Pages

Selasa, 29 Desember 2015

Go To America (9): Tersesat di Kuburan

Malam ini, sekitar pukul 19.00, kami keluar dari kantor Kevin, di Education Building. Kevin bekerja di lantai dua, di Active Learning Lab, sebagai tenaga pengolah data proyek penelitian yang diketuai oleh salah satu profesornya. Mahasiswa graduate biasa kerja magang semacam itu dan seringkali pekerjaan mereka tidak ada hubungannya dengan tesis yang akan atau sedang mereka kerjakan. Tapi pengalaman membantu proyek-proyek penelitian semacam itu menjadi pengalaman berharga bagi mereka, selain-tentu saja-keuntungan lumayan dari sisi finansial.

Kunjungan kami ke kantor Kevin hanya sekadar untuk memenuhi rasa ingin tahu kami saja, seperti apa tempat Kevin bekerja dan apa yang dikerjakannya. Sejak pukul 17.30 tadi, kami main badminton di Sport Center. Selesai sekitar pukul 19.00. Lantas kami menerima ajakan Kevin untuk mampir ke kantornya. 

Di tempat itulah Kevin menghabiskan waktunya hampir setiap hari, seringkali bahkan sampai Sabtu dan Minggu, dan bekerja dengan ribuan data. Di sela-sela kesibukannya, Kevin yang S1-nya lulusan Psychology dan saat ini sedang mengambil Master of Instructional Technology, mengerjakan tesisnya. Dia mengembangkan program pembelajaran dengan menggunakan game-based learning untuk siswa K-2 sampai K-18. Saat kami berada di kantornya, dia sempat menjelaskan dan menunjukkan data apa yang sedang dikerjakannya bersama empat temannya yang lain. Kevin juga menunjukkan pada kami seperti apa media game-based learning yang sedang dia kerjakan untuk tesisnya.

Pada dasarnya, Kevin pendiam. Bicara seperlunya. Tapi dia sosok yang menyenangkan dan enak diajak ngobrol untuk hal-hal yang menjadi minatnya. Kevin selain betah bekerja nonstop berjam-jam di kantor, dia juga menyukai aktivitas outdoor. Hiking menjadi salah satu kegemarannya. Begitu juga bersepeda dan olah raga yang lain.

Udara dingin sekali begitu saya dan Pak Asto keluar dari Education Building. Saya mengenakan semua atribut, kerpus penutup kepala, kaus tangan, dan masker penutup hidung. Beberapa hari ini suhu di bawah nol derajat, terutama saat pagi dan sore sampai pagi lagi. Udara dingin seperti tak tertahankan kalau kami sudah berada di luar ruangan. Apa lagi saat kami naik sepeda. Gigi sampai gemeretak dan tubuh menggigil. Angin yang menerpa-nerpa wajah sepeti mau membekukan apa pun yang diterpanya.

"Dik, jangan ambil jalan yang harus nanjak ya?" Pinta saya ke Dik Asto.
"Kalau gitu lewat kuburan saja ya, Mbak?"
"Oke." 

Sore dua hari sebelumnya, kami sudah pernah melewati Logan Cemetery di sore hari selepas maghrib. Ternyata kuburan itu tidak terlalu menakutkan meski saya tidak mau berada di belakang Pak Asto. Bagaimana pun, meski Logan Cemetery ini bersih dan sangat terawat, tapi dia tetap saja kuburan. Dan malam-malam melintasi kuburan tentu membuat kami berpikir dua kali. Apa lagi Dik Asto sempat bercanda: "Paling-paling ketemu drakula, Mbak. Di sini hantunya kan keren-keren. Tidak ada kuntilanak dan sundel bolong."

Tapi kami berdua, saya dan Pak Asto, tetap saja masuk ke lokasi kuburan itu. Hari sudah gelap sekali dan kami berpikiran positif saja bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi begitu kami masuk ke kompleks kuburan, kami baru sadar kalau ternyata tidak ada lampu sama-sekali di dalam kompleks kuburan yang luas sekali itu. Wow, ada perasaan sedikit merinding juga. Angin malam yang dingin semakin terasa dingin menerpa sekujur tubuh saya meski saya sudah mengenakan baju empat lapis, kerpus dan kaus tangan. Lampu-lampu kecil yang berkelip-kelip di beberapa kuburan justeru seperi mata-mata ghaib yang sedang mengamati gerak-gerik kami. 

"Wah, ternyata tidak ada lampunya Mbak."
"Iya ya." Jawab saya. Sempat terpikir mau mengajak Dik Asto balik kucing saja, dan mengambil jalan di luar kompleks kuburan. Namun tanggung. Kami sudah terlalu masuk ke dalam dan ternyata semakin gelap, sampai jalan mana yang seharusnya kami lalui kami tidak bisa temukan. Keblasuk. Sudah begitu, tiba-tiba sepeda Dik Asto bermasalah, operannya tidak berfungsi dan sepeda tidak bisa dikayuh. Spontan ayat kursi dan shalawat terus meluncur dalam hati saya. Puluhan kali kami bersepeda dan berkali-kali harus menempuh jalan menanjak, sepeda tidak pernah bermasalah. Ini, di jalan yang relatif rata, tiba-tiba operan dol. Di tengah kuburan yang gelap gulita dan kami sedang sibuk mencari jalan. 

"Sudah, Mbak. Kita balik aja. Sampai notok di sana itu, Mbak, jalan yang terang itu, terus kita ikuti saja jalan." Kata Dik Asto. Sepertinya memang tidak ada pilihan. Maka kami pun berbalik arah. Saya mengayuh sepeda pelan-pelan karena harus mengimbangi Dik Asto yang sepedanya tidak bisa dikayuh. Tiba-tiba, saat ada lampu mobil dari jalan raya sepintas melintas, jalan terlihat. 

"Nah, ini dia jalannya Mbak." 
Saya pun mengikuti Dik Asto, tapi setelah itu kami tidak bisa melihat jalan lagi karena sorot lampu mobil tadi benar-benar hanya selintas. Namun tempat parkir Aggie VIllage, apartemen kami, sudah nampak dari kejauhan, dan dengan pedoman itulah kami mengira-ngira jalan. Sempat juga kami nyaris berbelok, karena kami pikir itu adalah jalan, ternyata ada pohon besar berdiri tegak di tengahnya. 

Setelah beberapa saat, akhirnya kami tiba di ujung kuburan, persis di seberang tempat parkir. Oh, leganya. Seperti terlepas dari jebakan siluman (memangnya pernah masuk jebakan siluman? He he). Keringat dingin yang membuat bulu kuduk merinding tadi seketika terasa segar. 

Dalam hati saya berjanji, tidak akan mengulangi lagi pengalaman malam ini, melwati Logan Cemetery di malam hari. No. Never. Emoh pokoknya. Kapok.

  
Logan, Utah, Sabtu, 7 November 2015. 

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...