Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Jatim Mengajar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jatim Mengajar. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 November 2013

Wisata Edukasi 3: Uji Nyali....

Pagi di Ponorogo. Setelah semalam menempuh perjalanan dari Surabaya. Hotel La-tiban, tempat kami menginap, sedang menggeliat. Teh dan kopi disajikan di meja-meja di depan kamar-kamar. Menurut resepsionis, menu makan pagi hari ini adalah nasi goreng. Saya minta diganti nasi pecel bungkus saja, tentu saja tidak bisa. Memangnya warunge mbahe? Hehe...

Saya dan bu Luci pun bergegas keluar hotel. Untuk apa kalau tidak dalam rangka berburu sego pecel. Kalau Anda ke Ponorogo, dan belum makan nasi pecel, maka kunjungan Anda tidak lengkap.

Ternyata tidak hanya nasi pecel yang kami dapatkan. Tapi juga tempe goreng, tahu goreng, punten (nasi dan kelapa parut dilumatkan menyerupai tetel atau jadah), singkong goreng dan pisang goreng.

Pagi ini, kami menjadwalkan diri untuk mengunjungi para peserta Jatim Mengajar di Kecamatan Ngrayun. Kami, adalah saya, pak Rahman, bu Lusi dan Mujiono (wartawan Harian Duta). Ada tiga lokasi yang akan kami kunjungi. SDN 3 Sendang, SDN 7 Baosan Kidul, dan SDN 2 Mrayan. Berturut-turut, di sana ada Rudy, Heri dan Wachid.

Kami mampir dulu ke Kantor Dinas Pendidikan di Jalan Gondosuli. Bertemu ibu Ismiyatun, yang selama ini menjadi contact person kami, yang ternyata adalah tetangga depan rumah bapak ibu mertua. Bertemu kepala dinas, mengobrol sebentar, menyerahkan empat buah buku sebagai kenang-kenangan dari kami. Lantas pamit, bergerak menuju Ngrayun.

Syukurlah, bu Ismiyatun sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Kami didampingi seorang pemandu, petugas dari UPTD Ngrayun, namanya pak Joko, alumni Seni Rupa IKIP Surabaya angkatan 1986. Dari UPTD Ngrayun nantinya, kami akan 'ditampani' oleh Kepala Sekolah SDN 2 Sendang sebagai pemandu berikutnya. Estafet.

Sekitar pukul 07.30, kami berangkat dari kantor dinas, menuju Bungkal, mengarah ke Ngrayun. Jalan naik 'ndeder', menurun curam, berkelok-kelok. Banyak bagian jalan yang rusak meski tidak seberat di Sumba Timur atau Papua. Pemandangannya masih sangat alami, hutan pinus, lembah-lembah dan ngarai, bukit-bukit landai (tidak bertumpuk-tumpuk seperti di Sumba Timur). Sesekali melewati perkampungan dengan belasan rumah. Masih cukup mengasyikkan untuk dinikmati. AC mobil sengaja dimatikan dan jendela dibiarkan terbuka, agar kesejukan alam lebih asli.

Sampai di UPTD Ngrayun pada pukul 08.30. Ditemui oleh bapak Boyadi, S.Pd., yang mewakili Kepala UPTD. Bersama Kepala SD 3 Sendang yang sudah datang menjemput, beliau berunding mengatur strategi kunjungan kami. Diputuskanlah untuk mengunjungi tempat terjauh dulu, yaitu SDN 3 Sendang. Pertimbangannya, karena kalau hujan turun, tempat itu tidak bisa dikunjungi. Jalan licin dan sangat berbahaya. 

Pukul 08.50, dari UPTD Ngrayun, bergerak menuju Sendang. Dipandu oleh bapak Kepala Sekolah dan seorang petugas dari UPTD. Mereka berboncengan naik motor, dan mobil kami mengekor di belakangnya.

Jalan rusak berat di banyak bagian meski beraspal. Naik turun, berkelok-kelok, hutan, lembah, ngarai. Kata bu Lucia, serasa di Sumba. "Jalannya..... sudah luar biasa....wow lagi". Katanya sambil tertawa campur ngeri.

Lima belas menit kemudian, mobil memasuki jalan makadam. Cak Jum, driver kami, menyerahkan tugasnya dengan 'lego lilo' pada bapak kepala sekolah yang menawarkan untuk menggantikannya pegang setir, dan cak Jum yang ganti membonceng sepeda motor. Nampaknya ada simbiosis mutualisme (atau komensalisme?). Antara kepala sekolah yang tidak tega melihat cak Jum mengemudi, dan cak Jum yang mungkin tidak terlalu yakin melihat medan berat seperti itu. 

Di sepanjang jalan, banyak ditemui jalan yang terbuat dari lempung gunung. Licin, lengket sekali. Banyak genangan air yang membuat jalan menjadi semakin membahayakan. Ban mobil sempat hanya berputar saja tanpa bergerak. Padahal jurang menganga hanya sejengkalan saja. Hutan pinus yang langsing tinggi menjulang berada di sebelah kanan-kiri jalan, dilengkapi lembah dan ngarai. Kami dikocok-kocok di dalam mobil, meskipun jarum speedometer nyaris tidak bergerak dari angka nol saking pelannya. Jalannya yang menanjak, 'ndeder'-nya luar biasa, kalau lagi turun, curamnya juga luar biasa. Ditambah dengan jurang-jurang yang menganga. Bikin perut mulas. Di pelosok Sumba Timur yang medannya seekstrim itu pun, tidak sempat membuat perut saya mulas. Ngeri. 

Pukul 10.30. Sampailah di SDN 3 Sendang. Sekolah yang dikelilingi bukit dan lembah. Hujan rintik menyambut kami. Guru-guru berbusana PSH dan siswa-siswa yang berseragam batik, menebar senyum penuh kehangatan. Juga Rudy, yang berbusana batik, rapi sekali, dengan senyumnya yang cerah menceriakan.

Drs. Hadi Suminto, kepala sekolah itu, telah berhasil memimpin mereka menjadi sosok-sosok yang santun dan ramah. Sekolah dengan kelas-kelas yang bersih meski satu ruang untuk dua kelas (kelas rangkap). Sepatu-sepatu siswa berbaris rapi di depan kelas, sengaja dilepas supaya kelas tetap bersih. Poster-poster bernuansa pengembangan karakter tertempel di banyak titik. Halaman sekolah yang kecil itu berpagar tanaman hidup yang langsung berhadapan dengan bukit dan lembah.

Sekolah ini seperti sebuah telaga yang mampu menghapus segala dahaga. Ketegangan dan kelelahan karena untuk mencapainya musti uji nyali, hilang seketika diguyur dengan kehangatan, keramahan dan kemurnian yang begitu alami. Menyejukkan, membuat betah. Tidak bisa tidak, komitmen kepala sekolah yang santun namun penuh dedikasi itulah yang begitu kental mewarnai.

Ada sembilan orang guru, termasuk Rudy, peserta Jatim Mengajar. Yang sudah PNS 3, yaitu kasek, guru agama, penjaga sekolah. Selebihnya adalah guru GTT. Lulusan PGSD 1 orang, Pendidikan Bahasa Indonesia 1 orang, Pendidikan Sejarah 1 orang. Sisanya masih kuliah, 2 orang di PGSD UT, dan 1 orang di STKIP Ponorogo.

Jumlah siswa seluruhnya 75 orang. Sekolah yang berdiri sejak 1980, yang awalnya sebagai SD kecil ini, sekarang memiliki 75 siswa. SD kecil, dengan sistem pembelajaran bermodul, ternyata tidak bertahan lama karena modulnya tidak kontinyu alias seret, maka beralihlah sekolah itu menjadi SD konvensional.

Rudy, tugas utamanya sebagai guru kelas di kelas IV. Dia, meskipun Sarjana Pendidikan Sejarah, akhirnya harus menjadi guru borongan, karena berperan sebagai guru kelas. Termasuk mengajar Bahasa Inggris dan Bahasa Jawa. Dia menikmati tugas akademik maupun sosialnya dengan baik. Berkomunikasi dan berbaur dengan masyarakat dengan luwes. Keberadaannya, menurut kasek dan guru-guru, sangat membantu. Rudy juga mengajar ekstrakurikuler Pramuka, dan mengajar di TPA.

Selama di sini, dia tinggal di mes sekolah. Di mes itu disediakan dipan dan kasur oleh kepala sekolah. Untuk makan, Rudy menumpang pada penduduk setempat yang tidak tega melihat Rudy memasak sendiri.

Di tempat ini, air agak susah, tapi sekarang, karena sudah mulai musim penghujan, air sumber mulai tersedia. Meski begitu, Rudy mengajukan bantuan pengadaan air bersih ke YDSF. Supaya bisa mengatasi kelangkaan air di musim kemarau.

Menurut kasek, Program Jatim Mengajar ibarat 'semilir angin' yang menyejukkan. Sekolah ini sangat kekurangan guru. Permohonan bantuan tenaga guru sudah berkali-kali diajukan ke pemda, tapi tidak kunjung terwujud. Kehadiran Rudy adalah angin semilir itu, benar-benar memberikan manfaat. Oleh sebab itu, kepala sekolah berharap, program yang merupakan kerjasama antara Unesa dan YDSF ini bisa terus berlanjut, dan SDN 3 Sendang tetap dijadikan tempat penugasan.

Setelah saya salat dhuhur di musala dekat sekolah (milik masyarakat), yang untuk mencapainya musti 'ngos-ngosan' karena harus menaiki jalan makadam menanjak sekitar seratus meter, saya juga meminta Rudy membuat proposal pembenahan musala. Tidak ada tempat wudhu di musala itu. Bangunannya yang hanya sekitar 48 meter persegi itu pun dindingnya belum dicat, lantainya belum diplester/dikeramik. Menyedihkan. Padahal di situlah guru dan anak-anak sekolah itu menumpang salat.

Sewaktu saya masuk ke kelas I, dan meminta anak-anak mungil itu membaca, sebagian dari mereka sudah bisa membaca, meski masih 'grotal-gratul'. Sebagian belum bisa. Namun di kelas II, hampir semuanya sudah bisa membaca dengan lumayan lancar. Jauh lebih lancar dibanding anak-anak kelas V atau VI di Sumba Timur dan Papua. 

SD 3 Sendang ini belum memiliki perpustakaan. Meskipun ada bantuan buku-buku dari DAK Kabupaten Ponorogo, buku-buku itu masih tersimpan. Kepala sekolah mempunyai ide untuk membuat perpustakaan nonruangan. Ya, hanya itu satu-satunya cara supaya buku-buku itu bisa dimanfaatkan dengan baik, sementara ruang untuk perpustakaan tidak dimiliki. Rudy saya minta untuk merancang peerpustakaan nonruangan itu, apa saja yang diperlukan, berapa biayanya, kami akan membantu untuk mewujudkannya.

Hujan mereda, tinggal gerimis kecil. Kabut menutupi puncak-puncak bukit. Menyembunyikan kontur lembah dan ngarai. Dalam kesejukan alam yang begitu murni, ditingkahi suara teriakan-teriakan riang anak-anak sekolah, dan keramahan serta ketulusan kepala sekolah dan guru-guru, kami menikmati menu makan siang. Nasi tiwul, lodeh tempe, urap sayur, tempe goreng panjang yang dibalur tepung singkong, dan ayam goreng. Nikmatnya luar biasa. Waktunya mengisi perut. Sebelum melanjutkan perjalanan. 

Konon, uji nyali belum berakhir. Empat orang guru dengan sepeda motornya masing-masing sudah siap mengantarkan kami menuju SDN 7 Baosan Kidul. Rute untuk mencapai sekolah itu, tak kalah hebohnya dengan rute yang baru saja kami tempuh tadi. Maka mobil harus berbalik arah, tidak perlu mengantar kami karena jalannya terlalu berbahaya untuk roda empat. Cukup tunggu saja di sebuah tempat yang bernama Gawangan.

Kami menyerahkan empat buah buku untuk kenang-kenangan. Juga sejumlah dana untuk kas sekolah. Tidak banyak, tapi insyaallah bermanfaat. Kepala sekolah dan guru-guru menerimanya dengan suka hati dan penuh rasa syukur. Untaian doa mengalir dari mulut mereka mengiringi langkah-langkah kami.

Baiklah. Sampai jumpa di Baosan Kidul....

Sendang, Ngrayun, Ponorogo, 27 November 2013


Wassalam,
LN

Minggu, 13 Oktober 2013

Wisata Edukasi (2): Di Lamongan, ada sekolah di tengah hutan

SDN Kedungbanjar itu akhirnya ketemu. Berada di Desa Kedungbanjar, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan. Setelah kami sempat beberapa kali kesasar. Pasalnya, tidak seperti SDN Jatipandak yang bisa dilacak dengan google map, SDN Kedungbanjar tak terdeteksi. Desa Kedungbanjar saja yang nampak, itu pun tidak terlalu jelas. Maka kami pun terpaksa memanfaatkan GPS konvensional, turun dari mobil dan bertanya pada orang-orang arah menuju Kedungbanjar.

Sekolah di tengah hutan itu merupakan satu-satunya sekolah di desa tersebut. Bersama Arif, guru yang kami tugaskan dalam Program Jatim Mengajar, kami melihat-lihat ruang-ruang sekolah dan sekelilingnya. Satu ruang adalah ruang guru, ada beberapa meja kursi dan rak buku. Satu ruang untuk perpustakaan, tapi rak belum ada, buku belum tertata, berantakan seperti kapal pecah. Jendela bagian belakangnya juga banyak yang bolong-bolong besar, yang ditambal-tambal tripleks. Satu ruangan untuk kelas I dan II, sedang satu ruang lagi untuk kelas III, IV, V dan VI. Dua ruang terakhir itu lantainya sudah berkeramik. Menurut Arif, ruang itu baru saja di rehab.  

Sama dengan dua sekolah yang saya lihat di Jatipandak, siswa SDN Kedungbanjar juga tidak banyak. Jumlah seluruhnya ada 20 orang.
Kelas I ada 5 orang, kelas II, III, IV, masing-masing ada 2 orang, kelas V ada 4 orang dan kelas VI ada 5 orang. Gurunya ada 5 orang, termasuk kepala sekolah. PNS-nya 2, kepala sekolah dan seorang guru.  GTT-nya ada 3. Ditambah Arif, jumlah guru sekarang menjadi 6 orang.

Desa Kedungbanjar hanya terdiri dari 67 KK, dengan 307 jiwa. Jadi memang penduduknya tidak terlalu banyak. Menurut kepala sekolah, semua anak usia sekolah sudah bersekolah. Anak usia SD bersekolah di SDN Kedungbanjar. Sedangkan anak usia SMP dan SMA bersekolah di SMP Wudi dan di Sukobendu atau Kedungpring. 

Saat kami berkeliling, seorang siswa Arif, namanya  Agung Andrianto, selalu bersama kami. Agung kelas VI SDN Kedungbanjar. Nampaknya dia cukup dekat dengan Arif. Waktu saya tanya, senangkah diajar pak Arif, dia jawab, 'nggih seneng, bu....wonten sing ngajar Matematika." "Lha opo sakdurunge gak onok sing ngajar Matematika?" Tanya saya. "Wonten, bu, pak Sundoyo." Terus, apa bedanya dengan pak Arif?" Saya bertanya lagi. "Nggih pokoke seneng wonten pak Arif......" Jawabnya. Saya tidak ingin melanjutkan pertanyaan saya, karena saya memang tidak ingin membanding-bandingkan Arif dengan guru-guru yang sudah ada. Yang saya inginkan adalah kehadiran Arif bisa membantu semuanya, membantu mengajar Matematika dan mata pelajaran yang lain, sesuai dengan kemampuannya. Termasuk membantu membenahi manajemen sekolah, juga perpustakaan sekolah yang masih akan dirintis. 

Cita-cita Agung dalam pandangan saya, begitu sederhana. Ingin menjadi kepala dusun. "Kenapa, Gung, kok ingin jadi kepala dusun?" Dia hanya tersenyum malu-malu. Setelah saya tanyakan ke Arif, ternyata karena bapaknya adalah seorang kepala dusun, dan Agung ingin kelak bisa menggantikan jabatan bapaknya itu.

Agung mempunyai seorang adik perempuan, duduk di kelas V SDN Kedungbanjar juga. Mereka berangkat jam 06.00 pagi dari rumah menuju sekolah, jalan kaki. Kadang-kadang Agung bawa sepeda angin, tapi katanya, lebih sering turun dan nuntun sepedanya, karena jalannya jelek dan naik turun. 

Waktu saya tanya, sebelum berangkat ke sekolah, sudah sarapan belum, dia jawab "sudah, bu. Sarapan nasi goreng". "Selain nasi goreng, apa lagi?" "Nggih nasi goreng niku bu.." "Mosok nasi goreng terus?" "Nasi putih, bu..." Jawabnya. "Lauknya apa? Tahu, tempe, telur, kecap, krupuk....?" Dia berpikir, mengingat-ingat... "Ayam, bu. Mbeleh sendiri. Tapi sudah lama...." 

Setelah puas melihat-lihat sekolah, kami bergerak menuju tempat tinggal Arif, yang jaraknya sekitar satu kilometer dari sekolah. Ternyata Arif menumpang di rumah kepala desa. Kami bertemu dengan pak kades dan bu kades, di rumahnya yang sangat sederhana untuk sebuah jabatan kepala desa. Rumah yang masih setengah jadi, dengan perabot yang juga sederhana. Pak kades baru sekitar tiga bulan menjabat, sejak Juni 2013. Saya menyampaikan terima kasih kepada beliau sekeluarga karena sudah menampung Arif, dan memohon bimbingannya untuk Arif, agar Arif bisa belajar dan melakukan banyak hal selama masa pengabdiannya.

Arif sendiri, adalah lulusan UAD (Universitas Ahmad Dahlan) Yogyakarta, tahun 2013, dari program studi Pendidikan Fisika. Pembawaannya sangat sopan, dan dia, saya lihat, begitu peduli pada anak-anak. Beberapa kali dia mengingatkan Agung, "pakai tangan kanan, Gung..." atau "Itu lho, ditanya ibu, dijawab dengan baik...". Saya berharap, di tempat ini, dia bisa menjadi uswatun hasanah, menjadi tauladan bagi anak-anak didiknya, serta masyarakat pada umumnya. Juga mampu membawa perubahan untuk membangun semangat kebersamaan, kerukunan, dan semangat belajar sepanjang hayat.

Di awal-awal kehadirannya di desa ini, Arif sempat dibingungkan dengan masalah MCK. Di desa Kedungbanjar, hampir sama dengan di desa Jatipandak, MCK nyaris tidak ada di rumah-rumah penduduk. Bahkan di rumah kades pun, tidak ada. Kalau Anas di Jatipandak masih bisa menumpang di sekolah untuk buang hajat, Arif di minggu pertama tidak buang hajat besar sama-sekali. Diempet. Pompa di sekolah rusak, sehingga MCK-nya tidak ada airnya. Mau ikut-ikutan pergi ke hutan seperti penduduk setempat, dia tidak bisa. Sampai akhirnya, dia menemukan MCK di Polindes. Syukurlah. Maka sejak saat itu, Arif selalu pergi ke Polindes untuk buang hajat. Cukup dua hari sekali. Wah, saya sampai geleng-geleng kepala. "Jangan diempet, Rif, bisa jadi penyakit lho. Orang itu normalnya setiap hari be'ol..." Saya mengingatkannya.

Listrik tidak masalah di Kedungbanjar, sudah ada sejak 1999. Tapi air.....susah sekali. Sejak kami memasuki desa Wudi, satu-satunya desa yang menjadi pintu masuk menuju Kedungbanjar, beberapa kali berpapasan dengan para ibu yang sedang memikul drum-drum berbentuk kotak berisi air. Keringat mereka bercucuran. Mereka mengambil air dari sebuah sumur yang jaraknya lumayan jauh. 

Sepanjang perjalanan sejak dari waduk Nggondang menuju Kedungbanjar, kami melewati beberapa jembatan, dan sungai-sungai di bawahnya  kering kerontang. Sama sekali tidak ada air setetes pun. "Yo iki Lamongan....." Kata mas Ayik. "Udan gak iso ndodok, ketigo gak iso cewok...."

Mas Ayik pernah KKN di Lamongan, tepatnya di desa Sidodowo, Kecamatan Mojo. Dia lumayan faham Lamongan. Ungkapan itu, juga dia peroleh dari masyarakat setempat. Lamongan, seperti yang kita ketahui, sebagian wilayahnya selalu menjadi langganan banjir setiap tahun. Namun begitu musim kemarau tiba, maka air menjadi barang langka.

Sebelum pamit, kami diminta mengisi buku tamu oleh pak kades. Buku tamu yang masih baru, usianya sama dengan usia menjabatnya pak kades, baru tiga bulan. Saya lihat, tanggal 13 September 2013, ada nama Suwarno (Unesa) dan Masyhari (YDSF). Keperluan, mengantar guru Jatim Mengajar. Karena saat ini tanggal 13 Oktober, berarti persis sebulan yang lalu Arif datang di tempat ini. Masih ada sebelas bulan lagi yang harus dilaluinya bersama masyarakat dan anak-anak sekolah di sini. Semoga kehadirannya mampu memberikan perubahan bermakna. Mampu menjadi pelita bagi anak-anak didiknya, melambungkan mimpi dan cita-cita mereka, untuk meraih masa depan yang cemerlang. Mengantarkan mereka menjadi generasi yang cerdas (fathonah), jujur (siddiq), peduli(tabligh) dan bertanggung jawab (amanah).  

Semoga Allah SWT meridhoi. Amin ya Rabb....

Lamongan, 13 Oktober 2013

Wassalam,
LN

Wisata Edukasi

Akhirnya kami, saya dan suami, sampai di tempat ini. Di SDN Jatipandak. Sekolah di tengah perkampungan. Di sebuah desa bernama Jatipandak, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan. Sore hari, saat senja siap jatuh. 

Tak pelak, kekaguman saya tak terbendung. Hampir tidak percaya saya menatap empat bangunan itu. Sebuah bangunan bercat oranye, terdiri dari empat ruang. Itulah bangunan yang paling indah di antara tiga bangunan yang lain. Satu bangunan dengan ukuran yang sama, melintang di ujungnya, membentuk huruf L, namun kondisinya bertolak belakang. Bangunan itu tak bercat, tak berpintu, banyak bagian temboknya yang retak, rangkanya melengkung, atapnya koyak, siap ambruk. Satu lagi, bangunan rumah sederhana, lumayan layak meski tembok depannya retak besar. Itulah mes guru. Jauh lebih layak dibandingkan dengan satu bangunan di depannya, yang terdiri dari tiga petak. Tiga petak itu, juga mes guru. Tak terawat, tak layak huni. Temboknya kusam, pintu tripleknya nyaris hancur. 

Beberapa anak sedang bermain di sebuah luncuran dan ayunan, di depan mes itu. Seorang ibu menemani mereka. Tawa ceria mereka, bertolak belakang dengan suasana kusam dan sungup yang melingkupi sekitarnya.

Kami berjalan melihat sekeliling. Mas Ayik sibuk mengambil gambar. Saya melongok ke bagian dalam bangunan bercat oranye, bangunan yang paling indah itu. Dari terali kawat yang sudah berkarat, saya bisa melihat bangku-bangku, papan tulis dan dinding-dinding yang kusam, lantai tanah yang kotor, dan debu di mana-mana. Beberapa hiasan dinding, lukisan di atas kertas, sepertinya karya siswa, bahkan tak mampu memberikan sentuhan keindahan. Kekaguman saya semakin menjadi-jadi. Betapa mungkin anak bisa betah belajar di kelas yang 'senyaman' ini?

Saya menjauh dari bangunan itu. Mendekati bangunan koyak di dekatnya. Hanya melihat-lihat dari teras. Tak berani masuk. Bangunan ini sepertinya siap menimpa siapa saja begitu ada kaki yang menginjak lantai tanahnya. Saya ngeri sendiri membayangkan hal itu.

Saya menjauh dari kelas-kelas yang rusak itu. Menyapa gadis-gadis kecil di halaman sekolah. "Halo adik-adik, siapa yang sekolah di sini?" Dua gadis manis mendekat. Malu-malu menyebutkan namanya saat saya tanya.  

Nama anak itu cukup panjang, Leli Tri Wahyuni Ainur Rochimah, siswa kelas empat (seingat saya, Ainur Rochimah adalah nama asli Inul Daratista, mungkin orang tua Leli, nama panggilan anak itu, penggemar berat Inul...hehe). Yang satunya lagi, namanya Fatazilun Dwi Saskia, kelas empat juga. Panggilannya Ilun.

Sambil menunggu Anas, peserta Jatim Mengajar yang bertugas di Jatipandak ini, saya mengobrol dengan dua anak itu. Selama mengobrol, teman-teman mereka satu per satu datang, bergabung. Jadilah kami mebentuk forum kecil dengan topik seputar sekolah mereka. 

Tidak perlu bertanya ke kepala sekolah atau guru untuk bisa mendapatkan beberapa informasi tentang sekolah ini. Leli dan Ilun saja sudah cukup paham. Jumlah siswa seluruhnya ada 20. Rinciannya: kelas I tidak ada siswanya, kelas II ada 9 siswa, kelas III ada 3, kelas IV ada 5, kelas V ada 1, dan kelas VI ada 2. Bahkan kedua anak itu bisa menyebut semua nama siswa di sekolah itu. Juga siswa Taman Kanak-Kanak. Oya, di sekolah itu, satu kelas untuk TK, satu kelas untuk kelas II dan III, dan satu kelas untuk kelas IV, V dan VI.

Menurut Leli dan Ilun, gurunya ada enam, yaitu bu Wiwin, bu Utami, pak Ma'un, pak Yogi, pak Saidi, pak Matlan. Pak Ma'un mengajar agama, pak Saidi mengajar olah raga. Pak Matlan adalah kepala sekolah. Dua guru yang lain, adalah guru kelas, tentu saja mengajar semuanya. Saat saya tanya, apakah mereka kenal dengan pak Anas, guru baru di sekolah itu, mereka menggeleng.

Jumlah siswa TK ada 9 orang, dengan dua orang guru, namanya bu Issa dan bu Sus. Saat saya minta Leli dan Ilun menyebutkan nama-nama siswa TK, mereka juga hafal semua.

Sekolah setiap hari masuk jam 7.30, pulang jam 11.30. Selama jadi siswa di sekolah itu, Leli dan Ilun belum pernah melaksanakan upacara bendera. Mereka juga tidak hafal lagu Indonesia Raya. Teks Pancasila juga tidak hafal. Beberapa lagu seperti Satu Nusa Bangsa, Padamu Negeri, dan Garuda Pancasila diajarkan oleh guru olah raga. Namun mereka juga tidak hafal saat saya ajak bernyanyi bersama.

Di tengah perbincangan kami, Anas datang, bersepeda motor. Mengenakan jaket almamater, bersarung dan berkopiah. Anas, lulusan STKIP Trenggalek tahun 2012, jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia itu, adalah salah satu peserta Jatim Mengajar. Sebuah program kerja sama antara Unesa dan Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF). Tahun ini merupakan angkatan pertama. Dari 26 calon peserta, hanya 7 yang lolos. Ketujuh peserta itu kami tugasnya di Lamongan 2 orang, Madiun 2 orang, dan Ponorogo 3 orang. 

Program Jatim Mengajar kami kemas persis seperti program SM-3T, mulai dari persyaratan peserta, seleksi, prakondisi, dan tugas-tugasnya selama di tempat pengabdian. Prakondisinya juga sama, yaitu di Kodikmar. Bedanya, peserta Jatim Mengajar harus bisa mengaji, karena ada muatan dakwahnya, dan sementara ini hanya khusus untuk laki-laki. Bedanya lagi, usai mereka melaksanakan tugas pengabdian, tidak ada 'reward' untuk mengikuti PPG (Program Profesi Guru), meski saat ini kami sedang berupaya ke kemdikbud, supaya peserta Jatim Mengajar bisa menempuh PPG juga usai masa pengabdian mereka. Ya, harus ada apresiasi bagi fihak-fihak yang berinisiatif untuk berpartisipasi membantu percepatan pembangunan pendidikan di daerah-daerah tertinggal. Pemerintah belum, atau tidak akan mampu mengatasi semuanya, maka gerakan-gerakan besar maupun kecil dari fihak mana pun yang secara konsisten ikut membantu menyelesaikan berbagai persoalan pendidikan khususnya di daerah-daerah tertinggal, musti diapresiasi.

Ternyata Anas tidak mengajar di sekolah ini. Pantas saja tadi Leli dan Ilun tidak mengenalnya. Ternyata ada SDN Jatipandak yang lain, sekitar dua kilometer dari tempat ini. "Baiklah, kalau begitu, mari ke sekolahmu",
kata saya.

Kalau tadi untuk mencapai tempat ini saya membonceng mas Ayik (dengan meminjam sepeda motor orang kampung, tempat kami memarkir mobil di ujung jembatan), maka saya sekarang membonceng Anas. Sepeda motor yang dikendarai mas Ayik sepertinya sudah cukup tua, dan terlalu berat untuk kami bebani berdua. Selain itu, dengan membonceng Anas, saya bisa mengobrol sepanjang perjalanan menuju sekolahnya. 
Tidak terlalu sulit mencapai sekolah tempat Anas bertugas. Meski harus menembus hutan jati, dengan kondisi jalan terbuat dari rabat semen yang sudah pecah-pecah dan rusak di mana-mana, naik-turun, sangat curam, namun tidak  ada jurang di kanan-kiri jalan, tidak seperti di Sumba Timur. Meski begitu, kita harus tetap ekstra hati-hati dan pandai-pandai memilih jalan kalau tidak ingin jatuh terjerembab atau tergelincir di jalan-jalan yang menanjak dan menurun dengan tingkat ketinggian dan kecuraman yang lumayan ekstrim.

Kondisi SDN Jatipandak 2 jauh lebih baik dibanding SDN Jatipandak 1. Ada sepetak halaman, memang lebih kecil, namun lebih bersih. Dari luar, bangunannya yang juga bercat oranye, nampak lebih terawat. Namun saat saya melongok ke bagian dalamnya melalui jendela kaca, kondisinya tidak berbeda jauh dengan sekolah yang kami lihat tadi. Beralas tanah, dengan papan tulis dan dinding-dinding yang kusam. Debu di mana-mana. Anas bilang, setiap pagi, sebelum pelajaran dimulai, anak-anak harus menyirami kelasnya dulu, agar selama pelajaran, debu tidak beterbangan.

Sekolah itu memiliki tiga kelas, dengan 22 siswa, dan 6 guru, termasuk kepala sekolah dan Anas. Kepala sekolahnya sama dengan kepala sekolah SDN Jatipandak 1, yaitu pak Matlan. Tiga guru sudah PNS, sudah senior semua, salah satunya bahkan menderita asma. Seorang guru yang lain, pak Ma'un, tiga hari bertugas di sekolah tersebut, tiga hari yang lain di sekolah satunya. Dua yang lain guru GTT. Satu lagi, adalah Anas.

Sama dengan SDN Jatipandak 1, sekolah yang berdiri sejak 1983 ini, juga menerapkan kelas rangkap. Kelas I dan II bergabung. Selebihnya, kelas IV, V dan VI, bergabung. Kelas III tidak ada siswanya. Kelas I siswanya ada 6 orang, kelas II ada 3 orang, kelas IV ada 5, kelas V ada 6, dan kelas VI ada 3 orang. 

Setiap pagi, Anas datang ke sekolah paling pagi. Mengkondisikan kelas-kelas dan siswa. Jam 07.00 tepat, dia  memukul lonceng sekolah. Sambil menunggu kepala sekolah dan guru-guru datang, dia mengisi kelas-kelas. 

Saya sempat bertanya-tanya, kenapa SDN Jatipandak 1 dan 2 tidak dimerger saja. Tapi pertanyaan itu saya jawab sendiri. Dengan jarak tempuh yang cukup jauh, dan medan yang tidak terlalu mudah, mungkin inilah jalan terbaik. 

Senja semakin gelap. Adzan maghrib berkumandang. Kami singgah di tempat tinggal Anas, di dekat sekolah itu. Dia menumpang di rumah pak Ponaji, seorang guru juga. Masih muda, baru empat tahun PNS. Istrinya, ibu rumah tangga, aslinya dari Lawang. Putranya satu, masih kecil. Pak Ponaji adalah putra daerah, asli Jatipandak. 

Kami tidak lama di rumah itu, karena kami harus segera melanjutkan perjalanan kembali ke desa Kandangan, tempat mobil kami parkir di ujung jembatan, di depan rumah penduduk. Sebelum gelap benar-benar jatuh, dan menyulitkan pandangan kami berkendara membelah hutan yang gulita.
  
Di tengah menempuh perjalanan yang terjal itu, pikiran saya melayang-layang. Kami hanya perlu waktu sekitar 3,5 jam untuk menjangkau tempat ini.
Dari Surabaya, lewat Menganti, Balungpanggang, Mantup, Sambeng. Dengan mengandalkan google map di tab saya. GPS di mobil lupa tidak di-charge baterainya, jadi mati di tengah jalan menjelang masuk Balungpanggang. Tiga setengah jam, bukan waktu yang lama. Ini Lamongan, kabupaten yang masih berdekatan dengan Surabaya, ibukota Provinsi Jawa Timur. Bukan di NTT, Maluku atau Papua. Namun sensasinya tidak kalah dengan tempat-tempat yang disebut 3T itu. Kondisi sekolahnya, juga kondisi medannya. Bedanya, kami melewati beberapa perkampungan yang padat. Namun hutan-hutan dan jalan-jalan yang terjal dan curam menjadi suguhan yang tak kalah menantangnya.

Wisata edukasi sore ini tuntas. Diteruskan besok saja. Sudah terlalu malam untuk mencapai tempat Arif, salah satu peserta Jatim Mengajar juga, meski di kecamatan yang sama. Tempat tugasnya, di SDN Kedungbanjar, masih lebih dari satu jam waktu tempuh untuk menjangkaunya. Kami hanya bertemu Arif dan temannya, seorang guru honorer di sekolah yang sama, di depan UPT Kecamatan Sambeng. Mengobrol di pinggir jalan.

Kemudian kami berpisah. Saya berjanji untuk mengabarinya besok jika kami akan datang mengunjunginya. Melanjutkan wisata edukasi kami. Mengisi satu dua hari di akhir pekan ini.

Selamat menjalankan puasa arafah. Selamat berkurban. Semoga Allah SWT meridhoi ibadah kita. Amin Ya Rabbal Alamin.

Lamongan, 12 Oktober 2013

Wassalam,
LN