Sekitar
pukul 15.20, kami meninggalkan Kota Ponorogo. Meluncur menuju Solo. Kami
mengambil rute Purwantara, Wonogiri, Sukoharjo, Solo.
Lalu lintas
padat lancar. Sebenarnya cukup menyenangkan untuk perjalanan jauh. Tapi Arga
yang hampir semalaman tidak tidur karena menyiapkan acara halal bi halal
keluarga bersama Dio, memilih pensiun sementara jadi driver. Mas Ayik yang
semalam melekan bersama teman-teman SMA-nya, terserang flu, dan obat flu yang
diminumnya hanya membuatnya bertahan mengemudi sampai Purwantara. Akhirnya,
sayalah yang harus pegang kemudi. Oh Tuhan, tidak terbayangkan, ternyata kedua
laki-laki itu begitu teganya pada saya. Mereka berdua tidur mendengkur
sementara saya mengukur jalan.
Tapi
sebenarnya, pucuk dicinta ulam tiba. Dari dulu saya ingin nyetir di Jalur
Ponorogo-Solo yang jalannya meliuk-liuk dan lumayan naik turun itu. Dari dulu
Mas Ayik tidak pernah memberi saya kesempatan karena dia tidak tega. Katanya,
medannya berbahaya.
Tapi kini,
dia menyerah. Kondisi fisiknya yang teler karena obat flu tak memungkinkan dia
untuk menolak kemauan saya. Wow, asyik sekali. Saya menguasai mobil sampai
lepas Maghrib, saat kami tiba di rumah saudara di Jayengan, Solo. Kami salat
dan makan malam, lantas pamit melanjutkan perjalanan menuju Boyolali.
Akhirnya,
pada pukul 20.15, kami bertiga memasuki Kota Boyolali. Baru sekitar empat puluh
menit yang lalu, kami meninggalkan Kota Solo. Solo dan Boyolali, dua kota yang
menyimpan sejarah masa kecil saya.
Ibu saya
lahir di Solo. Eyang dan buyutnya tersebar di Solo dan Boyolali. Sebagian
saudara saya lahir di Solo. Masa kecil saya, sering saya habiskan di Solo dan
Boyolali. Setiap liburan sekolah, kami sering dikirim bapak ibu ke Solo atau
Boyolali, berlibur di rumah Mbah Putri dan Mbah Kakung, atau di rumah Pakde dan
Bude Tamam. Ingatan masa kecil saya saat bersama Mbah Kakung, Mbah Putri, Pakde
dan Bude Tamam, serta bersama para saudara sepupu, masih tersimpan rapi. Juga
kenangan bersama Paklik Mubin almarhum, adik terkecil ibu, yang hobinya motret
dan ngusungi para keponakan ke mana-mana, ke Sriwedari, Jurug, Tawangmangu, Pasar
Kembang, Pasar Klewer dan Alun-alun.
Begitu kami
tiba di depan rumah Pakde Tamam, keriuhan segera terdengar. Subhanallah. Di
rumah itu ternyata sudah ada Bani Wahabi, para anak cucu Paklik Wahab. Mulai
dari anak pertama sampai kelima, lengkap dengan anak-anak mereka. Bertemu
dengan Bani Tamami, para anak cucu Pakde Tamam, mulai dari anak pertama sampai
keenam, juga lengkap dengan anak-anak mereka. Suasana di ruang keluarga itu
seperti sedang ada perayaan ulang tahun atau semacamnya. Lebih dari empat puluh
orang berkumpul. Ramainya bahkan tidak kalah dengan ramainya PAUD atau kelompok
bermain.
Begitu saya
menginjakkan kaki ke ruang keluarga, mereka semua bahkan sudah menyiapkan acara
penyambutan secara spontanitas. Mendendangkan salawat badar. Lengkap dengan
bunyi-bunyiannya.
Kami bertiga
geleng-geleng kepala melihat tingkah polah puluhan anak-anak kecil dan remaja
itu. Sementara orang tua mereka tertawa cekakakan sambil memegangi perut
masing-masing. Kami bergantian bersalaman, berangkulan, berpelukan. Saya
bersimpuh di depan Bude Tamam, yang sedang duduk dan tersenyum manis menikmati
tingkah polah anak-anak manusia yang tersaji di depannya. Saya cium punggung
tangannya, kedua pipinya, dan menyampaikan permohonan maaf, serta menghaturkan
salam takzim dari ibu saya dan saudara-saudara saya.
Bude Taman,
sudah empat tahun gerah stroke. Sakit itu membuat beliau sulit berjalan. Tapi
beliau secara mental sangat sehat, meski bicaranya sangat pelan. Dalam kondisi
seperti itu, dalam usianya yang sudah mendekatai 80 tahun, bude Tamam tidak
pernah meninggalkan salat tahajud dan dhuha, selain, tentu saja, tak pernah
meninggalkan salat wajib lengkap dengan sunnat rawatibnya. Selama bulan puasa
ini, beliau puasa penuh, meski dahar sahur nyaris tidak pernah kerso, kecuali
hanya ngunjuk saja.
Kami
sebenarnya ingin langsung menemui Pakde Tamam di kamar. Beliau sedang terbaring
sakit. Namun masih ada beberapa tamu yang berada di kamar, menjenguk Pakde.
Sejak
beberapa minggu ini, Pakde hanya bisa berbaring. Ibu dan saudara-saudara saya
sudah menengok Pakde pada Ramadhan beberapa hari yang lalu. Kondisi beliau saat
itu masih bisa berkomunikasi, masih sesekali bercanda dengan anak cucu, di
antara waktu-waktu istirahatnya yang lebih banyak diisi dengan salat dan
dzikir. Dalam kondisi tidur pun, lidah Pakde bergerak-gerak seperti melafalkan
nama Allah.
Begitu kamar
Pakde kosong, kami bertiga menghampiri beliau. Mbak Menuk, Mbak Umi, dua orang
putri Pakde, juga Dik Iffah, putri almarhum Paklik Wahab, juga menemani. Mbak
Menuk berbisik di telinga bapaknya.
"Bapak,
Dik Luluk, Pak. Dik Luluk Bulik Basyiroh, Tuban, Pak."
Pade hanya
sedikit menggerakkan matanya yang terpejam. Tidak berkata sepatah pun.
"Pakde..."
Saya meraih tangannya yang tersembunyi di bawah selimut. "Pakde,
ngaturaken sedoyo kalepatan, nyuwun pangapunten..." Saya mencium punggung
tangannya dengan sepenuh perasaan. Hati saya meleleh. Sosok yang biasanya
selalu ceria namun teduh itu begitu saja membuat hati saya menangis.
"Pakde, ngaturaken salam lan sungkemipun Ibu lan sederek-sederek Tuban
sedoyo..." Pakde tak bergeming. Saya menghela nafas panjang, melantunkan
doa. Memberi kesempatan pada Mas Ayik dan Arga untuk menyapa Pakde.
"Waktu
rene sing kapan iko, Pakde isih saget guyon lho, Mbak." Kata Dik Iffah.
"Aku matur ngene. Pakde, kulo niki lek ningali Pakde remeeennn saestu.
Terus Pakde ngendikan 'lha ngopo?' Pakde meniko pasuryanipun teduuuhhh sanget.
Menopo Pakde Golkar to? Golkar meniko teduh Pakde, mergi pohon beringin. Wah,
Pakde nggujeng kekel kae.."
Dik Iffah,
anak perempuan satu-satunya Paklik Wahab dan Bulik Kafiyah (keduanya sudah
almarhum), adalah saudara sepupu kami yang paling heboh. Ceriwisnya minta
ampun. Kami pikir dulu karena dia masih kecil. Ternyata, sampai sekarang, di
usianya yang sudah empat puluh tahun, ceriwisnya semakin menjadi. Dia bilang,
sudah diobatkan ke mana-mana. Tidak ada obat yang cocok. Bahkan menurutnya, dia
sudah kebal dengan berbagai macam obat. Tapi itu membuatnya sangat cocok
menjadi guru PAUD, profesinya sekarang.
Setelah
beberapa waktu menunggui Pakde, saya keluar kamar. Tiba-tiba barisan anak-anak
kecil itu, anak turun Bani Wahabi dan Bani Tamami, melantunkan koor.
"Bude
Luluk, Bulik Luluk.....sawerannya mannaaaaa?"
"Hah?"
Saya kaget. Anak-anak itu tertawa keras. Para orang tua terpingkal-pingkal.
"Siapa
yang ngajari kalian, hah?"
Spontan
anak-anak itu menunjuk ke seseorang. Siapa lagi kalau bukan..... Dik Iffah.
"O.....dasar.
Guru PAUD gak nggenah." Semprot saya. Dik Iffah tertawa berderai, puas
sekali wajahnya. Saudara-saudara yang lain tidak kalah puasnya.
Malam itu,
kami pamit sekitar pukul 21.30-an. Bani Wahabi akan melanjutkan perjalanan ke
rumah masing-masing, ke Yogya, ke Solo Baru, dan di Boyolali saja. Bani Tamami,
tentu saja, tetap tinggal bersama Pakde dan Bude Tamam, menunggui bapak ibu dan
eyang mereka yang lagi gerah. Kami sendiri, delegasi Bani Zawawi, akan
melanjutkan perjalanan, entah sampai di mana, sampai kami merasa perlu berhenti
dan menginap di hotel untuk transit. Besok pagi, perjalanan dalam rangka
muhibah lebaran ini berlanjut menuju Rembang, Pamotan, dan Tuban.
Rasa bahagia
dan marem menyelimuti benak saya, ketika mobil kami menembus malam yang masih
ramai. Bertemu dengan banyak saudara, bersilaturahim dengan para orang tua,
seperti memberikan energi dalam jiwa. Rasanya ingin berlama-lama bersama
mereka, namun perjalanan musti berlanjut untuk menemukan sumber energi yang
lain.
Boyolali, 28
Juli 2014
Wassalam,
LN
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...