Sekitar
seminggu yang lalu, saya berkunjung ke Maumere, Kabupaten Sikka, NTT. Saya
diundang oleh Konsorsium Pendidikan Kemdikbud untuk menjadi narasumber pada
pelatihan Kurikulum 2013. Pesertanya adalah para guru, mulai dari guru SD, SMP,
SMA dan SMK.
Hari pertama
di Maumere, saya disambut cuaca yang sangat ramah. Awan tipis menutupi sebagian
langit, dan sinar matahari masih bisa dinikmati kehangatannya. Sangat
bersahabat, terutama bagi kami yang sedang berpuasa. Mendung, tapi tidak hujan.
Hari kedua,
matahari sudah bersinar cerah sejak pagi. Saya memberi pelatihan sejak pukul
09.00 sampai pukul 15.00. Ada jeda istirahat sekitar tiga puluh menit,
kesempatan menikmati makan siang bagi para peserta yang hampir semua pemeluk
Katolik, dan kesempatan bagi kami yang muslim untuk menunaikan salat dhuhur.
Hari itu,
adalah puasa terberat saya. Melatihkan K-13 pada para peserta yang sebagian
besar masih nol pemahamannya, di cuaca yang sangat panas, di antara sekitar 150
peserta yang dengan bebasnya 'nyumak-nyamuk' dan 'srupat-sruput'. Tenggorokan
saya sampai terasa pahit sekali saking 'ngorong'nya, dan kaki-kaki saya
'kemeng' luar biasa. Sekujur badan rasanya sakit semua.
Saya pernah
merasakan kondisi mirip itu, ketika umroh pada Ramadhan 2011, tiga tahun yang lalu.
Waktu itu, suhu di Makkah menembus angka 51 derajat Celcius. Udara panasnya tak
terkira. Sekujur tubuh sakit terpapar panas, baju di badan terasa seperti baju
yang baru saja diseterika, dan menyentuh benda apa pun di luar penginapan,
hampir semuanya panas menyengat. Tenggorokan kering dan pahit, badan loyo,
lungkrah, dan kepala serasa berasap. Benar-benar ruarrr biasa.
Di Maumere,
memang rasanya tak seheboh seperti di Makkah. Namun karena saya menjadi
kelompok minoritas, benar-benar minoritas, di antara para peserta yang dengan
tenangnya 'telap-telep', ditambah suhu AC di ruang workshop yang tak bisa
membendung suhu panas dari luar, sementara saya harus menjelaskan panjang lebar
tentang K-13, 'nyerocos' terus, maka sensasi 'ngorong dan kemeng' yang saya
rasakan mengingatkan saya saat di Makkah kala itu.
Begitu
pelatihan selesai, saya langsung 'keplas' masuk mobil, minta pada driver supaya
AC dihidupkan kuat-kuat, dan segera mengantar saya ke hotel Sylvia, tempat saya
menginap. Saya ingin segera 'slulup', eh, maksud saya 'grujukan' di bawah
shower. Saya mengalami dehidrasi parah, dan perlu digerojok air dingin yang
berlimpah, sebelum sekujur tubuh saya 'kemlingkingen'.
Selesai
mandi dan salat, saya turun ke lobi. Minta diantar driver muter-muter, ngabuburit.
Saya ingin melihat-lihat kota Maumere. Saya diantar ke toko pusat oleh-oleh, ke
Pelabuhan Lorosae, ke pasar tradisional melihat tenun ikat dan membeli
buah-buahan.
Ya,
buah-buahan. Dalam kondisi puasa, buah-buahan adalah makanan favorit saya. Buah
apa saja. Yang penting buah beneran, bukan buah plastik atau buah kayu.
Sejak
kemarin saya tidak makan buah. Sehari saja tidak ketemu buah, seperti ada yang
kurang lengkap hidup ini. Maka sore itu, di Pasar Alok, saya membeli dua buah
apel merah seharga Rp.15.000,- dan tiga buah mangga mengkal seharga
Rp.20.000,-. Cukuplah. Karena besok toh saya sudah balik ke Surabaya. Di
Surabaya, buah apa pun sudah tersedia.
Sore itu,
saya kembali ke hotel dengan sekantung buah, selembar kain tenun ikat, dua plastik
kopi Manggarai, sebungkus nasi goreng, dan dua gelas es kelapa muda. Saya
sengaja menolak ajakan panitia untuk buka puasa bersama di sebuah rumah makan.
Saya ingin menikmati semuanya sendiri, di kamar, dengan menu buah segar, nasi
goreng, dan es kelapa muda. Setelah itu, saya akan segera salat tarawih, ngaji
sebentar, terus tidur. Lelah tubuh sehari ini harus terbayar lunas.
Dari sekian
jenis makanan, bagi saya, yang paling menggiurkan adalah buah mangga. Mangga
itu sejenis mangga arumanis, tapi masih mengkal. Bukan masak pohon, karena
memang belum masak. Tapi justeru karena dia masih mengkal itu, rasanya begitu
eksotis. Manis, asam, dan renyah. Pas dengan selera saya. Saya menikmatinya di
setiap gigitan, sampai akhirnya gigi saya terasa ngiluuuu.
Saya
berhenti. Mangga sebuah saja sudah cukup membuat gigi saya protes. Tapi saya
puas. Dan bertekad untuk membawa serta dua buah mangga yang masih tersisa
ketika saya pulang ke Surabaya besok.
Nah, sore
ini, ya, sore ini, kedua buah mangga itu sudah masak. Saya mengupasnya dengan
sepenuh hati, memotong-motongnya dalam bentuk kotak-kotak besar, menatanya di
piring, melengkapinya dengan garpu. Saya siapkan mangga itu di atas meja makan,
bersama hidangan yang lain, nasi putih, tempe goreng, bebek goreng, sambal dan
lalapan, juga es garbis.
Begitu adzan
maghrib terdengar, kami bertiga, bapak ibu dan anak ini, langsung menyerbu
mangga yang warnanya oranye menggemaskan itu. Kami menikmatinya dengan penuh
rasa syukur, lega, merasakan perjuangan sehari ini telah sampai pada batasnya.
Insyaallah kami lulus. Insyaallah puasa kami diterima Allah SWT. Insyaallah
kami termasuk golongan orang-orang yang diberi ampunan. Amin YRA.
Wuihh,
mangga ini, rasanya.....manisnya....harumnya.... Ini benar-benar mangga
istimewa. Bukan saja karena dia mangga pertama yang kami nikmati sepanjang
Ramadhan ini. Tapi juga karena dia dibawa dari tempat yang sangat jauh,
menyeberang laut, menyeberang pulau. Saya seperti mendengan sayup-sayup suara
lagu Maumere Manise yang dinyanyikan oleh para guru peserta pelatihan menjelang
pelatihan usai waktu itu. Seperti nama lagu itu, seperti tempat dia berasal,
Maumere Manise, seperti itulah rasa mangga ini. Mangga manise.
Surabaya, 23
Juli 2014
Wassalam,
LN