Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 13 Juli 2014

Jakarta (1)

Jakarta...
Aku datang lagi
Jangan bosan ya?
Aku hanya datang sebentar
Lusa sudah pergi lagi

Jangan lelah menyapaku
Supaya aku betah dalam nadimu
Meski raga dan jiwa ini tak pernah merindumu

Jakarta,
Ramah sekali kau hari ini
Ada taburan gerimis yang jatuh satu-satu
Titik-titik air membekas di kaca-kaca
Pohon-pohon diam mengeja setiap kata
Bangunan-bangunan tinggi menjulang, bahkan tak menampakkan pongahnya
Mendung menggantung, benda-benda beroda begerak, suara-suara meraung-raung, seperti orkestra senja saja

Jakarta
Aku datang lagi
Jangan bosan ya...
Jangan bosan ya....

Jakarta, 12 Juli 2014

Kamis, 10 Juli 2014

Pesawat kok Batik

Jadwal penerbangan hari ini cukup membuat saya pusing. Sejak kemarin, saya sudah pesan tiket Garuda jurusan Surabaya-Jakarta PP. Tapi sampai tadi malam, Mas Nardi, petugas tiket langganan, belum berhasil. Dia hanya bisa memastikan jadwal penerbangan dengan Lion. Katanya, Garuda mengurangi empat jadwal penerbangannya hari ini, sedangkan Lion dua kali penerbangan. Saya disarankan untuk waiting list di Garuda saja. Dia pastikan, besok pagi saya bisa berangkat menumpang Garuda. Kalau pulangnya, Mas Nardi tidak menjamin saya bisa dapat Garuda.

Jadilah pagi selepas sahur dan salat subuh, saya bersiap. Meskipun sebenarnya rapat di Dikti dilaksanakan pada pukul 12.00, saya tidak terlalu persoalan kalau saya datang terlalu pagi. Ada banyak hal yang bisa saya lakukan. Di laptop saya tersedia banyak tugas yang harus segera saya selesaikan. Saya juga membawa sebuah buku untuk saya baca dan saya tulis resensinya.

Saya menuju bandara Juanda Terminal 2 diantar Mas Ayik. Tapi baru sampai di depan Makro, Mas Nardi bertanya melalui SMS, "Ibu posisi di mana?" Saya balas kalau saya di depan Makro.

Menjelang Bandara Juanda 2, Mas Nardi SMS lagi. "Ibu, tidak bisa. Ibu langsung ke T1 saja."

Walah. Ya sudah. Mas Ayik langsung putar haluan menuju Terminal 1.

Begitu sampai di Terminal 1, saya langsung disuguhi pemandangan yang ruwet. Orang pating blesah di mana-mana. Ruwame. Kursi-kursi penuh, bukan hanya karena memang saking banyaknya orang, tapi orang-orang itu pada tidur di kursi. Barang-barang mereka juga ditumpuk-tumpuk di kursi. Benar-benar tidak sopan ya? Sementara puluhan orang yang lain, ngleset di lantai-lantai. Tua muda laki perempuan. Berserak seperti ikan pindang yang hidup kembali.

"Ibu nanti bisa pakai Lion jam 7-an." Kata Mas Nardi. "Ibu cari tempat duduk dulu, nanti saya beri tahu."

Saya pun celingak-celinguk cari tempat duduk. Itu dia, ada kursi di sebelah seorang gadis berjilbab, di barisan tengah. 

"Mbak, kosongkah?" Tanya saya pada gadis yang lagi sibuk memainkan ponselnya.
"Ya, bu." Jawabnya, sambil menggeser tas yang didudukkannya di kursi itu.

Saya pun duduk. Membuka 'Finnish Lessons'. Saya berjanji pada pengirimnya, Ahmad Muchlis, dosen ITB yang menerjemahkan buku bagus itu, untuk membuat resensinya.

Sekitar pukul 07.00, Mas Nardi muncul. "Bu, Lion juga penuh. Bagaimana kalau ibu waiting list Garuda yang jam delapan-an?"
"Hah? Apa Mas? Saya balik lagi ke Terminal 2? Nggaklah, Mas. Wis, sak nemunya saja, pesawat apa saja." Jawab saya. Toh apa pun pesawatnya, capresnya tetap Prabowo dan Jokowi.

"Lion bisanya jam 11-an, Bu."
"Lhah, aku lak yo telat rapat, Mas."
"Atau coba pakai Citi Link saja ya, Bu?"
"Yo wis, Citi Link."
Mas Nardi menelepon. Tak berapa lama dia bertanya lagi.
"Bu, pulangnya pakai Citi Link juga nggih? Tapi dari Bandara Halim."
"Emoh, adoh, Mas. Berangkatnya saja oke, pulangnya Mas Nardi cariin yang lain deh."
"Nggih, Bu."

Saya pun akhirnya terbang ke Jakarta menumpang Citi Link. Pesawat yang bersih dan cukup nyaman. Selama di pesawat, saya tidur pulas. Ngantuk yang saya tahan dari tadi menemukan muaranya.

Begitu turun di Cengkareng, saya menyalakan ketiga gadget saya. SMS ke Mas Ayik kalau saya sudah mendarat. Sebuah email masuk di BB dan tab saya, tiket untuk kepulangan saya sore nanti. Di tiket itu, tertera, saya akan pulang menumpang Batik. Dalam hati saya bergumam: "pesawat kok batik..."

Rapat di Lantai 3 Dikti dimulai agak molor, lewat setengah jam dari pukul 12.00. Saya dan kawan-kawan sesama koordinator menyempatkan salat dulu, jama' takdim dhuhur ashar. Sejak ketemu teman-teman Dikti, saya sudah lapor, kalau tiket pulang saya terjadwal pukul 18.00. Jadi saya harus meninggalkan ruang rapat maksimal pukul 16.00, tidak peduli rapat sudah rampung atau belum. Habis nggak ada tiket lagi? Semua full-booked. Begitu alasan saya. Bukan alasan yang dibuat-buat, tapi seperti itulah memang adanya.

Ternyata, seperti memahami situasi saya, rapat persiapan tes wawancara SM-3T itu diselesaikan tepat pukul 16.00. Saya bersama dua teman, Pak Ega dari Unimed, dan Pak Agung dari UM, langsung bergegas ke lift. Turun. Jadwal penerbangan kami bertiga kebetulan sama.

Alamakkkk..... Ternyata hujan sedang turun deras sekali. Padahal kami musti nyegat taksi di pinggir jalan. Pak Ega mengambil inisiatif, mengorbankan dirinya untuk diguyur hujan, berlari menuju pintu gerbang. Di situ ada pos satpam, dan tiba-tiba Pak Ega sudah membawa payung yang memungkinkannya untuk berdiri di pinggir jalan menunggu taksi.

Akhirnya, kami bertiga pun berhasil masuk mencapai taksi dengan berbasah-basah, meluncur ke Cengkareng, menembus hujan yang deras. Di taksi, saya tanya pak Ega dan Pak Agung.
"Pak, Batik itu di terminal apa?"
"Batik?" Pak Ega balik bertanya. "Ini saya pakai baju batik, Prof."
"Itu se-grup sama Lion, Prof. Mungkin sama dengan Lion." Kata Pak Agung.
"Betul tah, Pak?" Saya tanya pak supir.
"Mungkin, Bu...." Jawab supir, tidak meyakinkan. Dalam hati saya menggerutu: "supir opo iki...." Tapi cepat-cepat beristighfar. Poso-poso rek.

Akhirnya kami semua turun di Terminal 1 Soekarno Hatta. Persis di depan Lion. Kami berpisah di situ, melanjutkan perjuangan masing-masing.

Begitu sampai di pintu masuk, dan saya menyorongkan tiket saya ke petugas, petugasnya bilang: "Batik, Surabaya, di Terminal 3, Bu...."
"Walah, jauh dong, Mbak. Harus naksi lagi dong saya."
"Nggak harus pakai taksi, Bu.."
"Oya?"
"Bisa pakai shultle.."
"Walah, yo podho ae, mending saya naksi aja, Mbak. Iya kalau shuttlenya cepet.."

Saya pun akhirnya kembali ke tempat saya turun tadi, menyambar taksi sekenanya.
"Bang, anterin ke Terminal 3 ya."
"Ya, Bu."

Akhirnya, saya pun menumpang Batik malam itu. Pesawat Boeing yang bagian ekornya bercat motif batik, dengan pramugari-pramugari cantik berblus putih dipadu rok panjang batik yang pada bagian depan, belahannya sampai setinggi paha, memamerkan paha-paha mereka, yang untung saja, tidak batik. Pesawat yang nyaman, lebih longgar daripada Lion dan kawan-kawannya sekelasnya, dan dilengkapi monitor dengan layar sentuh seperti di Garuda. Bedanya, kalau di Garuda headset sudah disediakan, kalau di Batik, kita musti meminta ke pramugari dan mengganti biaya Rp.25.000,-.

Ya, selalu ada hikmah dalam setiap peristiwa. Kalau tidak begini, saya tidak tahu Terminal 3 Bandara Sokarno Hatta dan tidak naik pesawat Batik yang nyaman. Hari ini, saya juga sudah berhasil menyelesaikan resensi 'Finnish Lessons' dan bahkan sudah saya kirimkan ke sahabat baik saya siang tadi, saat menumpang taksi dari bandara menuju Dikti. Sahabat baik itu adalah seorang GM sebuah surat kabar. Komentar dia tentang resensi itu: "Wis sip, Prof, resensinya nggak perlu diedit. Nanti kalau saya edit malah salah. Langsung siap muat. Jreng....jreng...."

Surabaya, 7 Juli 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 26 Juni 2014

PPPG Sebagai Penggerak Literasi

Ada Sirikit Syah, Satria Darma, Much. Khoiri dan Ahmad Wahju, mereka adalah dedengkot literasi. Pemilik Sirikit School of Writing, Eurika Academia, Jalindo, dan Indonesia Menulis.

Ada Anwar Djaelani, dialah motor Bina Qalam, yang selalu mengatakan, menulis itu jihad yang menyenangkan. Pegiat literasi yang lain, Eko Prasetyo, Suhartoko, Abdur Rohman, Eko Pamuji, hadir membaur di antara kerumunan para peserta PPG.

Buka mata, buka telinga, buka hati, buka akal pikiran, begitu kata Sirikit, supaya kita bisa menulis. Lihat orang-orang di sekitar kita. everyone has their own story. Gunakan waktu untuk mengamati, menemukan hal-hal yang menarik, dan tuliskan. Daripada main game dan FB-an.

Menulis itu gampang, kata Arswendo. Menulis itu sulit, kata Budi Darma. Bergantung apa yang kita tulis, kata Khoiri. Kalau kita menulis tentang perasaan kita, tentang kisah-kisah hidup kita, itu gampang. Lebih banyak pakai otak kanan. Tapi kalau kita menulis sesuatu yang harus dibatasi dengan aturan-aturan penulisan ini-itu, itu yang sulit. Lebih mengandalkan otak kiri. Menulis yang baik adalah menggunakan kedua belahan otak kita, kanan dan kiri. Dan itu, tentu saja, tiidak mudah. Perlu ketekunan, perlu keuletan, seringkali perlu pengeraman, untuk menghasilkan tulisan yang memuaskan.

Tulisan mampu menorehkan sejarah. Apa yang diperjuangkan dengan otot, seperti Negara Sparta, akan hilang dengan cepat. Apa yang diperjuangkan dengan tulisan, akan 'abadi', seperti tulisan para filsuf. Plato, Socrates, siapa yang tidak kenal? Mereka berjuang dengan tulisan. Dan mereka 'abadi'.

Iqra'. Bacalah. Maka ke mana-mana, bawalah buku, kata Satria Darma. Membaca itu perintah, bukan anjuran. Perintah Tuhan. Perintah yang jauh lebih tinggi daripada perintah Direktur PPG, lebih tinggi daripada perintah Rektor, lebih tinggi daripada perintah Mendiknas, bahkan Presiden sekali pun.

Urusan literasi bukan urusan seseorang, sebuah lembaga, atau urusan sektor tertentu. Urusan literasi menjadi urusan semua. Itulah pentingnya membangun jaringan dengan semua pihak. Indonesia Menulis tidak hanya mengurus Jawa Timur, tapi di seluruh wilayah Indonesia. Di Papua, di NTT, di Sulawesi, mari kita membangun 'Indonesia Menulis'. Begitu kata Ahmad Wahju, yang telah menjalin sinergi dengan banyak pihak, lintas sektor, lintas daerah.

Ketika kita ceramah, berapa banyak orang yang akan mendengarkan? Tanya Sirikit. Berapa banyak orang yang akan memahami? Berapa banyak orang yang akan tetap mengingat? Dengan menulis, sekali kita menulis, tulisan itu akan dibaca orang berlipa-lipat kali lebih banyak, tulisan bisa disimpan, bisa diabadikan bertahun-tahun bahkan berabad-abad setelahnya. Jadi, mulailah menulis.

Ada banyak cerita selama mengikuti Program PPG. Ada cerita sedih, ada cerita suka. Air macet, menu makanan yang membosankan, workshop yang menjemukan, hanyalah sebagian cerita sedih. Dosen yang bersahabat, teman-teman yang baik, pengelola yang peduli, main musik, main futsal, adalah sedikit cerita yang menyenangkan. Kata Fafi Inayatillah--editor buku 'Pelangi di Panggung PPG'-- yang cantik itu, bagaimana pun, buku ini lebih banyak berisi cerita suka daripada cerita duka. Tulisan yang sangat beragam, menarik, meski harus diotak-otik agar lebih cantik.

Lain lagi dengan cerita tentang peserta SM-3T di Sumba Timur. Meski sudah ada 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca' dan 'Jangan Tinggalkan Kami', cerita tentang Sumba Timur seperti tak pernah habis. Betapa sulitnya mendapatkan air, sehingga seorang peserta harus mandi dan membersihkan diri dengan tisu basah. Betapa suka duka mengajar anak-anak yang tertinggal...betapa inginnya mewujudkan mimpi-mimpi mereka....semuanya terangkum dalam buku yang disunting Rukin Firda: 'Mimpiku, Mimpimu, Mimpi Kita.'

Hari ini adalah hari yang luar biasa. Ada lagu 'Kami Peduli', tari Bali, tari saman, dan tari Timor. Ada belasan pegiat literasi bertemu dalam sebuah dialog yang mencerahkan, menginspirasi, penuh semangat, dengan ratusan anak muda yang begitu antusias bertanya.

Mereka, anak-anak muda itu, akan menjadi tumpuan harapan pengembangan budaya literasi di PPG. Mereka calon guru yang akan menjadi guru-guru profesional yang cinta literasi. Mereka akan menularkan kecintaan itu pada anak didik. Mereka akan membuat setiap anak suka membaca dan menulis. Mereka akan mengubah statistik membaca yang menyebabkan Indonesia mengalamai tragedi nol buku.

Dan para pegiat literasi, yang telah membubuhkan tanda tangan di pigura pencanangan PPPG sebagai Penggerak Literasi, akan membantu mewujudkan mimpi itu. Mimpi ada panggung besar di PPG. Panggung yang tak pernah sepi menampilkan pertunjukan membaca, menulis, membedah, meluncurkan buku-buku. Panggung yang mampu menyedot penonton yang tidak hanya ingin menjadi penonton. Bersama-sama memainkan peran sebagai pejuang, membangun peradaban.

Para pegiat itu, merekalah ahlinya literasi. Terima kasih sudah sudi hadir, membagi inspirasi, menyemangati, membangkitkan mimpi.

Gedung Wiyata Mandala, PPPG, 26 Juni 2014

Wassalam,

LN  

Minggu, 22 Juni 2014

AYO BERGABUNG DENGAN PROGRAM JATIM MENGAJAR

Program Jatim Mengajar merupakan program yang digagas oleh Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) bekerja sama dengan Unesa sebaga ibentuk kepedulian dalam pembangunan pendidikan di daerah terpencil dan tertinggal di JawaTimur. Program ini selain diharapkan untuk mengisi kekurangan guru baik dalam hal mutu maupun jumlahnya (khususnya di SD/MI negeri/swasta), juga diharapkan sebagai wahana dakwah, sekaligus untuk memberdayakan masyarakat desa.

Program Jatim Mengajar tahun ini merupakan angkatan II.

Persyaratan :
1. Laki-laki, Islam, WNI, usia maksimum 28 tahun per 31 Desember 2014 (KTP Asli dan Foto copy)
2. Lulusan program studi S-1 kependidikan empat tahun terakhir (2011, 2012, 2013, 2014) dari program studi terakreditasi (legalisir ijazah atau SPK).
3. IPK minimal 2,75 (legalisir transkrip)
4. Surat keterangan sehat dari dokter
5. Belum menikan dan sanggup tidak menikah selama mengikuti program (1 tahun)
6. Bisa membaca Al-Quran
7. SKKB
8. Bebas narkotika, psikotropika, dan zata diktif (napza) yang dibuktikan dengan Surat  Keterangan Bebas Narkoba (SKBN) dari pejabat yang berwenang.

Persyaratan 1-5 dibawa saat mendaftar, 7 dan 8 saat wawancara.

Program Studi yang diperlukan:
PGSD/PGMI, Pend. Matematika, Pend.Kimia, Pend. Fisika, Pend. Biologi, Pend. IPS, Pend Sain, Pend. Sejarah, Pend. Geografi, PPKn, Pend, Bhs.Indonesia, Pend. Bahasa Inggris,  Pend. Jasmani Kesehatan dan Rekreasi (Penjaskesrek).
 
WaktuPendaftaran :
23 Juni –6 Agustus 2014

Wawancara:
8-9 Agustus 2014

Tempat Pendaftaran:
Gedung Program PPG Unesa Lantai1, Kampus Lidah Wetan. Senin-Jumat pukul 08.30-15.00 WIB.

Informasi lebih lanjut bisa menhubungi:


08123122413 (Ibu Luthfi)
082131258506  (Bapak.Sulaiman)

Jumat, 13 Juni 2014

Perilaku di Toilet

Mobilitas yang tinggi membuat saya harus sering berurusan dengan toilet bandara. Mulai dari toilet yang joroknya mirip  ponten umum di tempat rekreasi yang belum jadi, atau toilet yang sangat bersih dengan air kran yang otomatis mancur sendiri bila tangan kita dekatkan. Bagaimana tidak. Saya 'mbolang' mulai dari daerah 3T yang petugas bandaranya saja harus teriak-teriak bila waktunya naik pesawat, sampai ke kota-kota besar yang kita bisa menyelonjorkan kaki sambil menikmati segelas kopi panas di lounge-nya yang nyaman dan sejuk.

Berbagai macam perilaku para pengguna toilet menjadi perhatian tersendiri bagi saya. Ada orang yang suka meninggalkan toilet dalam keadaan tutup kloset tertutup, ada yang suka membuat lantai menjadi basah kuyup, ada yang suka meninggalkan bekas kotor(an) di dalamnya, ada yang masuk toilet hanya untuk bercermin dan membetulkan tata rias wajah dan rambutnya. Yang jelas, saya tidak pernah menemui orang berkumpul di toilet untuk arisan atau untuk rapat dinas. Hehe.

Kadang-kadang, saya menemui orang dengan perilakunya yang menggelitik hati. Seperti yang terjadi di suatu siang, beberapa waktu yang lalu. Saya sedang ada di toilet Bandara Juanda. Seorang wanita cantik dengan perhiasan gemerlap masuk. Mungkin karena penjaga toilet kecapekan membersihkan kloset dan lantai, begitu perempuan itu masuk, dia berpesan, "Bu, jangan sampai basah ya Bu, lantainya...."
"Lho gimana nggak basah mbak, orang saya mau kencing." Logat ibu itu khas sekali, medok, dari daerah tertentu.
"Kan bisa di kloset Bu, bersih-bersihnya, jadi tidak membasahi lantai."
"Lho saya orang Islam, Mbak, kalau bersih-bersih nggak pakai banyak air itu nggak suci."

Penjaga berjilbab itu diam. Saya menatapnya, iba. Dia juga menatap saya.

"Saya lho juga Islam, Bu." Katanya pada saya. "Lha apa dikiranya orang di bandara ini tidak ada yang Islam?" Tanyanya, tanpa bermaksud mendapatkan jawaban.
"Ya, sabar ya, Mbak... Namanya juga ngurusin banyak orang." Hibur saya sambil menyelipkan selembar uang kertas ke genggamannya, sebelum berlalu dari tempat itu.

Lain waktu, saat saya masuk ke toilet, saya kaget karena lantai toilet itu basah sampai di bagian luarnya. Dua orang ibu yang baru keluar dari toilet-- dilihat dari busananya, nampaknya mereka akan berangkat umroh--minta maaf pada penjaga.
"Mbak, maaf yo, teles kabeh. Lha gak onok kesete. Ke'ono keset, Mbak, ben gak teles kabeh. Kamar mandi kok gak onok kesete."

Prang. Penjaga itu membuang tisu kotor di tempat sampah staniless steel dengan kasar. Nampaknya dia sedang melampiaskan kejengkelannya karena dua orang itu telah menambah pekerjaannya untuk ngepel.

Begitulah. Menggunakan toilet  memang harus diajarkan. Kalau ada saudara kita yang akan bepergian naik pesawat dan hal itu merupakan pengalaman pertama dia, ada baiknya kita memberi tahu bagaimana menggunakan toilet bandara.

Pelajaran menggunakan toilet juga perlu diberikan oleh para pemilik biro perjalanan, termasuk biro perjalanan umroh dan haji. Perilaku sebagian calon jamaah umroh dan haji itu begitu memprihatinkan. Maklum, mungkin ini pengalaman pertama mereka naik pesawat dan mengunjungi bandara.

Twin Hotel Surabaya, 13 Juni 2014

Wassalam,
LN 

Rabu, 11 Juni 2014

Menyogok

Ini malam yang melelahkan bagi kami, para juri dan panitia. Sejak pagi bergelut dengan para calon guru, kepala sekolah, pengawas SD, SMP, SMA, SMK, SLB berprestasi se-Jawa Timur. Ada yang menilai portofolio, menilai presentasi karya ilmiah, dan melakukan wawancara. Ada yang kegiatannya di Hotel Purnama, ada yang di Hotel Batu Suki. Saya kebetulan kebagian di Hotel Batu Suki, Batu.

Saya sendiri, bersama dua orang teman, satu widyaiswara dan satu pengawas sekolah senior dan mantan Plt. Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya, adalah kelompok juri yang melakukan wawancara pada para pengawas SD. Kedua juri dalam tim saya itu, dilihat dari usia, keduanya jauh lebih senior, dan pasti jauh lebih berpengalaman. Saya, sambil menjuri, sambil ngangsu kawruh pada beliau berdua.

Ada 25 pengawas yang harus kami wawancarai. Setiap pengawas kami wawancarai dalam waktu sekitar 15-30 menit. Dengan jumlah sebanyak itu, kami akan memerlukan waktu sekitar 10 jam. Maka, meskipun sebenarnya kami diberi waktu dua hari, kami bertekad menyelesaikannya dalam waktu sehari. Semalam apa pun, wawancara harus selesai. Tugas-tugas yang lain sudah menunggu di Surabaya. Nampaknya para pengawas yang akan kami wawancarai juga sepakat dengan pengaturan jadwal itu. Ikan sepat ikan gabus. Semakin cepat semakin bagus. Yang penting tidak mengorbankan mutu dan target kegiatan.

Sepanjang wawancara yang kami lakukan, tentu saja ada banyak tipe pengawas yang kami temui. Pengawas yang tidak memahami substansi terkait dengan tupoksi kepengawasan, banyak. Pengawas yang tidak memahami dasar hukum kepengawasan, juga banyak. Pengawas yang sudah beberapa tahun tidak pernah meneliti, ada. Pengawas yang tidak bisa menjelaskan proses supervisi manajerial, supervisi akademik, dan evaluasi pendidikan, lumayan banyak. Pengawas yang....nah ini yang paling banyak, tidak memiliki keterampilan berbahasa Inggris dan tidak memiliki atau melakukan aktivitas di bidang seni budaya, hampir semua.

Tapi di antara para pengawas yang saya sebut itu, ada sekitar lima sampai enam orang pengawas yang sangat bagus, kecuali, ya, keterampilan berbahasa Inggris. Para pengawas itu sangat kreatif, mereka tipe orang-orang yang mau 'soro', tidak puas hanya dengan melakukan hal-hal yang rutin. Mereka sangat memahami masalah-masalah yang dihadapi sekolah-sekolah binaannya, mampu mendorong guru melakukan inovasi proses pembelajaran dan penilaian, dan bahkan menciptakan metode-metode pembelajaran yang kreatif. Ada metode pembelajaran 'Asyik', ada 'Galaksi', dan lain-lain, yang semuanya adalah hasil rekayasa mereka sendiri, dan diterapkan untuk pembelajaran di sekolah-sekolah binaan mereka. Di antara pengawas itu, ada yang juga rajin menulis di media ilmiah, ada yang juara tari, ada yang pintar memainkan keyboard, ada yang suaranya persis Bang Haji Rhoma Irama. Keren. Asyik banget mengobrol dengan para pengawas yang super itu.

Proses wawancara berjalan lancar sekali. Kami tidak beristirahat kecuali hanya untuk makan dan salat. Mulai pukul 10.30 sampai pukul 23.00. Semua lancar dan menyenangkan. Meski, harus diakui, kami sangat lelah.

Sampai tiba pada pengawas terakhir yang harus kami wawancarai. Seorang ibu dari sebuah kabupaten (tidak perlu saya sebutkan nama orang dan nama kabupatennya), sangat enerjik, nampak cerdas, dan ternyata memang cerdas. Dia paham betul bagaimana tugas-tugas kepengawasan dan melakukannya dengan relatif baik. Dia juga jago menari dan prestasinya dalam bidang menari juga cukup banyak. Dia rajin menjalin kerja sama dengan lembaga lain untuk benchmarking dan membawa sekolah-sekolah binaannya untuk belajar pada lembaga-lembaga tersebut. Karya ilmiahnya, berupa Penelitian Tindakan Sekolah (PTS), bejibun, 14 karya, selama lima tahun. Hebat kan?

Kami sangat senang mengobrol dengannya. Sampai tak terasa, mungkin sampai memakan waktu hampir lewat setengah jam. Begitu selesai, kami menyalaminya.

"Selamat ya, Bu. Sukses ya."
"Inggih, Bu, Pak. Maturnuwun." Dia mengulurkan tangannya, ramah.

Lantas kami bertiga sibuk mengisi form nilai. Lega. Akhirnya selesai sudah wawancara ini. Ibu itu masih berdiri di depan kami, membereskan berkas-berkasnya. Tiba-tiba....

"Bu, nyuwun sewu, sekedar oleh-oleh." Dia meletakkan map di depan kami bertiga.
"Apa ini, Bu?" Tanya saya spontan.
"Kain, Bu. Oleh-oleh."
"Waduh, jangan, Bu. Maaf, saya tidak bisa menerima. Maaf, Bu, mohon dibawa kembali." Saya kembalikan barang itu, spontan juga. Tanpa meminta pertimbangan pada dua juri yang lain.

Begitu ibu itu berlalu dan membawa semua barangnya keluar ruangan, saya meminta maaf pada kedua juri di sebelah kanan dan kiri saya.
"Bapak, maaf, langsung saya tolak, tidak apa-apa kan?"
"O, tidak apa-apa, Ibu. Harus. Itu yang bener. Dari pada nanti kita musti cari orangnya untuk mengembalikan barang pemberiannya, lebih baik begitu, langsung ditolak."

Syukurlah. Senang karena kami satu tim seide. Bahkan kami akhirnya bersepakat, skor bagus dari kami untuk ibu pengawas tadi, langsung kami 'plorotkan' pada skor terendah, tanpa mengubah skor pada tiap item, dan hanya memberi catatan pada skor yang kami bubuhkan: "kejujuran, sportivitas, karakter, tidak terpuji. Tidak layak jadi pengawas berprestasi."   

Selidik punya selidik, ternyata ibu pengawas yang 'loman' itu juga melakukan hal yang sama di meja-meja yang lain. Yang dia masukkan ke map itu, tidak hanya kain, Saudara, tapi juga amplop. Tentu saja amplop berisi uang. Ingin tahu berapa jumlahnya? Mana saya tahu? Karena tidak ada satu juri pun yang sempat membukanya. Ada juri yang sempat membuka mapnya, dan begitu tahu di situ terselip amplop berisi uang, dia langsung mengembalikan pada yang bersangkutan.

Menyogok. Ya, itulah yang sedang terjadi di acara seleksi guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah se-Jawa Timur ini. Praktik yang hanya dilakukan oleh satu orang saja, di antara ratusan para tenaga pendidik dan kependidikan itu, namun cukup membuat prihatin kita semua.

Praktik menyogok atau suap ini sudah belasan bahkan puluhan kali saya alami. Sepanjang pengalaman saya jadi asesor akreditasi sekolah di Jawa Timur dan di Kota Surabaya, banyak sekolah yang saya visitasi, berusaha untuk melakukan penyuapan dengan berbagai cara. Tidak semua sekolah, memang, tapi banyak sekolah. Kalau hanya memberi kalender dan jam dinding berlogo sekolah, mungkin masih bisa ditolerir. Tapi kalau sudah memberi amplop berisi uang, ini benar-benar pelecehan kredibilitas asesor. Saya dan teman-teman yang seide, menolak keras praktik tersebut, dan benar-benar merasa dilecehkan oleh sekolah-sekolah yang melakukannya pada kami. Marah, sekaligus prihatin. Ini dunia pendidikan gitu loh. Kalau praktik sogok-menyogok seperti ini menjadi 'budaya', mau dikemanakan dunia pendidikan kita?

Tentu saja tidak hanya dalam hal-hal yang saya ceritakan itu saja praktik itu terjadi. Sudah menjadi rahasia umum jika seseorang musti mengeluarkan sejumlah dana untuk bisa lolos menjadi CPNS guru, menjadi kepala sekolah, menjadi kepala bidang, kepala sub-bidang, dan lain-lain. Tidak semuanya memang. Tapi banyak terjadi, di banyak tempat. Hadeh. Bergidik. Ngeri. Sedih. Prihatin. Entah bagaimana caranya  menghentikan semuanya ini...

Batu, 10 Juni 2014

Wassalam,
LN

Minggu, 08 Juni 2014

Menengok Ibu

Subuh menjelang. Kami berdua salat berjamaah. Arga sedang tidak di rumah. Semalam dia pamit ke Bromo, bersama teman-teman SMA-nya. Biasa, berburu matahari terbit. Matahari terbit kok diburu.

Selesai salat, Mas Ayik menyiapkan mobil. Saya menyiapkan baju-baju. Pagi ini, kami akan meluncur ke Tuban, menengok ibu. Sudah sekitar dua bulan kami tidak menengok ibu. Sejak bapak Tanggulangin gerah, opname di rumah sakit, sampai saat ini, sudah lewat empat puluh hari kepulangan bapak ke rumah-Nya. Kesibukan yang luar biasa tidak memberi keleluasaan bagi saya sekeluarga untuk menengok ibu.

Lama tidak menengok ibu, membuat kami seperti dibebani hutang segunung. Biasanya, kami pulang ke kampung halaman sekitar sebulan sekali. Kalau waktunya agak longgar, kami bahkan bisa pulang sebulan dua kali. Karena itulah, ketika sudah lebih dari sebulan kami tidak juga bisa menengok ibu, rasanya seperti terbebani. Kepikiran terus.

Sebenarnya ibu juga tidak terlalu menuntut kami harus menengok kampung halaman sesering mungkin. Paling-paling beliau hanya bertanya: "apa kabar, sayang? Gak onok rencana pulkam?" Kalau saya jawab "meniko taksih rapat wonten Jakarta, Mik. Dereng saget matur mbenjang menopo saget wangsul." Ibu selalu mengerti. "Yo wis, ora popo, sing penting awak sehat, donga dinonga. Ojo lali sholawat."

Saya tahu, ibu sebenarnya ingin sekali kami pulang. Tapi beliau selalu berusaha memahami kesibukan kami. Pernah suatu ketika, beliau telepon, saya posisi di Yogya. Besoknya, beliau telepon, saya posisi di Jakarta. Besoknya lagi, saat beliau telepon, saya sudah ada di Malang. "O walah ngger....ngger. Wis mugo-mugo Gusti Allah paring kuat lan sehat, awakmu sakeluargo slamet wilujeng kabeh." Begitu kata ibu. "Inggih, Mik.... Matur nuwun. Pangestunipun nggih, Mik."

Dua hari yang lalu, saat saya berada di Kupang, ibu telepon. Ibu memang sangat sering menelepon, menanyakan keadaan kami, dan memastikan kami baik-baik saja. Saya bilang kalau saya sedang ada tugas di Kupang. "Gak onok rencana pulkam?" Tanya ibu. "Insyaallah, Mik. Dalem wangsul saking Kupang Sabtu sonten. Menawi saget, Sabtu sonten dalem pulkam". Jawab saya, ragu-ragu tapi berusaha yakin. "Yo, mugo-mugo iso. Ponakanmu wis podho kangen."

Ternyata, pesawat saya yang seharusnya membawa saya terbang dari Kupang pukul 15.00, delayed. Pukul 16.00 baru boarding. Maghrib baru landed Surabaya. Begitu saya menghidupkan ponsel setibanya di Juanda, SMS ibu masuk. "Yen isih kesel, ora usah mekso pulkam. Umik paham kok." Hati saya seketika basah. Terharu dengan pengertian ibu. Saya memang lelah luar biasa. Tapi tidak tega untuk menunda pulkan karena sudah terlanjur janji pada ibu. Tapi, seperti memahami kelelahan saya, ibu malah SMS dulu. "Inggih, Mik...ningali sikon rumiyin nggih, Mik." Balas saya.

Dan pagi ini, akhirnya, kami berdua meluncur ke Tuban. Sisa lelah tak saya hiraukan. Kalau saya bisa menahan lelah untuk melakukan berbagai aktivitas, mestinya saya juga bisa menahan lelah untuk menengok ibu. Fisik boleh lelah, tapi psikis tidak. Semangat harus tetap terjaga. Termasuk semangat untuk bersilaturahim. Dan dengan semangat itulah kami berdua akhirnya berada di depan ibu, mencium tangannya, dan membaui aroma keberkahannya.

Terima kasih, Tuhan. Telah Kau hadirkan kami berdua kepada ibu kami tercinta....

Tuban, 8 Juni 2014

Wassalam,
LN