Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Luar Negeri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Luar Negeri. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 Agustus 2016

Laporan dari The XXIII IFHE World Congress 2016 (2)

Perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Korea kami tempuh dalam waktu sekitar 6 jam 35 menit. Sekitar pukul 01.00 dini hari tadi kami bertolak dari Bandara KLIA 2, dan saat ini, pukul 08.50, kami sudah mendarat di Incheon Airport. 

Mengikuti arus ke mana para penumpang yang lain bergerak, kami berjalan mengular sambil membaca petunjuk. Menaiki train, mengantri di bagian custom, mengambil bagasi, kemudian menuju meja airport information. Menanya bagaimana caranya kami bisa menuju Daejeon. Petugas memberi tahu kami dengan sebuah peta, dan menunjuk ke satu arah supaya kami bisa memperoleh tiket bus. Di Platform 9B.

Ternyata tidak hanya bus yang tersedia, tapi juga taksi. Kami memilih taksi sebagai alternatif pertama. Demi kepraktisan. Kalau naik bus, kami hanya bisa sampai ke Daejeon Terminal Complex. Masih harus naik bus atau taksi lagi ke Innopolis Guest House Dae Deok, penginapan kami. Penginapan kami sebenarnya di Daejeon juga, tapi bus tersebut tidak sampai ke sana. 

Wow, ternyata harga taksi cukup mahal, 250,000 Won, atau sekitar 3 juta rupiah. Kami mundur teratur. Beralih ke konter penjualan tiket bus. Membayar 69,000 Won bertiga. Sekitar 828 ribu rupiah. 

Di Incheon Airport, hampir semua petunjuk ditulis dalam Bahasa Korea. Beberapa petunjuk yang kami bisa baca adalah Transfer, Arrival, Foreigner Passport, Bagagge Claim, dan angka-angka. Selebihnya tak terbaca oleh kami, karena menggunakan huruf Hangeul.

Tentang aksara Hangeul, sebuah sumber menyebutkan, Hangeul adalah satu-satunya aksara yang diciptakan oleh seseorang berdasarkan teori dan maksud yang telah direncanakan dengan baik. Orang itu adalah Raja Sejong yang Agung (1397-1450), seorang pemimpin sekaligus ilmuwan dan pelopor budaya. Melalui upaya keras bertahun-tahun, ia meneliti unit dasar Bahasa Korea menggunakan kemampuannya sendiri tentang kebahasaan dan akhirnya berhasil menuangkannya dalam bentuk aksara. Dibanding aksara bangsa lain, Hangeul tidak didasarkan pada satu bahasa tulis atau meniru aksara lain, namun unik khas Korea. Hangeul merupakan sistem penulisan yang bersifat ilmiah, didasarkan pada pengetahuan kebahasaan yang mendalam dan asas-asas filosofis. Begitulah yang saya baca sambil menunggu bus di bus stop di bagian depan bandara yang ramai.

Sebelum naik bus, saya menyempatkan diri menghampiri vending machine. Rasa haus tak bisa saya tahan karena saya tidak minum semalaman, sejak masuk pesawat. Bodohnya saya. Sudah tidak pesan makanan di pesawat, tidak bawa minuman lagi.  

Tapi saya beruntung. Waktu saya mau membeli minuman di vending machine, ternyata saya harus membayar dengan koin 1000 Won. Padahal saya tidak punya koin. Dan vending machine tidak menerima jenis uang yang lain, misalnya uang kertas dan memberi kembalian. Seorang pria membantu saya dan membelikan saya sebotol air mineral dingin dengan uangnya. "Oh, it's your money." Kata saya. Dia menggerak-gerakkan tangannya dan saya mengartikannya "no problem". Benar-benar rezeki anak sholehah.

Perjalanan dari Incheon menuju Bus Terminal Complex, Daejeon bisa ditempuh selama sekitar 3 jam. Di sepanjang jalan, adalah laut yang mengering, gunung-gunung di kejauhan, bukit-bukit yang rimbun pepohonan, dan bangunan-bangunan menjulang. Semua papan petunjuk dilengkapi dengan tulisan dengan aksara Hangeul. 

Tibalah kami di Bus Terminal Complex. Sedihnya, tidak ada petunjuk dalam Bahasa Inggris sama sekali. Saya bertanya pada seseorang, dan entah dia bicara apa, tapi saya artikan, "silakan terus saja ke sana". 

Syukurlah, seperti mendapat durian runtuh ketika kami dapati seorang pemuda membawa papan nama besar dengan tulisan: XXIII IFHE World Congress and International Conference. Oh, thanks God. Kami langsung menghampiri dia dan menyapa dengan riang-gembira. "We are participants the IFHE Congress from Indonesia". Dan....bedudak-beduduk bedudak-beduduk. Ternyata dia tidak bisa berbahasa Inggris juga. Tapi dia berbaik hati mengantarkan kami ke tempat taksi mangkal dan menyampaikan pada driver ke mana tujuan kami.

Penginapan kami ternyata berada satu kompleks dengan Daejeon Convention Center (DCC), tempat di mana konferensi digelar. Hari ini sebenarnya acara sudah dimulai, namun agendanya adalah IFHE Council/Pre-Congress Conference. Tentu saja kami tidak perlu mengikuti acara itu. Tapi saya sempat mengintip tema pre-congress, yaitu: Current Status and Future Directions of Home Economics Curriculum around the World. 

Kami cukup melakukan lapor diri ke panitia saja saat ini. Namun sewaktu kami akan menuju ruang DCC, seorang pemuda berjas lengkap menyambut kedatangan kami dan menanyakan apakah kami sudah melakukan registrasi online dan membayar. Saat saya bilang sudah, dia katakan kalau kami tidak perlu melapor panitia dan sebaiknya langsung istirahat dulu setelah perjalanan jauh. Syukurlah. 

Pemuda ramah itu mengantarkan kami ke guest house yang ada di sisi kanan DCC. Membantu membawa koper-koper kami. Bahasa Inggrisnya bagus meski dengan logat Korea yang kental. Dia menyampaikan ke resepsionis tentang kedatangan kami, dengan bahasa Korea. Hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu isi pembicaraan mereka. Namun ujung-ujungnya, kami menerima kunci kamar. Bu Dwi dan Bu Lusi di kamar 205 dan saya di kamar 406. Maka siang itu, sekitar pukul 14.30, kami memasuki kamar kami masing-masing di Innopolis Guest House. Tak sabar rasanya membayangkan air mandi yang berlimpah dan tempat tidur yang empuk.

Siang ini kami mengemasi semuanya. Membersihkan diri dan menata bagasi bawaan. Juga menyantap makan siang pertama kami di Korea: nasi uduk instan, produksi Bu Dwi. Ya. Selama kami di Korea, kami memasak sendiri. Bukan karena kami tidak punya uang untuk membeli makanan, tetapi memperoleh makanan halal tentu tidak terlalu mudah di negara yang mayoritas penduduknya nonmuslim ini. Guest House menyediakan alat memasak di setiap kamar. Rice cooker, water boiler, kompor listrik, dan sebagainya. Tentu saja mangkuk dan sumpit khas Korea. 

Saya akan mempresentasikan paper saya besok, sedangkan Bu Dwi dan Bu Luci membawa produk penelitian masing-masing, nasi uduk instan dan nasi kuning instan, untuk dipamerkan. Kedua produk itu sudah dipatenkan. Selain membawa produk, Bu Lusi sudah menyiapkan dua bendera merah putih kecil dengan tatakannya yang manis. Besok, merah putih akan berkibar di meja pamer IFHE World Congress 2016.

Innopolis Guest House, 1 Agustus 2016

Senin, 29 Agustus 2016

Laporan dari The XXIII IFHE World Congress 2016 (1)

Air Asia yang kami tumpangi mendarat mulus di Bandara KLIA 2. Sempat saya lihat matahari senja siap menyembunyikan diri di balik cakrawala. Jam menunjukkan hampir pukul 19.00 waktu Kuala Lumpur. Sebentar lagi maghrib, dan kami bisa menunaikan shalat maghrib dan isya sekalian sebelum melanjutkan penerbangan ke Korea Selatan.

Saya bersama Dra. Dwi Kristiastuti, M. Pd dan Dra. Lucia Tri Pangesthi, M.Pd. Bertiga kami akan menghadiri XXIII IFHE World Congress 2016. IFHE singkatan dari International Federation of Home Economics. Merupakan satu-satunya organisasi dunia yang concern pada ilmu kesejahteraan keluarga dan konsumen. Didirikan pada tahun 1908, IFHE adalah sebuah NGO internasional dan memiliki status konsultatif dengan United Nations/UN (ECOSOC, FAO, UNESCO, UNICEF) dan dengan Konsul Eropa. Anggota IFHE tentu saja  adalah para profesional di bidang home economis atau ilmu kesejateraan keluarga, atau ilmu keluarga dan konsumen (family and consumer science). IFHE menyelenggarakan kongres empat tahunan, dan dihadiri oleh ratusan delegasi dari berbagai negara di lima benua. Kalau saat ini Korean Home Economics Association yang menjadi host sebagai wakil region Asia, empat tahun yang lalu, Australia yang menjadi host. Empat tahun yang akan datang, Atlanta sudah dipastikan akan menjadi host-nya.

Saya sendiri menjadi member IFHE sejak 2011, dan sejak tahun ini, Bu Lucia dan Bu Dwi bergabung. Jurusan PKK juga baru saja bergabung sebagai organization member tahun ini.

Begitu memasuki Bandara KLIA 2, kami langsung menghampiri petugas di bagian informasi. Kami menunjukkan boarding pass kami, dan petugas mengeceknya di komputer di depan dia, serta mengatakan kalau kami harus ke Gate P4 untuk check in nanti. 

Kami lantas mencari mushala. Tidak sulit karena di mana-mana bisa dengan mudah ditemukan penunjuk arah. Begitu menemukan mushala, kami bersyukur. Mushalanya bersih, sejuk. Sajadah terlipat rapi di rak kayu di sisi kiri mushala dan beberapa mukena menggantung di sisi kanan. Waktu kami akan mengambil air wudhu, terdengar informasi bahwa saat ini sudah waktunya shalat maghrib. Pas.

Di mushala itu ada beberapa kursi hitam. Saya sempat bertanya-tanya dalam hati, untuk apa kursi-kursi itu. Lantas saya ingat ibu mertua saya yang selalu shalat dengan duduk di atas kursi. Jadi untuk orang-orang seperti itulah rupanya. Di luar mushala, saya juga melihat ada baby tafel, tempat yang memudahkan ibu-ibu untuk mengurus bayinya saat berganti popok. 

Kesan saya, mushala ini ramah. Untuk semua kalangan, termasuk untuk orang-orang berkebutuhan khusus dan bayi. Mungkin seharusnya seperti itulah mushala di semua bandara. 

Di Indonesia, saya melihat sudah ada beberapa bandara yang menyediakan baby tafel, tapi di toilet, bukan di mushala. Saya belum pernah melihat mushala yang menyediakan tempat duduk untuk orang yang tidak bisa shalat secara normal. Ibu saya bisa shalat dengan berdiri, namun setelah sujud, beliau harus duduk, karena kondisinya tidak memungkinkan untuk berdiri di rakaat selanjutnya. Maka beliau memilih shalat sambil duduk di atas kursi. Kursi membantu sekali dalam hal ini, karena tidak mengharuskan beliau duduk di bawah, yang akibatnya harus 'krengkel-krengkel' untuk berdiri.

Kami akan berlama-lama di KLIA 2 ini karena penerbangan kami masih lima jam kemudian. Perut lapar dan kami menuju restoran di lantai dua. Saat akan membayar, baru ingat kalau kami tidak memiliki uang seringgit pun. 

"Sorry, may we pay by Visa? Credit card?" Tanya saya pada petugas, sepertinya keturunan India.
"Yes, can, can."

Sungguh beruntung. Lebih beruntung lagi saat menyadari betapa simpelnya berkomunikasi. Orang Malaysia pintar berbahasa Inggris, dan kami mudah sekali memahaminya. Saat tadi kami bertanya "Do you have rice?" Dia menjawab, "Yes, have, have."

KLIA 2, 31 Juli 2016

Jumat, 29 Januari 2016

Go To America (11): Pulang

Pukul 03.30 dini hari. Dering panggilan via watsapp berbunyi. Dari Mas Ayik. Dia sedang membangunkan saya. Setiap hari dia bertugas membangunkan saya. Bukan karena saya tidak bisa bangun sendiri. Alarm di ponsel saya bisa membantu saya bangun kapan pun waktu yang saya inginkan. Tapi tentu saja berbeda rasanya kalau suami yang sedang berada jauh di sana yang membangunkan. Tidak hanya saat bangun pagi. Tapi juga saat bangun dini hari untuk qiyamul lail dan sahur. 

Kebetulan selama di Utah, bersamaan dengan waktu puasa Muharam. Selain itu juga puasa Senin-Kamis. Nah, pada saat sahur, Mas Ayik pasti akan membangunkan saya. 

Oya, puasa di sini nyaman sekali. Karena Winter, waktu puasanya sedikit lebih pendek dibanding di Indonesia. Cuaca yang dingin membuat rasa haus berkurang. Pada kondisi puasa pun, saya tetap bersepeda. 

Dik Asto tidak pernah puasa. Katanya, puasa di sini, hanya dapat lapar dan haus saja. Godaan melihat cewek cantik dengan busana yang kadang-kadang minim atau superketat membuat puasa tidak fokus. 
"Ha ha. Salah sendiri kenapa tergoda. Tundukkan pandangan," kata saya.
"Eman-eman, Mbak." Jawabnya.
"Dasar gak niat."
Dia tertawa saja.

Pagi ini kami akan pulang ke Surabaya. Ya, akhirnya. Tentu saja kami menunggu waktu ini. Hanya enam minggu kami di sini, tapi rasanya sudah lama sekali. Meski banyak hal yang membuat kami merasa berat untuk meninggalkan Utah, namun kerinduan pada keluarga lebih memenuhi benak kami.

Pagi masih gelap dan kami sudah bersiap. Sekitar pukul 05.00 kami akan dijemput mobil biro travel yang sudah disiapkan oleh pihak Global Engagement. 

Siang kemarin kami menemui Shelly dan Amanda di kantor mereka, dan berpamit pada mereka dan semua staf Global Engagement. Amanda bilang, mobil yang akan membawa kami dari SLC Travel sudah disiapkan dan kami tidak perlu membayar sedollar pun. Tapi kalau kami ingin memberi tip pada driver-nya karena kami merasa puas pada pelayanannya, diperbolehkan. 

Udara sangat dingin menyergap saat kami keluar apartemen dan membantu driver mengangkat koper-koper kami. Driver, seorang lelaki yang tidak lagi muda, tinggi besar, dengan kalimat sapa yang hanya sepatah dua patah, menyilakan kami masuk ke mobil. Kami tidak langsung ke SLC, tapi singgah dulu ke International House untuk menjemput beberapa penumpang. Tidak masalah. Waktu pasti sudah diperhitungkan dan kami tidak akan terlambat tiba ke SLC. 

Turun di bandara SLC, kami kembali membantu driver menurunkan koper-koper. Ternyata bersama kami ada seorang dosen USU, saya lupa namanya, tapi saya ingat wajah manisnya ketika kami berpamit pada semua staf Engineering Education Department kemarin sore. Wanita ramah itu memeluk saya dengan gaya khas Amerika, dan berucap, "safe flight."
"Thank you, safe flight too".

Kami akan menempuh perjalanan panjang, tidak kurang dari dua puluh jam di udara. Namun kami yakin kali ini kami tidak akan kelaparan, karena jauh-jauh hari kami sudah memesan halal food mulai penerbangan dari Seattle sampai Singapura.

Meskipun hari ini kami pulang kembali ke Tanah Air, tidak berarti urusan kami dengan USU selesai. Kami harus melanjutkan penulisan artikel sampai final dan layak muat di jurnal internasional, mendesiminasikan perangkat perkuliahan yang sudah kami kembangkan selama di USU, dan menyusun proposal collaborative research. Wow, masih jauh jalan yang harus kami tempuh untuk bisa dikatakan short-term program kami di USU ini berhasil.

Baiklah, sampai bertemu di Tanah Air.  

Selesai.

SLC, Rabu, 16 November 2015

Kamis, 07 Januari 2016

Go To America (10): Park City

Suhu dingin sekali pagi ini. Sebenarnya udara dingin itu sudah saya rasakan sejak semalam. Saya sempat terbangun di tengah malam dalam keadaan tubuh menggigil karena kedinginan.

Tapi cuaca hari ini tentu saja tak akan mengurungkan niat kami untuk mengunjungi Park City. Rencana melancong ke Park City itu seharusnya sudah terlaksana seminggu yang lalu. Namun karena pada saat itu Pak Oenardi tidak enak badan--sementara kami perginya bergantung pada Pak Oenardi--jadilah acara itu baru bisa terlaksana hari ini. 

Pak Oenardi, seperti biasa, menjemput kami dari apartemen kami. Dibawanya kami singgah ke rumah beliau dulu. Bu Oenardi sudah menyiapkan nasi pecel untuk makan siang kami semua. Nasi pecelnya 'Madiun banget', karena sambalnya dari Madiun, begitu juga dengan lempeng atau kerupuk pulinya. Benar-benar hidangan yang lezat, seperti biasa. 

Bu Oenardi memang jago memasak. Masakan apa saja beliau bisa membuat. Kadang-kadang hanya dengan sentuhan kecilnya, makanan biasa jadi istimewa. Apel dipotong-potong, ditusuk seperti sate, dicelup coklat leleh dan butiran kacang. Biscuit asin diberi topping selai dan irisan keju, kadang ditambah irisan strawberry, jadi jauh lebih cantik dan lezat. Pokoknya bu Oenardi bisa mengkreasikan makanan apa saja sehingga makanan menjadi jauh lebih mewah dan enak.

Setelah makan siang dan salat dhuhur, kami berangkat. Pak Oenardi memegang kemudi, Bu Oenardi di sebelahnya. Kami bertiga di jok tengah, Kevin dan Stefani di jok belakang. Mobil besar yang disewa Pak Oenardi cukup leluasa bagi kami untuk duduk dengan nyaman.

Tidak seperti kita--pada umumnya keluarga Indonesia kalau pergi pesiar--mobil kita biasanya penuh dengan cemilan, minuman, bahkan makanan lengkap, untuk bekal selama perjalanan. Bepergian di Logan tidaklah seribet itu. Dua kali kami melakukan perjalanan keluar kota--pertama dengan Amanda--tidak ada bekal makanan apa pun yang disiapkan oleh orang yang mengajak kami. Sepanjang perjalanan tidak ada ngemil-ngemil. Saat kami ngemil dan kami menawari Amanda, dia menolak dan selalu bilang : "I'm okay." Dan sekarang, Bu Oenardi juga tidak menyiapkan cemilan apa pun. Saya jadi sungkan sendiri mau mengeluarkan chips yang sudah kami bawa. Ternyata seperti inilah rekreasi di sini. Tidak perlu ribet menyiapkan bekal makanan. Kalau Anda lapar atau haus, Anda tinggal singgah di kedai-kedai atau di restoran yang ada di beberapa titik di sepanjang perjalanan. Makan malam kami nanti pun, oleh Pak Oenardi, sudah direncanakan di Restoran Thailand yang nanti akan kami lewati saat menempuh perjalanan pulang.

Salju menutupi sebagian bukit-bukit dan pepohonan di sepanjang jalan saat kami sudah menempuh perjalanan sekitar dua jam. Artinya, Park City sudah dekat. Udara lebih dingin, jauh lebih dingin, menyergap kami begitu kami turun di sebuah pelataran parkir yang luas. Tempat ini memang berada di ketinggian, sehingga suhunya lebih dingin dibanding di Logan tempat kami tinggal.

Dan inilah Park City itu. Sebuah kota di kawasan Summit County, Utah, USA. Merupakan bagian dari Wasatch Back. Berjarak 32 mil (51 km) sebelah tenggara Salt Lake City dan 19.88 mil (31.99 km) dari sisi timur Salt Lake City. 

Menurut catatan, Park City dahulu adalah kota pertambangan. Setelah area pertambangan berkurang, sekitar tahun 1980-an dan 1990-an, kota ini berekspansi dalam bisnis pariwisata. Belakangan ini, Park City rata-rata per tahunnya memberi sumbangan terhadap ekonomi Utah sebesar $529,800,000 sebagai tempat wisata, dan $80,000,000 dari Sundance Film Festival. Kota ini memiliki dua resort ski utama: Deer Valley Resort dan Park City Mountain Resort. Kedua resort ski tersebut merupakan lokasi utama dalam event ski dan snowboarding pada Winter Olympics tahun 2002. 

Park City juga menjadi lokasi utama festival film terbesar di US, Sundance Film Festival, menjadi tuan rumah bagi  United States Ski Team, sebagai pusat pelatihan bagi anggota  Australian Freestyle Ski Team, dan juga memiliki koleksi terbesar toko-toko factory outlet (FO). 

Nah, di kawasan FO inilah kami sekarang berada. Kay, Under Armour, Polo, Adidas, Nike, Fossil, Guess, Ralph Lauren, Tommy Hilgiger, Calvin Klein, dan lain-lain berderet dari pangkal sampai ujung. Kalau mau menjelajah semuanya, sepertinya kita harus menyediakan waktu dan energi ekstra.

Tempat seluas dan sepanjang itu, ramai dengan para pelancong dari berbagai negara. Hampir semua mereka mengenakan baju hangat tebal-tebal karena udara dingin begitu menusuk. Meski begitu, udara dingin itu tak cukup untuk membekukan semangat berbelanja mereka.

Pak Oenardi memberi kami kesempatan untuk berkeliling. Beliau merasa, mumpung lagi di sini, kami harus shopping barang-barang branded dengan harga murah, sebelum kami pulang ke tanah Air. Ya, empat hari lagi kami pulang, dan satu-satunya kesempatan berkunjung ke Park City adalah sekarang ini. Maka, "manfaatkanlah sebaik-baiknya", begitu pesan Pak Oenardi.
    
Tapi dasar saya. Terlanjur tidak terlalu tergiur dengan barang branded. Biasa-biasa saja. Tawar-tawar saja. Jadi saya dingin-dingin saja melihat-lihat ratusan  produk itu. Jam tangan, tas, sepatu, T-shirt, celana panjang, kosmetik, apa pun. Saya sudah punya beberapa jam tangan, setumpuk tas sampai bingung menyimpannya, berpasang-pasang sepatu, setumpuk baju, beberapa kotak aksesoris. Jadi, sepertinya saya sudah punya semuanya. Lebih dari cukup. Selera belanja saya sore ini pun membeku, persis seperti tumpukan salju di atas barisan pegunungan di atas sana.

Namun sebuah jam tangan berwarna hijau, cantik sekali, sempat menggoda saya. Harganya juga tidak terlalu mahal, tidak lebih dari USD 100. Jadi ingat tas hijau saya. Wah, kalau saya pakai jam tangan ini dipadu dengan tas hijau saya, pasti cakep sekali. Tapi ternyata hanya sampai di situ saja. Setelah itu saya sudah lupa dan melihat-lihat produk lain dengan perasaan yang sama. Tawar. He he.

Saya coba berkomunikasi dengan Mas Ayik dan Arga, apakah mereka menginginkan sesuatu, mumpung saya sedang ada di kawasan FO barang-barang branded. Mas Ayik bilang tidak memerlukan apa-apa, dan Arga bilang, "aku perlu lensa kamera". Lensa kamera, tentu tidak harus saya yang membeli, tapi biar Arga sendiri, daripada nanti saya salah beli.

Begitu keluar dari toko bersama Dik Lusia dan Dik Asto, saya berteriak. 
"Yes!" 
"Apa, Mbak?" Tanya Dik Asto dan Dik Lusi hampir serempak.
"Saya terbebas dari godaan syaiton,"
"Ha ha. Betul. Tidak tergoda untuk membeli apa pun,"
"What is the brand mean?" Tanya Dik Asto seperti untuk dirinya sendiri.
"It means nothing." Jawab saya cepat. Dan juga tepat. Saya selama ini memang tidak pernah tergoda pada barang-barang branded. Sekedar untuk tahu, ya. Tapi tergoda, tidak terlalu. Saya punya beberapa barang branded, tapi saya membelinya sama sekali bukan karena 'branded'-nya. Tapi memang saya lagi butuh, barangnya nyaman, dan harganya rasional. 

"Itu salah satu ciri masyarakat hedon." Tambah saya. "Tergila-gila pada barang branded. Seringkali bukan karena kebutuhan, tapi sekadar menuruti keinginan, sekadar untuk prestise dan gengsi."
"Yes." Kata Dik Asto."
"So?"
"Makan itu branded." 
Kami tertawa bersama. Mentertawakan diri kami masing-masing. 

Senja jatuh sempurna dan udara semakin dingin. Tubuh seperti beku rasanya. Kami memasuki mobil dengan barang-barang belanjaan kami. Dik Asto dengan sepasang jam tangan, dik Lusia dengan beberapa jam tangan dan beberapa tas, Stefani entah membawa apa, dan saya tetap dengan tas yang saya bawa sejak berangkat tadi.

Setidaknya, saya sudah melihat Park City dan tahu sepintas seperti apa tempat itu. Kalau pun saya tidak membawa barang sebagai oleh-oleh, setidaknya tulisan inilah oleh-oleh itu. Murah meriah, dan siapa pun yang mau, tinggal ambil saja.

Park City, Utah, Sabtu, 14 November 2015.

Selasa, 29 Desember 2015

Go To America (9): Tersesat di Kuburan

Malam ini, sekitar pukul 19.00, kami keluar dari kantor Kevin, di Education Building. Kevin bekerja di lantai dua, di Active Learning Lab, sebagai tenaga pengolah data proyek penelitian yang diketuai oleh salah satu profesornya. Mahasiswa graduate biasa kerja magang semacam itu dan seringkali pekerjaan mereka tidak ada hubungannya dengan tesis yang akan atau sedang mereka kerjakan. Tapi pengalaman membantu proyek-proyek penelitian semacam itu menjadi pengalaman berharga bagi mereka, selain-tentu saja-keuntungan lumayan dari sisi finansial.

Kunjungan kami ke kantor Kevin hanya sekadar untuk memenuhi rasa ingin tahu kami saja, seperti apa tempat Kevin bekerja dan apa yang dikerjakannya. Sejak pukul 17.30 tadi, kami main badminton di Sport Center. Selesai sekitar pukul 19.00. Lantas kami menerima ajakan Kevin untuk mampir ke kantornya. 

Di tempat itulah Kevin menghabiskan waktunya hampir setiap hari, seringkali bahkan sampai Sabtu dan Minggu, dan bekerja dengan ribuan data. Di sela-sela kesibukannya, Kevin yang S1-nya lulusan Psychology dan saat ini sedang mengambil Master of Instructional Technology, mengerjakan tesisnya. Dia mengembangkan program pembelajaran dengan menggunakan game-based learning untuk siswa K-2 sampai K-18. Saat kami berada di kantornya, dia sempat menjelaskan dan menunjukkan data apa yang sedang dikerjakannya bersama empat temannya yang lain. Kevin juga menunjukkan pada kami seperti apa media game-based learning yang sedang dia kerjakan untuk tesisnya.

Pada dasarnya, Kevin pendiam. Bicara seperlunya. Tapi dia sosok yang menyenangkan dan enak diajak ngobrol untuk hal-hal yang menjadi minatnya. Kevin selain betah bekerja nonstop berjam-jam di kantor, dia juga menyukai aktivitas outdoor. Hiking menjadi salah satu kegemarannya. Begitu juga bersepeda dan olah raga yang lain.

Udara dingin sekali begitu saya dan Pak Asto keluar dari Education Building. Saya mengenakan semua atribut, kerpus penutup kepala, kaus tangan, dan masker penutup hidung. Beberapa hari ini suhu di bawah nol derajat, terutama saat pagi dan sore sampai pagi lagi. Udara dingin seperti tak tertahankan kalau kami sudah berada di luar ruangan. Apa lagi saat kami naik sepeda. Gigi sampai gemeretak dan tubuh menggigil. Angin yang menerpa-nerpa wajah sepeti mau membekukan apa pun yang diterpanya.

"Dik, jangan ambil jalan yang harus nanjak ya?" Pinta saya ke Dik Asto.
"Kalau gitu lewat kuburan saja ya, Mbak?"
"Oke." 

Sore dua hari sebelumnya, kami sudah pernah melewati Logan Cemetery di sore hari selepas maghrib. Ternyata kuburan itu tidak terlalu menakutkan meski saya tidak mau berada di belakang Pak Asto. Bagaimana pun, meski Logan Cemetery ini bersih dan sangat terawat, tapi dia tetap saja kuburan. Dan malam-malam melintasi kuburan tentu membuat kami berpikir dua kali. Apa lagi Dik Asto sempat bercanda: "Paling-paling ketemu drakula, Mbak. Di sini hantunya kan keren-keren. Tidak ada kuntilanak dan sundel bolong."

Tapi kami berdua, saya dan Pak Asto, tetap saja masuk ke lokasi kuburan itu. Hari sudah gelap sekali dan kami berpikiran positif saja bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi begitu kami masuk ke kompleks kuburan, kami baru sadar kalau ternyata tidak ada lampu sama-sekali di dalam kompleks kuburan yang luas sekali itu. Wow, ada perasaan sedikit merinding juga. Angin malam yang dingin semakin terasa dingin menerpa sekujur tubuh saya meski saya sudah mengenakan baju empat lapis, kerpus dan kaus tangan. Lampu-lampu kecil yang berkelip-kelip di beberapa kuburan justeru seperi mata-mata ghaib yang sedang mengamati gerak-gerik kami. 

"Wah, ternyata tidak ada lampunya Mbak."
"Iya ya." Jawab saya. Sempat terpikir mau mengajak Dik Asto balik kucing saja, dan mengambil jalan di luar kompleks kuburan. Namun tanggung. Kami sudah terlalu masuk ke dalam dan ternyata semakin gelap, sampai jalan mana yang seharusnya kami lalui kami tidak bisa temukan. Keblasuk. Sudah begitu, tiba-tiba sepeda Dik Asto bermasalah, operannya tidak berfungsi dan sepeda tidak bisa dikayuh. Spontan ayat kursi dan shalawat terus meluncur dalam hati saya. Puluhan kali kami bersepeda dan berkali-kali harus menempuh jalan menanjak, sepeda tidak pernah bermasalah. Ini, di jalan yang relatif rata, tiba-tiba operan dol. Di tengah kuburan yang gelap gulita dan kami sedang sibuk mencari jalan. 

"Sudah, Mbak. Kita balik aja. Sampai notok di sana itu, Mbak, jalan yang terang itu, terus kita ikuti saja jalan." Kata Dik Asto. Sepertinya memang tidak ada pilihan. Maka kami pun berbalik arah. Saya mengayuh sepeda pelan-pelan karena harus mengimbangi Dik Asto yang sepedanya tidak bisa dikayuh. Tiba-tiba, saat ada lampu mobil dari jalan raya sepintas melintas, jalan terlihat. 

"Nah, ini dia jalannya Mbak." 
Saya pun mengikuti Dik Asto, tapi setelah itu kami tidak bisa melihat jalan lagi karena sorot lampu mobil tadi benar-benar hanya selintas. Namun tempat parkir Aggie VIllage, apartemen kami, sudah nampak dari kejauhan, dan dengan pedoman itulah kami mengira-ngira jalan. Sempat juga kami nyaris berbelok, karena kami pikir itu adalah jalan, ternyata ada pohon besar berdiri tegak di tengahnya. 

Setelah beberapa saat, akhirnya kami tiba di ujung kuburan, persis di seberang tempat parkir. Oh, leganya. Seperti terlepas dari jebakan siluman (memangnya pernah masuk jebakan siluman? He he). Keringat dingin yang membuat bulu kuduk merinding tadi seketika terasa segar. 

Dalam hati saya berjanji, tidak akan mengulangi lagi pengalaman malam ini, melwati Logan Cemetery di malam hari. No. Never. Emoh pokoknya. Kapok.

  
Logan, Utah, Sabtu, 7 November 2015. 

Sabtu, 26 Desember 2015

Go To America (8): Halloween

31 Oktober 2015. Halloween day. Udara cerah, matahari bersinar cerah, meski gumpalan awan menggantung di langit. Menyentuh bukit-bukit dan pegunungan yang tertutup salju.

Saya menggeliat, meluruskan punggung. Beberapa hari berkutat dengan laptop membuat badan saya benar-benar lelah. Dan bosan. Tagihan tugas tiap minggu membuat saya bekerja seperti mahasiswa doktoral yang sedang dikejar deadline submit progres disertasi. Untungnya, semangat saya terus terjaga. Hanya kadang-kadang kelelahan membuat saya merasa sangat jenuh.

Saya menjatuhkan tubuh saya ke tempat tidur. Mencoba tidur. Berhasil. Mungkin sekitar lima sampai tujuh menit. Lumayan. Maunya sebenarnya bisa tidur agak lama. Mumpung hari Sabtu, dan besoknya Minggu. Agak santai. Tapi mata sudah tidak terasa mengantuk lagi.

"Dik, apa acara hari ini?" Tanya saya pada Dik Lusia yang baru saja selesai makan pagi. Dia tidak tidur semalaman, mengerjakan tugasnya, dan baru tidur selepas shubuh. Pukul 12-an bangun, dan sekarang baru makan pagi.

"Nggak ada, Bu. Kenapa, Bu?"
"Aku lagi bosen nih, butuh refreshing."
"Mau jalan tah, Bu? Ayo kalau mau jalan."
"Ok, setelah salat dhuhur."

Dhuhur di sini, saat ini, pukul 13.11. Saya katakan saat ini karena waktu akan berubah setelah hari ini. Semua akan maju sekitar satu jam. Dan selisih waktu antara Logan dan Surabaya yang awalnya 13 jam, akan berubah menjadi 14 jam.

Kami bersiap. Salat, dan mengenakan pakaian yang 'layak'. Layak dalam arti untuk menahan dinginnya udara di luar. Melihat salju sudah mulai turun dan menutupi ujung deretan Rocky Mountain di depan apartemen kami, kemungkinan cuaca di luar sangat dingin. Teringat pengalaman dua hari yang lalu, waktu kami ke Hystoric Distric di Downtown, suhunya 2 derajat Celcius, dan tubuh saya seperti beku, padahal sudah mengenakan baju tiga lapis. Sesampainya di rumah, saya masuk angin dan harus 'blonyohan' minyak kayu putih dan tetap mengenakan baju tiga lapis, lengkap dengan celana panjang dan kaus kaki. Saya tidak mau pengalaman kemarin terulang lagi, dan oleh sebab itu, hari ini saya mengenakan baju tiga lapis dan sweater tebal.

Tapi ternyata udara cerah dan suhu terasa sejuk saja, tidak dingin. Ternyata memang temperatur di android menunjukkan suhu 12 derajat Celcius. Tapi jangan bersorak dulu, karena semakin siang dan semakin sore, suhu semakin turun.

Kami naik bus CVTD, bus Kota Logan yang ke mana pun tujuannya, free of charge alias gratis. Begitu melompat ke dalam bus, kami disambut dengan sapa drivernya yang ramah. "Hello, how are you? Happy Halloween."

Di sepanjang jalan, saya sibuk menikmati pemandangan yang menarik. Bukan hanya karena pohon-pohon yang daunnya berwarna-warni itu, kuning, merah, hijau, oranye, pink. Tapi juga karena hiasan dan ornamen-ornamen yang terpasang di teras dan halaman rumah. Labu kuning dengan berbagai ukuran, ada yang polos, ada yang dihias dengan berbagai bentuk. Peri, vampir, setan, pocong, penyihir, dan segala macam bentuk makhluk dunia lain itu, memenuhi teras, halaman, bahkan menggantung di pohon-pohon. Ya, ini hari di mana para keluarga dan orang-orang sedang berpesta-pora untuk para mahkluk ghaib itu. Di dalam bus, kami bertemu dengan kurcaci, drakula, buaya, serigala, dan badut-badut, juga para pemusik dengan baju-baju hitam dan dandanan wajah seram. Saya mengamati saja suasananya dan bersyukur karena bisa melihat halloween yang sudah sering saya dengar ceritanya. Meski, tentu saja, saya tidak bisa memahami mengapa mereka merayakannya.

Jangankan saya, sesama komunitas Nasrani saja juga masih ada perbedaan pendapat tentang Halloween. Sebagian dari mereka menganggap merayakan Halloween sesungguhnya dilarang oleh Alkitab. Tidak seharusnya orang berpakaian menyerupai roh-roh jahat untuk menipu roh-roh itu supaya mereka tidak mengganggu. Seharusnya manusia melawan roh-roh jahat itu, bukan malah berpesta untuk mereka.  

Kami turun di 1400 North dan berjalan menuju Cache Valley Mall. Mall di Logan ini jangan bayangkan seperti mall di Surabaya. Bahkan dengan Giant saja kalah jauh besar dan mewahnya. Apa lagi dibandingkan dengan Tunjungan Plaza, Royal Plaza, PTC. Jauh. 

Kami tidak sedang bermaksud membeli sesuatu. Kami hanya ingin window shopping saja. Ngumbah moto. Eyes washing, bahasa canda saya sama Dik Lusi. Melemaskan kaki dan mencari suasana lain.

Dan suasana lain itu benar-benar kami dapatkan. Mall dipenuhi dengan beragam makhluk dari dunia lain. Juga berbagai makhluk dari kebun binatang. Tua muda besar kecil, semua mengenakan kostum dan berdandan dengan dandanan yang aneh-aneh. Ada juga yang menutupi wajah dan kepalanya dengan topeng-topeng. Dandanan para pramuniaga pun sama. Mereka membawa keranjang dan membagi-bagikan permen pada anak-anak kecil yang juga membawa keranjang warna-warni berbentuk labu.

Labu Halloween, menurut sebuah pendapat, bermula dari kebiasaan di Inggris. Pada abad pertengahan, pengemis mengunjungi rumah-rumah untuk meminta makanan sebagai imbalan karena mereka sudah mendoakan orang mati, dan mereka biasanya membawa lobak ungu yang dilubangi dan diisi lilin yang melambangkan jiwa yang terperangkap dalam api penyucian. Pendapat  lain mengatakan bahwa lentera lobak itu digunakan untuk mengusir roh-roh jahat. Selanjutnya, selama tahun 1800-an di Amerika Utara, lobak ungu diganti dengan labu karena labu mudah didapat dan gampang dilubangi dan dibentuk. Kepercayaan-kepercayaan di balik kebiasaan ini sebenarnya--menurut sebagian pendapat--t idak sejalan dengan Alkitab.

Begitulah. Apa pun, saat ini, pesta Halloween sedang berlangsung di mana-mana, dan kami menikmati saja suasananya, sekadar untuk tambahan pengalaman. Tidak perlu ikut-kutan membeli banyak permen dan menyiapkannya untuk anak-anak kecil itu. 

Tetapi keputusan kami untuk tidak membeli permen itu ternyata tidak sepenuhnya benar. Malamnya, seseorang mengetuk pintu apartemen saat kami sedang makan malam. Pak Asto yang membuka pintu. Seorang anak kecil, sepertinya keturunan India atau Bangladesh, mengulurkan keranjang permennya. Dan dengan berat hati, Pak Asto bilang: "Sorry, we don't have any candy..." Maka anak kecil itu pun berlalu dengan kecewa.

Wah, saya menyesal juga kenapa tidak menyediakan permen. Beberapa hari yang lalu, Pak Oenardi sudah mengingatkan, kalau kami tidak ingin didatangi anak-anak, maka lampu rumah kami harus dimatikan pada malam hari Halloween. Tapi kami pikir, kami ada di lantai dua, tentu tidak akan ada orang datang mengetuk pintu kami. Lagi pula, kami sedang makan malam, bagaimana mungkin tanpa lampu.

Beberapa saat setelah Pak Asto kembali ke apartemennya di sebelah apartemen kami, tiba-tiba pintu diketuk lagi. Saya ingat punya snack di kulkas. Snack itu dulu dari Selly, Direktur USU Global Engagement, saat dia menjemput kami di Salt Lake City. Maka dengan yakin, saya membuka pintu.

"Hello..." Sapa saya. Dua orang wanita cantik berdandan ala peri dan tiga orang anak kecil berdandan ala badut dan entah ala apa, dengan topi panjang dan terompet. 
"Sorry, we don't have any candy, but we have some snacks. Is it okay?"
"Oh okay, it's okay."
Saya memasukkan snack ke keranjang-keranjang yang terulur, dan mereka nampak senang sekali.
"Thank you very much."
"You are welcome."
"You are so nice." Kata si ibu peri berbusana merah.
"Thank you."

Mereka melambaikan tangan dan menuruni tangga. Saya menutup pintu, dan seketika juga mematikan lampu-lampu. Cukup lampu toilet saja untuk menerangi semuanya. Khawatir ada yang mengetuk pintu lagi. Bukan karena kami pelit. Tapi memang kami tidak menyiapkan permen dan kue-kue, karena tidak menyangka apartemen kami akan didatangi. Selain itu, tentu saja sangat tidak beralasan kalau kami jadi ikut-ikutan Halloween-an. 

Malam semakin larut dan saya harus memaksakan diri untuk tidur. Tidak enak kalau saya tidak tidur. Bisa mengganggu para makhluk ghaib yang sedang berpesta-pora. Saya juga takut mereka akan mengajak saya bergabung. Saya mematikan lampu neon dan menggantinya dengan lampu kecil. Alunan ayat Al Quran yang saya ambil dari you tube mengalun mengantarkan saya ke alam mimpi.


Aggie Village Apt., Logan, Utah, USA, 31 Oktober 2015.    

Senin, 21 Desember 2015

Go To America (7): Oenardi Lawanto, TA dan SRL

Salah satu yang membuat kami memilih USU untuk mengambil short-term program adalah karena Bapak Oenardi Lawanto. Orang asli Indonesia keturunan China itu sudah sejak tahun 2000-an menjadi tenaga pengajar di perguruan tinggi di Amerika. Pertama di University of Illinois dan sejak 2008 pindah ke USU.

Sebelum menjadi pengajar di Amerika, Pak Oenardi sempat mengajar di Universitas Surabaya (Ubaya). Kepakarannya dalam bidang Electrical Engineering, kemudian mendalami  Engineering Education sampai saat ini. 

Perkenalan kami dengan Pak Oenardi sudah lumayan lama, sejak saya masih bertugas sebagai Kaprodi S2 Pendidikan Teknologi Kejuruan (PTK) Pasca Sarjana Unesa (tahun 2010). Beberapa kali kami mengundangnya sebagai dosen tamu di S2 PTK maupun di Fakultas Teknik (FT)). Beberapa bulan yang lalu, kami juga baru saja mengundang beliau untuk menjadi dosen tamu di PPPG. Saat itu beliau membawakan topik yang menarik dan bermanfaat bagi para mahasiswa PPG yang notabene adalah calon guru, yaitu self-regulated learning.

Beberapa risetnya terkait dengan metakognitif, task interpretation, dan self-regulated learning, menarik minat kami--saya dan Pak Asto. Kebetulan kami mempunyai proyek penelitian Hibah Pascasarjana, selama tiga tahun berturut-turut, yang menggarap pengembangan perangkat pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan metakognisi pada pendidikan vokasi. Pada penelitian ini, sekitar enam mahasiswa S2 kami libatkan setiap tahunnya, sekaligus untuk membantu percepatan penulisan tesis mereka. Dalam rangka melaksanakan penelitian ini juga, beberapa kali kami berdiskusi dengan Pak Oenardi dan beliau membantu kami dengan artikel-artikel terkait dengan topik TIK, metakognisi, dan pendidikan vokasi. Meski beliau berada di Amerika, komunikasi kami relatif lancar karena Pak Oenardi selalu membalas email kami.  

Kesan saya tentang Pak Onardi sangatlah mendalam. Beliau seorang yang sangat-sangat bersahabat dan peduli. Tidak hanya beliau, tetapi juga keluarganya, Ibu Nanik, istrinya, Kevin serta Stefani, sepasang anaknya.

Selama kami di Logan, hampir setiap akhir pekan kami diundang makan di rumahnya yang nyaman. Menunya berganti-ganti, kebanyakan menu Indonesia, gado-gado, nasi pecel, dan makanan khas Tanah Air yang lain. Pernah juga dengan menu tunggal, yaitu pizza. Menurut Pak Oenardi, pizza itu bukan sembarang pizza, tapi pizza istimewa. Tentu saja kami dipesankan yang tanpa daging dan ayam, karena kami harus hati-hati mengonsumsi apa pun bahan makanan dari daging dan ayam, mengingat mungkin kedua produk itu tidak disembelih dan ditangani dengan tata cara Muslim.

Selama di Utah ini, kami memang sangat hati-hati memilih makanan. Berdasarkan hasil penelusuran kami di internet, tidak ada satu pun restoran muslim di Logan. Dari  informasi  Canadian Halal Food, pada daftar berbagai jenis makanan atau bahan makanan yang dijual di swalayan, bahkan tidak semua roti, coklat, coconut milk, dan produk lain, yang dinyatakan halal. Jadi untuk membeli roti tawar saja kami musti mengecek kehalalannya dengan melihat Canadian Halal Food tersebut atau mencermati labelnya.

Label 'halal' nyaris tidak pernah kami lihat di kemasan makanan. Sebaliknya, label 'kosher' banyak kami temukan. Kosher adalah 'halal' menurut Yahudi. Tentu saja tidak sama persis pengertiannya dengan halal menurut Islam. Meski pada kenyataannya, memang ada hal yang sama antara keduanya. Misalnya, kosher tidak menghendaki adanya unsur babi dalam makanan dan minuman. Selain itu hewan (sapi, kambing, domba, dll) harus disembelih dengan menggunakan pisau tajam dan tidak boleh dimatikan dengan cara dipukul, dipelintir, atau diterkam binatang buas. Bagi penganut Islam, hewan tidak hanya harus disembelih dengan pisau yang tajam, namun juga harus dengan nama Allah. Contoh makanan dan minuman yang masuk dalam kategori kosher tetapi tidak halal adalah minuman anggur (wine). Juga semua jenis gelatin (tanpa memandang terbuat dari tulang atau kulit hewan apa) dan semua jenis keju (tanpa melihat cara dan proses pembuatannya).

Kembali ke cerita tentang Pak Oenardi. Setiap mengundang makan ke rumahnya, tidak hanya kami yang diundang, tapi juga teman-teman Indonesia yang lain. Yang hampir selalu hadir adalah Andreas dan istrinya. Andreas adalah mahasiswa bimbingan Pak Oenardi. Juga Silvia, mahasiswi asal Sumba Barat itu. Reyla dan suaminya, Ryan, juga pernah diundang. 

Yang luar biasa bagi saya, Pak Oenardi telaten menjemput dan mengantar kami dari dan kembali ke apartemen. Kami-- tidak hanya kami bertiga-- termasuk Andreas dan Firda, juga Silvia, dijemputnya satu per satu dan diantarkannya lagi ke apartemen kami masing-masing. Karena mobil Pak Oenardi adalah mobil sedan kecil, tak jarang beliau harus 'ngimbal', bolak-balik dua kali. Ya, pria 53 tahun itu begitu egaliter. Beliau adalah supervisor saya di sini, dan juga dosen pengajar sekaligus dosen pembimbing Andreas, namun di antara kami seperti tidak ada sekat. Meski saat diskusi masalah akademik kami bisa sangat serius, bahkan di beberapa kali saat diskusi, saya sering 'dipepetkan pada tembok', begitu istilah Pak Oenardi, tapi di luar itu kami adalah teman. Di setiap acara barbecue bersama  teman-teman Indonesia di Utah, Pak Oenardi dan Bu Nanik juga selalu hadir, dan bercengkerama bersama kami semua, lepas dan akrab.

Di luar itu, Pak Oenardi adalah akademisi yang sangat tekun. Beliau bekerja mulai pagi pukul 08.00 sampai sore sekitar pukul 18.00. Kalau tidak mengajar di kelas dan di lab, beliau berkutat di kantornya yang nyaman, bergelut dengan komputer dan tumpukan referensi, atau melayani konsultasi mahasiswanya. 

Saya dan Pak Asto mengikuti kuliah (sit-in) Pak Oenardi setiap hari kamis, mulai pukul 13.00-16.30. Nama mata kuliahnya adalah Philosophy of Engineering Education. Ada delapan mahasiswa Ph.D di kelas itu. Mereka dari Jordan, China, Honduras, Indonesia, dan Amerika. 

Selain mengikuti sit-in, kami terjadwal bertemu minimal dua kali seminggu di ruang Pak Oenardi. Tugas kami setidaknya ada tiga: menyusun artikel sintesis, perangkat pembelajaran, dan proposal collaborative research. Di luar itu, kami harus membaca puluhan artikel dan membuat anotasinya. 

Semua aktivitas akademik kami bermuara pada dua topik, task analysis (TA) dan self-regulated learning (SRL). Bicara tentang TA dan SRL, mau tidak mau harus membahas konsep-konsep lain yang berhubungan, seperti kognitif, metakognitif, learning strategis, academic task, dan sebagainya, Dua topik itulah yang menjadi concern riset Pak Oenardi beberapa tahun terakhir, dan mendorong kami untuk mempelajarinya dengan Pak Oenardi sebagai mentor kami. Berharap apa yang kami pelajari nanti bisa kami desiminasikan di Unesa, baik di level S1maupun S2.      

Jadilah kami setiap hari berkutat dengan laptop dan puluhan artikel. Bekerja dari pagi sampai malam, diselingi dengan ngobrol melepas rindu pada keluarga di Tanah Air via WA atau skype. Sesekali kami selingi juga dengan bersepeda ke mall, berolah raga ke sport center universitas, dan barbecue bersama teman-teman. Kami juga mencari kesempatan mengunjungi berbagai laboratorium dalam bidang vokasi. Juga menggali informasi tentang sistem rekrutmen dan pembinaan guru di Utah. Pak Oenardi menghubungkan kami dengan orang-orang kunci dalam dua bidang tersebut. Mereka benar-benar memenuhi keingintahuan kami dengan sepenuh hati. Terus-terang saya kagum dengan cara mereka melayani kami. Dari satu lab ke lab lain, mereka menjelaskan apa saja, memberi kami kesempatan untuk berdialog dengan para laboran, dan memberi kami bahan-bahan yang sungguh memperkaya wawasan. Tanpa imbalan apa pun, tapi  ketulusan orang-orang Amerika itu betapa terasa sampai di hati.  

Setiap kali berdiskusi dengan Pak Oenardi di ruangannya, saya dan Pak Asto harus sudah melaporkan progress pekerjaan sebelumya, karena itulah yang akan menjadi bahan diskusi. Itu pun, Pak Oenardi menjamin, semua tugas kami tidak akan selesai sampai masa tugas kami yang hanya enam minggu. Setiap berdiskusi, diskusi kami bisa sangat seru, dan saya begitu merasa menikmati dan tertantang. Apa lagi kalau beliau sudah bilang: "Saya akan membenturkan Bu Luthfi ke tembok, sampai Bu Luthfi tidak bisa bergerak," saya semakin tertantang dan lantas berusaha lagi melengkapi diri saya dengan amunisi penuh supaya saya tetap bisa bergerak saat dibenturkan Pak Oenardi ke tembok. 

Berada di Logan yang hanya sekitar enam minggu telah memberikan banyak pengalaman dan tambahan pengetahuan untuk kami. Tidak hanya tambahan wawasan pengalaman akademik, namun juga nonakademik. Tantangan kami sepulang dari Utah adalah bagaimana kami tetap mengembangkan apa yang sudah kami pelajari di sini, dan bagaimana mendesiminasikannya. Hal inilah yang membuat kami harus terus menjaga kontak dengan Pak Oenardi meski kami sudah pulang ke Tanah Air nanti.

Logan, Utah, USA, Selasa, 20 Oktober 2015