Sabtu, 26
Juli 2014, sekitar pukul 22.30, kami berangkat dari rumah menuju Ponorogo. Arga
pegang kemudi, Mas Ayik di sebelahnya sebagai navigator, saya dan ibu duduk di
jok tengah. Ada berkotak-kota kue di belakang, tas pakaian, dan dua sepeda
lipat di roof rack di atas.
Perjalanan
lancar mulai Surabaya sampai Wilangan, Nganjuk. Sejak Wilangan, lalu lintas
padat merambat. Tiba di Madiun, sekitar pukul 03.15. Masih terhitung normal.
Kami makan sahur di Sego Pecel Bu Wo.
Kami tiba di
Ponorogo menjelang shubuh. Bu Heni dan Pak Anwar, suami istri adik ibu, sudah
menunggu. Tapi ngantuk berat yang menyerang membuat saya tidak betah
berlama-lama beramah-tamah. Saya pun izin berselancar di Negeri Kapuk.
Sekitar
pukul 08.00, saya dan Mas Ayik keluar, berkunjung ke rumah sanak saudara. Kami
ditugasi ibu untuk ulem-ulem. Besok pagi, selepas salat Idul Fitri, kami
ketempatan acara halal bi halal keluarga besar Ki Amat Drangi, punjernya
keluarga besar Ponorogo. Acara akan dihelat di Terazz Cafe, sebuah cafe milik
saudara sepupu.
Meski kami
sekeluarga ketempatan halal bi halal, kami tidak terlalu repot. Semua makanan
kami pesankan. Menunya sederhana, nasi uduk lengkap, rujak manis, dan kue
kotak. Minumannya cukup air mineral dan soft drink.
Selepas
salat Ied, kami sungkem-sungkeman, tradisi dalam keluarga besar kami. Cium
tangan, cipika-cipiki, berpelukan, saling memaafkan, saling mendoakan. Setelah
itu....ini yang juga sangat ditunggu-tunggu....pesta makan nasi uduk dan ayam
ingkung.
Nasi uduk
dan ayam ingkung, adalah menu utama tradisi keluarga setiap lebaran. Semua
dimasak sendiri. Pak Anwar, adik ipar ibu, kepala rumah tangga di rumah
keprabon ini, selalu menyembelih sendiri ayam kampung yang besar, meracik
bumbu, dan mengolahnya, dibantu Bu Heni, istrinya, dan putro-putri.
Kebetulan
hari ini, Dik Riris, putri pertama mereka, memasak nasi biriani. Dia khusus
membeli beras jenis long grain untuk mendapatkan nasi biriani yang sempurna.
Dik Riris,
saudara sepupu kami ini tinggal di Malang. Dua putrinya sudah mahasiswa.
Bersama mereka ada seorang guru asli China yang bertugas mengajar di STT Telkom
Malang, yang tinggal di rumah mereka. Tong Ting (entah seperti apa ejaannya),
gadis China itu, juga ikut pulang mudik ke Ponorogo. Sebenarnya dia diajak
temannya untuk berlibur ke Bali, tapi dia memilih ikut mudik host parent-nya.
Saya bilang ke dia: "You do not just teach, you learn about the culture as
well."
Acara halal
bi halal keluarga besar kami dihadiri oleh sekitar 50 orang, yang semuanya
keluarga, kecuali Tong Ting, yang panggilannya Tiny. Selain acara sebagaimana
layaknya acara halal bi halal yang lengkap dengan tausiah yang diberikan oleh
Pak Anwar, acara juga dimeriahkan oleh sajian live music. Iwuk, adik Mas Ayik,
memegang keyboard, bergantian dengan Arga. Dio memegang biola. Penyanyinya
bergantian, termasuk Tiny. Tiny menyanyikan lagu Hao Siang dan Yue Liang Dai.
Tepuk tangan meriah mengikuti alunan suaranya yang nyengek-nyengek. Saat
menyanyikan Yue Liang Dai, dia duet dengan Arga. Gadis 23 tahun itu nampak begitu
menikmati berada di antara keluarga besar kami di acara family gathering ini.
Dio, adalah
saudara sepupu Arga. Dia sekelas dengan Arga, di Pendidikan Sendratasik Unesa.
Dio piawai memainkan Biola, Arga lebih suka Cello. Tapi biola yang dimainkan
Dio saat ini, adalah biola milik Bapak almarhum. Ibu sengaja mengeluarkan biola
itu dan meminta Dio untuk memainkannya. Lagunya, Jali-Jali, salah satu lagu
kesukaan Bapak.
Selesai
acara, kami semua beres-beres. Termasuk membereskan makanan yang masih cukup banyak
tersisa, kami bagikan untuk keluarga dan tetangga-tetangga. Saya sendiri
membawa puluhan kotak kue, kami akan bagi-bagikan nanti pada anak-anak dan
orang-orang di perempatan jalan.
Puas rasanya
bisa bertemu dengan para saudara, keluarga besar Ponorogo, mulai dari mbah-mbah
sampai buyut-buyut. Tradisi tahunan ini selalu menjadi momen yang ditunggu oleh
keluarga besar kami. Setelah setahun bersitegang dengan berbagai macam tugas
dan urusan, bertemu keluarga besar seperti ini seperti mengurai semua rutinitas
yang kadang menjemukan dan melelahkan.
Inilah salah
satu berkah silaturahim.
Siang nanti,
kami bertiga akan melanjutkan muhibah lebaran ke Solo dan Boyolali. Biasanya
kami juga berkunjung ke Sragen, ke rumah Paklik Wahab dan Bulik Kafiyah. Namun
beliau berdua telah berpulang sejak sekitar dua tahun yang lalu.
Setiap
tahun, kerabat kami hampir selalu berkurang. Waktu acara halal bi halal tadi,
kami juga berdoa bersama untuk Bapak Nurhadi, Bapak kami, yang berpulang
sekitar seratus hari yang lalu. Juga untuk Mas Ranawi, saudara sepupu, yang
berpulang hanya beberapa hari menjelang idul fitri.
Begitulah.
Umur manusia benar-benar rahasia Illahi. Semoga kita masih dipertemukan dengan
Ramadhan dan Idul Fitri yang akan datang. Amin.
Ponorogo, 28
Juli 2014
Wassalam,
LN
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...