Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Sabtu, 06 April 2013

Ke Talaud Lagi (1)

Pukul 17.00 WITA. Lion Air yang kami tumpangi mendarat dengan mulus. Bandara Sam Ratulangi muram. Landasan basah. Mendung gelap. Lampu-lampu di sepanjang landasan pacu sudah dinyalakan meski senja belum turun. 

Hujan deras sudah kami rasakan sejak sekitar tiga puluh menit sebelum kami mendarat tadi. Kaca pesawat dipenuhi dengan garis-garis air. Gumpalan awan seperti kapas tebal, putih berselang-seling kelabu. Menjelang pesawat turun, bukit-bukit, perkebunan kelapa, laut, gereja-gereja, rumah-rumah, dan jalan serta sungai kecil yang berkelok-kelok, menggantikan hamparan awan tebal itu. Meski begitu, barisan air di kaca jendela pesawat tidak juga hilang.

Sore ini rombongan kami adalah Rektor Unesa, Prof. Dr. Muchlas Samani; Pembantu Direktur I Program Pendidikan Profesi Guru (P3G) Unesa, Dr. Raden Sulaiman; Tim monev SM-3T, Dr. Trisakti dan Drs. Yoyok Yermiandhoko, M.Pd; dan saya sendiri. Malam ini kami hanya transit saja di Menado ini. Besok pagi, kami akan melanjutkan penerbangan ke Talaud, dan sampai hari Rabu, 10 April 2013, kami akan melaksanakan monev SM-3T.

Pada Oktober 2012 yang lalu, saya dan tim telah mengantarkan mereka, para peserta SM-3T,  untuk melaksanakan tugas pengabdian mereka. Lebih dari lima bulan sudah berlalu. Saatnya untuk bertemu mereka, melihat sekolah-sekolah, menyapa guru-guru dan masyarakat, dan memastikan semuanya baik-baik saja....


Menado, 7 April 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 05 April 2013

Tentang Kemampuan Membaca


Luthfiyah Nurlaela

Kemampuan membaca menjadi dasar utama tidak saja bagi pembelajaran bahasa, tapi juga bagi semua mata pelajaran. Dengan membaca, siswa dapat memperoleh pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan daya nalar, sosial, dan emosionalnya.
Tentang membaca, beberapa ahli mendefinisikan dengan cara yang agak berbeda, namun pada dasarnya terdapat satu persepsi tentang membaca, yaitu merupakan suatu proses. Allen dan Vallete (1977) mengemukakan bahwa membaca adalah sebuah proses yang berkembang (a developmental process). Pada tahap awal, membaca sebagai suatu pengenalan simbol-simbol huruf cetak (word recognition) yang terdapat dalam sebuah wacana. Dari membaca huruf per huruf, kata per kata, kalimat per kalimat, kemudian berlanjut membaca paragraf per paragraf dan esei pendek (Sugiarto, 2001). Relevan dengan pendapat tersebut adalah sebagaimana dikemukakan Calfee dan Drum (1986), yang menyatakan bahwa komponen proses membaca meliputi pengkodean (decoding), kosa kata (vocabulary), pemahaman kalimat (sentence comprehension), pemahaman paragraf (paragraph comprehension), dan pemahaman bacaan (text comprehension).
Dengan demikian membaca merupakan suatu kombinasi dari pengenalan huruf, intelektual, emosi, yang dihubungkan dengan pengetahuan si pembaca  (knowledge background) untuk memahami suatu pesan yang tertulis (Kustaryo, 1988). Bagi seorang pemula seperti anak-anak, membaca berarti mengenali simbol dari sebuah bahasa. Pemahaman bacaan secara bertahap akan dimiliki setelah tahap word recognition ini dikuasai. Membaca juga diartikan sebagai suatu proses mental atau proses kognitif, yang dalam proses tersebut seorang pembaca diharapkan bisa mengikuti dan merespon pesan penulis (Davies, 1997).
Bagaimana seorang anak belajar membaca? Setidaknya ada empat jawaban untuk pertanyaan tersebut (Calfee & Drum, 1986): (1) membaca sebagai proses alamiah, seperti halnya belajar berbicara; (2)  membaca melalui serangkaian tahap; (3) membaca merupakan penguasaan  keterampilan-keterampilan khusus; dan (4) membaca merupakan aktivitas formal.
Sebagai proses alamiah, penyediaan bahan bacaan dan aktivitas yang telah dikenali siswa adalah penting, karena anak-anak harus berurusan dengan konsep dan struktur yang telah sedikit mereka mengerti. Applebee dan Langer (1983, dalam Calfee & Drum, 1986) memfokuskan pada tugas-tugas bahasa yang dihadapi siswa, dan mengusulkan supaya guru menyediakan kerangka konseptual atau scaffolding untuk memberi bantuan pada siswa. Tingkat bantuan tersebut adalah penting. Soal-soal ”isilah titik-titik” dengan soal-soal esei memberikan bantuan yang berbeda; yang pertama menyediakan bantuan terlalu banyak dan yang kedua terlalu sedikit. Applebee dan Langer menyarankan tingkat bantuan yang cukup atau sedang, yang memberi siswa bimbingan hanya sebanyak yang mereka perlukan, misalnya diskusi tentang suatu bacaan atau definisi suatu kata.
Teori bertahap (stage theory) menurut Chall (1983, dalam Calfee & Drum, 1986), mengajukan model enam-tahap penguasaan membaca. Tahap-tahap tersebut meliputi: (1) tahap 0, prereading, usia lahir - 6 tahun; (2) tahap 1, initial reading atau decoding, usia 6-7 tahun; (3) tahap 2, fluency, usia 7-8 tahun; (4) tahap 3, reading to learn; (5) tahap 4, multiple viewpoints, usia sekolah menengah; (6) tahap 5, reconstruction, pendidikan tinggi. Sesuai dengan tahap-tahap tersebut, maka anak yang baru mulai belajar membaca memasuki tahap initial reading dan fluency. Pada tahap ini, yang perlu ditekankan adalah bagaimana anak mengenali dan membaca huruf, untuk kemudian memahami konten dari bacaan yang berkaitan dengan pengetahuan-pengetahuan yang telah sebelumnya mereka ketahui dan alami.
Membaca dikatakan sebagai penguasaan keterampilan-keterampilan khusus karena membaca merupakan sekumpulan tujuan atau keterampilan yang ditentukan secara tepat. Masalah pengkodean, kosa kata, pemahaman bacaan, merupakan tujuan dan keterampilan membaca. Aktivitas biasanya dimulai dengan kajian beberapa kata dari bacaan, membaca sebuah cerita, diselingi pertanyaan-pertanyaan tentang detil dan kesimpulan dari bacaan, dan makna kata berdasarkan konteks.
Membaca sebagai aktivitas formal memadukan psikologi kognitif dan teori kurikulum. Model ini bermula dari asumsi bahwa arsitektur pikiran (minds) adalah sangat sederhana. Apa yang kemudian membuat pikiran menjadi menarik dan kompleks adalah kandungannya, struktur mental yang mendasari kinerja dan pengetahuan. Sebagian struktur tersebut—contohnya adalah apa yang diketahui seseorang tentang restoran—terjadi melalui pembelajaran alamiah. Lainnya, misalnya apa yang diketahui seseorang tentang diagram kalimat, dihasilkan dari pengajaran formal. Pada ujung kedua kontinum tersebut, hasil akhirnya adalah representasi mental, tubuh pengetahuan, dibentuk oleh pikiran dengan lebih banyak atau lebih sedikit struktur yang saling bertalian (Calfee & Drum, 1986). 
            Tujuan utama pengajaran membaca adalah untuk membantu anak memahami apa yang mereka baca sehingga mereka dapat bergerak dari “belajar untuk membaca” ke “membaca untuk belajar” (Mautone, dkk., 2003; Torgesen, 1998). Kemampuan membaca permulaan (early literacy) pada anak sangat dipengaruhi oleh keterlibatan keluarga (de Jong dan Leseman, 2001; Senechal dan LeFevre, 2002; Sheldon, 2002).  Kesempatan dan kualitas pengajaran membaca di rumah, sekaligus kesempatan dan kualitas interaksi sosial-emosional selama aktivitas non-literacy secara signifikan berkorelasi dengan pengkodean  (decoding). Kebiasaan memberikan tugas untuk membaca buku cerita di rumah dengan melibatkan orang tua juga secara signifikan mampu mengembangkan keterampilan membaca dan berbahasa siswa.
Kemampuan membaca siswa juga dipengaruhi oleh pendidikan sebelumnya. Beberapa temuan penelitian tentang kemampuan membaca anak SD kelas 1 menunjukkan bahwa pada umumnya siswa yang pernah bersekolah di TK kemampuan membacanya lebih baik dibandingkan dengan siswa yang tidak bersekolah TK. Hal tersebut antara lain disebabkan karena kesiapan belajar membaca mereka yang meliputi pengenalan huruf dan sosialisasi dengan teman sebaya, lebih baik daripada mereka yang tidak pernah bersekolah di TK (Sammons, dkk., 2004; Leppanen, dkk., 2004).
MacGilchrist (1997) mengemukakan terdapat satu temuan penting tentang peranan membaca, di mana tingkat kemampuan siswa pada usia 7 tahun merupakan prediktor yang baik atas tingkat pencapaiannya di masa yang akan datang.  Sebuah hubungan  diperoleh antara kemampuan membaca pada usia 7 tahun dan tingkat prestasi ujian pada usia 16 tahun.  
            Kemampuan membaca bahkan didinilai mempengaruhi sikap agresif siswa sekolah dasar. Sebuah penelitian yang dilakukan selama enam tahun (1996-2002) oleh Sarah Miles dan Deborah Stipek dari Stanford University School of Education, menemukan bahwa anak kelas 1 SD yang kemampuan membacanya relatif rendah, saat di kelas 3 cenderung memiliki tingkat agresivitas tinggi (Witdarmono, 2006). Siswa kelas 3 yang memiliki kemampuan membaca rendah, juga cenderung memiliki sikap agresif tinggi saat kelas 5. Sifat agresif dalam hal ini meliputi suka berkelahi, tidak sabar, suka mengganggu, dan kebiasaan menekan anak lain (bullying).  Menurut kedua peneliti tersebut, bersamaan dengan tingkat pergaulan, anak-anak yang berkemampuan membaca rendah mengalami tingkat frustrasi yang menumpuk, dan hal itulah yang menyebabkan mereka menjadi agresif.
Sebaliknya, ada keterkaitan antara sikap sosial dan kemampuan membaca. Sikap sosial dalam hal ini meliputi sikap suka menolong, mengerti perasaan orang lain, memiliki empati, memiliki perhatian pada orang yang sedang kesusahan, dan suka menolong/menghibur teman yang kecewa. Anak-anak yang memiliki sikap sosial yang baik saat kelas 1 SD biasanya lebih mampu mengembangkan kemampuan membacanya di kelas 3 dan 5.
Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan betapa pentingnya pendidikan dan pengajaran yang efektif dalam kemampuan membaca pada jenjang-jenjang awal SD. Tepatlah jika dikatakan oleh Farr (1984, dalam Harjasujana, 2006) yang menekankan pentingnya membaca dalam sebuah kalimat “reading is the heart of education”.
            Bila penelitian di atas dilakukan bagi anak usia SD (5-9 tahun), bagaimana dengan kemampuan membaca pada anak usia 9-14 tahun? Programme for International Student Assesment (PISA) yang bertujuan untuk mengukur tingkat pengetahuan dan keterampilan anak usia 14-15 tahun (usia akhir wajib belajar), meneliti anak-anak dari 29 negara maju dan berkembang. Penelitian PISA dilakukan tiga tahun dengan fokus yang berbeda-beda, tetapi saling bersinambungan. Fokus tahun 2000 (32 negara) adalah reading literacy. Fokus tahun 2003 (40 negara) adalah mathematical literacy dan problem solving. Selanjutnya fokus tahun 2006 (57 negara)  adalah scientific literacy. Hasil penelitian tahun 2003, Indonesia berada pada peringkat terbawah dalam kemampuan membaca. Tiga besar teratas diduduki Finlandia, Korea dan Kanada. Bagi Indonesia, ini berarti dari lima tingkat kemampuan membaca model PISA, kemampuan anak-anak Indonesia berada pada tingkat satu. Artinya, hanya mampu memahami satu atau beberapa informasi pada teks yang tersedia. Kemampuan untuk menafsirkan, menilai, atau menghubungkan isi teks dengan situasi di luar terbatas pada pengalaman hidup umum. Akibatnya, anak-anak akan sulit memakai kemampuan membaca untuk memperluas pengetahuan dan keterampilan pada bidang lain. Keadaan ini mengakibatkan pada usia 19-20 tahun, mereka mungkin baru mampu menyelesaikan SMA-nya. Atau jika pada usia itu sudah bekerja, besar kemungkinan untuk tersisih dalam persaingan lapangan kerja. Situasi semacam ini tentu mudah menyebabkan harga diri mereka turun dan memicu untuk memusuhi masyarakat dan lingkungan sekitar (Rutter dan Giller, 1983, dalam Witdarmono, 2006).
Begitu pentingnya kemampuan membaca, sehingga perlu diupayakan ketersediaan lingkungan belajar yang kondusif, sehingga dapat menciptakan generasi yang literat. Sistem pendidikan perlu direformasi agar mampu mengembangkan kemampuan literasi anak sejak dini. Pembelajaran harus lebih diarahkan pada pengembangan kreativitas dan daya pikir siswa. Mulai SD, anak-anak harus sudah dibiasakan dengan tugas membaca. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pembelajaran konvensional yang kurang mendorong tumbuhnya minat dan kebiasaan membaca seharusnya diperbaiki. Model-model pembelajaran yang lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang literat, yang bisa meningkatkan kemampuan membaca siswa, harus diterapkan secara meluas.
Pembelajaran membaca seharusnya menjadi hal yang menyenangkan bagi anak. Banyak guru yang menuntut anak untuk secepatnya lancar membaca, sekalipun anak masih kelas 1 SD, bahkan masih duduk di TK. Belajar bagi anak akhirnya merupakan sesuatu yang menjemukan, menyebabkan anak malas ke sekolah, dan stres. Di sisi lain, membaca pada anak kelas 1 SD adalah membaca permulaan (initial reading) yang ditekankan pada mengenal dan membaca huruf (decoding). Dengan praktek, anak tidak lama berada pada tahap tersebut, mereka akan mulai memusatkan perhatian pada konten. Namun, sebagaimana yang dikatakan Calfee dan Drum (1986), membaca pada tahap tersebut bukanlah untuk memperoleh informasi baru, melainkan untuk mengkonfirmasi apa yang sudah diketahui anak. Ini berarti, pembelajaran harus kontekstual, sesuai dengan tahap perkembangan anak, dan tentu saja menyenangkan dan bermakna.  Namun sayangnya, guru seringkali “tidak sempat” lagi berpikir tentang bagaimana membawakan pembelajaran yang memenuhi ciri tersebut, karena mereka lebih berorientasi pada bagaimana menuntaskan materi yang telah ditargetkan oleh kurikulum. Hal ini adalah persoalan umum yang terjadi di dunia pendidikan kita, di semua jenjang, sehingga tidak salah bila dikatakan pendidikan lebih banyak menggarap sisi intelektual siswa, namun kurang menyentuh sisi emosional dan spiritualnya.
Salah satu faktor penentu minat baca adalah bentuk fisik buku. Ilustrasi, warna, format, dan jenis cetakan, merupakan ciri-ciri buku yang mempengaruhi pilihan anak (Winihasih, 1999). Pada umumnya, anak menyukai buku-buku yang memiliki banyak ilustrasi gambar berwarna-warni. Buku yang dicetak dengan format menarik dengan jenis cetakan yang serasi akan menjadi buku pilihan anak. Membaca buku pada anak dapat mengembangkan  konsep dan pengalaman (Winiasih, 1999). Dengan adanya konsep dan pengalaman yang luas dapat meningkatkan kemampuan membaca anak. Berkaitan dengan pembelajaran membaca, penyediaan lingkungan yang memungkinkan siswa untuk berproses secara alamiah, dengan memperhatikan apa yang seharusnya dilakukan pada setiap tahap penguasaan membaca, akan sangat membantu mengembangkan kemampuan membaca siswa sebagaimana yang diharapkan.

PROFIL ALUMNI WANITA PROGRAM STUDI TATA BOGA JURUSAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


Luthfiyah Nurlaela, Niken Purwidiani, dan Choirul Anna Nur Afifah
           
Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1) mengetahui persentase alumni wanita yang bekerja pada bidang pendidikan dan bidang nonkependidikan (jasa boga, wirausaha, dan lain-lain); 2) mengetahui pada level apa saja jabatan alumni wanita yang bekerja; dan 3) mendeskripsikan kendala yang dihadapi alumni wanita yang bekerja untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. Penelitian ini merupakan studi penelusuran, dilakukan melalui pendekatan tinjau balik (retrospective approach). Subjek penelitian adalah seluruh alumni tahun tamat 1987 sampai dengan tahun tamat 2007 (640 orang). Responden penelitian diperoleh sebanyak 135 orang (by mail). Teknik pengumpulan data dengan angket dan dokumentasi; dan teknik analisis data dengan analisis deskriptif. Hasil yang diperoleh adalah: 1) alumni  wanita Program Tata Boga yang bekerja di bidang pendidian sebanyak 81,5%, Sedangkan yang bekerja pada bidang non kependidikan sebanyak 18,5%; 2) level jabatan alumni wanita yang bekerja di bidang pendidikan  adalah sebagai  guru, wakil kepala sekolah, dosen, administrasi/staf TU, intruktur dan guru privat, dan level jabatan di bidang non kependidikan adalah sebagai cook helper, cook, juru/staf, supervisor, dan lain-lain; 3) kendala-kendala yang dihadapai alumni untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi adalah masalah biaya; kurangnya keterampilan, pengetahuan dan wawasan; Waktu (sulit meninggalkan tugas mengajar); Keluarga (Anak masih kecil); tidak ada minat; jarak tempuh; ketersediaan program studi lanjut yang relevan; Bahasa Inggris; karena hanya lulusan D3; dan karena banyak saingan.

Abstract: The purpose of the research are: (1) to know the percentage of women alumni that work in educational and no educational field (foodservice, entrepreneur, etc); (2) to know in what level they work; and (3) to describe constraints that be paced by the women alumni for achieving the higher career. The research is tracer study which done through retrospective approach. The research subject is all alumni that graduated in 1987 to 2007 (640 alumni). The research responden is 135 women (by mail). The data is collected by questionaire and documentation. The data analysis is using descriptive.  The research results are: (1) the women alumni of Food Program that work in educational field are 81,5%, and in non educational field are 18,5%; (2) the work level of alumni that work in educational field are as teacher, vice of headmaster, lecture, administration staff, instructor, and private teacher; moreover, the work level of alumni that work in non educational field are as cook helper, cook, staff, supervisor; (3) the constraints that be paced by women alumni for achieving higher career are because of: the cost; limited skill, knowledge and insight; limited time (difficult to leave teaching job); family (have a little kid); no interest; distance; the availability of relevant advanced education; English; Diploma 3 graduate; and because there are too many competitors.


      Pendahuluan
Program Studi Tata Boga jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) adalah salah satu program studi yang ada di lingkungan Universitas Negeri Surabaya (UNESA). UNESA merupakan salah satu perguruan tinggi (dulu: IKIP) yang telah berkonversi berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 03 tahun 1999. Sedangkan Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), berdasarkan SK Menteri P dan K Republik Indonesia nomer 0211/V/1982 menyelenggarakan program kependidikan jenjang S1 PKK, mulai tahun 1984.  Pada saat ini Jurusan PKK memiliki 3 Program Studi (Prodi), yakni Prodi S-1 PKK, Prodi D-3 Teknik Industri Boga, dan Prodi D-3  Teknik Industri Busana. Prodi S1 PKK membawahi Prodi Pendidikan Tata Boga dan Pendidikan Tata Busana.
            Penelitian tentang penelusuran alumni PKK FPTK IKIP Surabaya (sebelum berubah menjadi UNESA), telah dilakukan oleh Winarni,  dkk (1999) dan Ponidjo (2001). Penelitian Winarni, dkk (1999) yang mendeteksi jumlah pengangguran tamatan PKK-FPTK IKIP Surabaya tahun tamat 1994-1996 menunjukkan bahwa tamatan jurusan PKK FPTK IKIP Surabaya cukup berhasil dalam memasuki dunia kerja. Sebanyak 87,83% tamatan telah bekerja dan hanya 12,7% yang tidak bekerja. Sebagian besar tamatan bekerja sebagai guru (77,78%) dan sebagian lainnya di bidang jasa boga dan busana. Tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Ponidjo (2001) yang melakukan penelusuran alumni lulusan tahun 1997-1999, sebanyak 89% tamatan jurusan PKK sudah bekerja, dan sebanyak 10,53% belum bekerja. Sebagian besar lulusan bekerja di bidang pendidikan (63,16%), dan sebagian lainnya bekerja di bidang jasa boga dan busana.
       Meskipun dari hasil penelitian telah diketahui bidang kerja alumni, tetapi pada level apa mereka berada di bidang-bidang kerja tersebut belum terlacak. Selain itu juga belum diketahui bagaimana profil alumni wanita, yang merupakan mayoritas dari lulusan PKK. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, pada bidang pekerjaaan usaha jasa boga  (foodservice) seperti pada hotel dan restoran, jabatan pada level atas pada umumnya dipegang oleh pria, baik pada food product maupun food service. Wanita yang bekerja pada bidang ini pada umumnya paling tinggi berada pada tingkat menengah, setingkat supervisor.  Meskipun lulusan Tata Boga baik pria maupun wanita sama-sama memulai jenjang karir dari level sebagai cook III atau bahkan cookhelper, namun pada pria, jenjang karir mereka bisa mencapai tingkat yang tinggi, yaitu executive chef. Sebaliknya pada wanita, pada umunya jenjang karir mereka berhenti pada tingkat cook I, sangat jarang yang mencapai tingkat supervisor. Bila mereka berhasil menduduki jabatan pada tingkat supervisor, umumnya tidak pada bagian food product, tapi pada food service.
       Selain pada bidang usaha boga, profil alumni wanita pada bidang kependidikan juga belum diketahui secara lebih mendalam, khususnya pada level apa mereka berada. Oleh karena kebanyakan lulusan Tata Boga yang terjun di bidang kependidikan bekerja di SMK (Sekolah Menengah  Kejuruan) kelompok Pariwisata, yang mayoritas guru serta siswanya adalah juga wanita, maka mereka sangat berpeluang untuk menduduki jabatan yang tinggi seperti kepala sekolah atau wakil kepala sekolah. Meskipun kenyataan di lapangan menunjukkan, tidak jarang posisi kepala sekolah atau wakil kepala sekolah di SMK Pariwisata diduduki oleh kaum pria, yang bukan dari jurusan PKK.
       Kenyataan di atas menunjukkan adanya kemungkinan terjadinya bias gender dalam penyediaan peluang kerja bagi alumni wanita Prodi Tata Boga khususnya, dan alumni jurusan PKK pada umumnya. Faktor-faktor yang menyebabkan adanya bias tersebut akan dapat diketahui melalui penelitian ini, dengan menggali kendala-kendala yang dihadapi para alumni untuk mencapai jenjang karir lebih tinggi.
       Tujuan untuk mengetahui kemungkinan adanya bias gender sebagaimana disebutkan hanya merupakan salah satu tujuan penelitian. Tujuan yang utama adalah untuk mengetahui bagaimana profil sesungguhnya dari para alumni wanita prodi Tata Boga tersebut, meliputi persentase mereka yang bekerja pada bidang pendidikan dan bidang nonkependidikan (jasa boga, wirausaha, dsb), pada level apa, serta kendala yang dihadapi untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi.
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka masalah umum yang perlu dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana profil alumni Prodi Tata Boga UNESA, khususnya alumni wanita. Secara lebih rinci, masalah-masalah tersebut meliputi: (1) Bagaimana persentase alumni wanita yang bekerja pada bidang pendidikan dan bidang nonkependidikan (jasa boga, wirausaha, dan lain-lain), (2) Pada level apa saja jabatan alumni wanita yang bekerja di bidang pendidikan dan nonkependidikan (jasa boga, wirausaha, dan lain-lain), dan (3) Apa kendala yang dihadapi alumni wanita yang bekerja pada bidang pendidikan dan nonkependidikan (jasa boga, wirausaha, dan lain-lain), untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi.
Jurusan PKK, khususnya Prodi Tata Boga, selain harus tetap meningkatkan kualitas untuk menghasilkan guru SMK yang profesional, juga harus berorientasi pada disiplin bidang kerja yang lain, salah satunya bidang industri. Hal tersebut relevan dengan konsep “keterkaitan dan kesepadanan” (link and match) yang menekankan bahwa sistem pendidikan hendaknya dapat menghasilkan lulusan yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dunia kerja (Trisno, 1995). Keterkaitan dan kesepadanan pada sistem pendidikan  adalah sangat penting, agar mampu menghasilkan lulusan yang dapat berperan aktif dalam pelaksanaan  pembangunan. Beberapa alasan yang mendukung urgensi program tersebut antara lain semakin besarnya tuntutan tenaga kerja yang berkualitas, semakin banyaknya kebutuhan tenaga kerja pembangunan yang menghendaki persyaratan keahlian tertentu, dan semakin tingginya minat lulusan yang ingin menciptakan lapangan kerja baru (Soekartawi, 1994).
Di sisi lain, jumlah pengangguran sarjana dari tahun ke tahun jumlahnya semakin membengkak. Anthony Dio Martin (dalam Moedjiarto, 1997) mengemukakan lulusan pendidikan di Indonesia dari berbagai tingkatan yang menganggur, baik dari segi persentase maupun angka absolutnya, sudah pada tingkat yang makin mengkhawatirkan. bertambahnya jumlah lapangan kerja masih belum dapat mengimbangi laju pengangguran yang lebih pesat.
Keberhasilan suatu program pendidikan dapat diukur melalui efektivitas program yang dilaksanakan. Efektivitas program merupakan salah satu sasaran utama evaluasi program (Abramson, 1979; Winarni, 1999). Mengkaji efektivitas suatu program berarti meneliti seberapa jauh tujuan program tersebut dapat tercapai. Efektivitas suatu program pendidikan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: efektivitas internal dan efektivitas eksternal. Efektivitas internal menelaah apakah proses pendidikan telah berjalan sesuai dengan yang direncanakan, mulai dari proses seleksi masukan mentah sampai pada proses belajar mengajar yang terjadi. Sedangkan efektivitas eksternal menelaah seberapa jauh kesesuaian tamatan program pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja.
Melakukan evaluasi efektivitas eksternal suatu program pendidikan berarti menggunakan pendekatan produk (lulusan/tamatan) sebagai pedoman dasar evaluasi, dengan asumsi bahwa segala upaya yang dilakukan suatu program pendidikan pada akhirnya akan bermuara pada lulusan (Campbell dan Penzano, 1985; Winarni, 1999).
Efektivitas program pendidikan pada Prodi Tata Boga dapat dilakukan melalui pendekatan hasil (lulusan) dengan cara studi penelusuran. Studi penelusuran mempunyai tujuan untuk mengetahui mobilitas lulusan, kepuasan lulusan terhadap pekerjaanya, dan untuk mengetahui tingkat kesiapan lulusan dalam mengembangkan karirnya. Slamet PH (1993) menyatakan bahwa studi penelusuran bertujuan untuk mengetahui sejarah karir lulusan, status karir/pekerjaan sekarang, dan penilaian lulusan terhadap program pendidikan atas dasar pengalaman kerja mereka. Lebih lengkap Slamet, PH (1993) mengemukakan tujuan studi penelusuran, yaitu: (1) menentukan jumlah dan jenis pekerjaan yang dimasuki oleh lulusan, (2) Mempelajari sejauh mana tamatan telah menerapkan pendidikannya di lapangan, (3) Menemukan sejauh mana mobilitas tamatan dalam pekerjaan, (4) Mendapatkan informasi dari tamatan tentang manfaat program dikaitkan dengan pekerjaannya, (5) Menemukan sejauh mana tamatan berkeinginan untuk  melanjutkan pendidikannya.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa  studi-studi tentang pelacakan lulusan yang  dilakukan telah cukup lama. Selain itu, pada umumnya hasil penelitian hanya mengacu pada persentase lulusan yang bekerja dan yang belum bekerja. Namun pada level apa mereka berada pada pekerjaan tersebut, belum terdeteksi. Dan sebagai prodi yang mayoritas mahasiswanya adalah wanita (lebih dari 90%), pengungkapan tentang profil alumni tata boga selain terkait dengan hal-hal di atas, juga terkait dengan bagaimana peluang pekerjaan bagi mereka dalam bidang-bidang yang ditekuninya, termasuk kendala-kendala yang mereka hadapi untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. 

      Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi penelusuran, yang mencoba untuk mengungkap profil alumni wanita Prodi Tata Boga UNESA. Profil yang dimaksud adalah persentase alumni yang bekerja pada bidang pendidikan dan non kependidikan, level jabatan mereka di tempat kerja, dan kendala-kendala yang dihadapi untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. Sesuai dengan tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini adalah penelitian deskriptif.
Studi penelusuran dapat dilakukan melalui tiga pendekatan (Psacharopoulus dan Hinchiliffe, 1983; Winarni, 1999) yaitu: (1) pendekatan tinjau lanjut (follow-up approach), (2) pendekatan tinjau balik (retrospective approach), dan (3) pendekatan lokasi (establishment surveys). Pendekatan tindak lanjut dilakukan dengan cara mengikuti lulusan sejak menyelesaikan pendidikannya sampai dengan tenggang waktu tertentu. Pendekatan ini memerlukan waktu lama, namun data yang diperoleh bersifat komprehensif. Sedangkan pendekatan tinjau balik pada dasarnya juga bertolak dari lulusan periode tertentu. Perbedaan pokok dengan pendekatan tindak lanjut adalah tidak mengikuti lulusan sejak menyelesaikan pendidikannya, tetapi meneliti status lulusan setelah selang waktu tertentu, misalnya setelah dua tahun mereka tamat dari pendidikan. Dengan cara ini waktu penelitian dapat diperpendek yaitu dalam rentang waktu yang cukup untuk mengumpulkan data.
Selanjutnya pendekatan lokasi bertolak dari lokasi tertentu, misalnya pabrik atau kawasan industri, karyawan di lokasi tersebut ditetapkan sebagai populasi dan baru setelah itu dilacak latar belakang pendidikannya. Keuntungan pendekatan lokasi adalah proses pengumpulan data relatif mudah dan data yang berkaitan dengan dengan pekerjaan relatif homogen. Kekurangan pendekatan ini adalah tidak dapat mewakili lembaga pendiikan asal karyawan, karena tidak mewakili karakteristik karyawan.
     Oleh karena waktu penelitian yang terbatas, maka pada penelitian ini digunakan pendekatan tinjau balik, dengan pertimbangan jangka waktu penelitian relatif tidak lama, penelitian bertolak dari institusi, serta dapat memperoleh sampel secara acak.
Studi penelusuran ini dilakukan terhadap lulusan Prodi Tata Boga UNESA (termasuk Prodi Tata Boga IKIP Surabaya sebelum menjadi UNESA), dengan lokasi penelitian di kampus UNESA, khususnya di Prodi Tata Boga, instansi atau lembaga baik pemerintah maupun swasta atau perorangan yang menjadi tempat bekerja alumni Prodi Tata Boga UNESA di Jawa Timur.
Subjek penelitian adalah seluruh alumni tahun tamat 1987 sampai dengan tahun tamat 2007, dan pimpinan industri di bidang jasa boga dan sekolah atau instansi terkait (Diknas) yang ada di Surabaya. Berdasarkan data dari BAAK UNESA, alumni Prodi Tata Boga dalam kurun waktu 1986-2004 adalah 640.  Selanjutnya dari hasil pengiriman instrumen angket by mail diketahui jumlah angket yang kembali sebanyak 135 lembar, sehingga jumlah responden penelitian sebanyak 135 orang.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan angket dan dokumentasi. Angket digunakan untuk mengungkap data mengenai profil lulusan meliputi bidang pekerjaan mereka, level jabatan di mana mereka berada, dan kendala-kendala yang dihadapi untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. Selain itu angket juga digunakan untuk menggali data dari tempat alumni bekerja, yang ditujukan bagi pimpinan perusahaan atau sekolah dan instansi terkait (Diknas), guna  memperoleh informasi tentang kendala-kendala yang dihadapai alumni wanita untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. Sedangkan dokumentasi digunakan untuk mencari data tentang nama dan alamat lulusan.
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif kuantitatif dengan persentase dan teknik analisis kualitatif. Teknik analisis data dengan persentase digunakan untuk menjawab permasalahan yang pertama, yaitu persentase alumni wanita yang bekerja di bidang pendidikan dan nonkependidikan. Sedangkan permasalahan kedua dan ketiga dianalisis secara kualitatif, meskipun  tidak menutup kemungkinan untuk analisis data level jabatan alumni di tempat kerja dapat disajikan dalam persentase.

Hasil Penelitian dan Pembahasan
A.          Deskripsi Riwayat Pekerjaan Alumni
            Data Riwayat pekerjaan alumni menggambarkan persentase alumni yang bekerja pada bidang pendidikan/pelatihan dan bidang nonkependidikan (jasa boga, wirausaha, dan lain-lain), yang dapat dicermati pada Tabel 1.

Tabel 1.  Deskripsi Data Alumni yang Bekerja pada Bidang Pendidikan dan Bidang Nonkependidikan

Bidang Pekerjaan

D3
S1
Total
f
%
f
%
f
%
Pendidikan/ Pelatihan
Dosen
0
0,0
8
100
8
5,9
Guru
13
13,3
85
86,7
98
72,6
Instruktur Kursus
2
50,0
2
50,0
4
2,9
Jumlah

15
15,8
95
86,4
110
81,5
Nonkependidikan
Restoran/Hotel
2
66,7
1
33,3
3
2,2
Bakery/pastry Shop
6
100
0
0,0
6
4,4
Catering/Jasa Boga
1
100
0
0,0
1
0,7
Wirausaha
2
25,0
6
75,0
8
5,9
Lainnya (wartawan, reporter, administrasi, dll)
3
42,9
4
57,1
7
5,2
Jumlah

14
56,0
11
44,0
25
18,5
Jumlah Keseluruhan
29
21,5
106
78,5
135
100


Berdasarkan data diatas diketahui persentase alumni yang bekerja di bidang pendidikan/pelatihan lebih banyak (81,5%) daripada bidang nonkependidikan (18,5%) baik pada program studi S1 maupun D3, dengan jenjang pendidikan bidang pekerjaan yang bervariasi mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Tingginya persentase alumni khususnya pada program studi D3 yang bekerja di bidang pendidikan/pelatihan disebabkan karena alumni program studi D3 yang lulus pada tahun 1987 hingga 1989 memang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik di SMK sehingga secara otomatis para alumni tersebut ditempatkan/bekerja di bidang pendidikan. Sedangkan program studi D3 tata boga (nonkependidikan atau murni) baru dibuka tahun 1999 dan menghasilkan lulusan pertama tahun 2002 sehingga dari alumni program D3 tata boga tersebut banyak yang berkerja pada industri jasa boga (restoran, hotel, bakery shop dan PJTKI).
Wirausaha merupakan jenis pekerjaan nonkependidikan yang paling banyak ditekuni oleh alumni wanita program studi tata boga. Pemilihan jenis pekerjaan ini terkait dengan kecenderungan dari industri jasa boga (restoran, hotel atau bakery shop) yang lebih memilih pekerja pria dibandingkan wanita serta peran alumni wanita selanjutnya sebagai istri yang bertanggungjawab dengan tugas rumah tangganya.
Selanjutnya Tabel 2 menggambarkan level jabatan alumni wanita yang bekerja di bidang pendidikan dan nonkependidikan (jasa boga, wirausaha, dan lain-lain).

Tabel 2. Deskripsi Data Level Jabatan Alumni Wanita yang Bekerja di Bidang Pendidikan dan Nonkependidikan

Bidang Pekerjaan

D3
S1
Total
f
%
f
%
f
%
Pendidikan/ Pelatihan
Guru
13
13,7
82
86,3
95
70,4
Wakil Kepala Sekolah
0
0,0
2
100
2
1,5
Dosen
0
0,0
8
100
8
5,9
Administrasi/staf TU
0
0,0
1
100
1
0,7
Instruktur/guru privat
2
50,0
2
50,0
4
2,9
Jumlah

15
12,7
95
88,2
110
81,5
Non
kependidikan
Cook Helper
2
100
0
0,0
2
1,5
Cook/juru/staf
9
64,3
5
35,7
14
10,4
Supervisor
1
100
0
0,0
1
0,7
Lain-lain
2
25,0
6
75,0
8
5,9
Jumlah

14
56,0
11
44,0
25
18,5
Jumlah Keseluruhan
29
20,7
106
78,5
135
100

           
Level jabatan alumni wanita pada bidang pendidikan/pelatihan cukup beragam mulai wakil kepala sekolah hingga guru privat. Pada level guru dan dosen diketahui pula terdapat beberapa alumni yang menjabat sebagai ketua program (kaprog atau kaprodi) sebanyak tiga orang, selanjutnya guru produktif sebanyak 69 orang serta guru tidak tetap/guru bantu sebanyak 23 orang. Level jabatan lain-lain yang dimaksud dalam Tabel 4 umumnya terdapat pada alumni yang bekerja sebagai wirausaha sebab pola wirausaha masih bersifat kekeluargaan atau tradisional sehingga tidak memiliki struktur organisasi usaha yang jelas, alumni berstatus sebagai pemilik (owner) serta sebagai pekerja/staf juga.

B.     Deskripsi Opini Alumni
            Ringkasan data opini alumni menggambarkan relevansi mata kuliah dengan pekerjaan,  kendala yang dihadapi alumni wanita yang bekerja pada bidang pendidikan dan nonkependidikan (jasa boga, wirausaha, dan lain-lain), untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi, dan saran untuk peningkatan kualitas program studi Tata Boga Unesa.

Tabel 3. Deskripsi Data Opini Alumni tentang Kesesuaian Mata Kuliah dengan Pekerjaan

Opini
F
%
Sesuai
88
65,19
Kurang sesuai
35
25,93
Tidak sesuai
12
8,89
Jumlah
135
100%
           

            Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden (65,19%) menyatakan terdapat relevansi atau kesesuaian antara mata kuliah dengan pekerjaan. Sebanyak 25,93% menyatakan kurang sesuai dan ada 8,89% yang menyatakan tidak sesuai. Responden yang mengemukakan pendapat ”kurang sesuai” umumnya beralasan karena sebagian tuntutan pekerjaan baik di bidang pendidikan maupun non kependidikan belum cukup diperoleh di bangku kuliah, terutama penguasaan keterampilan. Bekal keterampilan masih cukup jauh dari tuntutan, sehingga menjadi kendala lulusan untuk segera beradaptasi di tempat kerja. Khusus pada bidang pendidikan, selain penguasan keterampilan tata boga, keterampilan mengajar seperti mengelola kelas, penguasaan media pembelajaran dan penilaian, juga dirasa masih kurang sebagai bekal mengajar.
            Selanjutnya kendala-kendala yang dihadapi alumni untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi dapat dicermati pada Tabel 4. Berdasarkan tabel tersebut, sebagian lulusan (20%) menyatakan tidak ada kendala untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. Sebanyak 24,44% menyatakan keterbatasan biaya sebagai kendala, dan 12,59% menyatakan kurangnya keterampilan, pengetahuan dan wawasan merupakan kendala yang utama. Kemudian kendala yang lain, yaitu waktu dinyatakan oleh 13,33% responden, dan kendala keluarga (5,93%), tidak ada minat (5,19%), jarak tempuh (4,44%), keterdiaan program stusdi lanjut yang relevan (4,44), Bahasa Inggris (3,70%), Karena hanya lulusan D3 (2,97), dan banyak saingan (2,97).

Tabel 4. Deskripsi Data Kendala Alumni untuk Mencapai Jenjang Karir yang Lebih Tinggi

Kendala
f
%
Tidak ada kendala
27
20
Biaya
33
24,44
Kurangnya keterampilan, pengetahuan dan wawasan
17
12,59
Waktu (sulit meninggalkan tugas mengajar)
18
13,33
Keluarga (Anak masih kecil)
8
5,93
Tidak ada minat
7
5,19
Jarak tempuh
6
4,44
Ketersediaan program studi lanjut yang relevan
6
4,44
Bahasa Inggris
5
3,70
Karena hanya lulusan D3
4
2,97
Banyak saingan
4
2,97
Jumlah
135
100

           
            Dari berbagai kendala, meskipun persentasenya hanya  5,19%, tidak adanya minat untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi adalah sangat memprihatinkan. Tugas perguruan tinggi pada intinya adalah mengantarkan lulusannya untuk memiliki sikap dan perilaku yang positif terhadap dunia kerja dan masyarakat, suka bekerja keras, dan memiliki kemauan untuk berkembang. Semua kompetensi tersebut tentu saja memerlukan minat untuk maju. Namun apabila minat saja tidak ada pada sebagian kecil lulusan, sangatlah mungkin karir mereka juga tidak akan berkembang. Yang dikhawatirkan adalah bahwa tidak adanya minat tersebut sebenarnya adalah sebagai manifestasi frustrasi karena tidak adanya dukungan, baik dari tempat kerja, keluarga, atau bahkan karena ketidakmampuan sendiri.
            Selanjutnya data saran alumni untuk peningkatan kualitas prodi Tata Boga Unesa dapat dicermati pada Tabel 5. Berdasarkan tabel tersebut, dapat diidentifikasi lima saran terbanyak yang dikemukakan alumni, yang meliputi: (1) Lebih menyesuaikan kurikulum prodi Tata Boga dengan perkembangan di SMK dan industri, (2) Peningkatan keterampilan, baik keterampilan bidang tata boga maupun kemampuan mengajar bagi mahasiswa selama perkuliahan, (3) Peningkatan kerjasama antara prodi Tata Boga dengan DU/DI, (4) Peningkatan SDM (dosen) dalam hal kompetensi mengajar, dan (5) Peningkatan fasilitas perkuliahan (sarana dan prasarana).

Tabel 5.  Deskripsi Data Saran Alumni untuk Peningkatan Kualitas Prodi Tata Boga Unesa

Saran
f
%
Lebih menyesuaikan kurikulum prodi Tata Boga dengan perkembangan di SMK dan industri.
28
20,74
Peningkatan keterampilan, baik keterampilan bidang tata boga maupun kemampuan mengajar bagi mahasiswa selama perkuliahan
29
21,48
Peningkatan kerjasama antara prodi Tata Boga dengan DU/DI
15
11,11
Peningkatan SDM (dosen) dalam hal kompetensi mengajar
16
11,85
Peningkatan fasilitas perkuliahan (sarana dan prasarana)
12
8,89
Pembukaan program S2 dengan biaya murah khusus untuk alumni Tata Boga
5
3,70
Praktek Industri (PI) dilaksanakan lebih dahulu sebelum PPL
5
3,70
Program PI bisa lebih dikembangkan sampai ke luar negeri
4
2,96
Program PPL supaya dilaksanakan selama 6 bulan
2
1,48
Mengundang dosen dari praktisi untuk memberi kuliah
4
2,96
Pertemuan periodik alumni untuk berbagi pengalaman
2
1,48
Peningkatan praktek mata kuliah Tata Hidang yang lebih sesuai dengan kondisi di lapangan
1
0,75
Adanya bursa kerja untuk penyaluran lulusan
2
1,48
Peningkatan promosi ke masyarakat
6
4,44
Untuk program S1 Penyetaraan, jadwal kuliah lebih fleksibel, dan kuliah teori diperbanyak
2
1,48
Selama matakuliah praktek, dosen dan mahasiswa mengenakan jas-lab
1
0,75
Pemberian beasiswa pada mahasiswa berprestasi
1
0,75
Jumlah
135
100
           
      Simpulan dan Saran
            Simpulan dari penelitian ini meliputi: (1) Alumni  wanita Program Tata Boga yang bekerja di bidang pendidian sebanyak 81,5% dengan jenis pekerjaan sebagai dosen sebanyak 5,9%, guru  72,6%, dan sebagai intruktur pelatihan sebesar 2,9%; Sedangkan yang bekerja pada bidang non kependidikan sebanyak 18,5% dengan jenis pekerjanan restoran/hotel, bakery/pastry shop, catering/jasa boga, wirausaha, dan lainnya; (2) Level jabatan alumni wanita yang bekerja di bidang pendidikan  adalah sebagai  guru, wakil kepala sekolah, dosen, administrasi/staf TU, intruktur dan guru privat, dan level jawbatan di bidang non kependidikan adalah sebagai cook helper, cook, juru/staf, supervisor, dan lain-lain; (3) Kendala-kendala yang dihadapai alumni untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi adalah masalah biaya; kurangnya keterampilan, pengetahuan dan wawasan; Waktu (sulit meninggalkan tugas mengajar); Keluarga (Anak masih kecil); Tidak ada minat; Jarak tempuh; Ketersediaan program studi lanjut yang relevan; Bahasa Inggris; Karena hanya lulusan D3; dan banyak saingan; dan (4) Kesimpulan lain yang tidak kalah pentingnya, meskipun tidak menjadi pertanyaan penelitian, adalah saran-saran alumni untuk program studi Tata Boga, yang antara lain meliputi: Lebih menyesuaikan kurikulum prodi Tata Boga dengan perkembangan di SMK dan industri; Peningkatan keterampilan, baik keterampilan bidang tata boga maupun kemampuan mengajar bagi mahasiswa selama perkuliahan; Peningkatan kerjasama antara prodi Tata Boga dengan DU/DI; Peningkatan SDM (dosen) dalam hal kompetensi mengajar; dan peningkatan fasilitas perkuliahan (sarana dan prasarana).

      Saran
            Saran yang dapat dikemukakan meliputi: (1) Mengadakan temu alumni dan menjadikannya sebagai agenda rutin program studi atau jurusan untuk mendapatkan informasi dan perkembangan profil alumni serta masukan/saran bagi pengembangan jurusan; (2) Memanfaatkan website Unesa untuk menjaring informasi dan sebagai wadah komunikasi antara sesama alumni atau antara alumni, mahasiswa dan lembaga; (3) Perlu dikembangkan teknik penjaringan alumni tidak hanya melalui surat tertulis (by mail), tetapi juga menggunakan surat elektronik (e-mail) sehingga jangkauannya juga lebih luas; dan (4) Masukan-masukan dari alumni hendaknya menjadi perhatian bagi prodi Tata Boga, agar dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan prodi, dalam rangka meningkatkan kualitas sarana prasarana dan proses pembelajaran, serta perbaikan kurikulum.

Daftar Pustaka
Abramson, T., Carol, K., dan Cohen, L. 1979. Handbook of Vocational Education Evaluation. London: Sage Publication.
Campbell, P. dan Penzano, P. 1985. Toward Excellence in Secondary Vocation, Element of Program Quality. Columbus, Ohio: NCRVE.
Moedjiarto, 1997. Masalah Pengangguran Sarjana. Media Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. 1 (7). Surabaya: University Press IKIP Surabaya.
Notodihardjo, Hardjono. 1990. Pendidikan Tinggi dan Tenaga Kerja Tingkat Tinggi di Indonesia. Suatu Studi tentang Kaitan antara Perguruan Tinggi dan Industri di Jawa. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Ponidjo. 2001.  Studi Penelusuran Lulusan Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) FPTK IKIP Surabaya. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya.
Psacharopolus, G. dan Hinchiliffe, K. 1983. Tracer Study Guidelines. Washington DC: The World Bank.
Slamet PH. 1993. Penelusuran Tamatan SMEA di Indonesia (Draft Laporan penelitian). Yogyakarta: FPTK IKIP Yogyakarta.
Soekarwati. 1994. Posisi Strategis Dosen dan AA/Pekerti dalam Konsep Link and Match. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional peran Perguruan Tinggi dalam Melaksanakan Keterkaitan dan Kesepadanan, PAU UT.
Supari, dkk. 1992. Studi Pelacakan Profesi dan Bidang Kerja Lulusan FPTK IKIP Surabaya. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian IKIP Surabaya.
Sutari. 1990. Survey Kebutuhan Tenaga Kerja bagi Lulusan Jurusan PKK FPTK IKIP Yogyakarta. Laporan Penelitian. Puslitbang IKIP Yogyakarta.
Tim Penyusun. 1999. Buku Pedoman IKIP Surabaya Tahun 1999/2000.
Tim Penyusun. 2003. Buku Pedoman Universitas Negeri Surabaya Tahun 2003/2003.
Trisno, Bambang. 1995. Survey Kebutuhan Tenaga Kerja bagi Lulusan Jurusan PKK FPTK IKIP Yogyakarta. Laporan Penelitian. Puslitbang IKIP Yogyakarta.
Winarni, Astriati, dkk. 1999. Mendeteksi Jumlah Pengangguran Lulusan PKK-FPTK IKIP Surabaya (Suatu Studi Penelusuran). Laporan Penelitian.  Lembaga Penelitian IKIP Surabaya.
Wrahatnolo, Tri. 2000. Studi Pelacakan Lulusan Jurusan PTE, PTM, dan PTB FPTK IKIP Surabaya. Media Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. 18 (1). 55-66.