Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Jumat, 10 Mei 2013

PERJALANAN WAKTU


Oleh: Lutfi Az.

(Catatan: Cerpen ini telah dimuat di Majalah Remaja ’Anita Cemerlang’ No. 288. 2-11 Januari 1989)

Mendung yang se­jak pagi tadi ha­nya menggan­tung saja di la­ngit, kini telah berubah jadi hujan deras. Aku urung melangkah ke halaman parkir, berbalik dan setengah berlari kembali ke teras Gelanggang Mahasiswa. Sam­bil mengeluh dalam hati, kusi­bakkan rok bagian bawahku yang basah. Mestinya aku sudah sampai di rumah beberapa menit yang lalu, jika saja aku tak tergoda untuk melihat pameran lukisan ini.

Kulihat jam di tanganku. Satu tiga puluh lima. Aku mulai gelisah. Kudekap map kuningku erat-erat, sambil mena­han dingin yang tiba-tiba menyergap. Sepuluh menit lagi, biarpun hujan be­lum reda, kupikir aku akan nekat pu­lang. Ibu selalu merasa lebih tenang kalau aku ada di rumah secepatnya, meskipun untuk itu aku mesti kehu­janan. Tapi... uh! Aku memaki diam­-diam sambil mengusap bahuku yang tiba-tiba basah. Seseorang dengan tu­buh dan pakaian hampir kuyup, yang baru saja datang, telah menyenggolku.

"Oh, sori...."

"Tak apa." Aku mencoba tersenyum, dan sedikit menggeser tubuhku, mem­berinya tempat. Orang itu menatapku saja, dan aku pura-pura tak melihatnya.

"Tera...?"

Kuangkat kepalaku setengah terkejut, dan... oh Tuhan! Aku benar-benar terke­jut kini. Tidak! Aku sungguh tidak menghendaki pertemuan ini.

"Andre...!" Kami berjabat tangan, a­mat erat setelah sama-sama lepas dari ketertegunan. Andaikata mungkin, be­tapa inginnya aku menghambur ke pe­lukannya, dan menghempaskan sege­nap kerinduanku. Oh! Segera kusadar­kan diri bahwa itu sebuah pikiran gila.

"Apa kabar'?" Tanya Andre. Dia selalu bisa lebih dulu menguasai perasaan.

"Baik."

"Kau...." Matanya menelitiku dengan seksama. "Kau kelihatan agak kurus sekarang."

"Ah, tidak!" Aku menghindari tatap­an Andre. "Ini sudah jauh lebih ge­muk. "

Andre tak menjawab. Sekali lagi dita­tapnya aku, lembut, tapi sarat dengan luka. Selalu begitu. Dan hatiku teriris. Luka batin ini ternyata tak juga berhenti mengucurkan darahnya....

"Bagaimana kau bisa basah kuyup se­perti ini, An?" Kuulurkan sapu tangan handukku, dan dia mengusap wajahnya serta sebagian rambutnya. Aku meman­dangnya dengan seribu perasaan yang berbaur jadi satu. Kemeja dan celana­nya basah di bagian depan, dan dia pas­ti kedinginan. Dalam keadaan seperti itu, sebenarnya aku amat ingin mem­bantu mengeringkannya, seperti dulu. Tapi nyatanya, untuk sekadar mengu­sap lengannya yang basah pun, aku tak bisa melakukannya!

"Kapan datang?" tanyaku, sambil me­nerima kembali sapu tanganku yang te­lah menjadi basah.

"Sudah lama, dua minggu."

"Oya?" Aku menelan ludah. Dadaku perih tiba-tiba. Dua minggu, dan selama ini dia tak menemuiku. Oh, tidak. Aku tidak boleh menyesalinya. Bukankah ini telah kami sepakati bersama?

"Ada lomba teater di Balai Pemuda. Dan aku bersama beberapa teman me­wakili IKJ." Andre menjelaskan tanpa kuminta. "Aku tahu di sini ada pameran lukisan dari radio."

Kami lalu berdiam diri. Aku sendiri si­buk menetralkan perasaanku. Sebenar­nya aku ingin mengajak Andre ke ka­fetaria. Dia perlu minuman hangat. Tapi dalam keadaan hujan seperti ini, rasa­nya tidak mungkin, kecuali bila kami nekat berbasah-basah.

Oh. Aku menghela napas dengan le­tih. Ternyata aku tidak bisa untuk tidak memikirkannya. Andre, Andre! Nama i­ni kembali bergaung keras di segenap relung kalbuku. Bertalu-talu, mengiring­i lagu cinta lama yang mendayu-dayu. Dan telinga batinku mendengarkan de­ngan pedihnya.

Hujan mulai agak reda tanpa kusadari. Map kuningku kudekap semakin erat di dadaku. Rasanya ingin kuendapkan se­gala cinta dan kerinduan ini di dalam­nya. Aku mesti bisa menguasai pera­saanku, sebagaimana Andre. Aku mes­ti bisa melarikan cinta dan kerinduan­ku pada keramahan dan senyum seo­rang teman, seorang sahabat, dan bu­kan kekasih. Tuhan, betapa sulit!

"Tera.... "

Aku menoleh. Kutatap Andre sekilas, dan aku kembali memalingkan muka. Tatapannya begitu mengharu biru pera­saanku. Aku yakin, sorot serupa itu ju­galah yang dia tangkap dari mataku: penuh cinta.

"Tera, kau baik-baik saja selama ini?"

Aku tersenyum. "Itu sudah kau tanya­kan tadi, An."

“Kuliahmu bagaimana?”

“Juga baik.”

“Masih aktif di pers fakultas?”

“Ya.”

“Masih suka memberi les privat?”

“Masih.”

“Tera...!”

Aku terkejut. Suara Andre lebih me­nyerupai erangan. Dan benar. Cowok itu menatapku dengan luka yang me­nyeruak lebar dari matanya.

"Aku rindu!" Dia mendesis.

Kugigit bibirku keras-keras. Kutatap Andre dengan perasaan berkecamuk. Kupalingkan wajah ketika kidung cinta lama itu kembali mengalun, lebih lem­but namun semakin memporakporan­dakan hatiku. Tidak, Andre, tidak. Em­pat bulan kita berjuang mengendapkan rindu, dan berhasil. Haruskah kini gagal hanya karena pertemuan ini?

“Andre......”

“Kau berubah pendiam kini. Kena­pa?”

Aku menggeleng. “Rasanya tidak!”

“Kau berbicara sedikit sekali.”

“Andre....” Aku memotong kata-katanya dan menegarkan hati. “Kau kapan kembali ke Jakarta?”

Cowok itu menghela napas panjang dan menghempaskannya dengan kesal. Aku tahu dia amat kecewa dengan si­kapku. Dia menatapku bagai harimau luka.

"Lusa." Jawabnya pendek.

Aku menelan ludah merasakan di­nginnya suara Andre. Bagaimana aku mesti menghadapinya? Cinta dan ke­rinduan yang telah sekian lama kuen­dapkan di dasar hatiku, kini meluap-luap bagai banjir. Andre yang kucintai, oh, kenapa kita mesti bertemu?

"Kupikir hujan akan segera reda, An." Aku berkata demi melarikan kegelisa­hanku. "Ibu pasti sudah resah di rumah menungguku." Aku mencoba me­ngulas senyum. "Aku pulang."

Andre tak menjawab, meski aku tahu, sebenarnya banyak yang ingin dia u­capkan. Tiba-tiba aku merasa begitu bersalah. Dia pasti berpikir, betapa tak berperasaannya aku kini. Itu jauh lebih baik, daripada dia mengetahui hal yang sebenarnya: betapa hancur luluhnya hatiku!

"Tera...."

Aku mennghentikan langkah di depan tangga. Kutunggu ucapan Andre. "Apakah masih pantas jika aku meng­harapkan kita bertemu lagi, sebelum aku kembali ke Jakarta?"

Aku diam dengan mata terpejam. En­tah perasaan apa yang kini mengguyur kalbuku. Permintaan Andre yang begitu mengharap, diam-diam menyejukkan batinku. Tapi kenapa kebahagiaan ini senantiasa berkabut?

“Te...”

“Bukan masalah pantas atau tidak pan­tas, An.” Kutatap Andre dengan ke­tegaran yang masih tersisa. Betapa i­nginnya aku mengulurkan tangan, dan mengusap matanya yang senantiasa berawan itu. “Kenapa kita musti melu­kai perasaan kita sendiri?”

Andre tak menyahut, kecuali hanya memandangku. Kalau dia merasa amat hancur, seperti itu jugalah aku. Tatapan­nya yang menyapu wajahku dengan pu­tus asa, kini nampak begitu pasrah. Aku memalingkan muka dengan mata kabur. Sesungguhnyalah hatiku telah menangis semenjak tadi.

Dan kulintasi halaman Gelanggang Mahasiswa di bawah guyuran gerimis, menuju tempat parkir. Aku telah be­nar-benar terisak kini. Tapi air hujan yang mengguyur wajahku, membantu­ku untuk tidak memperlihatkan tangis pada siapa pun. Juga pada Andre….

***

Langit putih bersih - benar-benar putih - tanpa noda. Pemandang­an seperti itu rasanya telah begitu lama tak kunikmati, semenjak musim penghujan tahun ini. Sisa air yang menetes dari ujung-ujung daun, bau tanah basah dan udara segar....

"Heh!"

Sialan! Aku mengumpat dalam hati saat Amazora memukul punggungku. Tapi dia berlagak tak bersalah dan te­rus saja melangkah sambil mendekap diktat-diktatnya. Oh, ternyata kuliah Sta­tistik telah usai tanpa kusadari. Aku se­gera menyambar tas kuliahku, melang­kah keluar menyusul teman-teman.

“Zo!” Aku terengah mengejar Amazo­ra. Gadis itu menghentikan langkah.

“Kau tidak boleh langsung pulang. Ki­ta membenahi kantor redaksi, kau i­ngat?”

"Ya. Tapi aku lapar. Perutku protes te­rus sejak tadi. Si Jambul itu makan waktu kita sampai lima belas menit.”

”Tapi ini baru sembilan empat pu­luh....”

“Dan aku belum sarapanl”

“Kita ke kafe saja, yuk!” Aku membu­juknya. “Makan dulu, habis itu ke kan­tor redaksi. Mau?”

Amazora menggeleng dan terse­nyum. “Kita pulang saja yuk.” Dia malah balik membujukku. “Acaranya ditunda saja besok.”

“Kau selalu egois!” Aku jengkel. “Kita kan sudah sepakat tempo hari.”

 Amazora terus saja melenggang tak peduli.

“Zo!” Aku masih mencoba membu­juknya. “Bram menunggu kita di kantor redaksi!”

Gadis itu tiba-tiba tersenyum dan menghentikan langkah. "Bukan kita." Matanya mengerdip, menggoda. “Cu­ma kau yang dia tunggu.”

“Kamu selalu begitu!”

Amazora mengibaskan tangannya dan tergelak. “Memang harus begitu!” Dia terus saja melangkah. “Yok, aku du­luan....”

Aku tak menyahut dan tak lagi mem­bujuk Amazora. Percuma. Kepala batu­nya tak akan berubah jadi cair.

“Mana Amazora?” Sambut Bram ba­gitu aku muncul di depannya. Cowok itu nampaknya tengah memeriksa nas­kah-naskah yang masuk.

“Pulang.” Kuedarkan mataku ke selu­ruh ruangan. Semuanya nampak rapi dan kelihatannya baru saja diatur. Padahal kemarin kulihat masih beran­takan seperti kapal pecah.

”Hendra dan Yan ke sini tadi, dan membereskan semuanya.” Bram menje­laskan tanpa kuminta. “Aku sendiri baru datang ketika mereka hampir selesai.”

“Oya? Sekarang di mana mereka?”

“Kuliah Kewiraan di lantai dua.” Aku manghampiri Bram dan duduk di depannya.

“Tinggal ini yang belum beres.” Kata­nya lagi. “Naskah-naskah untuk edisi mendatang.”

“Dan itu bagianmu.”

Bram tersenyum.

“Aku pulang saja ya?” Kataku memin­ta. Berdua saja dengan Bram, tanpa sia­pa-siapa seperti ini, selalu membuatku gelisah. Tapi Bram menatapku, seperti tak rela.

“Tera....” Panggilnya lembut. Dihen­tikannya kesibukannya, dan dia memandangku. “Tidak bisa menungguku se­bentar saja?” Pintanya.

Aku tersenyum dengan hati gelisah. “Berapa menit?”

Tapi Bram terus memandangku. "Kelihatannya kau selalu berusaha meng­hindariku belakangan ini.”

“Aku....” Aku semakin gelisah. “Aku musti menyelesaikan tugas resume un­tuk besok.”

“Aku tahu itu cuma alasan yang kau cari-cari!”

“Bram!”

“Aku tak peduli kau marah atau ti­dak!” Bram tak mengacuhkan kecemas­anku. Tapi suaranya masih tetap lembut. “Kenapa kau bersikap seperti itu? Supaya kau bisa menciptakan jarak se­jauh mungkin denganku? Supaya aku bisa melupakanmu?”

Aku tersekat. Kutekan kepedihan yang tiba-tiba menyergap dadaku. Cin­taku kurasakan telah memucat sejak aku kehilangan Andre. Dan kehadiran Bram dengan seluruh harapannya, begitu menggelisahkanku. Bram teramat baik, penuh perhatian, dan selalu melin­dungi. Tapi bagaimana mungkin aku menerimanya, sementara nama Andre masih saja melekat? Aku begitu kecewa ketika kusadari, Bram masih saja meng­harapkan aku kendati aku telah meno­laknya.

“Tera....”

Aku masih saja diam tanpa mengang­kat kepala. Tiba-tiba saja aku merasa sa­ngat letih.

“Tera, kau belum menjawab perta­nyaanku!”

“Itu bukan pertanyaan yang musti ku­jawab, Bram!” Aku bangkit, meraih tas kuliahku. “Kau datang pada saat yang sangat tidak tepat.” Kutatap Bram de­ngan kesedihan yang sarat. Matanya masih saja sejuk, masih saja mena­warkan keteduhan. Kadang aku begitu ingin mereguk kesejukannya dan ber­naung di dalamnya dengan tentram. Ah!

“Boleh aku pulang?”

Bram tersenyum hambar. “Kalau aku berhak menghalangimu, aku akan ber­kata jangan.”

Aku ikut tersenyum. “Sampai ketemu besok!” ujarku dan berlalu.

***

Aku baru saja memasang kertas di mesin tik ketika Arum memasuki kamarku. Rambutnya yang masih basah menyebarkan aroma harum yang semerbak. Dia berdiri di sisiku dan memperhatikan aku melanjutkan bekerja.

“Bikin apa, Kak?” tanyanya beberapa saat.

“Paper, Nona Kecil !” jawabku pen­dek.

“Masih lama?”

Aku menghentikan tanganku dan me­natapnya. “Memangnya kenapa!”

“Mas Andre menunggu di ruang, ta­mu.”

Kutatap Arum lekat-lekat. Anak kelas dua es-em-a itu terlalu sering meng­godaku. “Benar, Arum?”

Kepala mungil itu mengangguk. “Mas Eng yang menyuruhnya menunggu Kak Tera.”

Aku menghela napas. Dadaku sesak tiba-tiba. Luka cinta ini begitu dalam, begitu parah. Dan Andre? Oh, kenapa kau mesti mengoreknya lagi?

Aku melangkah keluar kamar menda­hului Arum. Apapun yang terjadi, aku mesti menemuinya. Kuenyahkan seber­kas kebahagiaan yang sempat menyu­supi batinku. Kehadiran Andre, tak bisa kupungkiri, kadangkala kuharapkan, dan membahagiakan. Tapi apalah arti­nya, bila prahara lain yang lebih besar senantiasa membayang-bayangi?

“Selamat sore, Te.” Andre bangkit dari duduknya. Tangannya terulur ke­padaku. Dan aku menggenggamnya. Dingin dan gemetar. Rasanya seluruh rinduku mengalir di sana.

"Mestinya kau sudah kembali ke Jakarta dua hari yang lalu." Kataku pelan.

Andre tak segera menjawab. Dia nam­pak begitu gelisah. Aku yakin ada se­suatu yang ingin dia katakan.

“Andre....” Aku memanggilnya lem­but. “Ada apa?”

“Aku kalut.”

Aku menunduk. Sedemikian ibanya aku melihat mendung yang menyelu­bungi wajah Andre. Dulu, akulah yang mengeluh di depannya. Tentang segala resah dan kekalutan. Dan Andre ham­pir selalu bisa membuatku melepaskan semua galau. Dan kini, pada saat segala­nya telah usai, apa yang bisa kulakukan untuk menghiburnya?

“Apa sesungguhnya yang terjadi, An­dre?”

Cowok itu memandangku sekejap, lalu melemparkan matanya keluar. Sua­ranya mengambang ketika berkata. “Kau tidak tersiksa dengan perpisahan ini, Te”

Aku kembali menunduk, menghin­dari tatapan Andre. Sejuta kegalauan menyerbuku tanpa ampun. Empat bulan yang lalu kami memutuskan untuk ber­pisah, tapi rasanya baru kemarin se­muanya terjadi. Sebesar apapun cinta kasih kami, ternyata itu tak pernah bisa memadukan prinsip kami, yang amat berbeda. Mestinya kami menyadari itu sejak awal, dan tidak membiarkan be­nang-benang merah terajut. Tapi kenya­taannya tidaklah begitu. Dua tahun, ya, dua tahun aku dan Andre membiar­kan cinta tumbuh dengan suburnya, dengan satu keyakinan, bahwa cinta dapat mengatasi segalanya. Dan bagai terbangun dari mimpi yang amat buruk ketika aku dan Andre sama-sama me­nyadari, cinta ternyata tak akan pernah bisa mengubah kenyataan!

“Aku tak bisa melupakanmu, Te. Tak bisa.” Andre menatapku sendu. “Aku tak bisa menggantikan kau dengan siapa pun. Aku tersiksa. Tera....” Suara­nya begitu putus asa. “Kenapa kau ha­nya diam saja?”

Kugigit bibirku keras-keras. Dadaku sesak menahan tangis. Ingin sekali aku menghambur ke pelukan Andre, dan menangis sepuas-puasnya di dadanya, seperti yang dulu sering kulakukan. Aku yakin, tanpa kukatakan sepatah­pun, dia sudah bisa meraba perasaanku. Luka di hati ini tak berbeda sedikit pun dengan luka yang dideritanya.

“Te....”

“Apa yang musti kukatakan, Andre? Bukankah semuanya sudah jelas?” Sua­raku tersekat di tenggorokan. “Kita tak mungkin bersatu selama jalan yang kita tempuh berlainan. Kita telah sama-sama menyadari itu. Kalaupun bisa, keyakin­an yang kita anut sama-sama tidak mem­benarkan. Andre, apalah artinya keba­hagiaan kalau untuk itu kita musti mengingkari hati nurani!”

“Tapi kita tersiksa….“

Ya, tapi kita tersiksa. Aku mengeluh dalam hati. Betapa tidak. Beberapa wak­tu yang lalu kami masih selalu bersama merajut cinta dan harapan. Tempat An­dre yang jauh di Jakarta sana, bukanlah alasan untuk memutuskan sebuah ke­bersamaan. Surat-surat kami yang terus mengalir senantiasa mengabarkan rin­du dan kesetiaan. Dua tahun! ya, begitu lamanya kami terlena dalam madu asma­ra. Berdua meniti jembatan bahagia, berdua menyingkirkan setiap aral yang melintang... baru kemudian sadar, bahwa kebersamaan tak mungkin se­lamanya bisa kami nikmati. Padahal cin­ta telah sedemikian kokohnya. Aku amat terpukul menerima kenyataan itu, juga Andre. Itulah satu-satunya kendala yang tak pernah bisa kami singkirkan, sampai kini!

“Andre....” Aku memanggil Andre dengan suara kering. “Barangkali kita belum cukup berusaha. An, percayalah, sepanjang niat kita baik, Tuhan akan selalu menunjukkan jalan terang bagi kita....”

“Aku ingin kita kembali, Te.” Potong Andre penuh harap. “Lihatlah, banyak sekali orang yang berbeda keyakinan, tetapi tetap bisa bersama. Mereka me­nikah, punya anak, dan hidup bahagia. Dengan cinta, kita pun bisa, Te...”

“Tidak…!”

Andre terkejut. Aku sendiri segera menutup mulutku, demi kusadari, aku tidak sekadar berkata, tapi berteriak sambil meratap. Aku mulai terisak. Ku­sesali kalimat Andre barusan. Demi Allah, aku lebih bahagia bila dia tetap tegak pada prinsipnya. Sejak perpisahan kami empat bulan yang lalu, mata hatiku semakin terbuka, bahwa cinta bukanlah segalanya. Cinta bukanlah satu-satunya titian menuju kebahagiaan. Dan demi cinta, orang tidaklah musti mengorbankan segala-galanya. Apalagi        mengorbankan keyakinan yang telah di­anutnya sepanjang hidup!

“Kita tidak salah mengambil kepu­tusan, An. Sama sekali tidak salah.”  Suaraku tersendat-sendat menahan tangis. Aku tahu, aku menderita setelah kehilangan Andre. Dia orang pertama  yang kucintai dengan sepenuh hati. Tapi aku juga tahu, tak mungkin aku mengingkari kenyataan. Mustahil aku mendustai hati nurani. Karena matahari selamanya tak akan bisa berjalan ber­sama bulan. Bila itu terjadi akan berarti sebuah bencana. Oh, kenapa tidak se­dari dulu kusadari hal ini?

Aku menatap Andre. Dengan susah payah, kubangun sebuah ketegaran. ”Pulanglah, Andre....” Suaraku menggantung. “Cinta bukan segala-galanya dalam hidup ini. Cinta tidak harus mengendalikan kita, tetapi sebaliknya, kitalah yang harus mengendalikannya.”

Andre menghela napas. Panjang dan berat. Aku seperti ikut hanyut dalam keletihan di matanya.

“Kau tidak akan mengubah kepu­tusan, Te?” Suaranya masih penuh harapan.

Aku menggeleng. Tidak hanya Andre yang merasa putus asa. Aku pun sema­kin sadar, segalanya kini telah kandas. Perahuku tak pernah akan mencapai pantai harapan.

“Kalau saat ini kau masih belum me­ngerti, An, nanti kau pasti akan menger­ti.” Kataku amat yakin.

Senja yang temaram semakin menu­runkan gelapnya ke bumi. Aku melepas Andre, dan kami berpisah dengan luka hati yang sama. Esok, masih ada pagi, masih ada hari. Namun kenapa begitu cepatnya cinta berlalu...?

***

 

Aku memaki dalam hati. Hujan lagi-lagi memperlambat perja­lananku. Tapi tak ada alasan un­tuk nekad. Bram bahkan menggamit lenganku, dan kami kembali berada di  teras percetakan kampus. Beberapa menit yang lalu kami baru saja mema­sukkan naskah-naskah untuk buletin e­disi mendatang, serta membuat layout-nya.

Dan kini, hujan menghalangiku untuk segera pulang.

“Kau kedinginan?”

Aku menoleh pada Bram dan terse­nyum. Kubiarkan dia melepaskan jaket­nya dan mengenakannya di tubuhku. Perhatiannya itu, oh, aku mengeluh diam-diam. Kularikan kesedihan yang mendadak menyergapku pada sosok lain. Andre. Pagi tadi, tiba-tiba saja dia muncul lagi di rumah. Lengkap dengan jaket dan hand-bag-nya. Matanya masih saja nampak lelah dan luka, seperti ke­marin-kemarin.

“Aku akan kembali ke Jakarta, Te....” Suaranya pelan tapi nampak tegar. “Ke­putusanmu kemarin, sepenuhnya ku­hargai. Kau benar. Selain cinta, masih ada banyak hal yang musti kita pikirkan dan kita lakukan dalam hidup....”

Dan kami berjabatan tangan. Lama dan erat. Susah payah kutahan hatiku untuk tidak terbawa perasaan. Aku ha­rus kelihatan tetap tegar. Namun begitu Andre berlalu, kutangisi dia sepuas-pu­asnya. Aku mencintai Andre. Aku sadar, selama ini aku hanya berlari-lari dalam asa yang tak kutahu di mana tepinya.

“Te....”

Aku terkejut. Suara Bram yang lunak begitu dekat di telingaku.

“Kau melamun?”       

Aku menggeleng.

“Tidak.”

“Katakan ya. Kenapa berdusta?” Aku menatap Bram. Dia tersenyum. Tidak ada nada mengejek dalam se­nyumnya. Aku tiba-tiba menyesal telah membohonginya.

“Kau selalu bisa menebak isi hati o­rang....” Ujarku akhirnya.

Hujan tak juga reda, dan kegelisahan lagi-lagi menyergapku. Aku melepas­kan pandangan ke arah barisan flam­boyan di sepanjang jalan kampus. Bu­nganya begitu semarak, begitu bagus. Dahan-dahannya bergoyang-goyang tanpa henti karena hujan terus-terusan menerpanya. Namun begitu, hatiku yang rawan tak juga terhibur.

Dan Andre, di manakah kau kini? Ba­tinku mulai merintih lagi dengan perih­nya. Pagi tadi dia langsung berangkat ke Jakarta setelah menemuiku. Dulu, aku selalu melepasnya dengan kebaha­giaan yang tulus setiap kali dia ber­pamitan. Andre benar-benar menemukan dunianya di Departemen Teater yang diambilnya. Andre bahagia, dan betapa aku bisa merasakan itu semua.

Oh! Aku mengeluh diam-diam. Kena­pa seorang Andre yang selalu saja me­ngusikku? Kenapa aku tidak bisa ber­henti mengenangnya? Kenapa?

Aku sungguh tidak tahu persis, sejak kapan sebenarnya benang-benang me­rah ini mulai terajut. Kami telah akrab semenjak es-em-a. Di sekolah, di kelom­pok belajar, di OSIS, hampir selalu ber­sama. Sampai akhirnya, tanpa kusadari, perasaan lain muncul dalam hati. Pera­saan yang begitu menyentuh sampai da­sar kalbu, yang lantas kami sadari, itulah cinta.

Begitu lamanya aku dan Andre terle­na, dan tak mau melihat kenyataan, bah­wa sesungguhnya ada jurang pemisah yang tak mungkin terjembatani, di an­tara kami. Tidak. Kami sungguh tidak rela bila kebersamaan yang amat indah itu terenggut. Kami sungguh tidak rela bila pohon-pohon cinta kami tarcerabut. Ya. Masa remaja membuat aku dan An­dre tak mempedulikan perbedaan prin­sip kami, karena itu hanya menyakitkan. Baru kemudian, pada saat kami mulai mengerti dan dewasa, pada saat mata hati mulai terbuka, kami seolah baru ter­jaga dari tidur yang panjang. Kami sama­sama sadar bahwa tak mungkin jurang pemisah itu kami singkirkan. Ya, ke­sadaran yang datangnya begitu ter­lambat!

“Tera....”

Lagi-lagi suara Bram mengejutkanku. “Kau melamun terus sejak tadi. Ada apa, hm?”

Aku menggeleng. “Tak ada apa-apa, Bram.”

“Kau tak percaya padaku?” Tanya Bram. “Bicaralah, Te. Bukankah kita ber­teman sejak dulu?” Suaranya begitu menyejukkanku. “Kau tak bisa membo­hongiku dengan mengatakan, bahwa kau tidak sedang mempunyai masalah.”

Aku menelan ludah. Ragu.

“Tentang Andre?” Lanjut Bram, tetap tenang. Seperti yakin bahwa dia tak akan salah ucap.

“Tadi pagi, kami bertemu lagi, Bram…,” ujarku lirih. “Aku sedih, kenapa kami harus berbeda keyakinan.” Sua­raku keluar begitu saja.

Bram tiba-tiba menggenggam lunak jemariku. Aku sendiri seperti mendapatkan kekuatan yang mengalir dari sana.

“Bram, aku mencintainya, tapi kena­pa aku mesti kehilangan dia….” Aku mengeluh dan tersendat-sendat. Tiba­-tiba saja aku ingin bercerita banyak-­banyak, supaya beban batinku berku­rang. Tiba-tiba saja aku merasa men­dapat teman, dan tidak lagi berjalan seorang diri, seperti yang kurasakan akhir-akhir ini. “Bram, kau bisa merasa­kan apa yang kurasakan?”

“Ya, aku mengerti, Tera.” Bram mem­pererat genggamannya. “Kehilangan o­rang yang dicintai, selamanya menya­kitkan.Tapi bukankah kau yakin, bahwa kau tak salah mengambil keputusan?" Aku mengangguk setelah diam

“Kau yakin?” Ulang Bram, sambil me­natapku lurus-lurus. Matanya tenang, bagai telaga yang tanpa gelombang. Tiba-tiba aku membayangkan diriku ja­di ikan. Betapa nyaman berenang di dalamnya. Aku tersenyum sendiri tan­pa kusadari.

“Heh, kenapa?”

Aku menggeleng dan tersipu. “Bram.” Kualihkan pertanyaannya. “Ba­giku, teman hidup haruslah orang yang sejalan. Itu prinsip!”

“Nah! Tetaplah tegak pada prinsip itu kalau kau yakini kebenarannya. Jangan meratapi nasib, kau harus tetap tegar!” Bram berhenti sebentar. “Te....” Suara­nya melembut. "Kalau kau percaya, biarkan aku menemanimu...!”

Aku tercenung dan tak tahu mesti berkata apa. Aku tak tahu perasaan apa yang merayapi batinku. Aku memba­yangkan hujan yang tiba-tiba turun pada saat kemarau telah berlalu demikian panjang. Oh, betapa segar. Dan keger­sangan hati ini...?

“Bram, aku ingin pulang....”

Bram menatapku penuh tanda tanya. Tapi akhirnya mengangguk. “Masih hu­jan begini? Kau yakin tak akan sakit? Ayolah....”

Berdua kami menerobos hujan. Bram melingkarkan lengannya di bahuku, dan perasaan aman mendadak meng­akrabiku. Betapa tentramnya berada di sisi Bram. Tapi perjalanan masih amat panjang, masih amat panjang. Aku tidak ingin tergesa-gesa. Kalau saat ini aku belum bisa menerima kehadiran Bram, aku yakin, itu hanya soal waktu. Ya. Hanya soal waktu!

***

Kamis, 09 Mei 2013

HARI-HARI BERBUNGA


Oleh: Lutfi Az

(Catatan: Cerpen ini telah dimuat sebagai Cerita Utama di majalah remaja ’Anita Cemerlang’ No. 272. Tgl. 18 s.d. 27 Juli 1988)

Panas yang menyengat seolah menikam muka bumi. Kemarau rasanya telah begitu panjang, namun Tuhan tak jnga mengirimkan hujan anugerah-Nya. Kutatapi guguran daun-daun kering yang berserakan di mana-­mana. Di seputar halaman Workshop Teknik Mesin, di dekat pintu halaman parkir, di sepanjang pinggiran koridor

“He!” Aku menoleh dengan kaget. "Ngelamun?"

Asih, gadis itu, duduk di sebelahku, setelah meletakkan bakinya yang penuh makanan dan minuman di atas meja. Siapa pun yang melihatnya pasti akan langsung tahu kalau dia tengah ke­laparan. Sekilas kulayangkan mataku ke seluruh ruangan kafe yang pikuk. Uh, aku jadi ingat kalau ini sudah waktunya makan siang. Penjaga kafe yang cukup banyak itu selalu kerepotan melayani tamu pada jam-jam begini.

"Nggak makan, Ra?" Asih bertanya sambil menuangkan saus ke dalam mangkuk baksonya. Isi mangkuk itu berubah merah sekali. Dan dia mela­hapnya dengan nikmat.

"Heh, kok bengong?"

Aku segera tersenyum. Kutenga­dahkan gelas esku yang sudah kosong. Aku bersiap-siap pergi.

"Selamat makan siang, Sih. Aku pu­lang dulu!" Kugantungkan tas kuliahku di pundak. Asih hanya mengangguk karena mulutnya penuh makanan. Tapi pada saat hampir mencapai pintu ke­luar, kudengar suaranya memanggilku.

"Kau sendirian? Tumben?"

Aku tersenyum saja sambil mengusir sesuatu yang tiba-tiba menggigit hatiku. Andri dan Yan tadi juga berkomentar begitu ketika kami bertemu di Gelang­gang Mahasiswa. Komentar yang wajar. Bahkan amat wajar. Selama ini aku ham­pir tak pernah mereka lihat sendirian kemana pun, karena seorang Sentanu selalu berada di sisiku. Ah! Masa lalu.

Kulangkahkan kakiku menyusuri ja­lan-jalan kampus. Daun-daun kering yang berserakan di sana-sini berisik ketika kakiku menapakinya. Kupikir ini adalah siang yang paling terik sepan­jang kemarau tahun ini. Begitu panas, begitu menyengat. Jika besok masih ada siang yang lebih terik lagi, aku tak bisa membayangkan bagaimana pula panasnya. Sementara itu angin yang juga berhembus keras membangunkan debu-debu kering dan menerbang­kannya ke mana-mana.

"Rara, ikut yuk!"

Kugelengkan kepalaku ke arah Rudi yang sudah menghentikan motornya di sisiku. Anak manis itu semakin baik hati saja belakangan ini.

"Aku dijemput," tangkisku.

"Mana?"

"Di dekat pintu gerbang."

"Ya sudahlah, kuantar sampai di sana!"

"Thanks, Rud." Aku menggeleng lagi, sambil tersenyum agar dia tidak, terlalu kecewa. "Aku lagi pingin jalan kaki."

Dan Rudi pun mau mengerti. Dia ber­lalu setelah menatapku sekilas. Begitu apik dia simpan kecewanya.

Aku tentu saja tahu betul kalau ber­jalan kaki di siang yang sepanas ini, dengan angin keras yang menerbang­kan debu-debu kering, sama sekali tidak enak. Tetapi seolah ada sesuatu yang lain yang tengah kususuri setiap kali aku berjalan seorang diri seperti ini. Aku tidak tahu persis apa itu. Namun hampir sepanjang jalan ini pernah ku­lalui bersama Sentanu. Dan jejak masa lalu itukah yang kini tengah kuhimpun lagi?

Sentanu. Nyatanya nama itu tak pernah - dan aku yakin pasti - tak akan per­nah lekang dari batinku. Aku tak bisa mengibaratkan dengan sesuatu yang lain, betapa seorang Sentanu telah begitu melekat erat dalam kehidupan­ku. Dia tertanam di hatiku, jauh lebih kokoh ketimbang karang di tengah laut. Jauh lebih dalam dan lebih kuat ketimbang pohon besar yang tertancap di bumi. Dan keadaan seperti ini, sung­guh -sungguh tak bisa berubah, betapa pun dia kini ....

Sampai di pintu gerbang kampus, aku mengedarkan mataku. Aku tak melihat siapa-siapa yang biasa menjemputku. Pak Amir, supir kami, tak kulihat. Bagas, adikku, juga tak kulihat. Ayah apalagi. Sesiang ini beliau pasti masih berkutet di kantornya.

"Rara… !”

Sebuah suara, meski pelan, begitu ­mengejutkanku. Dan aku lebih. terkejut lagi ketika tahu siapa lelaki setengah baya yang berdiri di depanku itu. "Bapak ada di sini?" tanyaku senang sekali. Beliau tertawa dan merangkul bahu­ku. Dibukanya pintu sedan biru langit­nya, dan aku duduk di sebelahnya tanpa canggung sedikit pun. "Tadi Bapak ketemu Bagas, lantas Bapak usir dia!" Beliau tertawa lagi, lepas sekali. Ada kerinduan yang sangat yang tak mampu dia sembunyikan. Pe­rasaanku sendiri mulai berkecamuk. Masa lalu yang kelewat manis selalu tak mampu kutolak dengan dinding hatiku yang memang rapuh, setiap kali dia hadir seperti ini. "Bapak kangen," Beliau bersuara lagi. "Dua bulan kita tak pernah bertemu dan berbincang, begitu lama rasanya. Kau sungguh-sungguh tak sudi ke rumah lagi?" Ditatapnya aku sekilas, namun begitu tajam. Begitu menikam. "Tidak untuk Nunu, Rara. Tapi untuk Bapak, Ibu, Iwuk dan Dedy. Mereka semua kangen. Mereka semua menanyakan­mu. Dan kau bisa bayangkan betapa bi­ngungnya Nunu setiap kali menghadapi pertanyaan mereka tentang kau!"

Mobil yang semula berjalan lurus kini berbelok. Panas di luar tak lagi ku­hiraukan kini. Sebab ada yang jauh lebih membara dan menggelegak di dalam sini. Oh, kerinduan ini ternyata tidak hanya pada Sentanu seorang. Te­tapi juga pada seluruh keluarganya. Dan kalau begini, aku tak tahu apakah aku harus menyesal dengan keputusan yang telah kuambil. Semakin kusadari betapa sebenarnya aku amat takut menghadapi sesuatu yang bernama ke­hilangan!

"Kita makan dulu. Setuju?"

"Tapi. . . . "

"Kau ditunggu di rumah? Baiklah. Lain kali tak apa. Jadi langsung pulang?"

Aku mengangguk. Haru. Beliau tak pernah memaksaku. Juga Sentanu. Itu­lah. Sentanu memang terbaik buatku. Dalam segala hal. Sayang dia hanya manusia biasa, yang tak akan pernah lepas dari salah. Dan dia telah melaku­kannya, begitu fatal. Dan hatiku begitu sulit untuk memaafkannya. Dan aku ke­hilangan!

***

Siang itu panas cukup terik, tapi hatiku sejuk saat turun dari bus yang membawa kami kembali ke kampus, setelah tiga bulan melak­sanakan KKN. Aku telah melihat Sen­tanu sejak bus memasuki pintu gerbang tadi, dan betapa waktu yang tidak terlalu lama ini telah diam-diam menyiksa kami. Mengendapkan kerinduan dan memutuskan sementara se­buah kebersamaan.

"Apa kabarmu, Rara?" Sentanu men­jabat tanganku erat, erat sekali, dengan kerinduan yang begitu sarat di matanya. Andaikata tidak banyak orang, rasanya ingin sekali aku menghambur ke dalam pelukannya. Supaya dia tahu bahwa aku pun telah begitu lama mengharapkan pertemuan seperti ini.

Dan seharian itu, tanpa mempeduli­kan sisa-sisa lelahku sehabis KKN, kuhabiskan bersama Sentanu. Aku ingat betul besok hari ulang tahunnya. Se­buah kipas cendana bertuliskan 'Ra­ra-Sentanu', yang kupesan khusus dari temanku di Bali, telah kusiapkan dengan bungkusnya yang manis sekali sejak seminggu yang lalu, pada saat aku masih di lokasi KKN. Aku ingin dia tahu betapa aku tak pernah bisa sedetik pun untuk tidak mengenangnya.

Tapi justru pagi di hari ulang tahunnya itulah awal badai yang memporak-po­randakan hubungan kami. Sentanu menerima kiriman bunga, lengkap dengan kartu ucapan berbentuk jantung hati berwarna merah sekali. Selamat ultah, Nunu. Dariku yang selalu mencintaimu. Indriana.

"Siapa dia, Nunu?" Aku tak bisa me­nahan diri untuk tidak bertanya. Kalau aku curiga, itu sungguh beralasan. Se­orang cewek, siapa pun dia, tak akan seberani ini mengungkapkan perasaan­nya, kalau Sentanu tak lebih dulu masuk dalam kehidupannya.

"Aku kesepian, Rara. . . !" Lama sekali suara itu baru keluar dari bibir Sentanu. Meski begitu pelan dia mengucapkan­nya, namun gelegarnya melebihi petir di siang bolong sekali pun! Aku amat terpukul. Amat terluka. Dan Sentanu seketika berubah jadi orang yang amat asing bagiku.

PPL dan KKN kalau dijumlahkan menghabiskan waktu kurang lebih lima bulan. Aku telah melampauinya dengan baik sekali. Sepenuhnya melebur dengan masyarakat, jauh dari keluarga, jauh dari orang-orang tercinta dan kam­pung halaman, sungguh bukan cobaan yang ringan bagiku. Aku seringkali mengalami kesepian yang paling sepi, begitu menjemukan, namun aku selalu berusaha membuatnya menjadi ramai. Dan aku bisa. Telah kubuktikan bahwa, Rudi yang selama PPL dan KKN tak per­nah sejengkal pun mundur dari usaha­nya untuk menarik perhatianku, ternya­ta tak pernah mampu menembus ben­teng pertahananku. Padahal, sungguh tak ada alasan untuk menolaknya. Dia amat baik, penuh pengertian, cerdas. Dia juga amat simpatik. Dan Sentanu tak melebihi dia, dalam segala hal, kecuali bahwa aku begitu mencintainya!

Karena itu aku tak bisa menerima ala­san 'kesepian' yang dikemukakan Sen­tanu. Sepi bisa dibuat ramai kalau dia mau. Tapi dia justru membiarkan sepi menjadi semakin sepi, sehingga ke­hadiran Indriana, teman KKN-nya, tak mampu ditolaknya.

"Tapi akhirnya aku berterus-terang kalau ada kau, Ra." Sentanu mengaju­kan pembelaannya pada sehari berikut­nya. "Aku mengaku khilaf. Aku telah melukainya, juga melukaimu. Tapi aku sungguh tidak ingin kehilangan kau!"

Waktu itu aku hanya diam. Entah ke­napa aku semakin suka berdiam diri, kendati batinku berteriak-teriak. Sen­tanu tak sekadar melukaiku. Tapi lebih dalam dan lebih sakit dari hanya se­kadar luka!

Dulu sekali aku sudah pernah berkata padanya bahwa, adalah hal yang amat mudah untuk mengkhianatiku. Aku tak pernah menuntutnya apa pun karena aku begitu percaya dia setia.

"Denganku, menyeleweng, berkhi­anat, adalah hal yang amat mudah, Nu. Tapi tolong jangan lakukan itu!" kataku suatu hari. Dan Sentanu mengangguk mengerti.

"Apa aku perlu janji?" tanyanya ke­mudian.

Aku cepat menggeleng. Sebab aku memang tak begitu suka dengan janji. Bagiku - dan aku yakin juga bagi yang lain - bukti adalah jauh lebih penting dan berarti daripada sekedar janji.

Waktu itu musim tidaklah kemarau seperti ini. Bahkan hujan hampir setiap hari mengguyur wajah bumi. Hari-hari­ku hampir tak ada yang tak kulalui ber­sama Sentanu. Kami saling menjaga, kami saling mengerti. Kami saling mem­beri arti. Mengenangkan hari-hari yang cerah berbunga seperti itu, betapa me­meriahkan. Akankah ia kembali?

“Rara… !”

Aku segera menata perasaanku dan menariknya dari dunia lamunan. Aku tahu sebentar lagi pemilik suara itu, Ba­gas, akan duduk di sampingku, dan kami bisa berbincang sampai jauh malam. Tak ada teman yang lebih baik dari dia sementara ini.

"Bagaimana dengan ayah Nanu? Kau diantarnya tadi?" Bagas duduk di sebelahku.

Aku meagangguk.

“Dia kelihatannya rindu sekali pa­damu!”

“Ya.”

“Apalagi Nunu!”

Aku tersenyum tanpa makna. Perih. Nunu - Sentanu - kusadari kalau nama itu suka membuatku sinting sejak dulu.

"Dia tak pernah menemuimu lagi?"

"Kelihatannya bagaimana?" Aku balik bertanya.

"Di rumah sih tidak. Mungkin di kam­pus?"

Kugelengkan kepala. Seminggu sete­lah ulang tahunnya, adalah pertemuan kami yang terakhir. Kukatakan bahwa semuanya telah sia-sia. Bangunan cinta yang telah kami dirikan dengan susah payah, ambruk dengan percuma. Dia harus pergi dari hatiku. Dan kupaksa supaya menutup segalanya yang per­nah kami alami bersama sebagai ke­nangan masa silam. Sentanu pun ber­lalu, namun betapa terluka ia. Semen­tara setelah itu, aku sendiri ibarat kelana yang ke mana pun pergi membawa cin­ta!

"Kau tidak menyesal dangan keputusan ini, Rara?"

            "Berapa kali kau tanyakan itu, dan berapa kali kujawab dengan kata tidak?"

            Bagas tersenyum meski dia tahu aku mulai marah.

            "Kupikir kau memang terlalu angkuh. Kau terlalu tinggi hati untuk mengakui bahwa kau sebenarnya amat membutuhkan Nunu. Kau mesti jujur, Ra, bahwa kau menyesal dengan sikap seperti ini!"

            Kutatap mata adikku dalam-dalam. Aku kakaknya, dan kalimat seperti itu terlalu lancang untuk dia lontarkan. Tapi aku mencoba menyabarkan diri. Selama ini kami saling mengasihi. Apa pun yang kami lakukan, bagaimanapun sikap yang kami perlihatkan, semata-­mata demi kebaikan kami. Mungkin kali ini pun Bagas berusaha melakukan yang terbaik; dia tengah mencoba membuka mata batinku yang telah cukup lama di­selubungi sakit hati. Sayang aku belum mengizinkannya...!

***

 

Lelaki setengah baya itu, ayah Sentanu, menjemputku lagi. Senyum­nya terasa jauh lebih sejuk di si­ang yang panas seperti ini.

"Bapak mengusir Bagas lagi?" tanya­ku begitu aku telah duduk di se­belahnya, di dalam sedan biru langit­nya.

"Tidak. Pak Amir. Dan Bapak telah katakan juga kalau kita akan makan siang bersama hari ini. Begitu, kan?" Aku tersenyum kecut. Ringan sekali bicaranya. Seolah rencana seperti ini telah kami sepakati bersama sebelum­nya. Padahal aku lebih merasa ditodong daripada diajak baik-baik.

"Kau merasa ditodong?" Beliau se­perti tahu jalan pikiranku.

"Ya. Seperti ini, apalagi namanya kalau tidak ditodong?" Aku tertawa.

"Iya, kan? Bapak memang sengaja me­nodong saya, kan?"

Beliau tergelak. Suaranya lunak sekali, dan aku begitu menyukainya. Sentanu juga menyenangkan seperti itu kalau lagi tertawa.

"Tidak. Kau boleh menolak kalau ti­dak setuju."

Kugelengkan kepala dan tersenyum.

"Saya toh tidak bilang tidak setuju, Pak!"

Dan mobil pun berjalan terus. Sesekali pelan karena lalu lintas pada jam-jam begini begitu ramai. Aku tahu ke mana orang ini akan membawaku; Bioskop Aurora. Di depannya ada warung se­derhana yang hanya bersekat kain, tapi bakso dan es telernya enak sekali. Kami - aku dan Sentanu sekeluarga - sering sekali ke sana, dulu. Biasanya  Sentanu akan protes kalau aku lebih suka duduk di sisi ayahnya daripada di sisinya. Oh, masa-masa manis seperti itu, kapan ter­ulang lagi?

Aurora tidak begitu penuh ternyata. Padahal pada jam-jam makan seperti ini, biasanya sangat padat. Kami memilih tempat duduk di sudut, tempat yang du­lunya telah amat akrab.

"Bakso? Es Teler?"

"Dua-duanya!" Aku cepat menyahut ketika ayah Sentanu menawariku. Beliau tergelak dan langsung memesan ma­sing-masing dua pada pelayan. Hal-hal seperti ini telah amat biasa kami lakukan bersama. Bahkan aku merasa lebih se­ring melakukannya bersama ayah Santanu daripada dengan ayahku sendiri.

Kami menyantap hidangan yang da­tang dengan nikmat. Tapi kurasakan ada sesuatu yang kurang. Kutatap ayah Sentanu dengan ekor mataku. Pe­rasaanku berubah sedih dengan begitu saja. Adakah dia merasakan perasaan yang sama? Bahwa suasana akan jauh lebih menyenangkan jika saja Sentanu, Iwuk, Dedy serta Ibu juga berada di tengah-tengah kami?

"Apa kabar dengan Ibu, Bapak?" Aku memecah kesepian yang beberapa saat menguasai.

"Baik. Oya, Ibu selalu ingat kau setiap kali bikin sirup jeruk, sirup kesukaan­mu. He, kau tidak kangen dengan ora­nge juice segar bikinannya?"

Aku tersenyum tanpa tahu mesti ber­ucap apa. Kalau ditanya soal kangen, rasanya jika kutuangkan tak akan cukup berapa pun tempatnya. Kangen ini ke­lewat besar. Pada semuanya. Pada Sen­tanu. Pada Ibu, Iwuk serta Dedy. Pada kehangatan yang tak pernah lekang melingkupi keluarga mereka.

"Rara, kau benar-benar tidak sudi lagi ke rumah?" Ayah Sentanu bertanya tan­pa menatapku.

Kutata perasaanku sebelum menja­wab. "Saya tidak pernah berkata begitu, kan, Pak?

"Tapi nyatanya kau tak pernah da­tang. Apa bedanya?"

“Saya...!”

"Bapak mengerti kau sangat terluka. Wajar. Memang tak selayaknya Nunu memperlakukan kau seperti ini Kau lembut hati, amat sensitif, Bapak tahu betul itu. Tapi kau juga keras kepala, terlalu tinggi hati untuk memaafkan kalau disakiti...!"

"Saya telah memaafkan Nunu!"

"Hatimu tak pernah bisa memaafkannya!"

Aku menggigit. bibir. Kuaduk es te­lerku tanpa gelera. Berapa orang sudah yang menuduhku angkuh? Dan betapa aku tak pernah bisa menolak. Sebab hati kecilku sendiri tak pernah bisa me­ngelak.

"Nunu teramat mencintaimu, Rara. Kau juga amat mencintainya, kan?" Bapak memandangku lembut. Tatapan itu, terasa bagai sembilu menikam jan­tungku. Begitu jugalah cara Sentanu menatapku. Segera kusembunyikan ma­taku, takut kalau kerawanan di segenap hati dan perasaanku saat ini terbaca olehnya.

"Selama ini tak ada apa pun yang mengikat kami, Bapak. Selain cinta dan saling percaya. Bila salah satu dari kami sudah tak bisa lagi memegang keper­cayaan itu, apalagi yang saya harap­kan?"

"Tapi Nunu bukanlah malaikat atau nabi, Rara. Nunu manusia biasa. Dia tak mungkin bisa lepas dari khilaf, kau pasti tahu itu. Sepandai-pandai tupai melom­pat, dia akan jatuh juga sekali waktu. Sepandai-pandai ular merambat, satu saat dia akan terpeleset juga. Dan Nunu memang bukan tupai, bukan ular. Tapi, sekali lagi, dia manusia biasa!"

Aku tersenyum begitu saja setelah laki-laki arif itu mengakhiri kalimatnya.

"Hm, saya diajak ke sini tidak untuk mendengarkan pidato kan, Pak?" selo­rohku. Beliau tersenyum mengerti..

"Maaf. Maaf kalau Bapak terlalu menggebu-gebu. Itu karena kami semua sudah terlanjur amat menya­yangimu. Tidak hanya Nunu yang takut kehilanganmu, Rara. Tapi juga Bapak, Ibu, bahkan Iwuk dan Dedy. Kau me­ngerti, kan?"  

Aku mengangguk. "Saya mengerti."

"Sekadar mengerti?"

"Maksud Bapak?"

“Datanglah ke rumah. Kau mau?”

Mata tua itu begitu mengharap. Dan aku kebingungan.

"Kapan, Bapak?"

"Nanti sore Bapak dan Ibu akan mera­yakan kawin perak. Kau mau datang?" Aku bingung lagi.

"Atau perlu dijemput?"

"Oh, tidak!" Cepat kugelengkan kepala. Aku tahu. pada akhirnya nanti Sentanulah yang akan menjemputku. Dan tiba-tiba saja sebuah kecurigaan muncul di kepalaku.

"Bapak betul-betul ingin saya dan Nunu bisa kembali seperti dulu?"

Lelaki itu memandangku tajam se­belum kepalanya mengangguk. "Ten­tu."

"Karena itu jugakah Bapak begitu mengharapkan saya datang?"

Bibirnya langsung mengulas senyum. "Rupanya kau mulai curiga lagi. Rara, meskipun kami semua ingin kau dan Nunu bisa kembali seperti dulu, tapi kami tak akan pernah ikut campur da­lam masalah kalian. Kau sudah dewasa, Nunu juga. Dan kami semua yakin, apa pun masalah yang kalian hadapi, akan kalian selesaikan secara dewasa juga. Ayolah, jangan berprasangka yang ti­dak-tidak. Tak ada misi terselubung dalam undangan Bapak ini!"

Aku tersenyum, dan diam-diam me­rasa berdosa. Orang ini selalu bijaksana dalam menanggapi sikapku.

"Bagaimana kalau sekarang juga saya ikut Bapak ke rumah?"

"Oya?" Jelas sekali kalau dia amat ter­kejut. "Oh, Bapak akan senang sekali. Ayo!"

Sedan biru langit yang kami tumpangi meluncur lagi di jalan raya. Tak ada kata-kata yang kami ucapkan. Lelaki se­tengah baya di sebelahku itu seperti sedang berusaha menahan perasaanya. Wajahnya yang bersih begitu berseri, ibarat pahlawan menang perang. Se­makin kusadari betapa aku amat berarti bagi mereka.

Aku seperti pengembara yang pulang kampung waktu sampai di rumah. Ada perasaan yang begitu karib sekaligus amat asing. Namun sambutan Ibu, Iwuk dan Dedy segera menetralkan hatiku. Kebahagiaan mereka dengan kehadir­anku begitu tak disembunyikan. Tapi mereka segera pergi ketika Sentanu rnuncul.

Dan sedemikian tertegunnya aku saat kupandang Sentanu. Dia jauh lebih kurus ketimbang dua-tiga bulan yang lalu. Begitu cepatnya waktu dan situasi mengubahnya. Aku tahu, bibirnya yang bergetar saat memanggilku, adalah lu­apan kerinduan yang telah sekian lama diendapkannya.

"Akhirnya kau datang juga, Rara!" Ka­tanya, masih dengan nada penuh dosa, seperti pesakitan. Oh, betapa aku telah menyiksanya selama ini. Mestinya aku tahu ini sejak dulu.

"Kau akan berkata bahwa aku telah kalah?"

"Tidak!" Sentanu menggeleng. "Kau justru telah menang!"

Kutatap dia tak mengerti Dia ter­senyum, amat hati-hati, seperti takut senyumnya akan salah.

"Kau justru telah menang." Dia ulangi kalimatnya. "Sebab kau telah berhasil menaklukkan keangkuhanmu sendiri, yang orang lain tak pernah bisa melaku­kannya, termasuk aku. Kau tahu mak­sudku?"

Tentu saja aku amat mengerti. Sentanu masih saja amat menarik kalau bicara. Dan bagiku dia akan selalu menarik. Selalu kucinta. Itu artinya aku. harus bisa memaafkannya, menerimanya lengkap dengan segala kelebihan dan keku­rangannya. Aku ingin belajar banyak dari semua ini…!

***

Pertengahan September ini, hujan belum juga turun. Rupa-rupanya dia sangat terlambat datang, hing­ga kemarau rasanya jadi kian panjang. Tapi pagi tadi sempat kulihat flamboyan mulai berbunga di sepanjang jalan-jalan kampus. Sebentar lagi dia pasti akan semakin semarak.

"Rara!"

Aku menoleh ke arah suara itu. Rudi yang baru keluar hari halaman parkir, menghampiriku bersama motornya.

"Ayo kuantar."

Aku mendesahkan napas panjang. Dia adalah rajawali paling tangkas di jurusanku. Siapa pun mengenalnya. Dan sungguh amat tidak pantas bila sepa­sang matanya yang tajam bisa berubah sesendu itu, hanya karena seorang Rara. Aku.

"Lihat, langit sebelah selatan men­dung. Sebentar lagi hujan akan turun!” ajak Rudi lagi dengan suara lunak.

Aku mengikuti pandangan Rudi. Ya, ada kulihat mendung di langit selatan. Tak begitu gelap memang. Tapi aku yakin, pasti hujan sebentar lagi turun. Oh. Tuhan telah mengirimkan anuge­rah-Nya.

Dan aku tetap menggeleng. "Pergilah duluan!"

Rudi menatapku putus asa. Begitu lama, sebelum akhirnya berlalu. Kali ini dia tak cukup lihai menyernbunyikan lu­kanya. Lewat matanya, aku bisa meli­hatnya dengan jelas.

Gerimis itu akhirnya turun juga. Ge­rimis pertama sejak kemarau panjang tahun ini. Bagai sejuta karunia dia meng­guyur hatiku. Begitu sejuk. Berkali-kali kuhirup udara yang bercampur dengan bau tanah basah. Segar sekali.

"Rara, ayo cepat. Hujan deras sekali!" Aku segera bangkit dan berlari men­dapatkan Sentanu yang telah kuyup. Dialah yang sejak tadi kutunggu. Baru kusadari kalau gerimis telah berubah jadi hujan yang deras. Tapi kami tetap duduk tenang di atas motor, pulang. Hu­jan seperti ini telah amat lama kurin­dukan. Sederas apa pun dia, tatap kuanggap sebagai karunia Tuhan.

Dan bunga-bunga flamboyan yang terangguk-angguk di sepanjang jalan yang kami lalui, adalah bunga-bunga di hatiku. Aku tahu, jika musimnya telah tiba, dia akan gugur. Namun hari-hari kami akan tetap cerah penuh bunga: bunga cinta.

(Buat Baskoro Adjie: happy birthday).            

Senja

Senja jatuh
Tanpa warna jingga
Gunung dan bukit hanya siluet
Pepohonan diam membeku
Kemana dikau desau angin
Semesta seperti tak bernyawa...
Namun tetap kureguk keindahannya...­.

Otw Malang to Surabaya, 9 Mei 3013

Wassalam,
LN