Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Senin, 04 Agustus 2014

Muhibah Lebaran (4): Ngumpulke Balung Pisah

Sekitar pukul 21.30, kami pamit pada Paklik Mujab sekeluarga. Perasaan bahagia karena bisa bertemu dengan Paklik Mujab dan putro-wayah masih terasa membuncah di dada. Benar. Pertemuan seperti ini menjadi barang langka, mahal dan sangat berharga. Begitu mahalnya sehingga perlu pengorbanan, tenaga, waktu dan tentu saja sumber daya yang lain, untuk mewujudkannya. 

Saya jadi ingat pada Simbah Kakung Solo, Kyai Shoimuri. Simbah Kakung adalah putra dari Kyai Siroj. Kalau ingin tahu siapa Kyai Siroj, yang biasa disebut Mbah Siroj, googling saja, Anda akan banyak menemukan tautan tentangnya. Kyai Siroj dikenal sebagai pendakwah yang luas pergaulannya, moderat, dan bersahabat dengan semua suku, agama dan ras. Sampai saat ini pun, khoul Kyai Siroj tetap diperingati setiap tahun di Solo,  dan dihadiri oleh jamaah dari berbagai penjuru Tanah Air. Acara khoul ini, juga menjadi ajang reuni bagi kami semua, keluarga besar Bani Siroj. 

Kembali pada cerita tentang Simbah Kakung saya. Beliau dikenal sebagai ahli silaturahim. Jarak sejauh apa pun akan beliau tempuh untuk menjumpai para sanak saudara, kerabat, dan santri. Beberapa kali beliau rawuh di rumah kami, di Jenu, membawa kerabat baru, yang ternyata masih saudara kami yang telah puluhan tahun hilang, tak terendus jejaknya. Begitu kuatnya kemauan beliau untuk terus-menerus 'ngumpulke balung pisah' hingga sampai akhir hayatnya, sampai saat ini balung-balung yang sudah terkumpul itu terus menikmati dan mensyukuri berkah silaturahim itu. Tersambung dan menyatu dengan anggota Bani Siraj yang lain.

Saya bandingkan dengan apa yang kami lakukan sekarang, pengorbanan kami untuk bersilaturahim, tentulah tidak ada apa-apanya. Kami memiliki sarana untuk melakukannya. Ada kendaraan pribadi. Kalau pun tidak ada, ada kendaraan umum yang sepanjang waktu tersedia. Ada juga sepeda motor yang seringkali membuat perjalanan lebih mengasyikkan, touring sekaligus silaturahim. 

Saya sekeluarga sudah mengalami semua, naik kendaraan umum, naik sepeda motor, dan naik kendaraan pribadi. Tidak hanya saya sekeluarga yang melakukan itu, hampir semua saudara saya melakukannya juga. Bapak ibu kami mengajarkan pentingnya silaturahim, sehingga sowan-sowan dari ujung ke ujung ketika lebaran menjadi tradisi keluarga. Kadang-kadang, bila kesempatannya cocok, kami melakukannya dengan berkonvoi. Begitulah. Mungkin yang melihat tradisi keluarga kami ini akan mbatin, kok mau-maunya.... Ya. Nikmatnya bersilaturahim hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang mencintai silaturahim.

Sekitar pukul 23.00, kami tiba di rumah ibu, di desa Jenu, Tuban. Rumah besar yang sekompleks dengan sekolah RA, MTs dan MA itu, sepi. Pintu besarnya tertutup rapat. Setelah membuka dan menutup kembali pintu pagar, kami langsung memarkir mobil di halaman belakang. Sudah ada Karimun milik Dik Utik, adik saya, parkir di situ. Juga mobil Espass, milik ibu. Halaman belakang itu menyatu dengan rumah Mas Zen, kakak kami, kepala sekolah M.Ts Al-Hidayah, sekolah yang bernaung di bawah yayasan Al-Hidayah, yayasan yang dibangun oleh keluarga kami. Ketua yayasan adalah ibu saya, yang oleh orang-orang disebut Ibu Nyai Basjiroh.

Ibu sendiri bukan orang baru dalam bidang organisasi. Pengalamannya dalam organisasi IPPNU telah mengantarkan beliau pada jabatan sebagai sekretaris kepengurusan IPPNU Pusat pada periode pertama kepengurusan, dan sebagai Ketua pada periode kepengurusan kedua. Ibu juga terjun ke dunia politik dan itu mengantarkan beliau sebagai anggota DPRD Kabupaten Tuban pada tahun 70-an. Meskipun ibu sekarang mengaku muak dengan dunia politik, namun bagaimana pun ibu juga mengakui, dunia itu telah memberi banyak pengalaman dan pelajaran hidup baginya. Salah satu pelajaran hidup yang beliau tanamkan pada kami, "lek iso, ora usah melu-melu terjun ke dunia politik. Wis cukup ibu wae." Kebetulan, dari enam putra-putri ibu, tidak ada seorang pun yang tertarik terjun ke dunia politik, meski tawaran itu datang silih berganti. Saat ini, pada usia beliau yang menginjak 78 tahun, alhamdulilah, ibu dikaruniai kesehatan yang sangat baik, dan memungkinkan beliau untuk terus berdakwah serta mengabdikan diri pada pendidikan agama. Keterlibatan beliau dalam dunia politik saat ini hanya sebatas dimintai doa restu oleh para caleg yang akan maju. Ibu tentu saja paham betul apa yang dimaui para caleg itu dengan memohon doa restu beliau. Maka, beliau akan selalu bilang, "lek olehmu nyaleg iku ngko nggowo barokah, tak dongakno hasil. Ning lek malah ndadekno mudhorot, tak dongakno ora hasil." 

Saya membuka ponsel. Ibu yang terus memantau kami sepanjang perjalanan tadi berpesan, kalau kami sudah sampai, saya diminta menelepon, untuk membangunkan ibu. Kalau mengetuk pintu, ibu khawatir beliau tidak mendengar, karena jarak pintu belakang dengan kamar ibu yang lumayan jauh. 

Begitu pintu dibuka, saya langsung merengkuh tangan kurus itu, milik tubuh mungil yang begitu saya cintai. Ibu saya. 
"Assalamualaikum, Mik." Saya mencium punggung tangannya. "Ngaturaken sedoyo kalepatan, nyuwun pangapunten. Ngaturaken salam lan sungkem saking keluarga Ponorogo, Solo, Boyolali, Rembang lan Pamotan"

"Waalaikum salam. Iyo. Podho-podho, Umik yo semono ugo."

Kami memasuki ruang keluarga. Sepi. Dik Utik sekeluarga, yang juga baru datang dari Bojonegoro sore tadi, sudah pulas. Mas Ipung sekeluarga, saudara kami yang tinggal bersama ibu, sudah tak ada suaranya. 

"Sampun, Mik. Umik enggal istirahat malih, sampun dalu, mangke dalem ringkes-ringkesi. Lawangipun dalem mangke ingkang nutup."
"Ora tak gawekke teh disik?"
"Sampun, Mik. Mboten sisah, maturnuwun. Air putih kemawon. Lha meniko, kantun mendhet." Jawab saya.
"Yo wis, Umik sare maneh yo. Ojo lali nutup lawang."
"Inggih."

Malam itu, kami menurunkan hampir semua bagasi dari mobil. Kue-kue dan hadiah lebaran untuk ibu, para saudara, dan para keponakan. Inilah momen berbagi yang paling membahagiakan dalam hidup saya. Berbagi dengan para saudara, kerabat, dan tentu saja, orang tua. Mungkin tidak seberapa barang-barang yang kami bagikan, tapi bahwa itu sebagai bukti kalau kami selalu mengingat mereka, tentulah maknanya sangat bernilai. 

Larut malam mengantarkan kelelahan kami dalam tidur yang nyenyak. Masih ada serangkaian agenda selama tiga hari kami di Tuban ini. Apa lagi kalau bukan silaturahim. Ke sanak saudara, ke para sahabat. 

Arga yang kelelahan setelah menjadi driver jarak jauh, sudah tertidur pulas. Saya menatap wajah bulatnya yang tampan, mengelus rambutnya. Saya bersyukur pada Allah SWT, bagaimana pun, Arga yang cenderung sakarepe dewe itu, sudah terbiasa dengan tradisi silaturahim dalam keluarga besar kami. Dia tidak pernah mengeluh karena jauhnya jarak yang harus ditempuh, ditambah dengan kelelahan karena kemacetan di jalan, dan juga tugas tambahannya sebagai driver andalan. Dia nampak menikmati sekali pertemuan demi pertemuan dengan saudara-saudaranya, bercanda, bercerita, saling menggoda, dan berpisah setelah saling bersalaman dan saling mendoakan. Semoga kecintaannya pada silaturahim terus terjaga, sebagaimana kecintaan silaturahim yang telah diajarkan dan diwariskan oleh kakek nenek dan buyutnya.

“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Serta berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman, musafir dan hamba sahaya yang kalian miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri”. QS. An-Nisa’: 36.


Tuban, 30 Juli 2014

Wassalam,
LN    

Muhibah Lebaran (3): Jangan Percaya Google Map

Pukul 08.30, kami berangkat dari Hotel Dana, Solo, tempat kami transit semalam. Kami meluncur ke arah Purwodadi. Persis saat adzan dhuhur, kami tiba di rumah Pak Leksono, dosen PKK Unesa, teman seperjuangan saya. Pak Leksono adalah teman seangkatan saya di Tata Boga, yang sekarang juga sekantor dengan saya. Ini kali kedua kami mengunjungi rumahnya di Desa Bugel, Kecamatan Godong, Kabupaten Purwodadi. Kunjungan pertama kami sudah beberapa tahun yang lalu, juga dalam rangka muhibah lebaran seperti ini. Pak Leksono dan keluarganya nampak bahagia sekali karena kunjungan kami. 

Selepas makan siang dengan menu mi kocok dan bakso yang lezat, jualannya adik Pak Leksono sendiri, kami melanjutkan perjalanan. Tujuan kami tentu saja ke Rembang, ke rumah bulik Muhsinah, adik ibu, istri almarhum Kyai Cholil Bisri. Seperti Solo dan Boyolali, Rembang juga banyak menyimpan kenangan masa kecil saya.

Menjelang maghrib, kami tiba di rumah Bulik Muhsinah, di Kompleks Pondok Pesantren Roudhotul Thalibin. Mobil kami parkir persis di samping kiri rumah. Beberapa santri kami lihat tersebar di beberapa tempat, di pintu samping kiri, di teras masjid, dan di depan rumah Gus Mus (Mustofa Bisri) di seberang jalan. 

Saat melintasi teras, kami sempat melihat dik Yahya, putra pertama Lik Ying (panggilan akrab Kyai Cholil Bisri), sedang njagongi para tamu di ruang tengah. Kami terus saja, menuju pintu samping sebelah kanan, pintu untuk para keluarga dan kerabat dekat. Bertemu dengan dik Inab, adik Dik Yahya, yang akan keluar sowan-sowan. Begitu melihat saya, dia teriak "Innalilah..." Dia menghambur memeluk saya. "Mbak Luluk....suweneng aku, suweeee gak ketemu...".
"Lha suwe gak ketemu kok innalillah." Kata saya.
"Haha...yo ngono iku, Mbak, aku lek surprise mbengokku keliru...haha."

Dik Inab berlalu ke arah mobil yang membawa rombongan keluarganya, yang sudah menunggu. Kami langsung masuk rumah, bertemu seorang santri putri, dan langsung disilakan naik ke lantai dua.

Di lantai dua inilah tempat pribadi Bulik Muhsinah dan keluarga Dik Yahya. Tentu saja hanya tamu-tamu khusus yang diperbolehkan mencapai ruang ini. Selain kamar dan ruang tamu pribadi Bulik, juga ada ruang-ruang lain yang dimanfaatkan untuk keluarga Dik Yahya. Oya, Dik Yahya, nama lengkapnya adalah Yahya Cholil Tsaquf, waktu Gus Dur jadi presiden, dia adalah salah satu juru bicaranya. 

Karena sudah Maghrib, saya minta izin ke santri putri itu, untuk berwudhu. Saat mau masuk toilet, Dik Nunik, istri Dik Yahya, tiba-tiba muncul. Saya menyalaminya.
"Njenengan sinten leh?" Tanyanya, dengan logat khas Rembang.
"Njenengan sinten, njenengan sinten." Sahut saya pura-pura sewot.
"Ya Allah, Mbak Luluuuukkkkkk...." Dik Nunik teriak, memeluk saya. "Sepuntene, Mbak...pangling kulo."

Saya salat di kamar Bulik Muhsinah. Mas Ayik dan Arga salat di ruang di depan kamar. Selesai salat, kami jagongan di ruang depan kamar itu. Bersama para putra putri anak menantu dan cucu Bulik. 

Tentu saja, kami tidak bisa berlama-lama, meskipun ingin. Bulik menggiring kami ke lantai bawah, ke ruang makan. Saat menuruni tangga, ingatan saya terbawa dalam kenangan puluhan tahun silam. Saat saya masih kanak-kanak, kalau kami sowan di rumah ini, ketika menyambut kami atau melepas kami, Lik Ying menuruni tangga, dengan baju dan jubah putihnya, sambil membawa lembaran-lembaran uang. "Iki gawe mundhut permen ya?" Begitu kata beliau, sambil membagikan sangu pada kami.

Di ruang makan, lagi-lagi, ingatan saya kembali ke masa silam. Tempe goreng tipis itu, saya masih ingat betul, adalah tempe kesukaan keluarga Lik Ying dan kami semua. Nyaris tidak ada menu makan tanpa tempe goreng itu. Kalau sarapan, lauk kami kadang-kadang hanya tempe goreng dan sambal bawang. Bahkan sampai sekarang, menu sederhana itu menjadi menu andalan saya sekeluarga. Dan setiap kali menyantap menu itu, ingatan saya selalu terbawa ke masa-masa kecil ketika berlibur di Rembang.

Kami menyelesaikan makan malam selepas adzan Isya. Kami pamit pulang, setelah saling bersalaman, berpelukan, dan saling mendoakan. Namun sebelum pulang, kami sowan ke rumah Paklik Makin, adik ibu yang lain, yang rumahnya di kompleks itu juga. Paklik Makin memukul-mukul lengan saya dengan gembira karena beliau tidak menyangka kami muncul malam itu. 

Malam sudah semakin larut, tapi masih ada satu tempat lagi yang musti kami kunjungi, yaitu rumah Paklik Mujab, adik ibu yang tinggal di Pamotan. Dengan berbekal sekantung makanan dan minuman, kami melanjutkan perjalanan, menembus hutan belantara dan puluhan kilometer jalan makadam. Ya, kami memang tidak melewati jalan yang biasanya. Dengan mengandalkan google map, kami memcoba mencari jalan dengan jarak terdekat. Memang berhasil. Rute Rembang-Pamotan yang biasanya perlu waktu sekitar empat puluh menit, saat ini bisa kami tempuh dengan waktu yang lebih lama. Ya, lebih lama, Saudara. Jaraknya memang mungkin lebih pendek, tapi kondisi jalan yang jeleknya minta ampun persis di daerah 3T, membuat mobil tidak bisa berjalan kencang. Hikmah hari ini, jangan percaya begitu saja pada google map. Beberapa kali sudah saya buktikan, ternyata dia tidak pintar-pintar amat.

Pamotan, 29 Juli 2014

Wassalam,
LN

Minggu, 03 Agustus 2014

Selamat Jalan, Sahabat (3) (Puisi untuk Rukin Firda)

Seringkali kau berkata padaku
Terbang tinggilah, Bidadari
Kepakkan sayap-sayap cenderawasihmu
Jelajahi negeri ini sampai ke ujung-ujungnya
Lantas aku bertanya
Kenapa tidak kau temani diriku?
Kau menjawab dengan kata-kata bijak itu
Sahabat baik itu seperti bintang
Meski dia tidak selalu berada di dekatmu
Dia senantiasa mengikuti dan menerangi jalanmu

Bidadari bersayap cenderawasih, begitulah kau menyebutku
Bidadari itu kini sedang menangis pilu
Sayap-sayapnya patah hancur berserak
Betapa pun dia merelakan kepergianmu
Namun keindahanmu yang laksana bintang-bintang di langit telah menggoreskan luka-luka
Hati putihmu yang terpancar dari senyum tulusmu menyisakan kesedihan di mana-mana
Betapa menyakitkan rasa kehilangan ini

Hampir tiga dasa warsa aku mengenalmu
Segalanya begitu indah tentangmu

Selamat jalan, Sahabat
Doa tulusku mengiringi langkahmu
Semoga terang dan lapang jalan menuju rumah abadimu
Surga Jannatunna'im...

Surabaya, 3 Agustus 2014

Wassalam,
LN

SelamatJalan, Sahabat (2) (Puisi untuk Rukin Firda)

Senja mulai jatuh saat kami antar kau ke peristirahatan terakhirmu
Matahari jingga tersangkut di ranting-ranting pohon kamboja
Wangi bunganya semerbak mengabarkan semua keindahan yang abadi tentangmu

Betapa terpampang jelas kecintaanmu pada kehidupan
Pada istri dan ketiga buah kasihmu
Pada semua sanak saudaramu
Pada kerabat, pada sahabat
Saat ini, mereka tumpah ruah di pelataran sunyi yang tiba-tiba menjadi semarak ini
Ramai dengan alunan tahlil dan doa-doa
Mengantarkan kepergianmu menemui Rabb-mu

Sahabat,
Aku masih di sini
Menatap nanar pusaramu
Seperti tak percaya diri ini
Kaukah itu, yang terbaring di bawah taburan kembang merah yang menebarkan harum mewangi
Namun kenapa kulihat senyummu di mana-mana?
Seperti meyakinkan kami semua
"Aku baik-baik saja. Pulanglah. Lanjutkan perjuanganmu. Gapailah cita-citamu. Bukankah itu juga yang menjadi perjuangan dan cita-citaku?"

Sahabat, baiklah, kami memang harus rela melepasmu
Bukankah kau juga yang mengajarkan ketegaran
Tapi sungguh, rasa kehilangan ini begitu dalam
Tak terbayang hari-hari setelah kepergianmu
Tulisan-tulisan itu
Kelas-kelas itu
Anak-anak muda itu
Yang telah terlanjur mencintaimu
Yang selalu menunggu sapamu
Dan telah banyak menggantungkan harapan padamu
Entahlah....

Semoga Tuhan mengatur segala sesuatunya
Sebaik saat kau masih ada untuk kami semua

Selamat jalan, sahabat...
Damai selalu di sisi-Nya....

Tanggulangin, 2 Agustus 2014. 20.15 WIB

Wassalam,
LN

Selamat Jalan Sahabat (Puisi untuk Rukin Firda)

Siang ini, saat kami semua sedang bersama dalam acara halal bi halal Himapala, di Kampus Lidah
Yuni, istri tercintamu menelepon
"Mbak, apa Mas Rukin di situ?"
"Tidak, Yun, belum datang. Ada apa?"
"Iki lho mbak, tadi pagi dia keluar rumah, kok terus ada kabar dia kecelakaan. Tapi tak telpon hapenya kok gak nyambung-nyambung."
"Hah, kecelakaan? Yun, coba dihubungi lagi, aku juga coba hubungi. Moga Mas Rukin baik-baik saja."

Seketika perasaan cemas menyergapku
Saat kutelepon ponselmu, bukan dirimu yang mengangkat
Suara seorang perempuan di seberang menjelaskan semuanya
Dirimu mengalami kecelakaan, dan meninggal

Oh Tuhan
Sekujur tubuh ini seketika bergetar, dada sesak, tangis pun pecah
Tidak, itu tidak mungkin

Tapi itulah yang terjadi
Ini bukan mimpi

Begitu cepatnya semua berlalu
Masih kulihat senyummu di setiap jejak yang pernah kau ukir
Canda kelakarmu dan kata-kata penyemangatmu mengiringi langkah perjuangan para pengabdi di ujung-ujung negeri
Sumba Timur, Maluku Barat Daya, Mamberamo Raya, ke banyak tempat terdepan, terluar, tertinggal
Buku-buku ini, adalah saksi
Gambar-gambar ini, adalah bukti
Betapa kau cintai kami
Merelakan dirimu berjuang bahu-membahu selalu mendampingi
Kau adalah bagian penting dari perjuangan ini

Tahukah kau?
Kau adalah sahabat terbaik
Yang menjadi tempat berbagi cita-cita demi kemajuan pendidikan bangsa
Yang siap menjadi apa saja bagi kami semua, para pejuang kecil bercita-cita besar ini
Yang rela mengarungi samudera, menembus hutan belantara, mendaki bukit penuh onak duri
Demi menjangkau mereka yang tak terjangkau
Demi menyentuh mereka yang tak tersentuh

Dan orang baik itu, dirimu, sekarang sudah pergi, pergi untuk selamanya
Namun kenangan-kenangan itu tak mungkin sirna
Hal-hal baik yang telah kau wariskan
Juga ribuan cita-cita yang masih kau gantungkan
Semangat yang tak pernah padam untuk mengabdi pada kehidupan

Sahabat,
Kulantunkan Al Fatihah dan doa-doa,
Untuk mewakili kesedihanku, menggantikan cucuran air mataku, menyiratkan rasa kehilanganku
Di sini, aku, sahabatmu
Dan ratusan rekan baikmu, ratusan pendidik muda generasi setelahmu
Hanya mampu mengucap
Selamat jalan, sahabat kami, bapak kami, guru kami
Allah telah memanggilmu ke pangkuan abadi-Nya
Dalam rengkuhan kasih sayang-Nya
Semoga kau damai selalu di sisi-Nya

Amin Ya Rabbal Alamin

Tanggulangin, 2 Agustus 2014, 16.15 WIB

LN

Selasa, 29 Juli 2014

Muhibah Lebaran (2): Bani Wahabi dan Bani Tamami

Sekitar pukul 15.20, kami meninggalkan Kota Ponorogo. Meluncur menuju Solo. Kami mengambil rute Purwantara, Wonogiri, Sukoharjo, Solo.

Lalu lintas padat lancar. Sebenarnya cukup menyenangkan untuk perjalanan jauh. Tapi Arga yang hampir semalaman tidak tidur karena menyiapkan acara halal bi halal keluarga bersama Dio, memilih pensiun sementara jadi driver. Mas Ayik yang semalam melekan bersama teman-teman SMA-nya, terserang flu, dan obat flu yang diminumnya hanya membuatnya bertahan mengemudi sampai Purwantara. Akhirnya, sayalah yang harus pegang kemudi. Oh Tuhan, tidak terbayangkan, ternyata kedua laki-laki itu begitu teganya pada saya. Mereka berdua tidur mendengkur sementara saya mengukur jalan.

Tapi sebenarnya, pucuk dicinta ulam tiba. Dari dulu saya ingin nyetir di Jalur Ponorogo-Solo yang jalannya meliuk-liuk dan lumayan naik turun itu. Dari dulu Mas Ayik tidak pernah memberi saya kesempatan karena dia tidak tega. Katanya, medannya berbahaya.

Tapi kini, dia menyerah. Kondisi fisiknya yang teler karena obat flu tak memungkinkan dia untuk menolak kemauan saya. Wow, asyik sekali. Saya menguasai mobil sampai lepas Maghrib, saat kami tiba di rumah saudara di Jayengan, Solo. Kami salat dan makan malam, lantas pamit melanjutkan perjalanan menuju Boyolali.

Akhirnya, pada pukul 20.15, kami bertiga memasuki Kota Boyolali. Baru sekitar empat puluh menit yang lalu, kami meninggalkan Kota Solo. Solo dan Boyolali, dua kota yang menyimpan sejarah masa kecil saya.

Ibu saya lahir di Solo. Eyang dan buyutnya tersebar di Solo dan Boyolali. Sebagian saudara saya lahir di Solo. Masa kecil saya, sering saya habiskan di Solo dan Boyolali. Setiap liburan sekolah, kami sering dikirim bapak ibu ke Solo atau Boyolali, berlibur di rumah Mbah Putri dan Mbah Kakung, atau di rumah Pakde dan Bude Tamam. Ingatan masa kecil saya saat bersama Mbah Kakung, Mbah Putri, Pakde dan Bude Tamam, serta bersama para saudara sepupu, masih tersimpan rapi. Juga kenangan bersama Paklik Mubin almarhum, adik terkecil ibu, yang hobinya motret dan ngusungi para keponakan ke mana-mana, ke Sriwedari, Jurug, Tawangmangu, Pasar Kembang, Pasar Klewer dan Alun-alun.

Begitu kami tiba di depan rumah Pakde Tamam, keriuhan segera terdengar. Subhanallah. Di rumah itu ternyata sudah ada Bani Wahabi, para anak cucu Paklik Wahab. Mulai dari anak pertama sampai kelima, lengkap dengan anak-anak mereka. Bertemu dengan Bani Tamami, para anak cucu Pakde Tamam, mulai dari anak pertama sampai keenam, juga lengkap dengan anak-anak mereka. Suasana di ruang keluarga itu seperti sedang ada perayaan ulang tahun atau semacamnya. Lebih dari empat puluh orang berkumpul. Ramainya bahkan tidak kalah dengan ramainya PAUD atau kelompok bermain.

Begitu saya menginjakkan kaki ke ruang keluarga, mereka semua bahkan sudah menyiapkan acara penyambutan secara spontanitas. Mendendangkan salawat badar. Lengkap dengan bunyi-bunyiannya.

Kami bertiga geleng-geleng kepala melihat tingkah polah puluhan anak-anak kecil dan remaja itu. Sementara orang tua mereka tertawa cekakakan sambil memegangi perut masing-masing. Kami bergantian bersalaman, berangkulan, berpelukan. Saya bersimpuh di depan Bude Tamam, yang sedang duduk dan tersenyum manis menikmati tingkah polah anak-anak manusia yang tersaji di depannya. Saya cium punggung tangannya, kedua pipinya, dan menyampaikan permohonan maaf, serta menghaturkan salam takzim dari ibu saya dan saudara-saudara saya.

Bude Taman, sudah empat tahun gerah stroke. Sakit itu membuat beliau sulit berjalan. Tapi beliau secara mental sangat sehat, meski bicaranya sangat pelan. Dalam kondisi seperti itu, dalam usianya yang sudah mendekatai 80 tahun, bude Tamam tidak pernah meninggalkan salat tahajud dan dhuha, selain, tentu saja, tak pernah meninggalkan salat wajib lengkap dengan sunnat rawatibnya. Selama bulan puasa ini, beliau puasa penuh, meski dahar sahur nyaris tidak pernah kerso, kecuali hanya ngunjuk saja.

Kami sebenarnya ingin langsung menemui Pakde Tamam di kamar. Beliau sedang terbaring sakit. Namun masih ada beberapa tamu yang berada di kamar, menjenguk Pakde.

Sejak beberapa minggu ini, Pakde hanya bisa berbaring. Ibu dan saudara-saudara saya sudah menengok Pakde pada Ramadhan beberapa hari yang lalu. Kondisi beliau saat itu masih bisa berkomunikasi, masih sesekali bercanda dengan anak cucu, di antara waktu-waktu istirahatnya yang lebih banyak diisi dengan salat dan dzikir. Dalam kondisi tidur pun, lidah Pakde bergerak-gerak seperti melafalkan nama Allah.

Begitu kamar Pakde kosong, kami bertiga menghampiri beliau. Mbak Menuk, Mbak Umi, dua orang putri Pakde, juga Dik Iffah, putri almarhum Paklik Wahab, juga menemani. Mbak Menuk berbisik di telinga bapaknya.

"Bapak, Dik Luluk, Pak. Dik Luluk Bulik Basyiroh, Tuban, Pak."

Pade hanya sedikit menggerakkan matanya yang terpejam. Tidak berkata sepatah pun.

"Pakde..." Saya meraih tangannya yang tersembunyi di bawah selimut. "Pakde, ngaturaken sedoyo kalepatan, nyuwun pangapunten..." Saya mencium punggung tangannya dengan sepenuh perasaan. Hati saya meleleh. Sosok yang biasanya selalu ceria namun teduh itu begitu saja membuat hati saya menangis. "Pakde, ngaturaken salam lan sungkemipun Ibu lan sederek-sederek Tuban sedoyo..." Pakde tak bergeming. Saya menghela nafas panjang, melantunkan doa. Memberi kesempatan pada Mas Ayik dan Arga untuk menyapa Pakde.

"Waktu rene sing kapan iko, Pakde isih saget guyon lho, Mbak." Kata Dik Iffah. "Aku matur ngene. Pakde, kulo niki lek ningali Pakde remeeennn saestu. Terus Pakde ngendikan 'lha ngopo?' Pakde meniko pasuryanipun teduuuhhh sanget. Menopo Pakde Golkar to? Golkar meniko teduh Pakde, mergi pohon beringin. Wah, Pakde nggujeng kekel kae.."

Dik Iffah, anak perempuan satu-satunya Paklik Wahab dan Bulik Kafiyah (keduanya sudah almarhum), adalah saudara sepupu kami yang paling heboh. Ceriwisnya minta ampun. Kami pikir dulu karena dia masih kecil. Ternyata, sampai sekarang, di usianya yang sudah empat puluh tahun, ceriwisnya semakin menjadi. Dia bilang, sudah diobatkan ke mana-mana. Tidak ada obat yang cocok. Bahkan menurutnya, dia sudah kebal dengan berbagai macam obat. Tapi itu membuatnya sangat cocok menjadi guru PAUD, profesinya sekarang.

Setelah beberapa waktu menunggui Pakde, saya keluar kamar. Tiba-tiba barisan anak-anak kecil itu, anak turun Bani Wahabi dan Bani Tamami, melantunkan koor.

"Bude Luluk, Bulik Luluk.....sawerannya mannaaaaa?"
"Hah?" Saya kaget. Anak-anak itu tertawa keras. Para orang tua terpingkal-pingkal.
"Siapa yang ngajari kalian, hah?"
Spontan anak-anak itu menunjuk ke seseorang. Siapa lagi kalau bukan..... Dik Iffah.
"O.....dasar. Guru PAUD gak nggenah." Semprot saya. Dik Iffah tertawa berderai, puas sekali wajahnya. Saudara-saudara yang lain tidak kalah puasnya.

Malam itu, kami pamit sekitar pukul 21.30-an. Bani Wahabi akan melanjutkan perjalanan ke rumah masing-masing, ke Yogya, ke Solo Baru, dan di Boyolali saja. Bani Tamami, tentu saja, tetap tinggal bersama Pakde dan Bude Tamam, menunggui bapak ibu dan eyang mereka yang lagi gerah. Kami sendiri, delegasi Bani Zawawi, akan melanjutkan perjalanan, entah sampai di mana, sampai kami merasa perlu berhenti dan menginap di hotel untuk transit. Besok pagi, perjalanan dalam rangka muhibah lebaran ini berlanjut menuju Rembang, Pamotan, dan Tuban.

Rasa bahagia dan marem menyelimuti benak saya, ketika mobil kami menembus malam yang masih ramai. Bertemu dengan banyak saudara, bersilaturahim dengan para orang tua, seperti memberikan energi dalam jiwa. Rasanya ingin berlama-lama bersama mereka, namun perjalanan musti berlanjut untuk menemukan sumber energi yang lain.

Boyolali, 28 Juli 2014

Wassalam,

LN

Muhibah Lebaran (1): Tong Ting

Sabtu, 26 Juli 2014, sekitar pukul 22.30, kami berangkat dari rumah menuju Ponorogo. Arga pegang kemudi, Mas Ayik di sebelahnya sebagai navigator, saya dan ibu duduk di jok tengah. Ada berkotak-kota kue di belakang, tas pakaian, dan dua sepeda lipat di roof rack di atas.

Perjalanan lancar mulai Surabaya sampai Wilangan, Nganjuk. Sejak Wilangan, lalu lintas padat merambat. Tiba di Madiun, sekitar pukul 03.15. Masih terhitung normal. Kami makan sahur di Sego Pecel Bu Wo.

Kami tiba di Ponorogo menjelang shubuh. Bu Heni dan Pak Anwar, suami istri adik ibu, sudah menunggu. Tapi ngantuk berat yang menyerang membuat saya tidak betah berlama-lama beramah-tamah. Saya pun izin berselancar di Negeri Kapuk.

Sekitar pukul 08.00, saya dan Mas Ayik keluar, berkunjung ke rumah sanak saudara. Kami ditugasi ibu untuk ulem-ulem. Besok pagi, selepas salat Idul Fitri, kami ketempatan acara halal bi halal keluarga besar Ki Amat Drangi, punjernya keluarga besar Ponorogo. Acara akan dihelat di Terazz Cafe, sebuah cafe milik saudara sepupu.

Meski kami sekeluarga ketempatan halal bi halal, kami tidak terlalu repot. Semua makanan kami pesankan. Menunya sederhana, nasi uduk lengkap, rujak manis, dan kue kotak. Minumannya cukup air mineral dan soft drink.

Selepas salat Ied, kami sungkem-sungkeman, tradisi dalam keluarga besar kami. Cium tangan, cipika-cipiki, berpelukan, saling memaafkan, saling mendoakan. Setelah itu....ini yang juga sangat ditunggu-tunggu....pesta makan nasi uduk dan ayam ingkung.

Nasi uduk dan ayam ingkung, adalah menu utama tradisi keluarga setiap lebaran. Semua dimasak sendiri. Pak Anwar, adik ipar ibu, kepala rumah tangga di rumah keprabon ini, selalu menyembelih sendiri ayam kampung yang besar, meracik bumbu, dan mengolahnya, dibantu Bu Heni, istrinya, dan putro-putri.

Kebetulan hari ini, Dik Riris, putri pertama mereka, memasak nasi biriani. Dia khusus membeli beras jenis long grain untuk mendapatkan nasi biriani yang sempurna.

Dik Riris, saudara sepupu kami ini tinggal di Malang. Dua putrinya sudah mahasiswa. Bersama mereka ada seorang guru asli China yang bertugas mengajar di STT Telkom Malang, yang tinggal di rumah mereka. Tong Ting (entah seperti apa ejaannya), gadis China itu, juga ikut pulang mudik ke Ponorogo. Sebenarnya dia diajak temannya untuk berlibur ke Bali, tapi dia memilih ikut mudik host parent-nya. Saya bilang ke dia: "You do not just teach, you learn about the culture as well."

Acara halal bi halal keluarga besar kami dihadiri oleh sekitar 50 orang, yang semuanya keluarga, kecuali Tong Ting, yang panggilannya Tiny. Selain acara sebagaimana layaknya acara halal bi halal yang lengkap dengan tausiah yang diberikan oleh Pak Anwar, acara juga dimeriahkan oleh sajian live music. Iwuk, adik Mas Ayik, memegang keyboard, bergantian dengan Arga. Dio memegang biola. Penyanyinya bergantian, termasuk Tiny. Tiny menyanyikan lagu Hao Siang dan Yue Liang Dai. Tepuk tangan meriah mengikuti alunan suaranya yang nyengek-nyengek. Saat menyanyikan Yue Liang Dai, dia duet dengan Arga. Gadis 23 tahun itu nampak begitu menikmati berada di antara keluarga besar kami di acara family gathering ini.

Dio, adalah saudara sepupu Arga. Dia sekelas dengan Arga, di Pendidikan Sendratasik Unesa. Dio piawai memainkan Biola, Arga lebih suka Cello. Tapi biola yang dimainkan Dio saat ini, adalah biola milik Bapak almarhum. Ibu sengaja mengeluarkan biola itu dan meminta Dio untuk memainkannya. Lagunya, Jali-Jali, salah satu lagu kesukaan Bapak.

Selesai acara, kami semua beres-beres. Termasuk membereskan makanan yang masih cukup banyak tersisa, kami bagikan untuk keluarga dan tetangga-tetangga. Saya sendiri membawa puluhan kotak kue, kami akan bagi-bagikan nanti pada anak-anak dan orang-orang di perempatan jalan.

Puas rasanya bisa bertemu dengan para saudara, keluarga besar Ponorogo, mulai dari mbah-mbah sampai buyut-buyut. Tradisi tahunan ini selalu menjadi momen yang ditunggu oleh keluarga besar kami. Setelah setahun bersitegang dengan berbagai macam tugas dan urusan, bertemu keluarga besar seperti ini seperti mengurai semua rutinitas yang kadang menjemukan dan melelahkan.

Inilah salah satu berkah silaturahim.

Siang nanti, kami bertiga akan melanjutkan muhibah lebaran ke Solo dan Boyolali. Biasanya kami juga berkunjung ke Sragen, ke rumah Paklik Wahab dan Bulik Kafiyah. Namun beliau berdua telah berpulang sejak sekitar dua tahun yang lalu.

Setiap tahun, kerabat kami hampir selalu berkurang. Waktu acara halal bi halal tadi, kami juga berdoa bersama untuk Bapak Nurhadi, Bapak kami, yang berpulang sekitar seratus hari yang lalu. Juga untuk Mas Ranawi, saudara sepupu, yang berpulang hanya beberapa hari menjelang idul fitri.

Begitulah. Umur manusia benar-benar rahasia Illahi. Semoga kita masih dipertemukan dengan Ramadhan dan Idul Fitri yang akan datang. Amin.   

Ponorogo, 28 Juli 2014

Wassalam,
LN