Pages

Kamis, 07 Januari 2016

Go To America (10): Park City

Suhu dingin sekali pagi ini. Sebenarnya udara dingin itu sudah saya rasakan sejak semalam. Saya sempat terbangun di tengah malam dalam keadaan tubuh menggigil karena kedinginan.

Tapi cuaca hari ini tentu saja tak akan mengurungkan niat kami untuk mengunjungi Park City. Rencana melancong ke Park City itu seharusnya sudah terlaksana seminggu yang lalu. Namun karena pada saat itu Pak Oenardi tidak enak badan--sementara kami perginya bergantung pada Pak Oenardi--jadilah acara itu baru bisa terlaksana hari ini. 

Pak Oenardi, seperti biasa, menjemput kami dari apartemen kami. Dibawanya kami singgah ke rumah beliau dulu. Bu Oenardi sudah menyiapkan nasi pecel untuk makan siang kami semua. Nasi pecelnya 'Madiun banget', karena sambalnya dari Madiun, begitu juga dengan lempeng atau kerupuk pulinya. Benar-benar hidangan yang lezat, seperti biasa. 

Bu Oenardi memang jago memasak. Masakan apa saja beliau bisa membuat. Kadang-kadang hanya dengan sentuhan kecilnya, makanan biasa jadi istimewa. Apel dipotong-potong, ditusuk seperti sate, dicelup coklat leleh dan butiran kacang. Biscuit asin diberi topping selai dan irisan keju, kadang ditambah irisan strawberry, jadi jauh lebih cantik dan lezat. Pokoknya bu Oenardi bisa mengkreasikan makanan apa saja sehingga makanan menjadi jauh lebih mewah dan enak.

Setelah makan siang dan salat dhuhur, kami berangkat. Pak Oenardi memegang kemudi, Bu Oenardi di sebelahnya. Kami bertiga di jok tengah, Kevin dan Stefani di jok belakang. Mobil besar yang disewa Pak Oenardi cukup leluasa bagi kami untuk duduk dengan nyaman.

Tidak seperti kita--pada umumnya keluarga Indonesia kalau pergi pesiar--mobil kita biasanya penuh dengan cemilan, minuman, bahkan makanan lengkap, untuk bekal selama perjalanan. Bepergian di Logan tidaklah seribet itu. Dua kali kami melakukan perjalanan keluar kota--pertama dengan Amanda--tidak ada bekal makanan apa pun yang disiapkan oleh orang yang mengajak kami. Sepanjang perjalanan tidak ada ngemil-ngemil. Saat kami ngemil dan kami menawari Amanda, dia menolak dan selalu bilang : "I'm okay." Dan sekarang, Bu Oenardi juga tidak menyiapkan cemilan apa pun. Saya jadi sungkan sendiri mau mengeluarkan chips yang sudah kami bawa. Ternyata seperti inilah rekreasi di sini. Tidak perlu ribet menyiapkan bekal makanan. Kalau Anda lapar atau haus, Anda tinggal singgah di kedai-kedai atau di restoran yang ada di beberapa titik di sepanjang perjalanan. Makan malam kami nanti pun, oleh Pak Oenardi, sudah direncanakan di Restoran Thailand yang nanti akan kami lewati saat menempuh perjalanan pulang.

Salju menutupi sebagian bukit-bukit dan pepohonan di sepanjang jalan saat kami sudah menempuh perjalanan sekitar dua jam. Artinya, Park City sudah dekat. Udara lebih dingin, jauh lebih dingin, menyergap kami begitu kami turun di sebuah pelataran parkir yang luas. Tempat ini memang berada di ketinggian, sehingga suhunya lebih dingin dibanding di Logan tempat kami tinggal.

Dan inilah Park City itu. Sebuah kota di kawasan Summit County, Utah, USA. Merupakan bagian dari Wasatch Back. Berjarak 32 mil (51 km) sebelah tenggara Salt Lake City dan 19.88 mil (31.99 km) dari sisi timur Salt Lake City. 

Menurut catatan, Park City dahulu adalah kota pertambangan. Setelah area pertambangan berkurang, sekitar tahun 1980-an dan 1990-an, kota ini berekspansi dalam bisnis pariwisata. Belakangan ini, Park City rata-rata per tahunnya memberi sumbangan terhadap ekonomi Utah sebesar $529,800,000 sebagai tempat wisata, dan $80,000,000 dari Sundance Film Festival. Kota ini memiliki dua resort ski utama: Deer Valley Resort dan Park City Mountain Resort. Kedua resort ski tersebut merupakan lokasi utama dalam event ski dan snowboarding pada Winter Olympics tahun 2002. 

Park City juga menjadi lokasi utama festival film terbesar di US, Sundance Film Festival, menjadi tuan rumah bagi  United States Ski Team, sebagai pusat pelatihan bagi anggota  Australian Freestyle Ski Team, dan juga memiliki koleksi terbesar toko-toko factory outlet (FO). 

Nah, di kawasan FO inilah kami sekarang berada. Kay, Under Armour, Polo, Adidas, Nike, Fossil, Guess, Ralph Lauren, Tommy Hilgiger, Calvin Klein, dan lain-lain berderet dari pangkal sampai ujung. Kalau mau menjelajah semuanya, sepertinya kita harus menyediakan waktu dan energi ekstra.

Tempat seluas dan sepanjang itu, ramai dengan para pelancong dari berbagai negara. Hampir semua mereka mengenakan baju hangat tebal-tebal karena udara dingin begitu menusuk. Meski begitu, udara dingin itu tak cukup untuk membekukan semangat berbelanja mereka.

Pak Oenardi memberi kami kesempatan untuk berkeliling. Beliau merasa, mumpung lagi di sini, kami harus shopping barang-barang branded dengan harga murah, sebelum kami pulang ke tanah Air. Ya, empat hari lagi kami pulang, dan satu-satunya kesempatan berkunjung ke Park City adalah sekarang ini. Maka, "manfaatkanlah sebaik-baiknya", begitu pesan Pak Oenardi.
    
Tapi dasar saya. Terlanjur tidak terlalu tergiur dengan barang branded. Biasa-biasa saja. Tawar-tawar saja. Jadi saya dingin-dingin saja melihat-lihat ratusan  produk itu. Jam tangan, tas, sepatu, T-shirt, celana panjang, kosmetik, apa pun. Saya sudah punya beberapa jam tangan, setumpuk tas sampai bingung menyimpannya, berpasang-pasang sepatu, setumpuk baju, beberapa kotak aksesoris. Jadi, sepertinya saya sudah punya semuanya. Lebih dari cukup. Selera belanja saya sore ini pun membeku, persis seperti tumpukan salju di atas barisan pegunungan di atas sana.

Namun sebuah jam tangan berwarna hijau, cantik sekali, sempat menggoda saya. Harganya juga tidak terlalu mahal, tidak lebih dari USD 100. Jadi ingat tas hijau saya. Wah, kalau saya pakai jam tangan ini dipadu dengan tas hijau saya, pasti cakep sekali. Tapi ternyata hanya sampai di situ saja. Setelah itu saya sudah lupa dan melihat-lihat produk lain dengan perasaan yang sama. Tawar. He he.

Saya coba berkomunikasi dengan Mas Ayik dan Arga, apakah mereka menginginkan sesuatu, mumpung saya sedang ada di kawasan FO barang-barang branded. Mas Ayik bilang tidak memerlukan apa-apa, dan Arga bilang, "aku perlu lensa kamera". Lensa kamera, tentu tidak harus saya yang membeli, tapi biar Arga sendiri, daripada nanti saya salah beli.

Begitu keluar dari toko bersama Dik Lusia dan Dik Asto, saya berteriak. 
"Yes!" 
"Apa, Mbak?" Tanya Dik Asto dan Dik Lusi hampir serempak.
"Saya terbebas dari godaan syaiton,"
"Ha ha. Betul. Tidak tergoda untuk membeli apa pun,"
"What is the brand mean?" Tanya Dik Asto seperti untuk dirinya sendiri.
"It means nothing." Jawab saya cepat. Dan juga tepat. Saya selama ini memang tidak pernah tergoda pada barang-barang branded. Sekedar untuk tahu, ya. Tapi tergoda, tidak terlalu. Saya punya beberapa barang branded, tapi saya membelinya sama sekali bukan karena 'branded'-nya. Tapi memang saya lagi butuh, barangnya nyaman, dan harganya rasional. 

"Itu salah satu ciri masyarakat hedon." Tambah saya. "Tergila-gila pada barang branded. Seringkali bukan karena kebutuhan, tapi sekadar menuruti keinginan, sekadar untuk prestise dan gengsi."
"Yes." Kata Dik Asto."
"So?"
"Makan itu branded." 
Kami tertawa bersama. Mentertawakan diri kami masing-masing. 

Senja jatuh sempurna dan udara semakin dingin. Tubuh seperti beku rasanya. Kami memasuki mobil dengan barang-barang belanjaan kami. Dik Asto dengan sepasang jam tangan, dik Lusia dengan beberapa jam tangan dan beberapa tas, Stefani entah membawa apa, dan saya tetap dengan tas yang saya bawa sejak berangkat tadi.

Setidaknya, saya sudah melihat Park City dan tahu sepintas seperti apa tempat itu. Kalau pun saya tidak membawa barang sebagai oleh-oleh, setidaknya tulisan inilah oleh-oleh itu. Murah meriah, dan siapa pun yang mau, tinggal ambil saja.

Park City, Utah, Sabtu, 14 November 2015.

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...