Judul Buku:
Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia
Penerjemah:
Ahmad Muchlis
Cetakan: I,
Mei 2014
Penerbit:
Kaifa
Jumlah
halaman: 318
Pendidikan
di Finlandia dinilai terbaik di dunia, banyak kalangan mengakui hal ini. Selain
keunggulannya dalam bidang pendidikan, Finlandia juga dikenal sebagai negara
yang indeks kebahagiaannya tertinggi. Warga Finlandia dinilai memberikan
pengaruh penting pada terciptanya faktor-faktor yang menentukan kebahagiaan,
antara lain kesehatan, pendidikan, kualitas hidup, dan pemerataan ekonomi.
Diyakini,
model pendidikan yang diterapkan berhubungan dengan kemakmuran dan kebahagiaan
masyarakat Finlandia. Negara ini disebut sebagai negara yang memiliki skala
prioritas yang lurus dalam kaitannya dengan paradigma pendidikan yang
dianutnya. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa segala macam keterampilan dan kemampuan
akademik lebih sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu
kebahagiaan lahir dan batin. Berbeda dengan negara-negara yang paling maju dan
paling makmur sekali pun, yang menganggap pendidikan sekadar untuk mencapai
kemakmuran yang setinggi-tingginya. Kemakmuran tidak selalu berarti kebahagiaan
lahir dan batin. Banyak negara yang memiliki tingkat penguasaan sains dan
teknologi serta kemakmuran yang tinggi, namun indeks kebahagiaan masyarakatnya
terpuruk.
Buku
'Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia',
yang ditulis oleh Pasi Sahlberg, sebenarnya bukanlah buku yang terlalu baru.
Buku yang diterjemahkan dari 'Finnish Lessons: What Can The World Learn from
Educational Change in Finland?', diterbitkan pertama kali pada 2011 di New
York, USA. Kemudian pada 2014, buku tersebut diterbitkan dalam Bahasa Indonesia
oleh Penerbit Kaifa.
Ada banyak
hal yang menarik dari buku setebal 318 halaman ini. Dalam bab per bab, pembaca
disuguhi informasi tentang bagaimana Finlandia melakukan transformasi
pengajaran dan pendidikan guru dalam kurun waktu sekitar 30 tahun. Buku ini
menunjukkan, mengapa pendidikan di Finlandia bisa berada pada posisi nomor satu
di dunia, dan bagaimana negara ini mencapainya.
Informasi
tentang apa yang dimaksud dengan program penyiapan guru berbasis riset, dan apa
pengaruhnya terhadap pembelajaran siswa, juga ditunjukkan dengan cukup detil.
Fokus utama reformasi pendidikan di Finlandia memang pada program pendidikan
guru. Program ini memberikan kerangka kerja menyeluruh bagi semua yang
mengajar--guru-guru mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah. Guru
harus bergelar master, sehingga mereka memiliki cukup waktu untuk mempelajari
pedagogi serta melakukan praktik dan belajar melakukan riset (hal 19).
Guru adalah
profesi yang tinggi statusnya, seperti dokter. Mereka yang masuk ke profesi ini
terus belajar, melanjutkan studi, agar bisa berkontribusi lebih banyak pada
profesi. Guru menjadi jabatan yang dikejar dan hanya didapatkan oleh mereka
yang cukup beruntung untuk terpilih sebagai calon guru (hal 20).
Sebagai
sebuah contoh sistem pendidikan yang unggul, Finlandia memiliki cara lain untuk
memperbaiki sistem pendidikan. Cara yang berbeda dengan yang dilakukan oleh
berbagai negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Swedia, Norwegia, dan
Perancis. Finlandia tidak memperketat kontrol terhadap sekolah, memperberat
akuntabiitas kinerja siswa, memecat guru-guru yang dinilai jelek, dan menutup
sekolah-sekolah yang bermasalah, namun sebaliknya melakukan cara-cara berikut:
1) memperbaiki sumber daya guru, 2) membatasi tes pada siswa sampai batas
minimum yang diperlukan, 3) menempatkan tanggung jawab dan kepercayaan di atas
akuntabiitas, dan 4) menyerahkan kepemimpinan pada level sekolah dan distrik kepada
tenaga profesional pendidikan (hal 42).
Terkait
dengan pendidikan guru, bagi Finlandia, tidaklah cukup memperbaiki pendidikan
guru dan menaikkan persyaratan penerimaan mahasiswa semata. Yang lebih penting
adalah menjamin agar kerja guru di sekolah berlandaskan martabat profesional
dan kehormatan sosial sehingga mereka dapat memenuhi tujuan mereka dalam
memilih profesi menjadi guru sebagai karier seumur hidup. Kerja guru seharusnya
seimbang antara mengajar di kelas dan berkolaborasi dengan tenaga profesional
lain di sekolah. Itulah cara terbaik untuk menarik para pemuda berbakat kepada
profesi guru (hal 159).
Perbedaan
khas terkait dengan sistem pendidikan publik di Finlandia dan di Amerika
Serikat, Kanada, dan Inggris, dan tentu saja juga di Indonesia, salah satunya
adalah pada kerja guru. Pendidikan di Finlandia tidak mengenal pengawasan
sekolah yang ketat. Tidak ada ujian terstandar eksternal bagi siswa untuk
memberi tahu publik tentang kinerja sekolah atau efektivitas guru. Guru juga
memiliki otonomi profesional untuk membuat kurikulum dan rencana kerja sendiri
berbasis sekolah. Semua pendidikan dibiayai publik dan tidak ada penarikan
biaya di sekolah dan universitas (hal 162).
Guru
merupakan profesi yang terkait dengan pemeliharaan kultur nasional. Salah satu
tujuan persekolahan formal adalah mewariskan pustaka, nilai-nilai, dan aspirasi
kultural dari satu generasi ke generasi berikutnya. Guru merupakan pemain kunci
dalam membangun masyarakat sejahtera. Sejarah panjang Finlandia yang telah
menyebabkan negara ini bergulat dengan identitas nasional, bahasa ibu, dan
nilai-nilai sendiri, telah meninggalkan jejak yang dalam pada masyarakatnya dan
mendorong keinginan mereka untuk mengembangkan pribadi melalui pendidikan,
membaca (reading), dan perbaikan diri. Literasi adalah tulang punggung kultur
Finlandia dan telah menjadi bagian tak terpisahkan.
Bagaimana
dengan di Indonesia? Membaca buku ini, serasa pembaca diseret dalam berbagai kondisi
yang sangat kontradiktif. Oleh sebab itu, buku ini sangat penting dibaca bagi
para pemerhari pendidikan, guru, praktisi, pengambil kebijakan, dan juga para
orang tua dan msayarakat pada umumnya, sebagai bahan refleksi dalam rangka
meningkatkan mutu proses pembelajaran dan pendidikan di segala jalur dan
jenjang.
Terkait
dengan 'kehebatan' profesi guru di Finlandia, kondisi ini tentu saja agak
berbeda dengan di Indonesia. Meski dengan diberlakukannya UUSPN dan UUGD yang
mengharuskan adanya sertifikat pendidik sebagai syarat untuk menjadi guru,
profesi guru belum menjadi profesi favorit bagi putra-putri terbaik. Memang ada
kenaikan sangat tajam animo masyarakat untuk mengambil pendidikan di lembaga
pendidikan tenaga kependidikan (LPTK)--juga kenaikan tajam jumlah LPTK yang
saat ini sudah menembus angka lebih dari 500--namun tetap saja, para peminat
itu sebagian besar belum merupakan lulusan SMA/SMK terbaik.
Dari segi
pemahaman teoretis, sebenarnya apa yang menjadi keunggulan sistem pendidikan di
Finlandia telah menjadi perhatian para pemangku kepentingan (stakeholders)
pendidikan, termasuk di Indonesia. Bedanya, di Finlandia, pemahaman tersebut
telah diwujudkan dalam praktik yang konkret. Di negara kita, hal itu lebih
banyak masih di tingkat pemahaman, sekadar wacana, dan dinilai belum ada
keseriusan untuk mewujudkannya dalam praktik. Pandangan yang skeptis terhadap
upaya-upaya pembaharuan pendidikan juga masih bermunculan dari banyak pihak.
Contoh
kondisi di atas yang saat ini begitu nyata adalah tentang diberlakukannya
Kurikulum 2013. Kurikulum yang dimaksudkan untuk mempersiapkan generasi unggul
masa depan bangsa ini masih dilihat sebelah mata saja oleh berbagai pihak.
Meski sebenarnya, bila dirunut, rasional Kurikulum 2013 memiliki banyak
pararelisme dengan model Finlandia. Penekanan pada tujuan pembelajaran yang
terintegrasi antara sikap, pengetahuan dan keterampilan, serta kemampuan
pemecahan masalah dan pengembangan kreativitas siswa dengan penerapan
model-model pembelajaran dan penilaian yang mendorong terjadinya berpikir
tingkat lebih tinggi (higher order thinking), sejalan dengan pola pikir yang
dikembangkan dalam kurikulum pendidikan di Finlandia.
Namun
begitu, tidak mudah menerapkan Kurikulum 2013, tidak saja karena keterbatasan
kemampuan guru (yang saat ini terus-menerus dilakukan penguatan dan
peningkatan), namun juga kondisi pendidikan di Tanah Air, yang disparitasnya
sangat tinggi antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Beberapa
permasalahan terkait SDM pendidiknya saja,
antara lain meliputi: kekurangan jumlah (shortage), distribusi tidak
seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under
qualification), kurang kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian
antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched), masih
menjadi persoalan serius. Belum lagi menyangkut kendala kultur/budaya pendidik
dan semua stakeholder pendidikan; karena sesungguhnya, tanpa perubahan pola
pikir, sangat mustahil Kurikulum 2013 bisa diimplementasikan dan mencapai hasil
seperti yang diharapkan.
Surabaya, 7
Juli 2014
Luthfiyah
Nurlaela
Direktur
Program Pengembangan Profesi Guru, Universitas Negeri Surabaya
1 komentar
Hello, Neat post. There is an issue together with your website in internet explorer, might check this?
IE nonetheless is the market leader and a good component of other
folks will pass over your wonderful writing because of this
problem.
my web-site hairdresser games ()
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...