Pages

Selasa, 01 Desember 2015

Go To America (5): Barbecue dan Seuntai Doa

Minggu pagi yang cerah, dan kami punya acara menarik hari ini. Ya, barbecue. Bersama orang Indonesia yang ada di Logan dan sekitarnya. Tentu saja mereka tidak hanya datang dari Logan, namun juga dari Wyoming dan Idaho.

Semalam, Andreas dan Firda ada di apartemen kami. Sekeranjang besar daging domba yang sudah dipotong-potong dalam ukuran besar dibawanya. Bersama seorang temannya, namanya Adam. Saya tidak sempat beramah-tamah dengan Adam karena dia juga tidak berlama-lama di apartemen kami. Sekadar mengantarkan daging domba yang menurut saya entah untuk berapa puluh orang itu. Banyak sekali.

Saya 'kamitenggengen.' 
"Ndre, maksudnya, ini kita yang harus mempersiapkan?"
"Ya, Bu. Dipotong-potong, ditusuk-tusuk, untuk barbecue besok."
'Hah?" Saya menahan diri untuk tidak menunjukkan kekagetan saya. Tidak tega melihat Andreas dan Firda yang sudah langsung menyingsingkan baju dan siap dengan pisau dan talenan. 

Saya sebenarnya ingin protes. Kok bisa-bisanya sih kami yang harus kerepotan seperti ini? Saya tidak membayangkan akan jadi tamu istimewa dalam barbecue itu, tapi setidaknya saya tidak dibebani dengan pekerjaan berat mempersiapkan daging-daging ini. Kami ini kan orang baru, orang tua-tua lagi. Masak sih, disuruh ngurusin daging satu ekor domba utuh begini, sama anak-anak muda ini?

"Ndre, tahu gini aku nggak mau, Ndre...." Tidak tahan, akhirnya saya protes juga.
"Terus, gimana?"
"Kupikir kita nggak ikut-ikutan repot begini...."
"Jadi tamu begitu?"
"Tidak juga. Tapi tidak repot begini. Ini namanya kalian ngerjain kami."
"Terus, gimana?" 
"Ya sudah, gimana lagi."

Siang ini, kami sudah berkumpul. Daging yang semalam kami persiapkan, sudah berada di atas alat barbecue yang tersedia di taman. Oya, hampir di setiap kompleks apartemen, tersedia taman, playground, dan alat untuk barbacue. Siapa saja penghuni apartemen bisa menggunakannya, asal mendaftar lebih dulu. Kalau mau acaranya di dalam ruang, ruang yang cukup luas juga tersedia. Lengkap dengan pantry, alat-alat memasak dan menghidangkan, bumbu-bumbu, bahkan piano dan sound system. 

Tapi kami hari ini memilih tempat di taman, persis di belakang apartemen Andreas. Ada meja-meja panjang dan kursi-kursi, yang juga bisa dipinjam di FASA, kantor yang melayani semua keperluan penghuni asrama. Suhu udara yang meskipun dingin masih memungkinkan kami untuk menikmati sate domba dan berbagai makanan lain di luar. Sate udang, nasi basmati, couscous makanan khas Meksiko, dan makanan lain yang dibawa oleh para undangan. Reyla dan suaminya Ryan, membawa bihun goreng. Reyla dari Cibinong dan Ryan, suaminya, asli Amerika. Silvia, mahasiswa S2 Civil engineering dari Sumba Barat, membawa es krim Aggie Blue yang terkenal lezat itu. Es krim itu diproduksi sendiri oleh USU. Saya dan Bu Lusia, meskipun tidak membawa apa-apa kecuali buah apel,  menyiapkan sambal salsa, couscous, nasi basmati, dan juga memanggang naan bread sejak pagi tadi. Pak Asto juga sudah membantu memanggang sate di taman, bersama para bapak yang lain. 
Ternyata lumayan juga orang Indonesia di Utah. Setidaknya ada sekitar dua puluh orang yang siang ini hadir. Termasuk Pak Oenardi dan Bu Nanik, isterinya. Yang lain adalah para laki-laki yang bekerja sebagai chef. Mas Andi, Pak Agus, Mas Fuad, dan Mas Aries, serta beberapa nama lain. Ada Adam yang juga mahasiswa S2 USU, yang asli kelahiran dan warga negara Saudi Arabia, namun ibunya adalah perempuan Sunda. Adam fasih berbahasa Indonesia karena ibunya mengajarinya sebagai bahasa sehari-hari. Juga ada beberapa nama yang datang dari Idaho dan Wyoming. 

Berteman dengan para chef itu sungguh menyenangkan. Mereka ramah, humoris, cerdas. Kebanyakan atau mungkin hampir semua, mereka sarjana. Tapi bidang kerja yang saat ini mereka geluti, sama sekali tidak ada hubungannya dengan bidang yang ditekuninya di bangku kuliah. Mereka semua bekerja di restoran. Dengan gaji awal USD 1500, dan sekarang rata-rata gaji mereka sudah di atas USD 3000. Sangat amat lumayan. Jauh lebih tinggi dibanding gaji dosen di Indonesia, bahkan gaji guru besar sekali pun. 

Itulah yang membuat mereka bertahan di sini. Meski jauh dari anak istri. Meski harus bekerja dari pagi hingga malam, hampir setiap hari. Dunia mereka adalah apartemen dan tempat kerja. Sekali-sekali pergi pesiar dengan teman-teman bila ada lbur kerja. Di awal-awal kedatangan mereka di sini, memang sebagian dari mereka sempat mengalami stres. Tapi sekarang semua baik-baik saja, sudah terbiasa dengan kondisi yang ada. Komunikasi dengan keluarga juga mudah dan murah, karena bisa via skype atau watssapp yang hanya memanfaatkan free wifi. Mengirim uang pada keluarga di Tanah Air juga tidak sulit karena bisa dilakukan di bank mana pun yang mereka mau. 

Para pekerja itu datang ke Amerika sebenarnya dengan visa turis. Visa yang hanya berlaku enam bulan. Namun mereka tidak pulang meski masa berlaku visa sudah habis. 
"Tidak dikejar-kejar seperti di Arab atau di Malaysia begitukah, Mas?" Tanya saya pada Mas Aries, pria asal Yogyakarta, yang sudah lebih dari sepuluh tahun di Amerika.
"Tidak, Bu. Di sini semua pendatang seperti kami aman. Bisa hidup tenang, bisa punya rumah, punya mobil. Keluarga bisa datang setahun sekali berlibur di sini bersama kami. Yang penting kita tidak melakukan tindak kriminal, semuanya baik-baik saja." Jelasnya.

Okay, jelas. Dan itulah hidup. Selalu dihadapkan pada pilihan. Di sini uang mudah dan berlimpah, tapi Anda harus bekerja selama sepuluh sampai dua belas jam sehari. Dari pagi hingga malam. Jangankan salat Jumat, menunaikan salat wajib saja musykil. Salat setiap hari dikumpulkan saja, dirapel setelah pulang kerja. Di tempat kerja, Anda tidak bisa memilih-milih pekerjaan. Bila Anda seorang chef dan harus menyiapkan makanan berbahan dasar daging babi atau bahan-bahan tidak halal yang lain, maka Anda harus lakukan itu. Tidak ada pilihan.

"Tidak pingin pulang ke Tanah Air, Mas?" Tanya saya pada Mas Andi, pria asal Pulogadung, Jakarta, yang sudah tujuh tahun di Amerika.
"Aduh, pingin sekali, Bu. Tapi gimana lagi."
"Kan bisa ambil cuti, Mas?"
"Sekali kami pulang, selamanya kami tidak bisa balik ke sini, Bu. Langsung di-black list."
"Ow." Saya surprised. "Begitu ya?" 

Hati saya terenyuh. Mereka sedang berjuang demi hidup yang lebih layak, yang mungkin akan sulit mereka dapatkan bila berada di Tanah Air. Meski mereka mengakui, "seenak-enak bekerja di negeri orang, lebih enak bekerja di negeri sendiri." Namun demi sebuah kehidupan yang lebih baik, saat ini mereka harus bertahan dulu dalam situasi ini. Mas Andi bahkan sudah mulai ancang-ancang menyekolahkan anaknya di Amerika, supaya anaknya dapat dekat dengan dia dan dia tetap bisa membiayai sekolah anaknya dengan aman.  

Siang semakin larut dan saya pamit pulang ke apartemen dulu untuk menunaikan salat dhuhur. Sambil melangkahkan kaki, pikiran saya masih dipenuhi dengan bayangan Mas Aries, Mas Andi, Mas Fuad, Pak Agus, dan wajah-wajah lain yang datang dari Wyoming dan Idaho. Mereka adalah saudara-saudara saya. Merekalah pejuang sejati bagi keluarga mereka. Saya seperti bisa merasakan betapa rasa rindu pada anak isteri itu begitu menyiksa, namun mereka harus mampu mengendapkan itu semua justeru karena sayang mereka pada keluarga terkasih. Dalam hati, saya menguntai doa. Ya Allah, berikan kesehatan dan perlindungan selalu bagi mereka dan seluruh keluarga mereka. Dalam naungan kasih dan sayang-Mu yang tak pernah putus. Selalu. 

Aggie Village Apt., Logan, Utah, Minggu, 11 Oktober 2015

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...