Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Senin, 04 Oktober 2021

Pengamanan Lahan


Hari ini kami berada di Balai Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa DTT Bengkulu. Untuk saya, ini adalah kunjungan kedua ke Bengkulu. Kunjungan pertama di tahun 2015, kalau saya tidak salah ingat, dalam rangka monev peserta Program SM3T di Kabupaten Seluma, salah satu kabupaten di Provinsi Bengkulu.

 

Agenda kunjungan kali ini adalah pertemuan tindak lanjut pengamanan lahan. Sebuah kisah yang menyentuh hati. Hehe.

 

Ceritanya, Balai Bengkulu memiliki lahan sekitar 246 ha. Sudah bertahun-tahun, sebagian lahan dikuasai oleh masyarakat sekitar untuk menanam sawit dan rumah tinggal. Upaya pengamanan sudah dimulai sejak belasan tahun yang lalu, dan sebenarnya putusan MA tahun 2009 sudah menetapkan kepemilikan syah atas lahan itu milik balai. Namun karena berbagai hal, lahan tidak segera dieksekusi. Balai masih mencoba mencari jalan supaya tidak terjadi eksekusi secara paksa, lebih karena alasan kemanusiaan. Lantas sejak Agustus 2021, dengan didampingi dan dimediasi oleh Kajari Bengkulu, sebanyak lima belas orang akhirnya bersedia lahan dan rumah yang selama ini mereka kuasai dieksekusi secara sukarela.

 

Nah, hari ini adalah tindak lanjutnya. Saya bersama Kajari, sekretaris BPSDM Kememdes, Kepala Biro Hukum Kemendes , bertemu dengan lima belas orang tersebut.  Kajari menegaskan dan melaporkan tentang kepastian eksekusi, dan saya mendengarkan laporan tersebut sebagai pihak yang bertanggung jawab atas lahan. Hari ini, lima belas orang itu akan menerima bantuan dana untuk "pembersihan". Ini sebenarnya bukan merupakan kewajiban pemerintah, namun   juga lebih karena alasan kemanusiaan.

 

Asli, saya menahan diri untuk tidak mbrebes mili saat menyampaikan sepatah dua patah kata pada para bapak dan ibu yang hampir semua sudah sepuh itu. Di antara mereka ada yang menderita stroke, berdiri saja susah. Ada juga yang disabilitas.

 

Namun dengan penuh ketegaran saya menyampaikan, bahwa Allah akan mengganti semua yang telah mereka lepaskan dengan ikhlas dengan segalanya yang lebih baik. Adalah sudah semestinya kita merelakan apa yang bukan hak kita. Apa lagi demi kemanfaatan dan kemaslahatan masyarakat dan umat.

 


Saya sendiri harus ikut menangani masalah ini karena sebagai Kepala BPSDM Kemendes PDTT, memang salah satu tugasnya adalah memayungi balai. Ada dua balai besar dan tujuh balai yang berada di berbagai provinsi di Indonesia. Masalah lahan yang masih menjadi problem di beberapa balai, harus diselesaikan setahap demi setahap.

 

Setelah agenda utama selesai, saya juga berkesempatan meninjau lahan milik balai. Saking luasnya lahan, kami berkeliling dengan mobil. Lahan yang benar-benar luas. Sawit mendominasi. Selebihnya durian, manggis, karet, kelapa, buah naga. Sayang sekali, durian dan manggis lagi tidak musim. Namun semalam kami sudah dijamu durian kok, jadi aman. Hehe.

 

Bengkulu, 4 Oktober 2021

Minggu, 03 Oktober 2021

TKI dan Sky Priority


Beberapa hari yang lalu, saya bersama beberapa teman terbang ke Taiwan. Tujuannya untuk menjalin MoA dengan Yuntech University, sekaligus mengikuti conference di Natioan Formosa University. Kami berangkat bersama para TKI. Ada 200 orang lebih TKI yang bersama kami, begitulah kata petugas Bandara Juanda waktu kami mau masuk ke ruang tunggu.

 

Tiba di Taiwan, kami disambut oleh beberapa petugas. "TKI this line, TKI this line". Begitu teriakan mereka sambil menunjuk-nunjuk saya dan rombongan TKI. Tentu saja saya tidak menuruti kata petugas dan mengambil jalur lurus. Petugas itu mbatek saja melambai-lambai ke saya sampai akhirnya saya bilang, "we are not TKI."

 

Selama berada di Taiwan, terutama di tempat-tempat wisata. kami sering bertemu TKW yang sedang membawa induk semangnya, pada umumnya manula, berjalan-jalan dengan kursi roda. Beberapa manula ada yang sakit, terlihat dari selang menempel di hidungnya atau dari wajah yang pucat tak bercahaya. Sebaliknya para TKW yang mendorong para manula itu nampak behagia dan selalu melempar senyum setiap kali mata kami beradu. Penampilan mereka bersih, modis, sebagian besar berjilbab.

 

Pulangnya, kami juga berbarengan dengan para TKI, namun jumlah mereka tidak sebanyak waktu berangkat. Mereka bertanya, apakah kami sedang mengambil cuti, kapan balik Taiwan, bekerja di rumah tangga apa di pabrik....

 

Kebetulan saya punya kartu member Garuda GFF yang sky priority. Saat transit di Singapore, menjelang boarding, seorang petugas meneriaki saya supaya saya pindah ke antrian panjang di sisi kanan saya. "He he he...". Begitu teriakannya. Sikapnya kasar. Begitu dia mendekat, saya tunjukkan boarding pass saya. "I'm sky priority." Dia melihat boarding pass saya dan tanpa meminta maaf dia hanya bilang, "oh, okay okay." Saya menunjuk dua teman di belakang saya. "We are three." Dia membiarkan kami bertiga melenggang.

 

Oya, sebelumnya, menjelang check in di Taiwan, saat kami mendekati counter, seorang petugas bilang kalau belum saatnya check in. Kami harus check in pukul 12.00. Saat itu masih pukul 10.30-an. Waktu saya bertanya, "how about sky priority member?" dia mempersilahkan kami bertiga untuk check in.

 

Saya jadi ingat pengalaman saya pada akhir 2018. Di Bandara Schipol, Amsterdam, waktu saya dan bu Sri Handajani mau terbang ke Austria, saya berdiri mengantri di depan counter check in khusus untuk penumpang kelas business dan platinum. Seorang petugas tinggi besar menghampiri saya. "I'm sorry, madam, would you mind showing me your member card?" Saya tunjukkan kartu GFF saya dan dia mengembalikannya setelah memeriksa sebentar. "Sorry for this unconvenience.... I just to make sure...." "Okay, no problem." Tukas saya sambil melempar senyum karena dia telah bersikap sopan.

 

Pada kondisi tertentu, mungkin potongan saya layak diragukan sebagai pemegang kartu platinum. Bersama para TKW, saya adalah mereka karena mereka semua memang saudara saya. Meskipun begitu, seharusnya para petugas itu tetap bersikap sopan dan tidak berteriak-teriak seolah kami tuli. Sudah begitu, tidak mau meminta maaf lagi.

 

Di pesawat, setelah saya diteriaki petugas itu, seorang pramugari menghampiri saya sambil membawa secarik kertas. "Mrs Nur...." Dia kesulitan mengeja nama saya. "Nurlaela", sahut saya. "Yes. I just want to greeting you, welcome on board...." "Ya?" Sahut saya heran. "You're a member of Garuda Airlines, so if you need any help, don't hesitate....." Dia tersenyum sopan. Oh, rupanya ini cara mereka meminta maaf.

 

Begitulah.  Sedikit kisah yang menyentuh hati. Hahah.

 

10 Oktober 2019

Minggu, 22 Agustus 2021

Budi Darma, Sang Penyayang Itu (Sebuah Obituari)

Kenangan saya tampil di Nawawarsa Himapala KM IKIP Surabaya 1987.

Hari ini, saya kehilangan sosok penyayang dan sederhana itu. Sabtu, 21 Agustus 2021, pada sekitar pukul 08.25 WIB, saya membaca kabar duka itu di sebuah grup whatsapp (wa). Sosok yang begitu dekat di hati itu telah berpulang pada sekitar pukul 06.00 WIB. Setelah sejak 28 Juli 2021, begitulah kabar yang saya terima juga dari sebuah grup wa, beliau berjuang karena terpapar covid. Selain beliau, isteri beliau, seorang putra beliau serta seorang asisten rumah tangga beliau, juga terpapar.

Kabar beliau terpapar covid spontan membuat hati saya waswas. Tapi saya tidak mau berpikir buruk. Meski usianya sudah kepala delapan, Prof Budi Darma akan baik-baik saja. Beliau memiliki kesehatan yang relatif prima. Beliau masih menulis, bahkan sebelum dikabarkan sakit itu, beberapa tulisannya kerap menghiasi media surat kabar. Beliau juga masih aktif mengajar, begitulah kabar yang saya terima dari Direktur Pascasarjana Unesa, tentu saja sebelum beliau terpapar covid.

Lalu sehari sebelum Hari Kemerdekaan RI ke-76, sebuah kabar – juga dari grup wa – saya baca, bahwa Prof. Budi Darma kesadarannya menurun. Saya mulai waswas namun tentu saja terus berharap beliau akan membaik. Sampai akhirnya saya harus menerima kenyataan pahit itu, beliau berpulang. Allah telah membebaskan beliau dari segala beban. Telah melunaskan tugas beliau di dunia.

Malam ini, saya ingin menulis tentang sosok yang begitu saya cintai itu. Meski saya menyadari, saya bukan siapa-siapa di blantika sastra, sebagaiman dunia yang digeluti dan menggeluti Prof. Budi Darma. Namun Prof. Budi Darma telah membuat diri saya merasa begitu berarti dan berharga karena betapa beliau tak pernah melupakan saya, sejak pertama kali beliau mengenal saya. Tentu saja, seperti itulah memang beliau. Hampir selalu mengingat siapa pun yang beliau kenal. Dan membuat setiap orang merasa berarti dan berharga karena diingat.

Malam ini, saya ingin menulis tentang sosok yang begitu saya cintai itu. Saya seolah tidak ingin kehilangan setiap kenangan manis tentang beliau. Hari itu, tahun 1987, pertama kali saya berhadapan dengan sosoknya, secara dekat, saat saya menjadi ketua panitia Nawawarsa Himapala. Beliau yang waktu itu menjabat sebagai Rektor, hadir pada kegiatan pembukaan, mendengarkan laporan saya, memberi ucapan selamat, menggunting pita, dan melihat-lihat eksibisi kami di Gedung Gema Kampus Ketintang. Saya mendampinginya, dan betapa saya menyadari, begitu rendah hatinya sosok ini. Begitu penyanyangnya. Saya merasa begitu nyaman berada di dekat beliau, tidak ada kecanggungan, berbangga dan berbesar hati karena apresiasi beliau, senyum beliau, ungkapan kata-kata santun beliau. Sungguh sama sekali bukan ungkapan-ungkapan formalitas. Ungkapan-ungkapan yang benar-benar keluar dari lubuk hati seorang Bapak yang sedang membesarkan hati anak-anaknya, mengobarkan api kebanggan pada kami semua.

Sejak saat itu, Prof. Budi Darma bukanlah orang asing di mata saya. Tentu saja saya sudah mengenal beliau jauh sebelum kami berjumpa hari itu. Setidaknya saya sudah sejak lama menamatkan Olenka dan Orang-orang Bloomington, dan dari situlah saya mengenalnya sebagai sastrawan besar. Tak terbayang bahwa suatu ketika, saya akan merasa begitu dekat dengan penulisnya.

Nasib membawa saya bertumbuh dan berkembang di IKIP Surabaya yang kemudian berubah nama menjadi Unesa. Nasib juga yang membawa saya beruntung bisa relatif sering bertemu dengan Prof. Budi Darma. Di berbagai kesempatan, di berbagai pertemuan, di jalan, di ruang dosen di pascasarjana, di rapat senat terbuka, juga di berbagai kegiatan literasi. Yang saya sangat suka, beliau jarang memanggil nama saya dengan sebutan Bu Luthfiyah, begitulah beliau kadang menyebut saya. Namun beliau lebih sering menyebut saya dengan panggilan Mbak Ella. Itu panggilan yang hanya dilakukan oleh teman-teman kuliah, teman-teman dekat, dan teman-teman Himapala saja. Dan dengan panggilan itulah beliau lebih sering menyebut saya. Begitu berkesan.

Saya memiliki sedikit kegemaran menulis, dan itulah yang kemudian membawa saya banyak bergaul dengan teman-teman IKA Unesa yang memang penulis, seperti Sirikit Syah, M. Khoiri, Rukin Firda, Eko Prasetyo, Suhartoko, Satria Darma, Habe Arifin, Pratiwi Retnaningdyah, Fafi Inayatillah, dan sebagainya. Suatu ketika, kami membuat buku antologi cerpen, dan saya menyumbangkan dua cerpen saya. Itu memang bukan cerpen pertama yang saya tulis, kebetulan saya sudah mulai memuatkan cerpen-cerpen saya di majalah nasional sejak saya remaja dulu, dan masih sesekali menulis cerpen bila sedang ingin menulis atau harus menulis. Namun cerpen di buku antologi itu seperti begitu istimewa, bukan hanya karena prosesnya yang mengasyikkan, namun karena Prof. Budi Darma membaca cerpen-cerpen itu. Ya, termasuk cerpen saya.

Siang itu beliau sedang duduk melayani konsultasi mahasiswa saat saya memasuki ruang dosen pascasarjana. Seperti biasa, dengan kesantunan dan senyum khasnya, beliau menyapa, “apa kabar, Mbak Ella?” Saya menjawab sapaan beliau, dan menanyakan kabar beliau juga. Lantas beliau bertanya, “bagaimana kabar laki-laki di pantai berpasir putih itu?” Wow. Saya merasa sangat takjub dengan pertanyaan itu. “Waduh, Bapak maos nggih? Waduh, malu dalem, Bapak. Itu cerpen rame-rame saja, Bapak.” Beliau tertawa, renyah namun santun. “Juga kisah…. siapa itu, saya lupa namanya, yang di cerpen satunya itu?” Saya semakin tersipu-sipu, namun senang, merasa surprised, excited, namun agak malu, karena menyadari cerpen jelek saya itu dibaca oleh sastrawan besar itu.

Lantas ketika saya diamanahi sebagai Direktur PPPG, saya memiliki lebih banyak kesempatan untuk bersama-sama teman alumni yang penulis, penyunting, dan jurnalis, untuk mengembangkan literasi. Ada Eko Pamuji, Abdur Rohman, Anwar Djaelani, dan sebagainya, selain nama-nama di atas. Pada beberapa kesempatan, kami mengundang Prof. Budi Darma untuk menjadi narasumber dan motivator bagi mahasiswa-mahasiswa calon guru itu. Beberapa kali kami menjemput beliau di rumah beliau, dan mengantarkan kembali beliau ke rumah setelah acara. Rumahnya yang bersih, sederhana, ada di kawasan Kampus Ketintang, merepresentasikan kesederhanaannya. Kadang saya berpikir, bagaimana orang yang memiliki begitu banyak peluang untuk hidup mewah itu bisa memilih menjalani kehidupannya dengan segala kesederhaannya?

Saat saya menikahkan anak saya pada tahun 2017, saya mengundang Prof. Budi Darma. Beliau tidak hadir. Tiba-tiba seminggu setelah itu, beliau mengirim pesan singkat. “Mbak Ella, “ begitu sapanya. Beliau meminta maaf karena baru melihat ada undangan mantu dari saya. Undangan itu ada di meja beliau di kampus, dan beberapa hari beliau ada kegiatan di luar kota, sehingga tidak tahu kalau ada undangan. Pesan singkat itu tentulah sangat berharga bagi saya, karena menyadari, Prof. Budi Darma tidak melupakan saya. Begitu juga saat beliau mengirimkan foto tulisan saya yang dimuat di Jawa Pos, dengan sebuah kalimat pujian yang saya yakin itu tulus, betapa hal itu membuat saya merasa sangat berarti.

Malam ini, saya ingin menulis tentang sosok yang begitu saya cintai itu. Saya seolah tidak ingin kehilangan setiap kenangan manis tentang beliau. Namun terlalu banyak yang mungkin harus saya tuliskan, juga untuk mengungkapkan rasa kehilangan ini. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seseorang yang merasa begitu dekat dengan beliau, seseorang yang telah berhasil dibuatnya merasa begitu berarti, begitu berharga.

Selamat jalan, Prof. Budi Darma. Seharian ini sosok panjenengan berkelebat-kelebat dalam benak saya. Senyum panjenengan menari-nari dalam untain doa saya. Sapa panjenengan terbayang-bayang di mata saya yang basah dan berkabut.

Selamat jalan, Prof. Budi Darma. Beristirahatlah dengan damai. Seperti kedamaian yang senantiasa menghiasi wajah teduhmu…..

 

Taman Dayu Hotel & Resort, Pandaan, 21 Agustus 2021

Sabtu, 19 Juni 2021

Diundang Menutup KKN

Hari ini saya diundang oleh Unesa untuk memberikan sambutan, paparan, dan menutup acara. Agenda kegiatannya adalah Penutupan KKN Mahasiswa Unesa Tahun 2021. Acara digelar di BUMDes Cengkok Asri, Kabupaten Ngajuk.

Ada 5609 mahasiswa Unesa yang telah selesai melaksanakan KKN di seluruh Indonesia.  KKN yang disebut KKN Tematik ini merupakan salah satu perwujudan kurikulum Merdeka Belajar Kampus Mereka (MBKM). Tema-tema KKN meliputi kemanusiaan, kewirausahaan, proyek di desa, asistensi mengajar, dan proyek independen. Selama empat bulan, setara 20 SKS, mahasiswa menempuh program KKN di daerahnya masing-masing karena pandemi.

Acara penutupan hanya dihadiri oleh sebagian kecil mahasiswa yang kebetulan lokasi KKN mereka di Kabupaten Nganjuk. Wakil Rektor 4, PLT Bupati Nganjuk, satgas covid, camat, kepala desa, dosen pembimbing lapangan, dan perwakilan IKA Unesa cabang Nganjuk, merupakan sebagian undangan yang hadir. Undangan yang lain, termasuk mahasiswa yang tersebar di seluruh Indonesia, hadir secara virtual.

Saya sampaikan dalam paparan saya bahwa program KKN Tematik sangat gayut dengan program prioritas kemendes, yaitu SDGs Desa.

SDGs Desa berturut-turut mencakup tujuan: 1) Desa Tanpa Kemiskinan, 2) Desa Tanpa Kelaparan, 3) Desa Sehat dan Sejahtera, 4) Pendidikan Desa Berkualitas, 5) Keterlibatan Perempuan Desa, 6) Desa Layak Air Bersih dan Sanitasi, 7) Desa Berenergi Bersih dan Terbarukan, 😎 Pertumbuhan Ekonomi Desa Merata, 9) Infrastruktur dan Inovasi Desa sesuai Kebutuhan, 10) Desa Tanpa Kesenjangan, 11) Kawasan Permukiman Desa Aman dan Nyaman, 12) Konsumsi dan Produksi Desa Sadar Lingkungan, 13) Desa Tanggap Perubahan Iklim, 14) Desa Peduli Lingkungan Laut, 15) Desa Peduli Lingkungan Darat, 16) Desa Damai Berkeadilan, 17) Kemitraan untuk Pembangunan Desa, dan 18) Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif.


Desa merupakan basis evidential untuk mengidentifikasi berbagai problematika pembangunan. Ada 74.961 desa di seluruh Indonesia,  dengan segala potensi dan keunggulannya, yang bila dikelola dengan baik, sangat potensial dalam menyumbang pencapaian tujuan SDGs. Apabila segenap permasalahan sosial-ekonomi di perdesaan teratasi, sebagian besar tantangan pembangunan di negeri ini dapat teratasi. Di sinilah urgensi menjadikan desa sebagai prioritas dalam pembangunan.

Arah pembangunan perdesaan saat ini bertumpu pada pencapaian 18 tujuan SDGs Desa yang mampu berkontribusi 74% terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Pencapaian ini tentunya memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing, komitmen yang tinggi dari seluruh pemangku kepentingan, serta kerjasama multisektor termasuk dukungan kerjasama dari Perguruan Tinggi.

Kamis, 17 Juni 2021

Hari yang Sibuk

Rabu dan Kamis yang lalu merupakan hari yang sibuk. Untunglah saya sudah terlatih bekerja nonstop, indoor maupun outdoor. Jadi ya alhamdulilah, semua baik-baik saja. Meski usia tak lagi muda (kepala lima gitu....), insyaallah semangat tetap muda.

Semangat itulah yang menopang fisik saya  untuk bergerak dan bergerak, belajar dan belajar, berbuat dan berbuat. Pengalaman mendampingi program SM3T dan Jatim Mengajar menjadi modal tersendiri. Juga kegemaran pada aktivitas di alam bebas, termasuk kegiatan  Pramuka dan Himapala yang dulu saya geluti saat di bangku sekolah dan kuliah, juga menjadi amunisi yang sewaktu-waktu butuh sasaran untuk diejawantahkan.

Kami mendampingin Gus Menteri Desa mengunjungi Wonogiri dan Yogyakarta. Berangkat dari Jakarta sekitar pukul 08.45 menumpang Batik, dan mendarat di Solo. Lantas melanjutkan perjalanan menuju Wonogiri dengan mobil, lengkap dengan patwalnya yang sirinenya meraung-raung. Sungguh saya tak pernah membayangkan menjadi salah satu orang dalam iring-iringan mobil seperti ini. Dulu pernah, seperti ini, saat menjadi rombongan mendikbud M. Nuh mengunjungi Papua Barat. Namun saat itu, saya hanya sebagai salah satu koordinator program SM3T. Bukan pejabat yang memang sehari-hari harus berada di sekitar Menteri.

Saya jadi ingat, biasanya, bila ada rombongan mobil pejabat lewat dan sirine mobil patwalnya meraung-raung, saya akan meminggirkan mobil yang yang sedang saya kemudikan, tentu saja sambil menggerutu, "duh...pejabat iki kok menang-menangan yooo....". Sekarang saatnya saya "digerutui" orang. Ya Allah, maafkan hamba-Mu ini....

Saat saya menceritakan hal itu ke Mas Ayik Baskoro Adjie , dia tertawa dan bilang, "makanya jok suka alok. Alok iku melok." Tuh...

Kegiatan di Wonogiri adalah pemberian piagam penghargaan pada bupati, camat, lurah, dan pendamping desa, karena Wonogiri sudah menyelesaikan pendataan SDGs Desa. SDGs Desa sendiri merupakan arah kebijakan prioritas pembangunan desa, yang terdiri dari 18 tujuan pembangunan desa, antara lain desa tanpa kemiskinan, desa tanpa kelaparan, desa sehat dan sejahtera, pendidikan desa berkualitas, keterlibatan perempuan desa, dan sebagainya. Mungkin pada kesempatan lain akan saya tulis khusus tentang SDGs Desa.

Selain menyerahkan piagam, kami juga mengunjungi salah satu desa wisata dan juga pesantren. Rangkaian kegiatan selesai sekitar pukul 16.30, Dan kami melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta.

Di Balai Besar Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Yogyakarta, kami sudah ditunggu dengan acara sertijab dari pejabat lama kepada pejabat baru. Selain itu juga pembukaan acara rakor yang akan dilaksanakan besoknya dari pagi sampai malam.

Alhamdulilah, acara rakor berjalan lancar. Presentasi dari sekretariat dan empat pusat berjalan dari pagi sampai sore. Dilanjutkan dengan presentasi oleh sembilan Kepala Balai Pelatihan. 

Saya sendiri sangat berkepentingan dengan rakor ini. Saatnya untuk kulakan.....

Malamnya, kami membuang penat dengan sepiring gudeg Yogya yang khas dan lezat.....

Senin, 07 Juni 2021

Jangan Lengah, Ya?

Jadi ingat waktu kami sekeluarga pesiar ke Madura. Saat itu, kami singgah di sebuah tempat makan, namanya bebek songkem. Konon, bebek songkem di rumah makan ini yang paling enak di antara bebek songkem yang lain. Tahu sendiri kan, warung bebek di Madura tersebar di banyak tempat, dengan berbagai variannya. Menu bebek songkem saja ada di mana-mana, belum lagi bebek-bebek yang lain.

Nah, saat kami pesan makanan di bagian depan, kami lihat petugas pencatat pesanan dan kasir tidak memakai masker. Begitu juga dengan petugas yang lain. Pokoknya mulai dari depan sampai belakang, tidak ada yang pakai masker. Waktu saya ingatkan, mereka bilang, "di sini sudah aman, buk, ndak ada lagi corona."

Dan itu tidak hanya di warung yang tergolong skala kecil-menengah ya. Di hari yang lain, kami singgah di rumah makan yang tergolong besar, berharap para petugasnya lebih disiplin pada prokes. Ternyata, dugaan kami salah besaaarrr. Di rumah makan gede pun, yang menyajikan berbagai pilihan menu yang lezat, tempat makan yang assoy, besar, luas, dikelilingi taman dan kolam yang apik, perilaku petugasnya sama saja. Tak bermasker. Atau bermasker tapi masker hanya jadi hiasan di leher. Saat diingatkan, anehnya, jawabannya kok ya persis sama, "di sini sudah ndak ada lagi corona, buk."

Sebenarnya kondisi seperti itu tidak hanya di Madura. Di berbagai wilayah di Jawa Timur, termasuk, maaf, di kampung halaman saya sendiri, perilaku masyarakatnya sungguh memprihatinkan. Sedihnya, bahkan orang-orang yang seharusnya menjadi contoh tentang pentingnya prokes, karena mereka guru atau tokoh agama misalnya, justeru menjadi pemicu terabaikannya prokes. Tak peduli, cuek, mengejek dan meremehkan saat diingatkan. Dan sikap buruk itu dinampakkan secara demonstratif di depan murid-muridnya. Sedih nggak? Sedih dan prihatin deh pokoknya.

Kita semua berharap, semoga Madura dan Jawa Timur serta Indonesia dan seluruh dunia segera terbebas dari pandemi ini. Vaksinasi adalah salah satu ikhtiar. Ikhtiar yang lain seperti yang sudah sangat kita kenal, yaitu 5M dan 3T, harus terus-menerus dilakukan secara disiplin. Jangan meremehkan. Jangan lengah. Jangan jumawa. Sudah banyak contoh terjadinya lonjakan pandemi di wilayah lain atau negara lain yang justeru lebih dahsyat akibat kejumawaan. Kalau Anda diingatkan, jangan bilang, "itu kan di India, bukan di Indonesia. Itu kan di sana, di sini amaaannnn....". Plis deh. Pliiisssss.....

Bener, jangan lengah ya.... Meskipun sudah divaksin, tetap jaga prokes ya. Jangan lengah.

Surabaya, 8 Juni 2021

Sabtu, 05 Juni 2021

Benteng Van de Bosch

Hari ini kami bersilaturahim ke Ngawi. Ke rumah salah satu anggota paguyuban haji Hidayah Mabrur 2009. Ya, sejak bersama-sama beribadah haji pada 2009, alhamdulilah rombongan haji kelompok kami sampai sekarang masih solid. Pertemuan setiap tiga bulan sekali. Kadang di rumah salah satu anggota di Surabaya, kadang di rumah asalnya, seperti pertemuan yang lalu di Tuban, dan sekarang di Ngawi. Kadang ke tempat wisata seperti di Batu, Tretes, Sarangan. Kadang ziarah wali, kadang berkunjung ke panti-panti. Pokoknya setiap pertemuan, selalu diisi dengan kegiatan yang menyenangkan dan insyaallah bermanfaat, selain--tentu saja--yasin dan tahlil sebagai agenda wajib. Termasuk mengirim doa pada teman-teman yang sudah mendahului, yang sampai saat ini sudah 13 orang, dari 54 anggota.

Anggota paguyuban, tentu saja, sudah pada berumur. Saya saja sudah kepala lima, meskipun pada saat berangkat dulu, termasuk masih muda.....ehm....sok muda, padahal juga sudah kepala empat. Namun semangat bersilaturahim mereka, sungguh mengagumkan. Begitu istiqomah. Juga kedisiplinan pada waktu. Kita-kita yang  lebih muda ini sampai sering malu pada diri sendiri karena kalah jauh dengan beliau-beliau untuk urusan itu.

Setiap kali ada kegiatan keluar kota, maka titik kumpulnya di rumah kami. Sarapan dulu dan menikmati kopi dan teh. Mobil dan sepeda motor bisa diparkir dengan aman, dan bus yang akan membawa kami juga bisa masuk leluasa sampai depan rumah.

Nah, hari ini, selain bersilaturahim, kami juga menyempatkan diri mengunjungi Benteng Van de Bosch. Lokasinya kebetulan tidak terlalu jauh dari rumah yang kami kunjungi. Tapi saya belum tahu banyak tentang kisah benteng ini ya. Sementara gambar-gambarnya dulu ya.

Begitulah yang hampir selalu kami lakukan. Bersilaturahim, diselingi dengan berwisata, termasuk wisata religi. Namun karena para anggota sudah banyak yang sepuh, tujuan wisatanya yang tidak terlalu sulit untuk dijangkau. Itu pun juga fleksibel, yang pingin berwisata bisa turun, yang tidak, tetap menunggu di bus atau di mobil. Kalau ini yang terjadi, maka kami berwisata dengan cepat, supaya yang di mobil tidak terlalu lama menunggu. Pokoknya yang penting semua happy....