Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Rabu, 01 Januari 2014

Menyambut Tahun Baru 2014

Tahun baru ini, kami memutuskan tidak ke mana-mana. Tentu saja setelah menimbang-nimbang dari beberapa alternatif agenda. Antara lain: ke Tuban, bawa tenda, nge-camp di pantai, di hutan mangrove. Di hutan mangrove itu, tentu saja, penuh dengan tanaman mangrove. Menghampar sekitar tiga kilometer, mulai dari sisi terminal baru ke arah barat. Di hutan mangrove itu ada camping ground-nya, ada juga penginapan dan tentu saja para penjual makanan dan pernak-pernik khas wisata pantai. Rumah kami, di Desa Jenu, tidak terlalu jauh dari hutan mangrove itu, hanya sekitar tiga kilometer. Kami membayangkan nge-camp di hutan itu, bersama para keponakan, sambil bakar-bakar jagung, ketela, sosis, bakso, dan makan mie instan. Menikmati malam tahun baru. Tentu mengasyikkan, namun untuk saat ini, rasanya belum memungkinkan.  

Agenda kedua, ke Ponorogo, Menemani bapak dan ibu. Namun karena ada adik-adik yang juga berkeinginan ke Ponorogo, akhirnya adik-adiklah yang menemani bapak dan ibu. Kami cukup meminjamkan mobil dan menyiapkan bensinnya saja. 

Agenda ketiga, di rumah saja. Kebetulan saya kemarin baru saja dari dokter. Saya kena radang tenggorokan, tiga hari menahan sakit di tenggorokan dan rasa njarem di leher, akhirnya harus menyerah pada suntik dan obat dokter.  Sebelumnya saya coba mengobati sendiri dengan obat herbal yang biasanya cukup manjur. Namun mungkin selama sakit itu aktivitas saya cukup tinggi, maka sakitnya nggak hilang-hilang. Dengan obat dan antibiotik dari dokter, sakitnya berangsur berkurang, meski setelah minum obat, rasa kantuk selalu menyerang nyaris tanpa bisa ditahan. Artinya, saya dipaksa istirahat. Ya sudah, sejak kemarin, saya menikmati tidur sore, maksudnya tidur malam tapi sebelum pukul 21.00. Biasanya saya tidur menjelang tengah malam atau bahkan lewat tengah malam.

Kami memilih alternatif ketiga. Di rumah saja. Pagi tadi adik yang tinggal di Gedangan, SMS dan mau bergabung di Karah. Suaminya kerja di Laos. Melewati malam tahun baru hanya berdua dengan anak semata wayangnya, di lingkungan perumahan yang sepi karena para penghuninya banyak yang keluar kota, membuat dia merasa kurang nyaman. Maka sejak sore tadi, dia sudah boyongan ke rumah kami, di Karah.

Hari ini saya memasak seperti biasa, hanya jumlahnya saja yang lebih banyak. Belanja juga di tukang sayur langganan saja. Seadanya yang dibawa tukang sayur. Ayam kampung dan kepiting. Ayam kampung saya masak opor, kepiting saya masak kare, sudah ada kering tempe bikinan ibu, dan sambal terasi. Juga krupuk udang. Selebihnya buah-buahan: salak, buah naga, pepaya, apel, pear. Buah-buahan itu sebagian besar datang sendiri, tidak beli. Juga pisang rebus. Oya, juga rengginang lorjuk, kacang bawang dan emping goreng. Full asam urat. Hehe.

Selepas maghrib, mas Ayik pasang tenda di depan rumah. Lengkap dengan kursi-kursi santai. Begitu tenda siap, kasur dan bantal dimasukkan, keponakan kami, Ichiro, langsung menyerbu masuk tenda bersama mamanya, tidur. Jam 20.00 sudah sepi. Arga sendiri sudah berangkat keluar rumah sejak lepas maghrib tadi, ada 'tanggapan' nge-band. 

Saya dan mas Ayik bersiap-siap. Mengeluarkan sepeda, helm, senter dan lampu sepeda, dan perbekalan.  Tepat pukul 21.00, kami keluar rumah, tentu saja setelah pamit pada adik dan berpesan padanya untuk pindah masuk ke dalam rumah kalau sudah bosan di tenda. 

Bersepeda menuju Bungkul. Apa lagi kalau tidak demi car free night. Sejak keluar ke jalan besar, kami langsung terjebak kemacetan. Sebenarnya saya sendiri agak enggan ke Bungkul, tidak nyaman, karena pasti macet. Tapi mas Ayik mengajak ke sana, ya sudah, mengikuti ritme suami saja.

Di Taman Bungkul, manusia tumplek bleg, tua muda laki perempuan bahkan bayi-bayi pun mememuhi jalanan. Pesepeda tidak banyak, yang banyak manusianya. Ada banyak panggung, ada banyak pertunjukkan, terompet bersahut-sahutan, ingar bingar. Sama sekali tidak nyaman. Ini hiburan yang justeru bikin stres. Sebenarnya seperti itulah memang yang sudah saya bayangkan kondisi Bungkul pada malam ini. Tapi apa boleh buat, setidaknya sudah tahu suasananya seperti apa.

Rencana menikmati Taman Bungkul barang sebentar, kami urungkan. Kami langsung ambil jalan pulang, menuju arah kampus, lewat jalan Kutai, tembus Gunungsari, lanjut Ketintang, masuk kampus. Sejak sebelum masuk pintu gerbang, beberapa anggota Menwa sudah menyapa, begitu juga sampai di pos satpam. Ternyata banyak juga yang mengenal saya, sehingga tidak perlu bernego dengan satpam untuk dibukakan palang pintu. Ya, malam ini keamanan kampus dikendalikan super ketat. Hanya orang-orang yang jelas-jelas saja yang boleh masuk kampus. Yang kurang jelas, meski bilang mau ke himapala atau ke humas, tidak diperbolehkan. Alasannya, tidak ada surat pemberitahuan kalau malam ini di kedua sekretariat itu ada acara. Ya, memang. Namanya juga acara spontanitas saja, jadi nggak pakai surat pemberitahuan.

Di Humas, teman-teman sedang 'cethik geni', belum ada bakar-bakar. Padahal tadi mas Rohman, sahabat kami yang juga tim Humas Unesa, SMS kalau sedang siap-siap untuk bakar jagung. Saya kira jagungnya sudah dibakar dan saya tinggal melahapnya...hehe, maunya...

Karena di Humas masih siap-siap, kami bergeser ke sekretariat Himapala. Lumayan ramai. Mereka menggelar tikar dan karpet. Memasang TV besar di depannya. Masak penyetan. Ada acara game-game yang bikin ger-geran. Seru. 

Sekitar sepuluh menit menjelang tengah malam, kami pamit. Geser ke Humas lagi, karena mas Rohman beberapa kali SMS minta kami mampir ke sana. Teman-teman Humas sedang berkumpul di busem, siap-siap menyalakan kembang api. Ada sekitar dua puluh-an mereka, laki-perempuan, sebagian besar adalah para reporter. 

Detik-detik pergantian tahun pun tiba. Suara menggelegar ada di mana-mana, warna terang benderang memercik-mercik dan bersemburat di atas. Di mana-mana suara berdebum bersahut-sahutan. Saya seperti sedang dalam medan perang dan dikepung dari segala penjuru. Pada dasarnya saya tidak suka suara petasan dan sejenisnya. Tapi kilatan-kilatan kembang api di angkasa itu begitu indahnya, dan memaksa saya untuk terus menikmatinya.

Selamat datang 2014.
Semoga semakin berkah untuk kita semua, untuk negara dan bangsa. Amin YRA.


Surabaya, 1 Januari 2014. 01.10 WIB.

Wassalam,
LN

Sabtu, 28 Desember 2013

Senja

Senja mulai jatuh perlahan
Membawa sejuta tabir dan menutup kilau matahari
Adzan maghrib berkumandang memanggil setiap insan untuk bersiap diri
Cukuplah hari ini bersibuk diri
Saatnya bersimpuh di hadapan Illahi Rabbi...

Tanggulangin, 28 Desember 2013. 17.50 WIB.


Wassalam,
LN

Soreku

Soreku adalah kelelahan yang memuncak seperti lelahnya matahari yang sinarnya meredup di ujung senja
Diamnya rumput ilalang yang tak bergerak sedikit pun karena angin telah lelah menerpanya
Gegung-gedung tinggi yang beku dan temaram lampu-lampu yang masih bermalas-malasan untuk menyala

Soreku
Menjadi sangat hidup saat sedang mengingatmu 
Bersemangat menyapa pepohonan yang di rerantingnya tersangkut bayang-bayangmu
Mencumbui aroma cemara hutan yang terendus seperti wangimu 

Aku, matahari, ilalang, gedung-gedung, lampu-lampu, semua telah lelah sore ini
Namun kerinduan menemui sosokmu dan membaui wangimu, membasuh semua lelahku

OTW Home, Wiyung
27 Desember 2013
17.00

Wassalam,
LN

Warnamu

Warnamu membuat hari-hariku menjadi semakin penuh warna
Melengkapi warna-warna indah yang ada di sekitarku
Tahukah kau pelangi yang melengkung di langit selepas hujan turun?
Atau semburat jingga yang merona menjelang matahari tenggelam di cakrawala?
Juga kuning keemasan yang terkembang saat rembulan sedang purnama?

Warnamu melengkapi warna-warna indah di sekelilingku
Menorehkan garis-garis emas di kanvas kehidupanku
Adakah dirimu pernah menampak hamparan sawah yang padinya telah rata menguning?                                    Atau seluas padang sabana dengan bukit-bukit hijau yang memayunginya?

Warnamu mengisi sudut-sudut kosong dalam memoriku, memenuhinya dengan gambar-gambar penuh suka cita
Pernahkah dirimu memandangi serombongan kuda yang berlarian di tepian pantai, berlatar batu-batu karang dan jajaran nyiur melambai?
Atau domba-domba yang bekerjaran di antara semak belukar, saat hari segera menjelang sore? 

Indahmu adalah warna-warna itu, berhembus merasuk di setiap helaan nafasku, menggurat meninggalkan jejak di dinding-dinding hatiku, dan mencair mengalir bersama aliran darahku

Warnamu, melengkapi warna-warna indah dalam kehidupanku...

OTW PPG, Macet di Wiyung
27 Desember 2013
14.00 WIB

Wassalam,
LN

Selasa, 24 Desember 2013

Perjalanan Paling Lama

Akhirnya tiba di rumah ibu. Setelah menempuh perjalanan hampir enam jam. Ya, enam jam. Ini perjalanan paling lama Surabaya-Tuban yang pernah kami tempuh. Biasanya, kami hanya perlu waktu dua sampai dua setengah jam. 

Berangkat dari rumah selepas salat maghrib, kami memasuki tol Gunungsari. Tidak pakai lama, langsung dihadang kepadatan yang luar biasa. Begitu sampai tol Romokalisari, kepadatannya sudah meningkat menjadi kemacetan. Rencana keluar melalui pintu tol Bunder, kami urungkan. Macetnya nggilani. Kami terus menuju tol Manyar. Total waktu yang kami perlukan sejak masuk pintu tol Gunungsari sampai keluar pintu tol Manyar, hampir dua jam. Cukup fantastis.

Manyar sampai Tuban lancar meski sesekali padat merambat. Sekitar lima kilometer keluar kota Tuban ke arah Jenu, di depan terminal, tiba-tiba kami dihadang kemacetan lagi. Mandeg jegrek. Truk dan mobil-mobil pribadi berderet-deret. Padahal rumah kami hanya sekitar tiga kilometer di depan. Tapi mobil kami sama-sekali tidak bisa bergerak.

Waktu saya tanya pada seorang bapak, penduduk setempat, yang sedang berdiri di pinggir jalan, kemacetan itu katanya akibat adanya kecelakaan. Entah kecelakaan apa. 

Ketika situasinya memungkinkan, mobil pun kami arahkan ke bahu jalan sebelah kiri. Mlipir-mlipir di sisi barisan truk besar. Lantas memutuskan belok ke kiri, mencari jalan-jalan alternatif masuk ke kampung-kampung. Ada tiga mobil yang mengikuti jejak kami, 'ngintil' di belakang. Untunglah Tuban tidak punya jalan jelek. Di kampung-kampung sepelosok apa pun, semua jalannya beraspal. Jadi meski sempat sekali salah jalan, dengan bertanya pada penduduk setempat, kami bisa segera kembali ke jalan yang benar,

Tiga mobil yang ngintili kami meneruskan perjalanan mereka ke Rembang dan Semarang setelah mas Ayik memberikan petunjuk arah yang mereka harus tempuh. Di ujung jalan, kami berpisah. Tiga mobil itu mengambil arah belok kiri, sedang kami belok kanan. Rumah kami hanya sekitar seratus meter dari titik persimpangan jalan itu.

Alhamdulilah. Setelah membuka pintu gerbang yang pintunya sengaja dibiarkan terbuka sebelah, mobil kami meluncur memasuki halaman, langsung serong kanan, melintasi jalan di samping rumah ibu yang besar, dan parkir di belakang rumah. Lega nian. Apa lagi setelah bertemu ibu, mbak-mas dan keponakan-keponakan. Beberapa dari mereka, meski sudah hampir tengah malam, ternyata belum tidur. Menikmati malam natal sambil menunggu 'Lik-Luk' dan abah Ayik yang cakep-cakep ini....

Tuban, 24 Desember 2013

Wassalam,
LN

Senin, 23 Desember 2013

Puisi untuk Ibu

Ibu
Sore ini hujan turun deras sekali, hujan yang sama seperti kemarin-kemarin
Beberapa hari, bahkan beberapa minggu ini, langit seperti tak pernah kering, sepanjang waktu dia menumpahkan airnya ke bumi
Dinginnya sore yang merangkak menuju senja mengingatkanku pada sosokmu
Saat itu, di sore yang basah dan dingin, kau hangatkan tubuhku dengan selimut kecilku
Tanganmu yang lembut merengkuhku dalam pelukan hangatmu 
Lantas kau dekap terus aku dalam buaianmu, 
Sambil berdiri bersenandung di depan jendela, menunggu harap-harap cemas ayah pulang kerja

Ibu,
Aku sering lupa semua yang kau sudah lakukan
Aku lupa, suatu ketika, aku tarik-tarik mukenamu dalam sujudmu
Hanya supaya kau ambilkan aku segelas susu
Itu pastilah belum seberapa
Menurut cerita, aku juga suka mengencingi wajahmu, mengotori dadamu dengan muntahanku, dan bahkan kau menampung kotoranku dengan kedua telapak tanganmu
Tak terbayangkan bagaimana mungkin aku bisa lupakan semua itu

Ketika aku sudah dewasa, aku seringkali membuatmu kecewa
Membantahmu, mengabaikan nasehatmu, bahkan membohongimu
Kau hanya diam dengan mata penuh luka, menahan kemarahan dan kesakitanmu, dengan istighfar dan doa yang berhamburan dari gemetar bibirmu
Dan aku menghambur pergi dengan kemarahanku, tak peduli, meninggalkanmu terpuruk dalam tangis penuh pilu

Ibu,
Sore ini hujan turun deras sekali, hujan yang sama seperti kemarin-kemarin
Dan aku tak tahu
Adakah yang menyelimuti dirimu dalam dinginnya sore yang basah seperti ini?
Aku bahkan tak tahu, apakah kau punya selimut untuk sekedar menghangatkan tubuh tuamu?
Adakah seseorang yang menghampirimu dan menyorongkan segelas susu untukmu?
Adakah aku yang datang memelukmu dan memberikan kehangatan bagi tubuh kecilmu yang menggigil?

Maafkan aku, ibu
Ternyata aku ada di sini
Di tempat yang jauh dan tak mampu menjangkaumu
Aku masih di sini
Bergumul dengan ribuan urusan yang tak hendak kutinggalkan meski kau membutuhkanku
Maafkan anakmu, ibu
Atas ketakpedulian ini, atas keegoisan ini, atas ketidakpengertianku
Aku mohon, maafkan aku
Karena maafmu adalah energi hidupku, doamu adalah nafasku, dan keikhlasanmu adalah aliran darahku
Sehebat apa pun aku, setinggi apa pun aku, apalah artinya tanpa maaf dan doamu

Ibu, 
Meski seringkali aku menyakitimu
Percayalah, aku sangat mencintaimu, walau tak selalu mampu membahagiakanmu
Percayalah, doaku senantiasa kupanjatkan untukmu, semoga kau dalam lindungan Illahi Robbi selalu
"Allaahummaghfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kamaa robbayaani shaghiiraa"
Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan ibu bapakku, sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku di waktu kecil
Amin Yaa Rabbal alamiin...

Selamat hari ibu...

Surabaya, 22 Desember 2013

Wassalam,
LN

OTW Lawang
(Mendampingi bapak ibu...)

Jumat, 20 Desember 2013

Sepanjang Jalan Doho

Menyusuri sepanjang jalan Ndoho, di Kota Kediri yang berselimut rinai, rintiknya berpendar-pendar membasahi jalan
Menggiring setiap orang berteduh di teras-teras pertokoan yang panjang

Menyusuri sepanjang jalan Ndoho, sambil bergayut erat di lenganmu
Menapak jejak romantisme berpuluh tahun silam, romantisme yang tak lekang oleh waktu
Masih kunikmati rasa dan debar-debar itu, seperti dulu

Menyusuri sepanjang jalan Ndoho, meliuk-liuk di sela-sela para penjual makanan jajanan: pecel tumpang, nasgor, mie goreng, wedang kopi, roti dan bolu
'Ini seperti Malioboro saja', katamu
Lantas menunjuk relief-relief di dinding-dinding toko
'Lihat itu, sayang, itu bangunan-banguna kuno'
Sesaat sebelum kau gamit lenganku, duduk di atas tikar
Menikmati sepincuk pecel tumpang, menghayati suapan demi suapan, ditemani alunan musik para pengamen remaja ingusan

Menyusuri sepanjang jalan Ndoho, di Kota Kediri yang berselimut rinai, rintiknya berpendar-pendar membasahi jalan
Dinginnya malam yang semakin beranjak, terasa hangat karena tanganmu melingkari pinggangku
Hangatnya menyelusup di dinding-dinding waktu, menembus batas kelamnya langit, menghimpun semua kenangan yang berserak di sepanjang jejakmu dan jejakku
Jejak kita
Menyatu dalam satu bahasa qalbu: I love you...


Kediri, 20 Desember 2013. 22.00 WIB.

Wassalam,
LN