Pages

Rabu, 21 September 2016

Literasi di Ujung Negeri

Daerah 3T di Indonesia terdiri dari daerah perbatasan darat dan perbatasan laut.Oleh sebab itu, daerah 3T layak disebut sebagai Ujung Negeri.
Ditinjau dari nilai strategis dan potensinya, daerah 3T memiliki keunggulan dan keunikan tersendiri baik dari sumber daya alam maupun budayanya.Daerah 3T juga merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara.
Tetapi sebagaimana diketahui, pembangunan di daerah 3T masih sangat jauh tertinggal dan kondisinya sangat timpang jika dibandingkan dengan kondisi daerah perkotaan di Indonesia.Daerah 3T dihuni oleh anggota masyarakat yang tergolong miskin, jauh dari sejahtera dan sangat tertinggal.Masih belum banyak tersentuh oleh program pembangunan sehingga akses terhadap prioritas pembangunan seperti infratruktur, pemberdayaan potensi, pelayanan sosial, ekonomi, dan pendidikan masih sangat terbatas.
Dalam bidang pendidikan, daerah 3T memerlukan upaya peningkatan mutu yang harus dikelola secara khusus dan sungguh-sungguh. Berbagai permasalahan pendidikan antara lain yang terkait dengan tenaga pendidik, seperti kekurangan jumlah guru (shortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification),  kurang kompeten (low competencies), dan ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched). Permasalahan lain dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah 3T adalah angka putus sekolah yang masih relatif tinggi, angka partisipasi sekolah yang masih rendah, sarana prasarana yang belum memadai, dan infrastruktur untuk kemudahan akses dalam mengikuti pendidikan yang masih sangat kurang.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.Kita semua mengenal Program Wajib Belajar (Wajar).Program ini berawal pada tahun 1984 dengan Wajar Sekolah Dasar.Kemudian berlanjut pada 1994 dengan Wajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun, melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1994. Inpres ini menginstruksikan kepada Menko Kesra, Mendikbud, Mendagri, Menag, dan Menkeu untuk melaksanakan Wajar Dikdas Sembilan Tahun di seluruh Indonesia sebagai suatu gerakan nasional yang dimulai pada tahun pelajaran 1994/95.
Indonesia bersama 191 negara anggota PBB telah menyepakati Millenium Development Goals (MDGs) yang harus dicapai pada tahun 2015 yang lalu.Wajar Dikdas merupakan salah satu program yang diorientasikan untuk mencapai tujuan MGDs tersebut.Namun karena ada berbagai hambatan, pemerintah telah beberapa kali mengundurkan tahun pencapaian Wajar Dikdas yang awalnya 2004 menjadi 2009.Memang tidak mudah mencapai tujuan MDGs di bidang pendidikan.
Permasalahan dalam penyelenggaraan Wajar Dikdas sangatlah beragam. Selain rendahnya angka partisipasi tingkat SLTP dan rendahnya angka melanjutkan dari SD ke SLTP, permasalahan yang lain adalah keterbatasan fasilitas sekolah, termasuk rusaknya fasilitas sekolah yang ada. Adanya krisis ekonomi sejak 1998 juga menambah dampak keterbatasan fasilitas. Studi SMERU pada tahun 1999 dan 2003 (Gavin Jones et al) menemukan bahwa kondisi bangunan sekolah dan fasilitas sekolah SDN umumnya tidak memadai. Adanya ketergantungan pada pemerintah sebagai akibat dari dibangunnya SD-SD Inpres telah mengakibatkan hilangnya swadaya dan partisipasi masyarakat. Hambatan lain, adalah masalah klasik, yaitu terbatasnya sumber dana pemerintah.
Permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian adalah masalah anak yang putus sekolah. Berbagai hasil studi dan dari pengalaman penulis pribadi, anak lulusan sekolah dasar tidak melanjutkan ke sekolah lanjutan pertama disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: Pertama, masalah ekonomi keluarga. Anak dari keluarga miskin tidak memiliki dana untuk biaya pendidikan. Akibatnya, anak-anak membantu orang tua baik untuk bekerja maupun kegiatan lainnya.Anak-anak tidak bersekolah karena mereka membantu bekerja di kebun, menyadap karet di hutan, menggembala ternak, mencari kayu bakar di hutan, mencari air, mencari rumput, atau mengasuh adiknya ketika orang tuanya tidak ada di rumah.
Kedua, rendahnya kesadaran dan motivasi masyarakat untuk menyekolahkan anak. Di berbagai wilayah ditemukan betapa tingkat kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan sebagai bekal di masa depan masih begitu rendah. Rendahnya kesadaran ini antara lain nampak dari orang tua yang lebih mengutamakan anaknya bekerja untuk membantu ekonomi keluarga daripada bersekolah. Bahkan masih banyak orang tua yang melarang keras anaknya untuk pergi ke sekolah, dan mengancam anak-anak dengan ancaman-ancaman yang membuat mereka tidak berdaya.
Ketiga, jarak atau lokasi sekolah terletak jauh dari tempat tinggal murid.Kondisi ini diperburuk dengan kondisi sarana dan prasarana (akses) transportasi.Buruknya ekonomi keluarga dan akses transportasi menyebabkan tidak terjangkaunya biaya transportasi.Buruknya infrastruktur transportasi juga menyebabkan sulitnya perjalanan untuk mencapai sekolah.Sudah jamak diketahui, bahwa banyak anak sekolah yang harus menyeberangi sungai yang arusnya cukup deras dengan atau tanpa jembatan penyeberangan yang memadai, dan mereka harus mempertaruhkan nyawa hanya untuk pergi ke sekolah.Di Sumba Timur, guru-guru peserta Program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tetinggal (SM-3T) harus membubuhkan obat luka sebelum siswa masuk kelas.Kaki anak-anak itu teluka karena tergores bebatuan dan duri-duri tajam saat mereka harus menembus hutan belantara dan naik-turun bukit saat berangkat-pulang sekolah.
Keempat, adanya daya tarik cukup besar untuk bekerja dengan upah yang relatif tinggi.Di berbagai tempat, anak sekolah banyak yang membolos saat musim panen, atau saat hari pasar.Mereka memilih ikut bekerja di kebun atau menunggu dagangan di pasar, karena jelas keuntungannnya secara ekonomi. Banyak orang tua yang menganggap sekolah tidak penting, karena tidak menjamin anak akan cepat mendapatkan pekerjaan. Peluang pekerjaan yang telah ada di depan mata lebih menjanjikan secara ekonomi daripada sekolah.
Ketimpangan pendidikan di daerah 3T itu semakin diperparah dengan etos kerja guru yang rendah. Guru yang seharusnya menjadi garda depan pembangunan pendidikan seringkali tak bisa diharapkan perannya. Mangkir dari tugas, melakukan kekerasan pada anak sekolah, dan tindakan lain yang samasekali tidak mencerminkan sikap dan perilaku seorang guru seringkali dijumpai. Sebuah pepatah "di ujung rotan ada roti" menggambarkan betapa kekerasan menjadi kelaziman dalam mendidik anak.Di beberapa daerah 3T, data menunjukkan, kekerasan pada anak hampir setiap hari terjadi.Tidak hanya kekerasan fisik, namun juga psikis dan penelantaran.
Dengan kondisi seperti itu, bisa dibayangkan seperti apa kemampuan literasi siswa di daerah 3T. Bahkan literasi dalam pengertian sederhana pun, membaca-menulis-berhitung, kondisinya sangat memprihatinkan.Anak lulus SD belum tentu bisa membaca. Kalau pun bisa, mereka seringkali tidak memahami apa yang mereka baca. Jangan tanya mengapa dengan kondisi kemampuan membaca yang begitu rendah, mereka bisa lulus UN? Panjang cerita untuk membahas hal ini.
Sekolah banyak yang tidak memiliki perpustakaan.Kalau pun ada, hanyalah satu-dua buah rak buku yang di atasnya dipajang buku-buku usang dan berdebu.Kondisi ini tidak hanya terjadi di tingkat SD, namun juga SMP dan SMA. Jangan tanyakan seperti apa minat baca siswa dan frekuensi kunjungan mereka ke 'perpustakaan' itu. Jauh panggang dari api. Jangankan siswa, guru-guru pun nyaris tak memiliki minat baca.
Tentu tidak semua sekolah di daerah 3T semacam itu.Ada beberapa sekolah yang tetap berusaha memberikan layanan sebaik mungkin bagi siswa dalam kondisi yang begitu serba terbatas.Ada satu-dua orang guru dan kepala sekolah yang 'gila' dan mencoba menjadi figur panutan bagi siswa.Mereka berjuang untuk memintarkan anak-anak didiknya dengan penuh komitmen.Namun, sungguh, mencari sosok kepala sekolah dan guru yang seperti itu, ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami.Saking langkanya.
Dalam banyak catatan perjalanan penulis dan para guru peserta program SM-3T, dengan sangat berat hati harus kita akui, masalah utama pembangunan pendidikan di daerah 3T sesungguhnya lebih pada masalah mental kerja. Guru PNS mengajar semaunya atau bahkan mangkir dari tugas.Kepala sekolah tidak setiap hari hadir di sekolah--bisa absen sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan--dengan berbagai alasan, tanpa merasa berdosa."Kaki mereka pada baminyak.Seng betah di tempat.Pigi-pigi terus."Begitu kata seorang tokoh masyarakat di salah satu pelosok Maluku Barat Daya.
Sudah begitu, pejabat kabupaten dan dinas pendidikan juga kurang turun ke bawah untuk melihat kenyataan dan kebutuhan yang sebenarnya di lapangan. Apa lagi kalau sudah dihadapkan pada momen pilkada atau masalah politik yang lain, maka urusan pendidikan nyaris selalu terabaikan, dan bahkan sering dikorbankan.
Berbagai program pemerintah untuk percepatan pembangunan di segala bidang tentulah akan sangat membantu daerah 3T untuk berkembang mengejar ketertinggalannya. Namun yang terpenting dari semua program pemerintah itu adalah bagaimana daerah 3T bisa membangkitkan kesadaran dan kemauan mereka sendiri untuk berdaya.
Pendidikan dan gurulah yang sebenarnya sangat diharapkan perannya untuk kebangkitan pembangunan di daerah 3T ini.Coba kita tengok bagaimana peran guru dalam membangun kesejahteraan masyarakat Finlandia. Guru merupakan profesi yang terkait dengan pemeliharaan kultur nasional. Salah satu tujuan persekolahan formal adalah mewariskan pustaka, nilai-nilai, dan aspirasi kultural dari satu generasi ke generasi berikutnya. Guru merupakan pemain kunci dalam membangun masyarakat sejahtera. Sejarah panjang Finlandia yang telah menyebabkan negara ini bergulat dengan identitas nasional, bahasa ibu, dan nilai-nilai sendiri, telah meninggalkan jejak yang dalam pada masyarakatnya dan mendorong keinginan mereka untuk mengembangkan pribadi melalui pendidikan, membaca (reading), dan perbaikan diri. Literasi adalah tulang punggung kultur Finlandia dan telah menjadi bagian tak terpisahkan.
Sekarang ini, generasi literat mutlak dibutuhkan agar bangsa kita bisa bangkit dari keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa lain. Wagner (2000) menegaskan bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan, dan pengangguran. Ketiga hal tersebut merupakan sebagian  indikator rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM).
Berdasarkan laporan UNDP (United Nations Development Programme), IPM Indonesia pada saat ini meningkat.Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang kuat dalam setiap indikator IPM pada beberapa tahun terakhir.Namun, meskipun demikian, nilai IPM Indonesia masih di bawah rata-rata negara dengan IPM menengah.Bahkan masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata IPM negara di kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik.
Melek huruf atau melek aksara, sebagai salah satu indikator IPM, sangat dekat dengan literasi.Unesco mendefinisikan melek huruf sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan, dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. Kemampuan baca-tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya, dan hal ini berkaitan langsung dengan kemampuan seseorang untuk memperoleh pengetahuan, menggali potensinya, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas.Menciptakan generasi literat merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli.Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.
Masalahnya, mampukah guru-guru kita, khususnya di daerah 3T, menjadi figur panutan tentang kecintaan pada ilmu pengetahuan, kepedulian pada kebutuhan anak didik, kesungguhan dan ketulusan dalam menjalani profesinya?Mampu jugakah guru-guru itu menjadi model dalam pengembangan budaya literasi?Jawabannya, perlu perjuangan yang panjang untuk mewujudkan itu semua.

Surabaya, 1 Juli 2016


Luthfiyah Nurlaela

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...