Pages

Selasa, 01 Desember 2015

Go To America (4): Andreas dan Firda

Sore yang dingin, pukul 18.30. Saya janjian sama Andreas dan Firda untuk pergi ke public laundry yang ada di kompleks apartemen kami. Kebetulan kami, meski tidak berdekatan, berada dalam satu kompleks apartemen, yaitu Aggie Village. Saya di 28 H, dan Andreas bersama Firda di 16 J.

Andreas dan Firda adalah pasangan muda. Andreas, S1 dan S2-nya lulusan UI, jurusan Ilmu Komputer, sedang mengambil Ph.D di USU, dalam bidang Engineering Education. Ini adalah tahun ketiga dia di USU. Firda, isterinya, baru menyusul sekitar sebulan ini. Sekitar dua bulan yang lalu mereka menikah. Firda juga lulusan UI, jurusan Manajemen Rumah Sakit.

Di mata saya, kedua orang muda itu begitu baik. Dalam kondisi apa pun, mereka seperti siap menolong siapa saja. Tempo hari mereka datang ke apartemen kami, setelah sehari sebelumnya bertemu di rumah Pak Oenardi,  tiga hari setelah kedatangan kami. Tujuan mereka tentu saja bersilaturahim, dan mengajak kami untuk barbecue bersama teman-teman Indonesia yang ada di Logan dan sekitarnya, pada hari Sabtu. 

Tentu saja kami menyambut ajakan Andreas dengan suka cita. Bertemu dengan banyak orang dan makan-makan, adalah dua di antara hobi saya. 

Sebelum saya turun tadi (apartemen saya ada di lantai 2), Firda sudah menelepon lewat WA.
"Bu, apa jadi mau ke laundry?"
"Ups, boleh, Firda. Tapi saya masih masak?" 
"Berapa lama lagi kira-kira, Bu?"
"Setengah jam?"
"Ehm....boleh. Kami tunggu di taman dekat playground."
"Oke. Thank you."

Kebetulan Bu Lusi, teman seapartemen, sedang di kamar, mungkin tidur. Saya segera berbenah. Menyiapkan makanan di meja makan. Mengambil baju-baju kotor saya yang sengaja saya tumpuk saja, tidak ada yang saya cuci kecuali underwear. Sudah saya niatkan untuk mencucinya di public laundry. Bukan apa-apa. Saya hanya butuh pengalamannya. Seperti yang saya lihat di film-film. Orang biasa mencuci baju-baju mereka di public laundry, membayar dengan koin atau credit card. Saya ingin pengalaman itu. Udik banget ya? Nggak apa, mumpung lagi di sini. Di tempat saya, di Karah, tidak ada fasilitas semacam itu. Ada sih, jasa laundry, tapi yang mencuci pemilik jasa, bukan pelanggan. 
Dari kejauhan, saya sudah bisa melihat Andreas dan Firda yang lagi duduk-duduk di taman. Saya melambai dan mereka membalas lambaian saya. Public laundry hanya sekitar lima puluh meter dari tempat itu. Kami langsung menuju ke sana.

Andreas meminta saya membaca manual di mesin cuci. Melakukan instruksi setahap demi setahap. "O, kamu sedang mengajariku dengan metode direct teaching, Ndre." Kata saya. "Yap. Betul."

Tapi saya tidak punya koin sebagaimana yang seharusnya. Lima buah 0.25 dollar. Ternyata untuk hal begini pun, Andreas sudah menyiapkannya.

Maghrib tiba dan kami meninggalkan tempat laundry untuk menunaikan salat di apartemen Andreas. Apartemen Andreas berjarak sekitar 100 meter dari tempat laundry. Lebih dekat daripada apartemen saya. Makanya saya lebih memilih menumpang salat di rumah Andreas daripada pulang ke apartemen, dan nanti kembali lagi untuk mengambil pakaian saya.

Saat salat berjamaah itulah keharuan saya menyeruak. Andreas yang menjadi imam kami, membaca surat Ar-Rahman. Tidak utuh. Mungkin sekitar dua puluh ayat di rakaat pertama dan lima belas ayat di rakaat kedua. Namun setiap kali bacaannya sampai pada ayat "fa bi ayyi alaai robbikumaa tukadzibaan," hati saya bergetar. 

Saya sedang berada jauh dari tempat tinggal saya. Berjarak terbang lebih dari 20 jam. Berbeda waktu sekitar 13 sampai 14 jam. Semua seperti terjadi begitu saja. Proses yang saya lalui untuk sampai bisa ke sini, tidaklah terlalu sulit. Satu-satunya yang berat bagi saya adalah berpisah dengan keluarga. Berat sekali rasanya.

Ini adalah perpisahan saya terlama dengan keluarga. Saat saya menempuh S2 di Yogyakarta, hampir setiap minggu kami bertemu. Saat mengemban berbagai tugas di luar kota, seingat saya yang terlama selama sepuluh hari, yaitu saat saya melakukan monitoring Program SM-3T di Maluku Barat Daya. 

Namun hati saya yang ragu untuk berangkat ke sini,  justeru dikuatkan oleh Mas Ayik, suami saya. Juga oleh ibu. Keraguan saya antara berangkat dan tidak, dipatahkan dengan dorongan keluarga. Bahwa ini adalah peluang. Kesempatan emas untuk menambah wawasan dan pengalaman. Kesempatan emas untuk melihat dan belajar banyak hal di belahan dunia yang lain.

Saat ini, ketika saya sudah berada di sini, perasaan berat karena jauh dari keluarga, sedikit terobati karena kehadiran orang-orang baik seperti Andreas dan Firda. Belum genap seminggu saya mengenal mereka. Namun kami seperti sudah kenal lama sekali. Langsung akrab. Mereka meminjami kami pisau, talenan, pirex, bahkan serbet dan gantungan baju. Lampu kecil yang setiap malam menemani tidur saya juga punya mereka. Mereka siap membantu apa saja, dan menunjukkan pada kami di mana membeli sayur, buah, tahu dan tempe. Dan masih banyak lagi kebaikan mereka. Bagi kami pendatang baru, uluran tangan orang-orang seperti Andreas dan Firda betapa sangat berarti.

Salat selesai dan saya menyeka mata saya saat menutup doa. Meski mata saya sudah kering tapi hati saya masih terasa basah karena rasa haru tak juga hilang. Namun saya melarikannya dengan mengucap banyak syukur. 

Tak pernah terbayang, suatu saat, saya akan berada di sini, di negeri yang bahkan dalam mimpi pun tidak pernah saya angankan. Allah begitu Maha Kuasa, menjadikan apa yang seolah tidak mungkin menjadi terjadi karena kuasanya.

"Fabiayyi aalaa irobbikumaa tukadhdhibaan."

Terima kasih, Ya Allah.
Terima kasih, bapak ibu, suami, anakku, dan keluarga besarku.

Terima kasih Andreas dan Firda...

Aggie Village Apt, Logan, Utah, USA, 8 Oktober 2015

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...