Pages

Sabtu, 26 Desember 2015

Go To America (8): Halloween

31 Oktober 2015. Halloween day. Udara cerah, matahari bersinar cerah, meski gumpalan awan menggantung di langit. Menyentuh bukit-bukit dan pegunungan yang tertutup salju.

Saya menggeliat, meluruskan punggung. Beberapa hari berkutat dengan laptop membuat badan saya benar-benar lelah. Dan bosan. Tagihan tugas tiap minggu membuat saya bekerja seperti mahasiswa doktoral yang sedang dikejar deadline submit progres disertasi. Untungnya, semangat saya terus terjaga. Hanya kadang-kadang kelelahan membuat saya merasa sangat jenuh.

Saya menjatuhkan tubuh saya ke tempat tidur. Mencoba tidur. Berhasil. Mungkin sekitar lima sampai tujuh menit. Lumayan. Maunya sebenarnya bisa tidur agak lama. Mumpung hari Sabtu, dan besoknya Minggu. Agak santai. Tapi mata sudah tidak terasa mengantuk lagi.

"Dik, apa acara hari ini?" Tanya saya pada Dik Lusia yang baru saja selesai makan pagi. Dia tidak tidur semalaman, mengerjakan tugasnya, dan baru tidur selepas shubuh. Pukul 12-an bangun, dan sekarang baru makan pagi.

"Nggak ada, Bu. Kenapa, Bu?"
"Aku lagi bosen nih, butuh refreshing."
"Mau jalan tah, Bu? Ayo kalau mau jalan."
"Ok, setelah salat dhuhur."

Dhuhur di sini, saat ini, pukul 13.11. Saya katakan saat ini karena waktu akan berubah setelah hari ini. Semua akan maju sekitar satu jam. Dan selisih waktu antara Logan dan Surabaya yang awalnya 13 jam, akan berubah menjadi 14 jam.

Kami bersiap. Salat, dan mengenakan pakaian yang 'layak'. Layak dalam arti untuk menahan dinginnya udara di luar. Melihat salju sudah mulai turun dan menutupi ujung deretan Rocky Mountain di depan apartemen kami, kemungkinan cuaca di luar sangat dingin. Teringat pengalaman dua hari yang lalu, waktu kami ke Hystoric Distric di Downtown, suhunya 2 derajat Celcius, dan tubuh saya seperti beku, padahal sudah mengenakan baju tiga lapis. Sesampainya di rumah, saya masuk angin dan harus 'blonyohan' minyak kayu putih dan tetap mengenakan baju tiga lapis, lengkap dengan celana panjang dan kaus kaki. Saya tidak mau pengalaman kemarin terulang lagi, dan oleh sebab itu, hari ini saya mengenakan baju tiga lapis dan sweater tebal.

Tapi ternyata udara cerah dan suhu terasa sejuk saja, tidak dingin. Ternyata memang temperatur di android menunjukkan suhu 12 derajat Celcius. Tapi jangan bersorak dulu, karena semakin siang dan semakin sore, suhu semakin turun.

Kami naik bus CVTD, bus Kota Logan yang ke mana pun tujuannya, free of charge alias gratis. Begitu melompat ke dalam bus, kami disambut dengan sapa drivernya yang ramah. "Hello, how are you? Happy Halloween."

Di sepanjang jalan, saya sibuk menikmati pemandangan yang menarik. Bukan hanya karena pohon-pohon yang daunnya berwarna-warni itu, kuning, merah, hijau, oranye, pink. Tapi juga karena hiasan dan ornamen-ornamen yang terpasang di teras dan halaman rumah. Labu kuning dengan berbagai ukuran, ada yang polos, ada yang dihias dengan berbagai bentuk. Peri, vampir, setan, pocong, penyihir, dan segala macam bentuk makhluk dunia lain itu, memenuhi teras, halaman, bahkan menggantung di pohon-pohon. Ya, ini hari di mana para keluarga dan orang-orang sedang berpesta-pora untuk para mahkluk ghaib itu. Di dalam bus, kami bertemu dengan kurcaci, drakula, buaya, serigala, dan badut-badut, juga para pemusik dengan baju-baju hitam dan dandanan wajah seram. Saya mengamati saja suasananya dan bersyukur karena bisa melihat halloween yang sudah sering saya dengar ceritanya. Meski, tentu saja, saya tidak bisa memahami mengapa mereka merayakannya.

Jangankan saya, sesama komunitas Nasrani saja juga masih ada perbedaan pendapat tentang Halloween. Sebagian dari mereka menganggap merayakan Halloween sesungguhnya dilarang oleh Alkitab. Tidak seharusnya orang berpakaian menyerupai roh-roh jahat untuk menipu roh-roh itu supaya mereka tidak mengganggu. Seharusnya manusia melawan roh-roh jahat itu, bukan malah berpesta untuk mereka.  

Kami turun di 1400 North dan berjalan menuju Cache Valley Mall. Mall di Logan ini jangan bayangkan seperti mall di Surabaya. Bahkan dengan Giant saja kalah jauh besar dan mewahnya. Apa lagi dibandingkan dengan Tunjungan Plaza, Royal Plaza, PTC. Jauh. 

Kami tidak sedang bermaksud membeli sesuatu. Kami hanya ingin window shopping saja. Ngumbah moto. Eyes washing, bahasa canda saya sama Dik Lusi. Melemaskan kaki dan mencari suasana lain.

Dan suasana lain itu benar-benar kami dapatkan. Mall dipenuhi dengan beragam makhluk dari dunia lain. Juga berbagai makhluk dari kebun binatang. Tua muda besar kecil, semua mengenakan kostum dan berdandan dengan dandanan yang aneh-aneh. Ada juga yang menutupi wajah dan kepalanya dengan topeng-topeng. Dandanan para pramuniaga pun sama. Mereka membawa keranjang dan membagi-bagikan permen pada anak-anak kecil yang juga membawa keranjang warna-warni berbentuk labu.

Labu Halloween, menurut sebuah pendapat, bermula dari kebiasaan di Inggris. Pada abad pertengahan, pengemis mengunjungi rumah-rumah untuk meminta makanan sebagai imbalan karena mereka sudah mendoakan orang mati, dan mereka biasanya membawa lobak ungu yang dilubangi dan diisi lilin yang melambangkan jiwa yang terperangkap dalam api penyucian. Pendapat  lain mengatakan bahwa lentera lobak itu digunakan untuk mengusir roh-roh jahat. Selanjutnya, selama tahun 1800-an di Amerika Utara, lobak ungu diganti dengan labu karena labu mudah didapat dan gampang dilubangi dan dibentuk. Kepercayaan-kepercayaan di balik kebiasaan ini sebenarnya--menurut sebagian pendapat--t idak sejalan dengan Alkitab.

Begitulah. Apa pun, saat ini, pesta Halloween sedang berlangsung di mana-mana, dan kami menikmati saja suasananya, sekadar untuk tambahan pengalaman. Tidak perlu ikut-kutan membeli banyak permen dan menyiapkannya untuk anak-anak kecil itu. 

Tetapi keputusan kami untuk tidak membeli permen itu ternyata tidak sepenuhnya benar. Malamnya, seseorang mengetuk pintu apartemen saat kami sedang makan malam. Pak Asto yang membuka pintu. Seorang anak kecil, sepertinya keturunan India atau Bangladesh, mengulurkan keranjang permennya. Dan dengan berat hati, Pak Asto bilang: "Sorry, we don't have any candy..." Maka anak kecil itu pun berlalu dengan kecewa.

Wah, saya menyesal juga kenapa tidak menyediakan permen. Beberapa hari yang lalu, Pak Oenardi sudah mengingatkan, kalau kami tidak ingin didatangi anak-anak, maka lampu rumah kami harus dimatikan pada malam hari Halloween. Tapi kami pikir, kami ada di lantai dua, tentu tidak akan ada orang datang mengetuk pintu kami. Lagi pula, kami sedang makan malam, bagaimana mungkin tanpa lampu.

Beberapa saat setelah Pak Asto kembali ke apartemennya di sebelah apartemen kami, tiba-tiba pintu diketuk lagi. Saya ingat punya snack di kulkas. Snack itu dulu dari Selly, Direktur USU Global Engagement, saat dia menjemput kami di Salt Lake City. Maka dengan yakin, saya membuka pintu.

"Hello..." Sapa saya. Dua orang wanita cantik berdandan ala peri dan tiga orang anak kecil berdandan ala badut dan entah ala apa, dengan topi panjang dan terompet. 
"Sorry, we don't have any candy, but we have some snacks. Is it okay?"
"Oh okay, it's okay."
Saya memasukkan snack ke keranjang-keranjang yang terulur, dan mereka nampak senang sekali.
"Thank you very much."
"You are welcome."
"You are so nice." Kata si ibu peri berbusana merah.
"Thank you."

Mereka melambaikan tangan dan menuruni tangga. Saya menutup pintu, dan seketika juga mematikan lampu-lampu. Cukup lampu toilet saja untuk menerangi semuanya. Khawatir ada yang mengetuk pintu lagi. Bukan karena kami pelit. Tapi memang kami tidak menyiapkan permen dan kue-kue, karena tidak menyangka apartemen kami akan didatangi. Selain itu, tentu saja sangat tidak beralasan kalau kami jadi ikut-ikutan Halloween-an. 

Malam semakin larut dan saya harus memaksakan diri untuk tidur. Tidak enak kalau saya tidak tidur. Bisa mengganggu para makhluk ghaib yang sedang berpesta-pora. Saya juga takut mereka akan mengajak saya bergabung. Saya mematikan lampu neon dan menggantinya dengan lampu kecil. Alunan ayat Al Quran yang saya ambil dari you tube mengalun mengantarkan saya ke alam mimpi.


Aggie Village Apt., Logan, Utah, USA, 31 Oktober 2015.    

1 komentar

Anonim

Ikut senang Prof. Luthfi

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...