Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Selasa, 21 Mei 2013

PPG di Malam Hari

Gelap sudah turun saat ini. Lampu-lampu sudah menyala. Halaman sepi. Suara alam terdengar cukup nyaring, seperti suara jengkerik atau kumbang malam atau entah binatang apalah. Suaranya bersahut-sahutan, kadang-kadang berderit-derit seperti sedang berebut sesuatu.

Saya berdiri di depan jendela kaca, di lantai dua, menatap keluar. Di sana, ada dua buah bangunan asrama PGSD, tempat para peserta PPG SM-3T, khusus untuk peserta putra. Di sebelah sananya lagi, adalah rusunawa, tempat para peserta putri tinggal. Dua bangunan besar yang menampung sebanyak 279 orang yang sedang menempuh PPG di Unesa ini.

Anak-anak pasti sedang makan malam saat ini. Saya membayangkan mereka tengah berbaris rapi, antri, menerima kupon, dan menukarkan kupon itu di konter makanan. Membawa alat makan mereka masing-masing untuk diisi nasi, sayur, lauk pauk, lantas mengambil tempat duduk untuk menikmati jatah makan malamnya. Bersama teman-teman mereka, sambil makan, mereka mungkin saling bercerita tentang apa saja, terutama pengalaman mereka sehari ini di kelas, atau rencana kegiatan-kegiatan mereka mendatang.

Satu dua jam yang lalu, saat senja mulai turun, dari balik jendela juga, saya menikmati kerumunan anak muda itu, bergerak pulang ke asrama. Mereka pasti lelah setelah seharian beraktivitas dalam workshop. Lelah dan bosan. Ya. Sepanjang hari, sejak pukul 07.00 sampai pukul 16.30, mereka berkutat dengan perangkat pembelajaran dan peer teaching. Dari hari Senin sampai Jumat. Hanya jeda sebentar untuk istirahat salat dan makan. Hampir setiap hari seperti itu. Hari Sabtu pun mereka harus mengikuti berbagai kegiatan asrama. Satu-satunya hari bebas adalah Minggu.

Saya membayangkan menjadi mereka. Betapa lelahnya. 

Tiba-tiba ada segerombolan sepeda motor memasuki halaman Gedung PPG yang lengang itu. Ternyata mereka, anak-anak itu. Ada belasan sepeda motor. Ada alat besar-besar yang mereka bawa. Mungkin alat musik. Saya menebak saja, karena tentu tidak jelas terlihat dari tempat saya berdiri. 

Saya baru ingat, mereka sedang mempersiapkan diri untuk acara pentas seni. Beberapa hari yang lalu, dua di antara mereka menemui saya di ruang saya, minta izin untuk menggunakan Gedung PPG di malam hari untuk latihan. Ya, setelah sekitar dua tiga minggu mereka melaksanakan kegiatan pekan olah raga, minggu ini mereka akan menyelenggarakan pentas seni. 

Itulah antara lain kegiatan yang bisa menetralisir rasa bosan mereka. Selain kegiatan sore hari selepas PPG, bermain bola, pingpong dan voli. Berbagai arena dan alat olah raga memang sengaja kami sediakan untuk mereka. Juga berbagai kegiatan keprodian, outbound training, aerobic, karya wisata, dan lain-lain. 

Siang tadi, setelah memimpin rapat dengan para kasek sekolah mitra, saya kedatangan tamu istimewa. Anak muda yang ngganteng, namanya Eko Prasetyo. Kami bicara banyak sekali. Gayeng. Ditemani setoples kue 'untuk yuyu' oleh-oleh Pak Heru Siswanto, dan segelas air mineral.

Kami bicara tentang kondisi pendidikan di daerah 3T, tentang buku kuliner, rencana kampanye literasi, dan juga rencana pelatihan blog. Kami menyebut IGI, IKA Unesa, SSW, mas Samsul, mas Rohman, mas Rukin, mas Emcho, dan banyak lagi. Kami membahas kualitas tulisan anak-anak PPG, membahas buku, membahas tentang menulis.  

Sungguh menyenangkan bicara sama anak ngganteng dan smart itu. Saya sering berjumpa dengan Mas Eko, begitu saya menyebutnya, beberapa kali rapat bersama, tapi baru kali ini berkesempatan bicara empat mata, lama, dan gayeng. Saya merasa, meski dia jauh lebih muda, dia adalah guru saya. Banyak sekali tambahan wawasan yang saya dapatkan siang hari tadi. 

Mas Eko saya minta bantuannya untuk merencanakan acara kampanye literasi di PPG. Rencananya, dia nanti akan menggandeng IGI. Tentu saja saya senang sekali. PPG ini adalah tempatnya para calon guru. Kesempatan bisa berinteraksi dengan para guru yang tergabung dalam IGI tentulah pengalaman berharga bagi mereka, para peserta PPG itu. Belum lagi dengan bedah buku, dan mungkin juga semacam dialog tentang bagaimana menulis, pastilah akan menambah motivasi, wawasan dan keterampilan mereka. 

Kami juga merencanakan mengadakan pelatihan blog. Yang ini, tentu saja, dengan menggandeng IKA Unesa. Sebagian peserta PPG sudah ada yang memiliki blog, namun sebagian besar dari mereka belum punya. Pelatihan blog, siapa tahu nantinya dilanjutkan dengan lomba blog, mungkin akan menjadi selingan istimewa bagi para peserta PPG yang didera dengan rutinitas yang membosankan itu.

Ada ruang auditorium berkapasitas 350-400 orang di lantai 9, yang itu bisa dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan. Beberapa minggu yang lalu, ketika kami cek untuk 'berhalo-halo', ruang besar itu mengeluarkan suara yang menggema. Namun sore tadi saya dapat kabar dari pak Yoyok, ruang auditorium sedang dipasang peredam untuk mengurangi gemanya. Oh Tuhan, pucuk dicinta ulam tiba.... 

Sepeninggal mas Eko, pada pukul 13, saya memimpin rapat persiapan monev PPG dan monev SM-3T. Begitulah. Di ruang ini, hampir tiap hari ada rapat. Kadang rapat mengambil tempat di salah satu ruang di lantai 3 atau 5 bila peserta rapat banyak. Rapat dan rapat. Sepertinya kami semua dilahirkan ke dunia ini untuk rapat dan rapat. Hehe.

Kampus PPG di malam hari. Waktu bergerak mendekati pukul 19.00. Dan saya masih bertahan di sini. Dengan Pak Sulaiman, Pembantu Direktur 1, Pak Heru Siswanto, dan empat orang staf. Besok pagi akan ada pelaksanaan ujian TPA, penguasaan bidang studi dan wawancara, bagi para guru calon peserta KKT (Kependidikan dengan Kewenangan Tambahan). Kegiatan kerjasama dengan Kabupaten Jombang dan Sidoarjo. Ada sekitar 200 guru yang akan mengikuti tes tersebut. Tentu saja ada banyak hal yang harus dipersiapkan sehingga kami semua lembur. 

Selain itu, ada tujuh set peralatan microteaching, yang sore tadi baru saja datang, yang juga harus diopeni. Meski saya tidak ikut angkut-angkut, sepertinya tetap harus memastikan peralatan tersebut mendapatkan tempat dan perlakuan yang layak sebelum besok pagi ditata di ruang microteaching di lantai 4, 5 dan 6.

Setelah adzan Isya, saya dan pak Sulaiman bersiap pulang. Memastikan ke pak Heru dan staf bahwa mereka akan membereskan sisa pekerjaan yang masih ada. Besok pagi, dua belas ruangan tes harus sudah siap, dengan nomer-nomer tes yang sudah terpasang di kursi. Denah ruang, daftar peserta tiap ruang lengkap dengan pengawas dan pewawancara, juga harus sudah terpasang. 

Kampus PPG di malam hari. Saya tinggalkan bersama segunung kelelahan berselimut semangat yang harus tetap ada dan selalu terjaga.

PPG, Kampus Lidah Wetan, 21 Mei 2013. 19.10 WIB.

Wassalam,
LN

Minggu, 19 Mei 2013

Hujan

Hujan sejak pagi
Udara dingin
Air menggenangi jalan-jalan
Tubuh menggigil

Tidak ada pilihan
Harus tetap dan terus melaju
Demi setumpuk pekerjaan yang sudah menunggu... 


Kampus Lidah Wetan, 20 Mei 2013

Sabtu, 18 Mei 2013

Catatan Malam Minggu: Keripik Gayam dan Sanggar Alang-Alang

Malam minggu. Mendung. Lama tidak menikmati udara luar sejak mas Ayik sakit dan sempat opname empat hari di RSI. Maka malam ini kami niatkan untuk jalan-jalan.

Tujuan kami adalah mencari keripik gayam di Istana Buah Jalan Mayjen Sungkono. Keripik yang satu ini memang kegemaran kami. Termasuk keripik yang langka, setidaknya tidak semudah keripik pisang atau keripik singkong untuk mendapatkannya. 

Saya sendiri mengenal keripik gayam sejak kecil. Pohon gayam banyak saya temukan di rumah tetangga, kebetulan rumah kami tidak memiliki pohon gayam. Pohonnya yang rimbun sekali dengan daun-daunnya yang rapat sampai seolah lengket antara satu daun dengan lainnya, membuat pohon itu dijuluki pohon gendruwo. Konon, gendruwo suka bertengger di pohon gayam karena rimbun dan gelap. Hiii....

Buah gayam, biasa dikonsumsi begitu saja setelah direbus dengan dibubuhi garam. Rasanya gurih dan kenyal. Katanya, bagus untuk perut. Saya percaya itu, karena setahu saya, orang yang habis makan gayam, perutnya bolak-balik mengeluarkan gas...dut dut dut...hehe.

Keripik gayam berhasil kami dapatkan di Istana Buah. Hanya ada empat bungkus, kami beli semua. Empat bungkus itu saja tidak akan bertahan lama. Saya dan Mas Ayik penyakitnya sama. Kalau sudah makan keripik gayam, berhentinya susah kalau keripik itu belum habis. Rasa gurihnya yang sangat gurih seperti mengundang untuk terus ngemil dan ngemil. 

Dari Istana Buah, kami menuju Golden City (Goci) Mall. Ada pertunjukan musik jazz di sana, dalam rangka ulang tahun Goci. Ada Gilang Ramadhan dan Doni Suhendra. Selain itu, ada beberapa kebutuhan sehari-hari yang saya harus beli. Peralatan kamar mandi, kosmetik, dan lain-lain. Selain itu juga, yang penting bisa jalan-jalan, menghabiskan malam minggu.

Musik jazz langsung menyambut kami begitu mobil kami memasuki halaman Goci. Panggung pertunjukan cukup megah dan meriah. Di depannya ada banyak stand yang menjual makanan, pakaian, dan berbagai pernak-pernik. Ada kursi-kursi di setiap stand itu, sehingga kita bisa menikmati live jazz music sambil makan dan minum. 

Sambil mendengarkan musik, kami jalan-jalan. Naik ke lantai atas. Makan bebek tengil dan nasi uduk. Mas Ayik memilih hanya nasi uduk dan tempe saja. Diet. Tapi tidak tahan juga melihat saya menikmati bebek goreng yang empuk dan gurih. Dia 'nyuwil' sebagian, saya pun sebenarnya juga butuh bantuan untuk menghabiskannya. 

Nah, ketika sudah mulai lelah jalan-jalan dan lihat-lihat, kami tertarik dengan sebuah stand di sudut. Banyak barang kerajinan dijual di sana. Bunga-bunga dari kertas, kain-kain jumputan, batik tulis dan batik sablon, dan banyak lagi. 

Bukan barang-barang itu yang menarik minat kami, namun para penunggunya. Sosok bapak sepuh berambut panjang, berkaca mata. Perawakannya tinggi. Di dekatnya ada seorang perempuan setengah baya, berjilbab, manis meski sudah sudah tidak muda. Beberapa bocah remaja yang sedang mengemasi barang-barang itu, menutupinya dengan kain-kain, siap menutup stand.

Sosok bapak tua itu, adalah Didit Hape. Tentu kita semua pernah mendengar, atau bahkan kenal baik dengan beliau. Pria yang dulunya reporter senior TVRI dan asli Lumajang itu nama lengkapnya adalah H. Didit Hari Purnomo. 

Profesinya saat itu menuntutnya untuk banyak terjun ke lapangan dan bergumul dengan para pengamen, pengemis, gelandangan. Nuraninya tergugah untuk bisa memberikan perhatian pada anak negeri itu, dan dia bersama istri tercintanya, Budha Ersa, mendirikan Sanggar Alang-Alang pada 16 April 1999.

Didit mendidik anak-anak dengan metode belajar, berkarya dan berdoa. Selain mengajarkan pendidikan umum, lewat kesenian, beliau mengenalkan etika (budi pekerti), estetika (gaya hidup sehat), norma dan agama.

Alang-alang sendiri merupakan sejenis rumput liar yang dapat dijumpai di mana-mana, mulai dari puncak gunung sampai pinggir pantai, di desa maupun di kota. Tanaman ini mudah tumbuh namun juga mudah terbakar, bergantung bagaimana manusia memperlakukannya. 

Alang-alang seakan tidak ada manfaatnya kecuali menjadi tanaman pengganggu tanaman lain serta merusak keindahan. Itulah sebabnya, alang-alang di mana-mana lebih sering dibabat, ditebas, disingkirkan dan dibakar.

Padahal, Allah menciptakan makhluk, tentu bukanlah tanpa maksud. Alang-alang ternyata banyak memberikan manfaat bila kita tahu bagaimana memanfaatkannya. Setidaknya, alang-alang di pedesaan sering dimanfaatkan untuk atap gubug tempat berteduh para petani sehabis bekerja di sawah. Di kota, alang-alang sering menjadi pelengkap yang sangat dekoratif untuk cafe, restoran, hotel, dan juga di rumah-rumah. Akar alang-alang bahkan bisa dimanfaatkan untuk jamu atau obat meredakan stress.

Filosofi inilah yang diambil Didit Hape untuk membangun sanggarnya. Lewat Sanggar Alang-Alang ini, beliau ingin anak-anak yang termarginalkan itu bisa tumbuh dan berkembang dengan sewajarnya dan mampu mandiri serta bermanfaat dalam kehidupannya.

Saat ini, kami, saya dan mas Ayik, bertemu dengan sosok sederhana namun luar biasa itu. Meski garis-garis usia menggurat jelas di wajahnya, namun tubuh tingginya masih cukup kekar. Suaranya tegas namun lembut, santun, rendah hati. Mama, sebutan untuk Ibu Budha Ersa, tak kalah ramah dan lembutnya. Kami mengobrol tentang aktivitas ratusan anak yang saat ini ada dalam bimbingannya, sambil melihat-lihat hasil kerajinan yang dipajang di stand itu.

Entahlah, hati saya seperti meleleh. Saya tiba-tiba merasa menjadi orang yang begitu tipis rasa kepedulian saya. Dedikasi Didit Hape dan Budha Ersa pada nasib anak jalanan mengusik kesadaran saya yang terdalam. Jauh. Saya masih harus menempuh jalan panjang dan jauh untuk bisa mencapai tingkat kerelaan dan pengorbanan sebagaimana yang sudah mereka lakukan. 

Saya mengambil beberapa barang kerajinan hanya untuk alasan supaya saya bisa melepaskan beberapa lembar dari dompet saya untuk saya titipkan pada mereka. Tidak ada satu pun dari barang kerajinan itu yang saya butuhkan. Saya hanya ingin sedikit menetralisir rasa gelisah di hati saya karena dipenuhi oleh rasa bersalah. 

Entah karena membaca perasaan saya, ketika kami pamit, Mama mencium pipi saya dan memeluk saya sesaat. Anak-anak perempuan yang ada di situ juga menyorongkan pipinya saat kami berpamitan. Didit Hape sendiri memegang erat tangan mas Ayik dan berkali-kali beliau ucapkan terimakasih. Katanya, menjelang stand tutup, Allah mengirimkan kami berdua sehingga dagangan mereka ada yang membeli...

Besok malam, saya dan mas Ayik bermaksud ke Goci Mall lagi. Bukan untuk berjalan-jalan. Tapi untuk menemui Didit Hape dan Budha Ersa lagi, serta anak-anak didiknya. Mendulang pelajaran hidup yang pasti sangat kami butuhkan.... 

Golden City Mall, 18 Mei 2013


Wassalam,
LN

Rabu, 15 Mei 2013

Cerah

Sinar mentari bersinar cerah pagi ini
Secerah hatiku

Burung-burung berkicau riang pagi ini
Seriang hatiku

Cerah
Hangat
Indah

Semuanya terasa cerah pagi ini
Hangat dan indah sekali
Ya
Karna aku akan bawa pulang kekasih hati
Hari ini

Terimakasih, Tuhanku Illahi Rabbi...


RSI Surabaya, 16 Mei 2013

Wassalam,
LN

Menulis Puisi (Inspirasi dari Eko Prast)

Adalah sahabat saya, Eko Prasetyo, penulis, editor, guru, trainer, motivator; betapa saya sangat mengaguminya. Konsistensinya dalam menulis begitu menginspirasi saya. Tak pernah dalam satu hari pun dia lewatkan tanpa satu dua buah tulisan. Entah itu puisi, feature, esai, apa saja. Dia bisa menulis tentang seni, sejarah, musik, olah raga, biografi, politik, sosial, dan sebagainya; seringkali juga tentang pendidikan dan agama. Dan, juga, tentang cinta (pada Jeng Ratih, pada Tuhan, pada bangsa, pada cintanya yang tak kesampaian....haha). 

Ya, di antara kesibukannya sebagai editor Jawa Pos (konon sebentar lagi dia akan 'pensiun dini' dari Jawa Pos, karena ingin hidup 'normal'), dia selalu menyempatkan diri untuk menulis. Dia selalu mengirimkan tulisannya, salah satunya, ke milis keluarga unesa. Karena saya juga tergabung dalam milis itu, maka setiap hari saya menemukan tulisannya. Setiap hari juga saya sempatkan membacanya. 

Eko Prast, begitu dia menyebut dirinya, atau Must Prast (ini juga dia sendiri yang menyebutnya), mengangkat hal-hal yang seringkali begitu sederhana menjadi sebuah tulisan yang begitu bermakna dan penuh hikmah. Dia bisa saja menyeret sebuah peristiwa dan situasi--yang orang lain mungkin menganggap itu hal biasa--ke mana pun yang dia mau. Misalnya, ketika melihat kekompakan anggota himapala Unesa, dia menyeretnya ke kisah perjuangan Raden Mas Said dalam memerangi VOC. Atau menghubungkan sebuah puisi sederhana berjudul 'Gerimis' dengan lagu-lagu Elton John. 

Hebatnya, ide-ide yang berat bisa ditulisnya dengan begitu ringan dan menyenangkan, misalnya ketika dia menulis tentang sejarah dan kisah-kisah perjuangan para pahlawan atau tokoh-tokoh dari dalam maupun luar negeri. Hebatnya lagi, dia hampir selalu bisa menyelipkan kekonyolan yang menggelikan dalam tulisannya. Ya, Eko Prast memang sangat humoris. Humornya segar dan cerdas.
  
Seingat saya, saya beberapa kali dimintanya untuk memberikan endorsement pada beberapa buku kumpulan tulisannya dan juga kumpulan puisinya. Setidaknya ada 'Kota Santri', 'Golden Generation', dan 'Rumah Kartu' yang saya pernah membuat endorsement-nya. Tulisan-tulisan ringan tapi berbobot, ringan tapi perlu, yang dihimpunnya, dan kemudian jadi sebuah buku.  
  
Sepertinya, anak muda yang tampan itu (dia selalu percaya diri kalau dia ngganteng meskipun mengakui kalau dekil), tak peduli apakah tulisannya dibaca atau tidak oleh anggota milis. Yang penting bagi dia adalah menulis dan menulis. Bahkan salah satu kata mutiara yang selalu dituliskannya pada setiap postingan adalah “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah.” (Milan Kundera).

Konsistensinya dalam menulis itulah yang menginspirasi saya. Sayang sekali, saya bukan termasuk orang yang rajin menulis. Apalagi kalau sudah disibukkan dengan berbagai aktivitas di kampus atau kegiatan di tempat lain, lantas pulang ke rumah dengan setumpuk kelelahan, maka pulas adalah pilihan yang paling pas. Boro-boro nulis....hehe.

Nah, akhir-akhir ini saya lebih sering menulis puisi. Puisi yang singkat, sederhana, tidak rumit. Menulis puisi tidak memerlukan waktu yang panjang seperti bila menulis feature. Namun tetap saja, sebuah puisi mampu mengabadikan setiap momen. Momen-momen yang sayang kalau dilewatkan begitu saja. Namun karena tidak cukup punya waktu untuk menulis panjang, jadilah puisi-puisi itu yang mewakili.

Saya masih ingat, momen seperti apa ketika saya menulis 'Purnama'. Senja hari pulang dari kampus PPG di Lidah, saya mengemudikan mobil. Matahari ada di ufuk barat, di belakang saya, siap tenggelam. Bulan ada di ufuk timur, di depan saya, bulat penuh tapi pucat. Saya lelah. Jalan macet. Saya bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya apa yang saya cari dalam hidup ini? 'Mulih kok bengi-bengi?' 

Saya juga masih ingat bagaimana suasana hati saya ketika membuat 'Gerimis'. Sore itu, sebuah sms mengabarkan kalau bapak kontrakan (kami mengontrak satu rumah besar untuk para peserta SM-3T), meninggal. Belum lagi menindaklanjuti berita itu, sebuah telepon mengabarkan kalau dua peserta PPG kecelakan dan luka parah. Belum lagi menindaklanjuti kabar itu juga, sebuah email di BB saya mengabarkan, para peserta SM-3T malam itu mogok makan. Tentu saja sebelumnya sudah begitu banyak masalah dan malam itu seperti mencapai puncaknya. Ingin menumpahkan sepuas-puasnya dalam bentuk tulisan, namun situasi dan kondisinya benar-benar tidak memungkinkan. Maka dari pada kehilangan momen, cukuplah dengan sebuah puisi. Cuaca kebetulan juga sangat mendukung suasana batin saya. Saya melaju ke rumah sakit menjelang tengah malam, menerobos gerimis. Esoknya, gerimis terus berlanjut, pada saat hati saya dan kawan-kawan Tim PPG merasa sangat terluka dengan ulah para peserta PPG. Pada saat yang sama, bapak kontrakan dimakamkan. 

Seorang peserta SM-3T yang bertugas di Tepa, Pulau Babar, namanya Noval, seringkali mengirimkan puisinya melalui sms. Puisi tentang apa saja yang dia rasakan dalam menjalani masa-masa pengabdiannya. Saya katakan kepadanya, bahwa 'ada orang yang suka memotret dengan kamera, ada yang suka memotret dengan tulisan, maka memotretlah kamu dengan puisi-puisimu'.

Puisi ternyata manjur juga untuk mengabadikan setiap momen dalam hidup kita. 

Terimakasih, mas Eko, sudah menginspirasi saya.... 
'Biar dekil yang penting ganteng'.

Celumud pugi...
Cemungud ea...

Wassalam,
LN

Surabaya, 16 Mei 2013
(Menjelang 'angkat kaki' dari RSI)

Selasa, 14 Mei 2013

Sujudku

Sujudku dini hari ini
Seperti sujudku kemarin-kemarin
Demi memuaskan rasa rinduku
Menyandarkan segala kelelahanku
Mensyukuri semua nikmat-Mu
Mengharap selalu belaian-Mu

Sujudku dini hari ini
Seperti sujudku yang lalu
Biar bisa kucecap damai dalam keheningan
Menghayati makna dalam setiap perjalanan
Aku tahu Kau selalu ada
Dalam setiap peristiwa
Dalam setiap luka dan bahagia
Dalam setiap hati dan jiwa

Sujudku
Adalah pasrah
Mengiba
Berserah
Hanya kepada-Mu


RSI, 15 Mei 2013, dini hari

Minggu, 12 Mei 2013

Tengah Malam


Senja kemarin
Adalah senja kedua
Yang datang mengantarkan kegundahan
Tidak bisa tidak
Saat ini aku harus bertindak
Dengan alasan apa pun
Tak kan kubiarkan dirimu terus menolak

Dan di sinilah kita
Tempat di mana kau harus tak berdaya
Selang dan jarum suntik harus kau terima
Wajah garangmu luruh sinar mata tanpa cahaya
Bibir keringmu layu meski senyum tetap kau coba

Tetaplah bersemangat, sayang
Ini hanya sedikit ujian
Ikhtiar dan doa adalah kewajiban
Sabar dan ikhlas adalah keharusan 
Semoga Allah SWT segera memberikan kesembuhan 
Dan mengembalikan nikmat kesehatan

Amin YRA

RSI, 13 Mei 2013, dini hari

Wassalam,
LN