Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 13 Juli 2014

Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia

Judul Buku: Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia
Penerjemah: Ahmad Muchlis
Cetakan: I, Mei 2014
Penerbit: Kaifa
Jumlah halaman: 318

Pendidikan di Finlandia dinilai terbaik di dunia, banyak kalangan mengakui hal ini. Selain keunggulannya dalam bidang pendidikan, Finlandia juga dikenal sebagai negara yang indeks kebahagiaannya tertinggi. Warga Finlandia dinilai memberikan pengaruh penting pada terciptanya faktor-faktor yang menentukan kebahagiaan, antara lain kesehatan, pendidikan, kualitas hidup, dan pemerataan ekonomi.

Diyakini, model pendidikan yang diterapkan berhubungan dengan kemakmuran dan kebahagiaan masyarakat Finlandia. Negara ini disebut sebagai negara yang memiliki skala prioritas yang lurus dalam kaitannya dengan paradigma pendidikan yang dianutnya. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa segala macam keterampilan dan kemampuan akademik lebih sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kebahagiaan lahir dan batin. Berbeda dengan negara-negara yang paling maju dan paling makmur sekali pun, yang menganggap pendidikan sekadar untuk mencapai kemakmuran yang setinggi-tingginya. Kemakmuran tidak selalu berarti kebahagiaan lahir dan batin. Banyak negara yang memiliki tingkat penguasaan sains dan teknologi serta kemakmuran yang tinggi, namun indeks kebahagiaan masyarakatnya terpuruk.

Buku 'Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia', yang ditulis oleh Pasi Sahlberg, sebenarnya bukanlah buku yang terlalu baru. Buku yang diterjemahkan dari 'Finnish Lessons: What Can The World Learn from Educational Change in Finland?', diterbitkan pertama kali pada 2011 di New York, USA. Kemudian pada 2014, buku tersebut diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Kaifa.

Ada banyak hal yang menarik dari buku setebal 318 halaman ini. Dalam bab per bab, pembaca disuguhi informasi tentang bagaimana Finlandia melakukan transformasi pengajaran dan pendidikan guru dalam kurun waktu sekitar 30 tahun. Buku ini menunjukkan, mengapa pendidikan di Finlandia bisa berada pada posisi nomor satu di dunia, dan bagaimana negara ini mencapainya.

Informasi tentang apa yang dimaksud dengan program penyiapan guru berbasis riset, dan apa pengaruhnya terhadap pembelajaran siswa, juga ditunjukkan dengan cukup detil. Fokus utama reformasi pendidikan di Finlandia memang pada program pendidikan guru. Program ini memberikan kerangka kerja menyeluruh bagi semua yang mengajar--guru-guru mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah. Guru harus bergelar master, sehingga mereka memiliki cukup waktu untuk mempelajari pedagogi serta melakukan praktik dan belajar melakukan riset (hal 19).

Guru adalah profesi yang tinggi statusnya, seperti dokter. Mereka yang masuk ke profesi ini terus belajar, melanjutkan studi, agar bisa berkontribusi lebih banyak pada profesi. Guru menjadi jabatan yang dikejar dan hanya didapatkan oleh mereka yang cukup beruntung untuk terpilih sebagai calon guru (hal 20).

Sebagai sebuah contoh sistem pendidikan yang unggul, Finlandia memiliki cara lain untuk memperbaiki sistem pendidikan. Cara yang berbeda dengan yang dilakukan oleh berbagai negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Swedia, Norwegia, dan Perancis. Finlandia tidak memperketat kontrol terhadap sekolah, memperberat akuntabiitas kinerja siswa, memecat guru-guru yang dinilai jelek, dan menutup sekolah-sekolah yang bermasalah, namun sebaliknya melakukan cara-cara berikut: 1) memperbaiki sumber daya guru, 2) membatasi tes pada siswa sampai batas minimum yang diperlukan, 3) menempatkan tanggung jawab dan kepercayaan di atas akuntabiitas, dan 4) menyerahkan kepemimpinan pada level sekolah dan distrik kepada tenaga profesional pendidikan (hal 42).

Terkait dengan pendidikan guru, bagi Finlandia, tidaklah cukup memperbaiki pendidikan guru dan menaikkan persyaratan penerimaan mahasiswa semata. Yang lebih penting adalah menjamin agar kerja guru di sekolah berlandaskan martabat profesional dan kehormatan sosial sehingga mereka dapat memenuhi tujuan mereka dalam memilih profesi menjadi guru sebagai karier seumur hidup. Kerja guru seharusnya seimbang antara mengajar di kelas dan berkolaborasi dengan tenaga profesional lain di sekolah. Itulah cara terbaik untuk menarik para pemuda berbakat kepada profesi guru (hal 159).

Perbedaan khas terkait dengan sistem pendidikan publik di Finlandia dan di Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris, dan tentu saja juga di Indonesia, salah satunya adalah pada kerja guru. Pendidikan di Finlandia tidak mengenal pengawasan sekolah yang ketat. Tidak ada ujian terstandar eksternal bagi siswa untuk memberi tahu publik tentang kinerja sekolah atau efektivitas guru. Guru juga memiliki otonomi profesional untuk membuat kurikulum dan rencana kerja sendiri berbasis sekolah. Semua pendidikan dibiayai publik dan tidak ada penarikan biaya di sekolah dan universitas (hal 162).

Guru merupakan profesi yang terkait dengan pemeliharaan kultur nasional. Salah satu tujuan persekolahan formal adalah mewariskan pustaka, nilai-nilai, dan aspirasi kultural dari satu generasi ke generasi berikutnya. Guru merupakan pemain kunci dalam membangun masyarakat sejahtera. Sejarah panjang Finlandia yang telah menyebabkan negara ini bergulat dengan identitas nasional, bahasa ibu, dan nilai-nilai sendiri, telah meninggalkan jejak yang dalam pada masyarakatnya dan mendorong keinginan mereka untuk mengembangkan pribadi melalui pendidikan, membaca (reading), dan perbaikan diri. Literasi adalah tulang punggung kultur Finlandia dan telah menjadi bagian tak terpisahkan.

Bagaimana dengan di Indonesia? Membaca buku ini, serasa pembaca diseret dalam berbagai kondisi yang sangat kontradiktif. Oleh sebab itu, buku ini sangat penting dibaca bagi para pemerhari pendidikan, guru, praktisi, pengambil kebijakan, dan juga para orang tua dan msayarakat pada umumnya, sebagai bahan refleksi dalam rangka meningkatkan mutu proses pembelajaran dan pendidikan di segala jalur dan jenjang.

Terkait dengan 'kehebatan' profesi guru di Finlandia, kondisi ini tentu saja agak berbeda dengan di Indonesia. Meski dengan diberlakukannya UUSPN dan UUGD yang mengharuskan adanya sertifikat pendidik sebagai syarat untuk menjadi guru, profesi guru belum menjadi profesi favorit bagi putra-putri terbaik. Memang ada kenaikan sangat tajam animo masyarakat untuk mengambil pendidikan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK)--juga kenaikan tajam jumlah LPTK yang saat ini sudah menembus angka lebih dari 500--namun tetap saja, para peminat itu sebagian besar belum merupakan lulusan SMA/SMK terbaik.

Dari segi pemahaman teoretis, sebenarnya apa yang menjadi keunggulan sistem pendidikan di Finlandia telah menjadi perhatian para pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan, termasuk di Indonesia. Bedanya, di Finlandia, pemahaman tersebut telah diwujudkan dalam praktik yang konkret. Di negara kita, hal itu lebih banyak masih di tingkat pemahaman, sekadar wacana, dan dinilai belum ada keseriusan untuk mewujudkannya dalam praktik. Pandangan yang skeptis terhadap upaya-upaya pembaharuan pendidikan juga masih bermunculan dari banyak pihak.

Contoh kondisi di atas yang saat ini begitu nyata adalah tentang diberlakukannya Kurikulum 2013. Kurikulum yang dimaksudkan untuk mempersiapkan generasi unggul masa depan bangsa ini masih dilihat sebelah mata saja oleh berbagai pihak. Meski sebenarnya, bila dirunut, rasional Kurikulum 2013 memiliki banyak pararelisme dengan model Finlandia. Penekanan pada tujuan pembelajaran yang terintegrasi antara sikap, pengetahuan dan keterampilan, serta kemampuan pemecahan masalah dan pengembangan kreativitas siswa dengan penerapan model-model pembelajaran dan penilaian yang mendorong terjadinya berpikir tingkat lebih tinggi (higher order thinking), sejalan dengan pola pikir yang dikembangkan dalam kurikulum pendidikan di Finlandia.

Namun begitu, tidak mudah menerapkan Kurikulum 2013, tidak saja karena keterbatasan kemampuan guru (yang saat ini terus-menerus dilakukan penguatan dan peningkatan), namun juga kondisi pendidikan di Tanah Air, yang disparitasnya sangat tinggi antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Beberapa permasalahan terkait SDM pendidiknya saja,  antara lain meliputi: kekurangan jumlah (shortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification), kurang kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched), masih menjadi persoalan serius. Belum lagi menyangkut kendala kultur/budaya pendidik dan semua stakeholder pendidikan; karena sesungguhnya, tanpa perubahan pola pikir, sangat mustahil Kurikulum 2013 bisa diimplementasikan dan mencapai hasil seperti yang diharapkan.

 
Surabaya, 7 Juli 2014


Luthfiyah Nurlaela

Direktur Program Pengembangan Profesi Guru, Universitas Negeri Surabaya

Jakarta (2)

Halo, Jakarta
Aku menyapamu lagi
Dengan sepenuh hati
Dengan semangat membubung tinggi

Tapi kenapa sepagian ini kau begitu muram?
Bekas kesedihanmu rata membasahi jalan-jalan
Langitmu gelap penuh awan hitam sejak semalam
Bahkan pagi ini, meski sudah beranjak siang, tak kulihat setitik pun senyuman

Halo, Jakarta
Tersenyumlah
Bukankah hari ini kau bisa sedikit melepaskan beban?
Setidaknya nadimu tak harus dipenuhi lalu-lalang
Hari ini, pagimu adalah pagi yang tenang
Siang, sore dan malam, usahlah kau terlalu risaukan
Jadi tersenyumlah sajalah

Esok, tugas berat telah menunggumu
Maka nikmati harimu, sehari ini
Biar terhimpun sepenuh semangatmu
Untuk menjelang tugas muliamu

Jakarta, 13 Juli 2014

Mas, kalau perlu, foto ambil di fb-ku ya?
Tq

Wassalam,
LN

Jakarta (1)

Jakarta...
Aku datang lagi
Jangan bosan ya?
Aku hanya datang sebentar
Lusa sudah pergi lagi

Jangan lelah menyapaku
Supaya aku betah dalam nadimu
Meski raga dan jiwa ini tak pernah merindumu

Jakarta,
Ramah sekali kau hari ini
Ada taburan gerimis yang jatuh satu-satu
Titik-titik air membekas di kaca-kaca
Pohon-pohon diam mengeja setiap kata
Bangunan-bangunan tinggi menjulang, bahkan tak menampakkan pongahnya
Mendung menggantung, benda-benda beroda begerak, suara-suara meraung-raung, seperti orkestra senja saja

Jakarta
Aku datang lagi
Jangan bosan ya...
Jangan bosan ya....

Jakarta, 12 Juli 2014

Kamis, 10 Juli 2014

Pesawat kok Batik

Jadwal penerbangan hari ini cukup membuat saya pusing. Sejak kemarin, saya sudah pesan tiket Garuda jurusan Surabaya-Jakarta PP. Tapi sampai tadi malam, Mas Nardi, petugas tiket langganan, belum berhasil. Dia hanya bisa memastikan jadwal penerbangan dengan Lion. Katanya, Garuda mengurangi empat jadwal penerbangannya hari ini, sedangkan Lion dua kali penerbangan. Saya disarankan untuk waiting list di Garuda saja. Dia pastikan, besok pagi saya bisa berangkat menumpang Garuda. Kalau pulangnya, Mas Nardi tidak menjamin saya bisa dapat Garuda.

Jadilah pagi selepas sahur dan salat subuh, saya bersiap. Meskipun sebenarnya rapat di Dikti dilaksanakan pada pukul 12.00, saya tidak terlalu persoalan kalau saya datang terlalu pagi. Ada banyak hal yang bisa saya lakukan. Di laptop saya tersedia banyak tugas yang harus segera saya selesaikan. Saya juga membawa sebuah buku untuk saya baca dan saya tulis resensinya.

Saya menuju bandara Juanda Terminal 2 diantar Mas Ayik. Tapi baru sampai di depan Makro, Mas Nardi bertanya melalui SMS, "Ibu posisi di mana?" Saya balas kalau saya di depan Makro.

Menjelang Bandara Juanda 2, Mas Nardi SMS lagi. "Ibu, tidak bisa. Ibu langsung ke T1 saja."

Walah. Ya sudah. Mas Ayik langsung putar haluan menuju Terminal 1.

Begitu sampai di Terminal 1, saya langsung disuguhi pemandangan yang ruwet. Orang pating blesah di mana-mana. Ruwame. Kursi-kursi penuh, bukan hanya karena memang saking banyaknya orang, tapi orang-orang itu pada tidur di kursi. Barang-barang mereka juga ditumpuk-tumpuk di kursi. Benar-benar tidak sopan ya? Sementara puluhan orang yang lain, ngleset di lantai-lantai. Tua muda laki perempuan. Berserak seperti ikan pindang yang hidup kembali.

"Ibu nanti bisa pakai Lion jam 7-an." Kata Mas Nardi. "Ibu cari tempat duduk dulu, nanti saya beri tahu."

Saya pun celingak-celinguk cari tempat duduk. Itu dia, ada kursi di sebelah seorang gadis berjilbab, di barisan tengah. 

"Mbak, kosongkah?" Tanya saya pada gadis yang lagi sibuk memainkan ponselnya.
"Ya, bu." Jawabnya, sambil menggeser tas yang didudukkannya di kursi itu.

Saya pun duduk. Membuka 'Finnish Lessons'. Saya berjanji pada pengirimnya, Ahmad Muchlis, dosen ITB yang menerjemahkan buku bagus itu, untuk membuat resensinya.

Sekitar pukul 07.00, Mas Nardi muncul. "Bu, Lion juga penuh. Bagaimana kalau ibu waiting list Garuda yang jam delapan-an?"
"Hah? Apa Mas? Saya balik lagi ke Terminal 2? Nggaklah, Mas. Wis, sak nemunya saja, pesawat apa saja." Jawab saya. Toh apa pun pesawatnya, capresnya tetap Prabowo dan Jokowi.

"Lion bisanya jam 11-an, Bu."
"Lhah, aku lak yo telat rapat, Mas."
"Atau coba pakai Citi Link saja ya, Bu?"
"Yo wis, Citi Link."
Mas Nardi menelepon. Tak berapa lama dia bertanya lagi.
"Bu, pulangnya pakai Citi Link juga nggih? Tapi dari Bandara Halim."
"Emoh, adoh, Mas. Berangkatnya saja oke, pulangnya Mas Nardi cariin yang lain deh."
"Nggih, Bu."

Saya pun akhirnya terbang ke Jakarta menumpang Citi Link. Pesawat yang bersih dan cukup nyaman. Selama di pesawat, saya tidur pulas. Ngantuk yang saya tahan dari tadi menemukan muaranya.

Begitu turun di Cengkareng, saya menyalakan ketiga gadget saya. SMS ke Mas Ayik kalau saya sudah mendarat. Sebuah email masuk di BB dan tab saya, tiket untuk kepulangan saya sore nanti. Di tiket itu, tertera, saya akan pulang menumpang Batik. Dalam hati saya bergumam: "pesawat kok batik..."

Rapat di Lantai 3 Dikti dimulai agak molor, lewat setengah jam dari pukul 12.00. Saya dan kawan-kawan sesama koordinator menyempatkan salat dulu, jama' takdim dhuhur ashar. Sejak ketemu teman-teman Dikti, saya sudah lapor, kalau tiket pulang saya terjadwal pukul 18.00. Jadi saya harus meninggalkan ruang rapat maksimal pukul 16.00, tidak peduli rapat sudah rampung atau belum. Habis nggak ada tiket lagi? Semua full-booked. Begitu alasan saya. Bukan alasan yang dibuat-buat, tapi seperti itulah memang adanya.

Ternyata, seperti memahami situasi saya, rapat persiapan tes wawancara SM-3T itu diselesaikan tepat pukul 16.00. Saya bersama dua teman, Pak Ega dari Unimed, dan Pak Agung dari UM, langsung bergegas ke lift. Turun. Jadwal penerbangan kami bertiga kebetulan sama.

Alamakkkk..... Ternyata hujan sedang turun deras sekali. Padahal kami musti nyegat taksi di pinggir jalan. Pak Ega mengambil inisiatif, mengorbankan dirinya untuk diguyur hujan, berlari menuju pintu gerbang. Di situ ada pos satpam, dan tiba-tiba Pak Ega sudah membawa payung yang memungkinkannya untuk berdiri di pinggir jalan menunggu taksi.

Akhirnya, kami bertiga pun berhasil masuk mencapai taksi dengan berbasah-basah, meluncur ke Cengkareng, menembus hujan yang deras. Di taksi, saya tanya pak Ega dan Pak Agung.
"Pak, Batik itu di terminal apa?"
"Batik?" Pak Ega balik bertanya. "Ini saya pakai baju batik, Prof."
"Itu se-grup sama Lion, Prof. Mungkin sama dengan Lion." Kata Pak Agung.
"Betul tah, Pak?" Saya tanya pak supir.
"Mungkin, Bu...." Jawab supir, tidak meyakinkan. Dalam hati saya menggerutu: "supir opo iki...." Tapi cepat-cepat beristighfar. Poso-poso rek.

Akhirnya kami semua turun di Terminal 1 Soekarno Hatta. Persis di depan Lion. Kami berpisah di situ, melanjutkan perjuangan masing-masing.

Begitu sampai di pintu masuk, dan saya menyorongkan tiket saya ke petugas, petugasnya bilang: "Batik, Surabaya, di Terminal 3, Bu...."
"Walah, jauh dong, Mbak. Harus naksi lagi dong saya."
"Nggak harus pakai taksi, Bu.."
"Oya?"
"Bisa pakai shultle.."
"Walah, yo podho ae, mending saya naksi aja, Mbak. Iya kalau shuttlenya cepet.."

Saya pun akhirnya kembali ke tempat saya turun tadi, menyambar taksi sekenanya.
"Bang, anterin ke Terminal 3 ya."
"Ya, Bu."

Akhirnya, saya pun menumpang Batik malam itu. Pesawat Boeing yang bagian ekornya bercat motif batik, dengan pramugari-pramugari cantik berblus putih dipadu rok panjang batik yang pada bagian depan, belahannya sampai setinggi paha, memamerkan paha-paha mereka, yang untung saja, tidak batik. Pesawat yang nyaman, lebih longgar daripada Lion dan kawan-kawannya sekelasnya, dan dilengkapi monitor dengan layar sentuh seperti di Garuda. Bedanya, kalau di Garuda headset sudah disediakan, kalau di Batik, kita musti meminta ke pramugari dan mengganti biaya Rp.25.000,-.

Ya, selalu ada hikmah dalam setiap peristiwa. Kalau tidak begini, saya tidak tahu Terminal 3 Bandara Sokarno Hatta dan tidak naik pesawat Batik yang nyaman. Hari ini, saya juga sudah berhasil menyelesaikan resensi 'Finnish Lessons' dan bahkan sudah saya kirimkan ke sahabat baik saya siang tadi, saat menumpang taksi dari bandara menuju Dikti. Sahabat baik itu adalah seorang GM sebuah surat kabar. Komentar dia tentang resensi itu: "Wis sip, Prof, resensinya nggak perlu diedit. Nanti kalau saya edit malah salah. Langsung siap muat. Jreng....jreng...."

Surabaya, 7 Juli 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 26 Juni 2014

PPPG Sebagai Penggerak Literasi

Ada Sirikit Syah, Satria Darma, Much. Khoiri dan Ahmad Wahju, mereka adalah dedengkot literasi. Pemilik Sirikit School of Writing, Eurika Academia, Jalindo, dan Indonesia Menulis.

Ada Anwar Djaelani, dialah motor Bina Qalam, yang selalu mengatakan, menulis itu jihad yang menyenangkan. Pegiat literasi yang lain, Eko Prasetyo, Suhartoko, Abdur Rohman, Eko Pamuji, hadir membaur di antara kerumunan para peserta PPG.

Buka mata, buka telinga, buka hati, buka akal pikiran, begitu kata Sirikit, supaya kita bisa menulis. Lihat orang-orang di sekitar kita. everyone has their own story. Gunakan waktu untuk mengamati, menemukan hal-hal yang menarik, dan tuliskan. Daripada main game dan FB-an.

Menulis itu gampang, kata Arswendo. Menulis itu sulit, kata Budi Darma. Bergantung apa yang kita tulis, kata Khoiri. Kalau kita menulis tentang perasaan kita, tentang kisah-kisah hidup kita, itu gampang. Lebih banyak pakai otak kanan. Tapi kalau kita menulis sesuatu yang harus dibatasi dengan aturan-aturan penulisan ini-itu, itu yang sulit. Lebih mengandalkan otak kiri. Menulis yang baik adalah menggunakan kedua belahan otak kita, kanan dan kiri. Dan itu, tentu saja, tiidak mudah. Perlu ketekunan, perlu keuletan, seringkali perlu pengeraman, untuk menghasilkan tulisan yang memuaskan.

Tulisan mampu menorehkan sejarah. Apa yang diperjuangkan dengan otot, seperti Negara Sparta, akan hilang dengan cepat. Apa yang diperjuangkan dengan tulisan, akan 'abadi', seperti tulisan para filsuf. Plato, Socrates, siapa yang tidak kenal? Mereka berjuang dengan tulisan. Dan mereka 'abadi'.

Iqra'. Bacalah. Maka ke mana-mana, bawalah buku, kata Satria Darma. Membaca itu perintah, bukan anjuran. Perintah Tuhan. Perintah yang jauh lebih tinggi daripada perintah Direktur PPG, lebih tinggi daripada perintah Rektor, lebih tinggi daripada perintah Mendiknas, bahkan Presiden sekali pun.

Urusan literasi bukan urusan seseorang, sebuah lembaga, atau urusan sektor tertentu. Urusan literasi menjadi urusan semua. Itulah pentingnya membangun jaringan dengan semua pihak. Indonesia Menulis tidak hanya mengurus Jawa Timur, tapi di seluruh wilayah Indonesia. Di Papua, di NTT, di Sulawesi, mari kita membangun 'Indonesia Menulis'. Begitu kata Ahmad Wahju, yang telah menjalin sinergi dengan banyak pihak, lintas sektor, lintas daerah.

Ketika kita ceramah, berapa banyak orang yang akan mendengarkan? Tanya Sirikit. Berapa banyak orang yang akan memahami? Berapa banyak orang yang akan tetap mengingat? Dengan menulis, sekali kita menulis, tulisan itu akan dibaca orang berlipa-lipat kali lebih banyak, tulisan bisa disimpan, bisa diabadikan bertahun-tahun bahkan berabad-abad setelahnya. Jadi, mulailah menulis.

Ada banyak cerita selama mengikuti Program PPG. Ada cerita sedih, ada cerita suka. Air macet, menu makanan yang membosankan, workshop yang menjemukan, hanyalah sebagian cerita sedih. Dosen yang bersahabat, teman-teman yang baik, pengelola yang peduli, main musik, main futsal, adalah sedikit cerita yang menyenangkan. Kata Fafi Inayatillah--editor buku 'Pelangi di Panggung PPG'-- yang cantik itu, bagaimana pun, buku ini lebih banyak berisi cerita suka daripada cerita duka. Tulisan yang sangat beragam, menarik, meski harus diotak-otik agar lebih cantik.

Lain lagi dengan cerita tentang peserta SM-3T di Sumba Timur. Meski sudah ada 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca' dan 'Jangan Tinggalkan Kami', cerita tentang Sumba Timur seperti tak pernah habis. Betapa sulitnya mendapatkan air, sehingga seorang peserta harus mandi dan membersihkan diri dengan tisu basah. Betapa suka duka mengajar anak-anak yang tertinggal...betapa inginnya mewujudkan mimpi-mimpi mereka....semuanya terangkum dalam buku yang disunting Rukin Firda: 'Mimpiku, Mimpimu, Mimpi Kita.'

Hari ini adalah hari yang luar biasa. Ada lagu 'Kami Peduli', tari Bali, tari saman, dan tari Timor. Ada belasan pegiat literasi bertemu dalam sebuah dialog yang mencerahkan, menginspirasi, penuh semangat, dengan ratusan anak muda yang begitu antusias bertanya.

Mereka, anak-anak muda itu, akan menjadi tumpuan harapan pengembangan budaya literasi di PPG. Mereka calon guru yang akan menjadi guru-guru profesional yang cinta literasi. Mereka akan menularkan kecintaan itu pada anak didik. Mereka akan membuat setiap anak suka membaca dan menulis. Mereka akan mengubah statistik membaca yang menyebabkan Indonesia mengalamai tragedi nol buku.

Dan para pegiat literasi, yang telah membubuhkan tanda tangan di pigura pencanangan PPPG sebagai Penggerak Literasi, akan membantu mewujudkan mimpi itu. Mimpi ada panggung besar di PPG. Panggung yang tak pernah sepi menampilkan pertunjukan membaca, menulis, membedah, meluncurkan buku-buku. Panggung yang mampu menyedot penonton yang tidak hanya ingin menjadi penonton. Bersama-sama memainkan peran sebagai pejuang, membangun peradaban.

Para pegiat itu, merekalah ahlinya literasi. Terima kasih sudah sudi hadir, membagi inspirasi, menyemangati, membangkitkan mimpi.

Gedung Wiyata Mandala, PPPG, 26 Juni 2014

Wassalam,

LN  

Minggu, 22 Juni 2014

AYO BERGABUNG DENGAN PROGRAM JATIM MENGAJAR

Program Jatim Mengajar merupakan program yang digagas oleh Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) bekerja sama dengan Unesa sebaga ibentuk kepedulian dalam pembangunan pendidikan di daerah terpencil dan tertinggal di JawaTimur. Program ini selain diharapkan untuk mengisi kekurangan guru baik dalam hal mutu maupun jumlahnya (khususnya di SD/MI negeri/swasta), juga diharapkan sebagai wahana dakwah, sekaligus untuk memberdayakan masyarakat desa.

Program Jatim Mengajar tahun ini merupakan angkatan II.

Persyaratan :
1. Laki-laki, Islam, WNI, usia maksimum 28 tahun per 31 Desember 2014 (KTP Asli dan Foto copy)
2. Lulusan program studi S-1 kependidikan empat tahun terakhir (2011, 2012, 2013, 2014) dari program studi terakreditasi (legalisir ijazah atau SPK).
3. IPK minimal 2,75 (legalisir transkrip)
4. Surat keterangan sehat dari dokter
5. Belum menikan dan sanggup tidak menikah selama mengikuti program (1 tahun)
6. Bisa membaca Al-Quran
7. SKKB
8. Bebas narkotika, psikotropika, dan zata diktif (napza) yang dibuktikan dengan Surat  Keterangan Bebas Narkoba (SKBN) dari pejabat yang berwenang.

Persyaratan 1-5 dibawa saat mendaftar, 7 dan 8 saat wawancara.

Program Studi yang diperlukan:
PGSD/PGMI, Pend. Matematika, Pend.Kimia, Pend. Fisika, Pend. Biologi, Pend. IPS, Pend Sain, Pend. Sejarah, Pend. Geografi, PPKn, Pend, Bhs.Indonesia, Pend. Bahasa Inggris,  Pend. Jasmani Kesehatan dan Rekreasi (Penjaskesrek).
 
WaktuPendaftaran :
23 Juni –6 Agustus 2014

Wawancara:
8-9 Agustus 2014

Tempat Pendaftaran:
Gedung Program PPG Unesa Lantai1, Kampus Lidah Wetan. Senin-Jumat pukul 08.30-15.00 WIB.

Informasi lebih lanjut bisa menhubungi:


08123122413 (Ibu Luthfi)
082131258506  (Bapak.Sulaiman)

Jumat, 13 Juni 2014

Perilaku di Toilet

Mobilitas yang tinggi membuat saya harus sering berurusan dengan toilet bandara. Mulai dari toilet yang joroknya mirip  ponten umum di tempat rekreasi yang belum jadi, atau toilet yang sangat bersih dengan air kran yang otomatis mancur sendiri bila tangan kita dekatkan. Bagaimana tidak. Saya 'mbolang' mulai dari daerah 3T yang petugas bandaranya saja harus teriak-teriak bila waktunya naik pesawat, sampai ke kota-kota besar yang kita bisa menyelonjorkan kaki sambil menikmati segelas kopi panas di lounge-nya yang nyaman dan sejuk.

Berbagai macam perilaku para pengguna toilet menjadi perhatian tersendiri bagi saya. Ada orang yang suka meninggalkan toilet dalam keadaan tutup kloset tertutup, ada yang suka membuat lantai menjadi basah kuyup, ada yang suka meninggalkan bekas kotor(an) di dalamnya, ada yang masuk toilet hanya untuk bercermin dan membetulkan tata rias wajah dan rambutnya. Yang jelas, saya tidak pernah menemui orang berkumpul di toilet untuk arisan atau untuk rapat dinas. Hehe.

Kadang-kadang, saya menemui orang dengan perilakunya yang menggelitik hati. Seperti yang terjadi di suatu siang, beberapa waktu yang lalu. Saya sedang ada di toilet Bandara Juanda. Seorang wanita cantik dengan perhiasan gemerlap masuk. Mungkin karena penjaga toilet kecapekan membersihkan kloset dan lantai, begitu perempuan itu masuk, dia berpesan, "Bu, jangan sampai basah ya Bu, lantainya...."
"Lho gimana nggak basah mbak, orang saya mau kencing." Logat ibu itu khas sekali, medok, dari daerah tertentu.
"Kan bisa di kloset Bu, bersih-bersihnya, jadi tidak membasahi lantai."
"Lho saya orang Islam, Mbak, kalau bersih-bersih nggak pakai banyak air itu nggak suci."

Penjaga berjilbab itu diam. Saya menatapnya, iba. Dia juga menatap saya.

"Saya lho juga Islam, Bu." Katanya pada saya. "Lha apa dikiranya orang di bandara ini tidak ada yang Islam?" Tanyanya, tanpa bermaksud mendapatkan jawaban.
"Ya, sabar ya, Mbak... Namanya juga ngurusin banyak orang." Hibur saya sambil menyelipkan selembar uang kertas ke genggamannya, sebelum berlalu dari tempat itu.

Lain waktu, saat saya masuk ke toilet, saya kaget karena lantai toilet itu basah sampai di bagian luarnya. Dua orang ibu yang baru keluar dari toilet-- dilihat dari busananya, nampaknya mereka akan berangkat umroh--minta maaf pada penjaga.
"Mbak, maaf yo, teles kabeh. Lha gak onok kesete. Ke'ono keset, Mbak, ben gak teles kabeh. Kamar mandi kok gak onok kesete."

Prang. Penjaga itu membuang tisu kotor di tempat sampah staniless steel dengan kasar. Nampaknya dia sedang melampiaskan kejengkelannya karena dua orang itu telah menambah pekerjaannya untuk ngepel.

Begitulah. Menggunakan toilet  memang harus diajarkan. Kalau ada saudara kita yang akan bepergian naik pesawat dan hal itu merupakan pengalaman pertama dia, ada baiknya kita memberi tahu bagaimana menggunakan toilet bandara.

Pelajaran menggunakan toilet juga perlu diberikan oleh para pemilik biro perjalanan, termasuk biro perjalanan umroh dan haji. Perilaku sebagian calon jamaah umroh dan haji itu begitu memprihatinkan. Maklum, mungkin ini pengalaman pertama mereka naik pesawat dan mengunjungi bandara.

Twin Hotel Surabaya, 13 Juni 2014

Wassalam,
LN