi yang dilakukan meliputi triangulasi metode (observasi, wawancara, angket, dan dokumentasi) dan sumber data (guru dan siswa).Para peserta program SM-3T merupakan sarjana pendidikan yang ditugaskan di berbagai daerah 3T selama setahun. Unesa sebagai salah satu Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang dipercaya sebagai penyelenggara Program SM-3T, memiliki lokasi tempat penugasan meliputi: Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Talaud, Kabupaten Maluku Barat Daya, Kabupaten Aceh Singkil, Kabupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Mamberamo Tengah, dan Kabupaten Raja Ampat. Observasi dan wawancara dilakukan saat peneliti melaksanakan tugas monitoring dan evaluasi pelaksanaan program, yaitu pada rentang tahun 2013-2015. Dokumentasi digunakan untuk memperoleh data terkait dengan tindak kekerasan pada anak sekolah, dengan memanfaatkan buku-buku yang sudah diterbitkan oleh Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Unesa.Selanjutnya, analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif.

Hasil Penelitian dan Pembahasan
Kejadian kekerasan pada anak sekolah
            Kejadian kekerasan pada anak sekolah terjadi hampir setiap hari.Kekerasan tersebut terjadi karena anak terlambat datang sekolah, anak gaduh di kelas, anak tidak mengerjakan tugas, dan karena anak tidak disiplin. Berikut adalah kutipan beberapa catatan para guru peserta Program SM-3T:

Satu hal yang membuatku prihatin dengan sistem pendidikan di sini adalah kekerasan terhadap siswa.Selain itu, terkesan sekali bahwa guru sangat menjaga jarak dengan mereka.Kepatuhan siswa terhadap guru lebih karena ketakutan mereka. Siswa tidak berani membolos karena takut akan ditampar atau ditendang saat masuk sekolah.

Rasanya ingin membongkar kebiasaan tersebut.Aku sering tidak kuasa menahan tetesan air mata melihat anak-anak kecil di kelas I yang berbaris—tepatnya dibariskan—untuk mendapatkan pukulan satu per satu karena terlambat datang ke sekolah.

“Biasa itu di sini, Ibu.”Jawab seorang guru ketika aku tanyakan tentang perlakukan keras pada siswa.

“Kalau anak dimanja dan kita terlalu lembek pada mereka, mereka akan malas, “ tambah guru tersebut.

Bahkan menurutnya, benar atau tidak, sudah ada aturan yang memperbolehkan guru bertindak kasar pada siswa.Aturan itu sudah disosialisasikan kepada guru dan orang tua siswa.

“Asal tidak sampai keluar darah,” katanya.

Aku tidak percaya bahwa aturan itu memang pernah dibuat dan diterapkan.Apalagi dengan ukuran “asal tidak sampai keluar darah.”Menurutku, luka dalam lebih berbahaya daripada luka luar yang mengeluarkan darah (Oktavianti, 2014).

            Kutipan di atas menunjukkan betapa kekerasan sudah menjadi ‘budaya’ dalam dunia pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah di daerah tersebut. Kekerasan dianggap sebagai bagian penting sebagai cara mendidik anak. Begitu pentingnya sampai harus didukung oleh semacam peraturan yang itu diterima oleh masyarakat sekolah dan orang tua.Memukul dan bicara keras adalah salah satu aturan yang berlaku.Itu artinya, kekerasan fisik dan kekerasan psikis menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak.

Setibanya di sekolah yang sederhana itu, tidak ada rasa lain selain kaget dan tercengang melihat anak-anak SD yang polos. Raut mereka yang sedih dan terlihat minder sambil menyapukantor guru dan halaman sekolah membuatku penasaran. Sepertinya, mereka terpaksa melakukannya.Ya, ternyata hal itu benar. Aku melihat seorang guru keluar dari kantor dan berteriak meminta mereka menyapu. Dengan wajah polos dan tercengang, aku dan siswa saling memandang. Hatiku bertanya: “Mengapa mereka diperlakukan demikian? Mengapa guru bisa setega itu?

………Setiba di rumah kepala sekolah, rasa kaget menyeruak kembali ketika aku melihat hal yang sama. Seorang murid dengan wajah murung, sedang mencuci baju dan piring yang bertumpuk. Hatiku pun bertanya: “Mengapa mereka diminta bekerja seberat ini?”(Syarifuddin, 2014).

Berdasarkan catatan di atas, nampak bahwa guru tidak segan-segan memperlakukan siswa seolah-olah siswa itu adalah pembantu atau buruh mereka.Mereka memanfaatkan ketidakberdayaan siswa dan memaksa mereka untuk mengerjakan tugas-tugas yang tidak ada sangkut-pautnya dengan tugas sekolah.Relevan dengan hal tersebut, data penelitian yang diperoleh dari beberapa informan kunci menunjukkan kondisi yang lebih parah, di mana siswa bisa mendapatkan hukuman berupa pukulan, ditarik rambutnya, ditempeleng, dihukum tidak boleh masuk kelas, dicoret-coret bagian tubuh dan wajahnya dengan spidol permanen, hanya karena siswa tidak membawa air, parang, atau kayu bakar, untuk para guru mereka.
Berikut adalah salah satu kutipan hasil angket yang disampaikan oleh seorang guru SM-3T di Kabupaten Maluku Barat Daya, yang menunjukkan betapa guru bahkan tidak segan-segan menyamakan siswa dengan binatang.

Kami telah mencoba memberikan pengertian jika hukuman fisik (terlebih pada anak dibawah umur) tidak hanya menyakiti anak secara fisik namun juga akan berpengaruh secara psikis pada masa perkembangan anak. Dan itu artinya sedikit banyak juga akan berpengaruh pada kemampuan berfikir anak tersebut. Namun jawaban mereka semua hampir sama.

“Ibu guru, dong (mereka) itu kepala batu, beda dengan anak-anak disana (Jawa). Seng (tidak) bisa dikasih hati. Jadi harus dipukul.”

Dong (mereka) ini paling bodo. Sama deng (dengan) kuda. Kalau seng (tidak) dipukul, dong (mereka) seng (tidak) akan mengerti.”

Pada setiap pembahasan mengenai hukuman fisik yang masih dilakukan selalu berujung pada kalimat “Di ujung rotan ada roti”. Dan seakan kalimat tersebut sudah sangat mereka yakini bahwa mendidik anak dengan cara seperti itu akan menjadikan anak tersebut sukses di kemudian hari.

Selanjutnya adalah tabel ringkasan hasil wawancara dan angket yang diperoleh dari berbagai kabupaten tempat penugasan peserta Program SM-3T, meliputi Sumba Timur, Talaud, Aceh Singkil, Maluku Barat Daya, Mamberamo Raya, Mamberamo Tengah, dan Raja Ampat.

Tabel 1: Gambaran Tindak Kekerasan pada Anak Sekolah di Daerah 3T
No.
Pertanyaan
Jawaban
1.       
Pernahkah Saudara menyaksikan kejadian kekerasan pada anak-anak di sekolah tempat tugas Saudara?
Pernah
2.       
Seberapa seringkah Saudara melihat kejadian kekerasan yang dialami anak-anak tersebut?
Hampir setiap hari
3.       
Mengapa anak-anak itu mengalami tindak kekerasan?
a.    Terlambat datang ke sekolah
b.    Gaduh di kelas
c.    Berkelahi dengan temannya
d.    Tidak memakai sepatu (walau tidak punya atau sepatu satu-satunya basah karena hujan)
e.    Tidak mengerjakan PR
f.     Tidak membawa barang yang diminta guru (air, parang, kayu bakar, dll).
g.    Melakukan pelanggaran tata tertib sekolah seperti mencoret-coret meja dan tembok, melompat pagar, membolos, dsb.
a.    Merokok, minum-minuman keras, berbuat asusila, mencuri.

4.       
Bentukkekerasansepertiapakah yang diterimaanak-anaktersebut?

a.    Kekerasan fisik: ditempeleng/dipukul/dicubit/dijewer
b.    Kekerasan psikis: dicemooh/dibentak/dilecehkan/dihina/tidak diperkenankan masuk kelas, tidak dimasukkan dalam daftar hadir, muka atau bagian tubuh lain dicoret-coret dengan spidol permanen, distrap di depan semua siswa dan guru saat apel.
c.     Pembiaran/penelantaran: kelas dibiarkan kosong, tidak diajar.


Berdasarkan tabel tersebut semakin jelas bagaimana bentuk tindak kekerasan terjadi pada siswa di daerah 3T.Kondisi tersebut tentu saja sangatlah memprihatinkan dan perlu segera dilakukan upaya untuk menguranginya. Upaya yang sudah dan yang seharusnya dilakukan akan diuraikan pada bagian selanjutnya.

Pelaku tindak kekerasan pada anak sekolah

            Sebagaimana data di atas, pelaku tindak kekerasan pada umumnya adalah guru.Selain itu, kepala sekolah juga sesekali ikut serta melakukan tindak kekerasan.Begitu juga dengan pihak berwenang (polisi) serta kepala dan staf UPTD setempat.Para pihak tersebut turut serta dalam menangani anak bila anak tersebut dinilai telah melakukan pelanggaran berat seperti mencuri dan minum-minuman keras.
Minum-minuman keras sebenarnya merupakan kebiasaan yang sangat masif di daerah 3T. Mulai dari pejabat kabupaten, kecamatan, desa, dan hampir semua masyarakat, bahkan di segala usia, minuman keras adalah konsumsi sehari-hari. Melihat orang berjalan sempoyongan di jalan-jalan karena mabuk merupakan hal yang lazim. Kegiatan kantor baik dinas mau pun tidak dalam rangka dinas, diwarnai dengan botol-botol minuman keras dan diakhiri dengan mabuk juga sudah menjadi hal biasa.
Di sinilah letak ketimpangan itu, di satu sisi, anak dihukum bila mereka melakukan minum-minuman keras, sementara mereka yang memberi hukuman itu sesungguhnya biasa melakukan hal yang sama. Benarlah sebagaimana yang disinyalir oleh Nurlaela (2013), bahwa salah satu faktor penghambat kemajuan pembangunan pendidikan di daerah 3T adalah karena miskin figur panutan, rendahnya etos kerja, rendahnya daya dukung masyarakat dan orang tua, termasuk tumbuh suburnya ‘budaya’ negatif yang telah berterima secara luas.
Namun demikian, tindak kekerasan juga diterima anak saat mereka berada di rumah, yang hal itu dilakukan oleh anggota keluarga terutama orang tua.Memperlakukan anak dengan keras sepertinya sudah menjadi hal yang sangat biasa di daerah 3T, baik di rumah maupun di sekolah. Bahkan dari hasil wawancara peneliti dengan beberapa orang tua, orang tua sudah menyerahkan anak pada sekolah dan tidak pernah merasa keberatan dengan perlakuan apa pun dari pihak sekolah terhadap anak mereka.Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena anak semakin tidak mempunyai tempat untuk berlindung dari kekerasan.

Upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya tindak kekerasan pada anak sekolah.

            Berdasarkan hasil wawancara dan penyebaran angket, diperoleh data bahwa telah ada beberapa upaya yang dilakukan untuk mengurangi terjadinya tindak kekerasan. Upaya tersebut meliputi: 1) Guru SM-3T memberikan bimbingan dan arahan kepada murid yang bermasalah secara persuasif dengan melihat latar belakang kenapa melakukan hal yang tidak diinginkan oleh guru; 2) Dewan guru mengubah bentuk hukuman menjadi hukuman push-up untuk siswa yang terlambat, dan denda bagi yang tidak masuk tanpa izin;  3) Adanya penyuluhan tentang kekerasan terhadap anak dan kekerasan dalam rumah tangga oleh lembaga hukum kabupaten setempat; dan 4) PNPM dan Wahana Visi Indonesia, Komisi Perlindungan Anak  di daerah setempat, memberikan penyuluhan kepada orang tua tentang pentingnya anak sebagai penerus bangsa, dan bagaimana bentuk dukungan yang harus dilakukan orang tua terhadap anak.
Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya sudah ada upaya-upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik guru, kepala sekolah, maupun pemerintah dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).Namun tentu tidak mudah mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah berurat-berakar sejak puluhan tahun, karena hal tersebut menyangkut bagaimana mengubah budaya.

Simpulan dan Saran
            Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan: 1) Kejadian kekerasan pada anak sekolah masih sering terjadi,baik kekerasan fisik, psikis, dan penelantaran; 2) pelaku tindak kekerasan pada anak adalah keluarga, guru, dan/atau teman sejawat; dan 3) upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya tindak kekerasan pada anak baru sebatas upaya persuasif,yang dilakukan oleh berbagai pihak, yaitu guru SM-3T, kepala sekolah, pemerintah, dan LSM.
Selanjutnya, rekomendasi yang diberikan adalah: 1) perlu sosialisasi pendidikan ramah anak di daerah 3T; dan 2) perlu upaya melakukan pendekatan individu, pendekatan sosial, dan pendekatan hukum.

Daftar Pustaka
Nuh, Mohammad. 2014. Nuh, Mohammad. Menyemai Kreator Peradaban. Jakarta: Zaman. 2014.
Nurlaela, Luthfiyah. 2014. Unesa untuk Pendidikan di Daerah Tertinggal, dalam 50 Tahun Unesa Emas Bermartabat. Surabaya: Unesa University Press.
Nurlaela, Luthfiyah. 2015. Jawa Timur untuk Pendidikan Daerah tertinggal, dalam Pintu Gerbang MEA 2015 Harus Dibuka. Jakarta: Prenadamedia Group.
Nurlaela, Luthfiyah. 2013. Berbagi di Ujung Negeri. Surabaya: PT Revka Media Surabaya.
Oktavianti, E. 2014. Asal Tidak Keluar Darah, dalam Mimpiku, Mimpimu, Mimpi Kita. Ed. Rukin Firda dan Luthfiyah Nurlaela. Surabaya: PT Revka Media Surabaya.
Risadi, Aris Ahmad. 2013. Ketenagakerjaan dan Daerah Tertinggal. http://www.kemenegpdt.go.id/artikel/85/ketenagakerjaan-dan-daerah-tertinggal. Diakses 2 Mei 2014.
Soetomo. 2006. Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sulistyastuti, Dyah Ratih. 2007. Pembangunan Pendidikan dan MDGs di Indonesia: Sebuah Refleksi Kritis. Jurnal Kependudukan Indonesia, Vol. II No. 2. 2007
Syarifuddin, S. 2014. Anakku, Buruhku, dalam Porodisa di Talaud. Ed. Luthfiyah Nurlaela dan Anas Ahmadi. Sidoarjo: Sarbikita Publishing.

UNICEF. 2007. Annual Report 2006. 

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...