Pages

Senin, 21 Desember 2015

Go To America (7): Oenardi Lawanto, TA dan SRL

Salah satu yang membuat kami memilih USU untuk mengambil short-term program adalah karena Bapak Oenardi Lawanto. Orang asli Indonesia keturunan China itu sudah sejak tahun 2000-an menjadi tenaga pengajar di perguruan tinggi di Amerika. Pertama di University of Illinois dan sejak 2008 pindah ke USU.

Sebelum menjadi pengajar di Amerika, Pak Oenardi sempat mengajar di Universitas Surabaya (Ubaya). Kepakarannya dalam bidang Electrical Engineering, kemudian mendalami  Engineering Education sampai saat ini. 

Perkenalan kami dengan Pak Oenardi sudah lumayan lama, sejak saya masih bertugas sebagai Kaprodi S2 Pendidikan Teknologi Kejuruan (PTK) Pasca Sarjana Unesa (tahun 2010). Beberapa kali kami mengundangnya sebagai dosen tamu di S2 PTK maupun di Fakultas Teknik (FT)). Beberapa bulan yang lalu, kami juga baru saja mengundang beliau untuk menjadi dosen tamu di PPPG. Saat itu beliau membawakan topik yang menarik dan bermanfaat bagi para mahasiswa PPG yang notabene adalah calon guru, yaitu self-regulated learning.

Beberapa risetnya terkait dengan metakognitif, task interpretation, dan self-regulated learning, menarik minat kami--saya dan Pak Asto. Kebetulan kami mempunyai proyek penelitian Hibah Pascasarjana, selama tiga tahun berturut-turut, yang menggarap pengembangan perangkat pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan metakognisi pada pendidikan vokasi. Pada penelitian ini, sekitar enam mahasiswa S2 kami libatkan setiap tahunnya, sekaligus untuk membantu percepatan penulisan tesis mereka. Dalam rangka melaksanakan penelitian ini juga, beberapa kali kami berdiskusi dengan Pak Oenardi dan beliau membantu kami dengan artikel-artikel terkait dengan topik TIK, metakognisi, dan pendidikan vokasi. Meski beliau berada di Amerika, komunikasi kami relatif lancar karena Pak Oenardi selalu membalas email kami.  

Kesan saya tentang Pak Onardi sangatlah mendalam. Beliau seorang yang sangat-sangat bersahabat dan peduli. Tidak hanya beliau, tetapi juga keluarganya, Ibu Nanik, istrinya, Kevin serta Stefani, sepasang anaknya.

Selama kami di Logan, hampir setiap akhir pekan kami diundang makan di rumahnya yang nyaman. Menunya berganti-ganti, kebanyakan menu Indonesia, gado-gado, nasi pecel, dan makanan khas Tanah Air yang lain. Pernah juga dengan menu tunggal, yaitu pizza. Menurut Pak Oenardi, pizza itu bukan sembarang pizza, tapi pizza istimewa. Tentu saja kami dipesankan yang tanpa daging dan ayam, karena kami harus hati-hati mengonsumsi apa pun bahan makanan dari daging dan ayam, mengingat mungkin kedua produk itu tidak disembelih dan ditangani dengan tata cara Muslim.

Selama di Utah ini, kami memang sangat hati-hati memilih makanan. Berdasarkan hasil penelusuran kami di internet, tidak ada satu pun restoran muslim di Logan. Dari  informasi  Canadian Halal Food, pada daftar berbagai jenis makanan atau bahan makanan yang dijual di swalayan, bahkan tidak semua roti, coklat, coconut milk, dan produk lain, yang dinyatakan halal. Jadi untuk membeli roti tawar saja kami musti mengecek kehalalannya dengan melihat Canadian Halal Food tersebut atau mencermati labelnya.

Label 'halal' nyaris tidak pernah kami lihat di kemasan makanan. Sebaliknya, label 'kosher' banyak kami temukan. Kosher adalah 'halal' menurut Yahudi. Tentu saja tidak sama persis pengertiannya dengan halal menurut Islam. Meski pada kenyataannya, memang ada hal yang sama antara keduanya. Misalnya, kosher tidak menghendaki adanya unsur babi dalam makanan dan minuman. Selain itu hewan (sapi, kambing, domba, dll) harus disembelih dengan menggunakan pisau tajam dan tidak boleh dimatikan dengan cara dipukul, dipelintir, atau diterkam binatang buas. Bagi penganut Islam, hewan tidak hanya harus disembelih dengan pisau yang tajam, namun juga harus dengan nama Allah. Contoh makanan dan minuman yang masuk dalam kategori kosher tetapi tidak halal adalah minuman anggur (wine). Juga semua jenis gelatin (tanpa memandang terbuat dari tulang atau kulit hewan apa) dan semua jenis keju (tanpa melihat cara dan proses pembuatannya).

Kembali ke cerita tentang Pak Oenardi. Setiap mengundang makan ke rumahnya, tidak hanya kami yang diundang, tapi juga teman-teman Indonesia yang lain. Yang hampir selalu hadir adalah Andreas dan istrinya. Andreas adalah mahasiswa bimbingan Pak Oenardi. Juga Silvia, mahasiswi asal Sumba Barat itu. Reyla dan suaminya, Ryan, juga pernah diundang. 

Yang luar biasa bagi saya, Pak Oenardi telaten menjemput dan mengantar kami dari dan kembali ke apartemen. Kami-- tidak hanya kami bertiga-- termasuk Andreas dan Firda, juga Silvia, dijemputnya satu per satu dan diantarkannya lagi ke apartemen kami masing-masing. Karena mobil Pak Oenardi adalah mobil sedan kecil, tak jarang beliau harus 'ngimbal', bolak-balik dua kali. Ya, pria 53 tahun itu begitu egaliter. Beliau adalah supervisor saya di sini, dan juga dosen pengajar sekaligus dosen pembimbing Andreas, namun di antara kami seperti tidak ada sekat. Meski saat diskusi masalah akademik kami bisa sangat serius, bahkan di beberapa kali saat diskusi, saya sering 'dipepetkan pada tembok', begitu istilah Pak Oenardi, tapi di luar itu kami adalah teman. Di setiap acara barbecue bersama  teman-teman Indonesia di Utah, Pak Oenardi dan Bu Nanik juga selalu hadir, dan bercengkerama bersama kami semua, lepas dan akrab.

Di luar itu, Pak Oenardi adalah akademisi yang sangat tekun. Beliau bekerja mulai pagi pukul 08.00 sampai sore sekitar pukul 18.00. Kalau tidak mengajar di kelas dan di lab, beliau berkutat di kantornya yang nyaman, bergelut dengan komputer dan tumpukan referensi, atau melayani konsultasi mahasiswanya. 

Saya dan Pak Asto mengikuti kuliah (sit-in) Pak Oenardi setiap hari kamis, mulai pukul 13.00-16.30. Nama mata kuliahnya adalah Philosophy of Engineering Education. Ada delapan mahasiswa Ph.D di kelas itu. Mereka dari Jordan, China, Honduras, Indonesia, dan Amerika. 

Selain mengikuti sit-in, kami terjadwal bertemu minimal dua kali seminggu di ruang Pak Oenardi. Tugas kami setidaknya ada tiga: menyusun artikel sintesis, perangkat pembelajaran, dan proposal collaborative research. Di luar itu, kami harus membaca puluhan artikel dan membuat anotasinya. 

Semua aktivitas akademik kami bermuara pada dua topik, task analysis (TA) dan self-regulated learning (SRL). Bicara tentang TA dan SRL, mau tidak mau harus membahas konsep-konsep lain yang berhubungan, seperti kognitif, metakognitif, learning strategis, academic task, dan sebagainya, Dua topik itulah yang menjadi concern riset Pak Oenardi beberapa tahun terakhir, dan mendorong kami untuk mempelajarinya dengan Pak Oenardi sebagai mentor kami. Berharap apa yang kami pelajari nanti bisa kami desiminasikan di Unesa, baik di level S1maupun S2.      

Jadilah kami setiap hari berkutat dengan laptop dan puluhan artikel. Bekerja dari pagi sampai malam, diselingi dengan ngobrol melepas rindu pada keluarga di Tanah Air via WA atau skype. Sesekali kami selingi juga dengan bersepeda ke mall, berolah raga ke sport center universitas, dan barbecue bersama teman-teman. Kami juga mencari kesempatan mengunjungi berbagai laboratorium dalam bidang vokasi. Juga menggali informasi tentang sistem rekrutmen dan pembinaan guru di Utah. Pak Oenardi menghubungkan kami dengan orang-orang kunci dalam dua bidang tersebut. Mereka benar-benar memenuhi keingintahuan kami dengan sepenuh hati. Terus-terang saya kagum dengan cara mereka melayani kami. Dari satu lab ke lab lain, mereka menjelaskan apa saja, memberi kami kesempatan untuk berdialog dengan para laboran, dan memberi kami bahan-bahan yang sungguh memperkaya wawasan. Tanpa imbalan apa pun, tapi  ketulusan orang-orang Amerika itu betapa terasa sampai di hati.  

Setiap kali berdiskusi dengan Pak Oenardi di ruangannya, saya dan Pak Asto harus sudah melaporkan progress pekerjaan sebelumya, karena itulah yang akan menjadi bahan diskusi. Itu pun, Pak Oenardi menjamin, semua tugas kami tidak akan selesai sampai masa tugas kami yang hanya enam minggu. Setiap berdiskusi, diskusi kami bisa sangat seru, dan saya begitu merasa menikmati dan tertantang. Apa lagi kalau beliau sudah bilang: "Saya akan membenturkan Bu Luthfi ke tembok, sampai Bu Luthfi tidak bisa bergerak," saya semakin tertantang dan lantas berusaha lagi melengkapi diri saya dengan amunisi penuh supaya saya tetap bisa bergerak saat dibenturkan Pak Oenardi ke tembok. 

Berada di Logan yang hanya sekitar enam minggu telah memberikan banyak pengalaman dan tambahan pengetahuan untuk kami. Tidak hanya tambahan wawasan pengalaman akademik, namun juga nonakademik. Tantangan kami sepulang dari Utah adalah bagaimana kami tetap mengembangkan apa yang sudah kami pelajari di sini, dan bagaimana mendesiminasikannya. Hal inilah yang membuat kami harus terus menjaga kontak dengan Pak Oenardi meski kami sudah pulang ke Tanah Air nanti.

Logan, Utah, USA, Selasa, 20 Oktober 2015

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...