Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 28 Mei 2023

Perjalanan Lima Hari


Tanggal 9-14 Mei 2023, selama lima hari saya melakukan perjalanan. Dimulai dari Jakarta menuju Jayapura, berangkat 9 Mei menumpang Garuda, take of pukul 23.30. Tiba di Sentani pukul 06.30, sekitar lima jam waktu tempuh. Seharian berkegiatan, dari pagi sampai malam.

Besoknya, selepas shubuh, kami bergerak kembali ke Sentani Airport, dan kembali menumpang GA, berangkat pukul 07.30, menuju Jakarta.

Tiba di Soetta pukul 11.06, lanjut terbang ke Semarang, masih dengan Garuda, berangkat pukul 14.30. Penerbangan lancar, dan mendarat di Ahmad Yani Airport pukul 15.30.

Lanjut perjalanan darat menuju Rembang. Sempat macet hampir dua jam sebelum masuk tol Demak. Sekitar lima jam perjalanan, sampai di Rembang, termasuk istirahat makan di Pati dengan menu nasi gandul. Nasinya sedikit saja, tapi gandulannya yang banyak.

Paginya, dari Hotel Fave tempat saya menginap, saya berjalan menuju Pondok Raudlotut Thalibin, Leteh. Sempat bertemu Bu Khofifah dan rombongannya di lobi.

Hari-hari ini, hotel-hotel di Rembang full-booked. Besok ada gelaran ngunduh mantu putera bungsu Ibu Nyai Muhsinah Cholil. Dik Zaim Cholil Mumtaz, mempelai pria, yang bekerja di BIN, adalah  adik Gus Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU, dan juga adik Gus Menag  Yaqut Cholil Qoumas . Bisa dibayangkan betapa banyak tamu dari berbagai kalangan yang akan khurmat manten. Ditambah lagi dengan para santri dan alumni ponpes yang akan hadir dari seluruh penjuru tanah air.

Saya niat insun jalan kaki pagi ini, melemaskan kaku-kaku di kaki-kaki setelah menempuh perjalanan panjang. Saya lihat di google map, jarak tempuh dari hotel ke ponpes Leteh hanya 14 menit berjalan kaki. Supaya jalan kaki lebih bernilai, saya niatkan juga untuk silaturahim ke ndalemnya Kyai Makin, paklik saya satu-satunya, adik Bulik Muhsinah. Di sepanjang jalan KH Bisri Mustofa, beberapa ratus meter dari kediaman Paklik Makin,  yang lokasinya tidak jauh dari kediaman Bulik Muhsinah, terop di sepanjang jalan sudah nampak terpasang. Barisan mobil parkir di sepanjang jalan. Ada juga mobil patwal. Menandakan kalau Dik Ketum PBNU dan Dik Menag sudah tiba. Protokol dan ajudan  nampak memenuhi halaman dan mondar-mandir atau duduk-duduk.

Di rumah Paklik Makin, saya menikmati sarapan dengan menu sambel terong dan tempe goreng. Ini adalah menu yang sangat melegenda di kalangan kami. Menu klangenan para keponakan Paklik Makin dan Bulik Lis. Menu yang sudah saya idam-idamkan dan membuat saya sengaja melupakan jatah breakfast di hotel pagi ini.

Setelah kenyang makan dan ngobrol, saya diantar adik saya yang manis, Dik Dealova Chua  sowan Bulik Muhsinah. Berjalan kaki saja, karena jaraknya hanya sekitar seratus meter  Sungkem dan mohon tambahan pangestu pada Bulik Sin, panggilan akrab Bulik Muhsinah, yang tetap cantik di usia beliau yang tentu tidak lagi muda. Bertemu dengan saudara-saudara, putra-putri dan menantu Bulik Sin. Gus Menag dan isterinya yang super segalanya, dik Eny Retno  . Dik Ummi Kaltsum Cholil Zalidj , dik Zaenab Cholil Qotsumah  , dik Faizah Cholil Tsuqoibak, Dik  Diyah Hanies dan sebagainya. Tidak berhasil ketemu Gus Yahya karena tamunya sedang bejibun. Gus Bisri Cholil Laqouf dan dik Hanies Cholil juga entah kemana, pagi itu saya tidak berhasil menemukan sosok nggantengnya. 

Dari kediaman Bulik Sin, saya diantar Dik Subhan kembali ke Hotel Fave. Lantas bersama staf dan driver menuju Kantor Dinas PMD Kabupaten Rembang. Bertemu Kadinas dan seratus lebih para Tenaga Pendamping Profesional.

Siang itu juga, saya menyempatkan diri bersilaturahim ke Pamotan. Bertemu dengan adik-adik sepupu dan para keponakan yang manis-manis. Dik Farizzah Nur Chayati , dik Nimas Diah Ayu , dan sebagainya. Disuguhi lontong tuyuhan dan sate kambing yang lezatnya pakai banget. Pulangnya masih dibawain keripik singkong dan emping jagung yang gurihnya sampai ke hati.


Sabtu, 13 Mei, gelaran ngunduh mantu itu dihelat. Sebenarnya undangannya pukul 10.00. Namun sejak pagi, tamu sudah mulai berdatangan. Beberapa sisi jalan ditutup karena akan ada banyak pejabat yang menghadiri acara tersebut. Setidaknya pejabat eselon dari Kemenag, jajaran pimpinan dan pengurus PBNU, para kepala daerah, serta para tokoh masyarakat, politikus, dan sebagainya.
 

Saya dan Mas Ayik Baskoro Adjie , Arga Barrock Argashabri Adji , Yoan Lita dan dua bocil Kakak Kai dan Adik Lumi, hadir lengkap di acara tersebut. Bagi kami, juga seluruh anggota keluarga besar Bani Siroj, momentum semacam ini tidak sekadar khurmat manten. Namun juga ajang silaturahim dan ngalap berkah. Maka berkumpullah kami Bani Tamam, Bani Basjiroh-Zawawi (saya dan saudara-saudara saya beserta anak cucu), Bani Karimah, Bani Mujab, Bani Wahab, Bani Sabiq, Bani  Makin, tumplek blek. Sempat juga bertemu Mbak Ienas Tsuroiya , puteri Kyai Mustofa Bisri, yang hari itu cantiknya manglingi, namun kami tidak sempat berfoto bersama. Tentu saja bahagianya dan hebohnya masyaallah. 

Dalam situasi penuh lautan manusia seperti itu, alhamdulilah dua bocil kami tidak rewel, meski kami sekeluarga tidak sempat berfoto bersama dengan mempelai. Selesai acara, setelah kembali ke hotel, saya cium dua bocil kami itu dengan penuh rasa sayang dan terima kasih, karena sudah bersabar membersamai kami dalam ajang silaturahim yang heboh tersebut. Semoga kelak mereka berdua dan anak turun kami semua menjadi ahli silaturahim seperti para leluhur kami. Amiin. 

Siang ini saya sudah kembali di Jakarta. Sebelum shubuh tadi, saya bersama staf berkendara dari Rembang menuju Semarang, untuk terbang dengan Garuda flight pukul 09.55. Sempat sarapan soto Pak Man yang porsinya kecil, cukuplah untuk mengawali perjalanan di hari ini. Semangkok kecil soto, dan beberapa tambahan pendamping, bakwan jagung, tempe goreng, keripik tempe, sate pentol, dan kerupuk. Hm.... 

Insyaallah besok saya akan mulai diet untuk menebus kealpaan saya beberapa hari ini.

 

Jakarta, 14 Mei 2023

Sabtu, 25 Maret 2023

Hari Desa Asri Nusantara


Tanggal 19-20 Maret yang baru lalu, kami memperingati Hari Desa Asri Nusantara di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar dan Wakil Presiden Kyai Ma'ruf Amin berkenan hadir. Kami semua pejabat eselon satu dan beberapa pejabat eselon dua di lingkungan Kemendesa PDTT juga hadir untuk ikut memeriahkan. PIC kegiatan ini adalah Ditjen Pembangunan Desa dan Perdesaan, sehingga Pak Dirjen Sugito Jaya Sentika adalah orang yang paling sibuk untuk mempersiapkan dan melaksanakan agenda besar tersebut.

 

Hari Desa Asri Nusantara ditetapkan oleh Kementerian Desa PDTT melalui Kepmendesa PDTT Nomor 110 Tahun 2022 tentang Hari Desa, untuk mengingatkan kita akan pentingnya desa yang Asri (Aman, Sehat, Rindang, dan Indah). Tujuan peringatan Hari Desa Asri Nusantara adalah untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap perubahan iklim. Selain itu juga untuk mewujudkan desa asri yang bersih, hijau, dan jauh dari pencemaran lingkungan. Juga untuk mengurangi risiko bencana di desa.

 

Acara seremonial Hari Desa Asri Nusantara dilaksanakan di Desa Makmur, Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan. Wapres, Menteri Desa PDTT, Gunernur Riau, Bupati Pelalawan, dan Forkopimda, secara simbolis melakukan penanaman pohon. Penanaman pohon juga dilakukan secara serentak yang diikuti oleh seluruh desa di Indonesia. Pohon yang ditanam sebanyak 8.508.327 pohon di seluruh Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan tema Peringatan Hari Desa Asri Nusantara, yaitu "Desa Menghijaukan Dunia".

 


Agenda lain dalam Peringatan Hari Desa Asri Nusantara adalah kunjungan ke PT APRIL (Asia Pacific Resources International Limited). Perusahaan ini merupakan salah satu penghasil pulp dan kertas yang terbesar, dengan teknologi terkini, dan konon terefisien di dunia. Produk yang dihasilkam antara lain kertas untuk mencetak dan menulis, tisu, tas belanja, kemasan makanan, majalah dan buku. Salah satu produk kertas yaitu PaperOne, dipasarkan dan dijual di lebih dari 70 negara di seluruh dunia. Bisnis dibangun berdasarkan kebijakan pengelolaan hutan berkelanjutan. Sebanyak sekitar 5.000 orang yang dipekerjakan secara langsung dan lebih dari 90.000 orang yang dipekerjakan secara tidak langsung, misalnya sebagai pemasok.

 

Sungguh beruntung kami bisa mengunjungi kawasan PT APRIL yang sangat mengagumkan. Kami bisa melihat lokasi dan bahkan kegiatan riset, pengembangan bibit secara massal di area pembibitan (nursery) hingga menghasilkan produk pulp dan kertas yang berkualitas dan berkelanjutan. Sebuah pengalaman yang sangat berharga dan berkesan.

 

Tidak kalah berkesannya adalah saat kami mengunjungi Desa Wisata Kuala Terusan dan kami menkmati makan siang di atas perahu (kucay) yang dikenal dengan tradisi "makan beranyut". Menu makan siangnya selain hidangan ikan, ayam, dan sebagainya, yang paling menonjol adalah udang galah yang besar-besar dan manis serta gurih, lezat sekali.

 



Sayang sekali di tengah-tengah kami menikmati hidangan dan sedang berada di atas sungai, hujan turun, dan tampiasnya membasahi punggung kami. Menikmati udang galah di tengah sungai, bersama Pak Menteri dan Ibu, Pak Dirjen Sugito dan Bu Dirjen Harlina, Bupati Pelalawan dan Ibu, serta teman-teman pendamping desa, dengan punggung basah, membuat Peringatan Hari Desa Asri Nusantara menjadi lebih berkesan.


 

Selamat Memperingati Hari Desa Asri Nusantara Tahun 2023. Mari kita jaga kelestarian alam.

Selasa, 14 Maret 2023

Ke Bogor

 


Kalau kemarin saya silaturahim ke rumah Mbak Nani Sujarwo untuk mengisi akhir pekan saya, hari ini saya menjadwalkan diri mlipir ke Bogor.

Berangkat pukul 08.00 dari apartemen, langsung Bogor. Kali ini bersama Mbak Tika dan Mas Ardi, tentu saja dengan Mang Atek, driver andalan.

Kunjungan pertama di rumah kakak di Kompleks IPB Sindangbarang, Mbak Prof Dindien dan Bang Palla. Lantas kami bareng-bareng ke perumahan Budi Agung, sowan Mbak Tatik dan Mas Prof Bowo. Kami sudah puluhan tahun tidak ketemu. Begitu ketemu, tahu-tahu sudah sama-sama tua. He he. Mbak Tatik sudah purna sejak 2020 yang lalu, dan Mas Bowo purna tahun ini. Keduanya dosen IPB, sama halnya Mbak Dindien dan Bang Palla.

Dari rumah Mbak Tatik, masih dengan Mbak Dindien dan Bang Palla, kami menuju RS Mulia, bezuk Mas Bambang yang sedang dirawat di ICU, semoga Allah SWT memberikan yang terbaik. Amiin. Di sini bertemu dengan Mbak Dien, isteri Mas Bambang. Bertemu juga dengan Mbak Jeane dan Mbak Wiwik. Mereka semua adalah kakak sepupu Mas Ayik Baskoro Adjie .


Dari RS, kami mampir makan siang di Rahayu, restoran yang tidak terlalu jauh dari RS. Dari sana, balik lagi ke rumah Mbak Dindien dan Bang Palla, numpang shalat, ngobrol-ngobrol sambil menikmati sukun kukus, pisang goreng, dan es kopyor.

Lantas kami pamit, dan menuju rumah Dik Farijah Nur Chayati , adikku yang manis dan imut. Rumahnya di Jalan Sholeh Iskandar. Ngobrol ngalor ngidul ngetan ngulon. Sekitar pukul 16.00, kami pamit.

Meluncur balik Jakarta. Semakin malam, kalau hari Minggu begini, macet yang semakin parah ada di mana-mana. Jadi sebelum terjebak macet berkepanjangan, kami ngibritlah.....

Alhamdulilah, menjelang maghrib sudah sampai apartemen lagi.

Saatnya anak kost ini untuk umbah-umbah dan setriko. Hehe.

Nana dan Nani


Akhir pekan ini, saya tidak pulang ke Surabaya. Stay di Jakarta saja. Setelah beberapa minggu mondar-mandir menyesuaikan dengan agenda dinas keluar kota yang berkejaran susul-menyusul, saya ingin minggu ini ada waktu untuk agak rileks. Ya, tentu saja sambil ngempet rasa kangen pada keluarga, terutama para cucu. Kalau kangen sama mbah-e cucu sih, sudah terlatih sejak dulu. Jadi tidak terlalu menyiksa. Hehe

Saya memanfaatkan waktu untuk bersilaturahim. Begitulah bila pada akhir pekan saya  berada di Jakarta. Sowan-sowan saja. Banyak saudara dan teman di Jakarta dan sekitarnya yang saya ingin kunjungi.

Hari ini saya berkunjung ke rumah Mbak Nani Sujarwo , ditemani Mbak Tika, staf Kemendes PDTT, dan Mang Atek, driver.  Mbak Nani adalah teman sekolah saya di SMP Filial Tuban dulu.

Mbak Nani mempunyai saudara kembar, namanya Mbak Nana Sundjojo . Sebetulnya nama mereka berdua adalah Susriratna (Nana) dan Susriratni (Nani). Nama di belakang nama mereka, untuk Mbak Nani adalah nama suami, sedangkan untuk Mbak Nana, adalah nama ayah.

Mbak Nani dan Mbak Nana, keduanya adalah teman SMP saya. Saya sendiri tidak pernah sekelas dengan mereka. Tapi hampir semua siswa di sekolah kami saat itu, mengenal mereka berdua.

Anak kembar memang selalu menarik perhatian dimana pun. Apa lagi mereka berdua, yang selain cantik, anggun, ramah, juga baik hati. Tidak sombong. Malah terkesan sangat rendah hati. Kesan itulah yang ada di benak saya tentang mereka berdua dulu. Dan kesan itu tidak berubah, sampai sekarang.

Dulu, saya tidak pernah bisa membedakan, yang mana Mbak Nani dan mana Mbak Nana, kalau mereka sedang sendiri-sendiri. Postur dan tinggi badan sama, model rambut sama, sama-sama berlesung pipit. Tetapi kalau mereka sedang berdua, saya bisa menyebut namanya dengan benar. Saya lupa, apa ciri khas keduanya, tapi itulah, saya hanya bisa mengidentifikasi dengan benar kalau mereka sedang berdua.

Nah, ternyata hal itu berlanjut sampai sekarang. Saya masih saja melihat mereka berdua sama persis. Bahkan karena saat ini kami jarang bertemu, saya semakin tidak bisa membedakannya. Tetapi karena Mbak Nana tinggal di Tuban, dan Mbak Nani tinggal di Jakarta, saya yakin, yang saya kunjungi pagi ini adalah Mbak Nani. Heheh.

Uniknya, Mbak Nani dan Mbak Nana sama-sama mempunyai hobi memasak, khususnya bikin kue. Saya pernah berkunjung ke rumah Mbak Nana di Tuban, saya disuguhi kue bikinannya sendiri. Sering juga kalau ada acara pertemuan dengan teman-teman, Mbak Nana membawa kue bikinannya. Kue yang enak-enak dan cantik-cantik kayak yang bikin.

Hari ini, di rumah Mbak Nani, saya disuguhi crepe mille dan pizza bikinan Mbak Nani sendiri. Lezatnya mantap. Sambil ngobrol, kami menikmati gurihnya pizza dan legitnya crepe mille. Ditemani segelas teh manis.

Pulangnya, kami masih dibawain sekotak pizza dan sepotong besar crepe mille. Wow. Benar-benar program penggendutan ini. Hehe. Cocok untuk anak kost kayak saya.

Alhamdulilah. Terima kasih ya, Mbak Nani. Berkah, berkah.

Jakarta, 11 Maret 2023

Rabu, 15 Februari 2023

Melihat Hotel Kapal di Hari BUM Desa

Kementerian Desa PDTT memiliki beberapa hari istimewa, antara lain Hari Lahir UU Desa pada 5 Januari, Hari BUM Desa pada 2 Februari, Hari Desa Asri Nusantara pada 21 Februari, Hari RPL Desa pada 3 Maret, Hari Desa Ramah Perempuan Peduli Anak pada 29 April, Gelar Desa Wisata pada 14 Mei, dan Gelar Teknologi Tepat Guna Nusantara pada 7 Juni. Hari istimewa yang lain adalah Hari SDGs Desa pada 14 Juli, Hari Desa Membangun pada 1 Agustus, Hari Keswadayaan Masyarakat pada 27 Agustus, Hari Bakti Pendamping Desa pada 7 Oktober, Hari Perempuan Desa Sedunia pada 15 Oktober, Hari Percepatan Pembangunan Daerah pada 17 November, Hari Bakti Transmigrasi pada 12 Desember. Ada juga waktu-waktu istimewa yang diperingati di sepanjang bulan, yaitu Bulan Padat Karya Tunai Desa pada sepanjang bulan Agustus, dan Gerakan Solidaritas Warga Desa pada sepanjang September.

 

Setiap hari istimewa itu tentu saja memiliki sejarahnya masing-masing. Hari Lahir UU Desa, misalnya, UU Desa termutakhir adalah UU Desa Nomor 6 Tahun 2014. Sejarah cikal bakal Undang-undang Desa lahir pada 18 Desember 2013 di Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Desa pada 15 Januari 2014. Maka jadilah tanggal 15 Januari 2014.

 

Hari BUM Desa terkait dengan penetapan PP Nomor 11 tentang Bumdes yaitu pada tanggal 2 Februari 2021, maka tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari BUM Desa.

 

Pada 1-3 Februari yang lalu, kami berada di Bintan dalam rangka memperingati Hari Lahir BUM Desa. Bintan, yang sebelumnya dikenal sebagai Kepulauan Riau, adalah salah satu kabupaten di provinsi Kepulauan Riau. Ibu kotanya adalah Bandar Seri Bentan. Perubahan nama ini dimaksudkan agar tidak timbul kerancuan antara provinsi Kepulauan Riau dan kabupaten Kepulauan Riau dalam hal administrasi dan korespondensi sehingga nama kabupaten Kepulauan Riau (Kepri) diganti menjadi kabupaten Bintan.

 

Hari BUM Desa di Bintan diisi dengan berbagai kegiatan, meliputi sarasehan, bazar dan pasar murah, jalan sehat, serta pesta rakyat. Menteri Desa PDTT, Wakil Menteri Desa PDTT, semua pejabat eseleon 1, dan beberapa pejabat eselon 2, serta staf, memenuhi hotel-hotel di Bintan. Begitu juga para peserta bazar, yaitu pengurus BUM desa beserta Kepala Dinas PMD Provinsi se-Indonesia. Masyarakat Bintan juga berbondong-bondong ikut meramaikan hampir semua acara, khususnya pada kegiatan jalan sehat, bazar, dan pesta rakyat. Penampilan Tri Suaka dan Nabila di panggung pesta rakyat semakin menambah kemeriahan.

 

Di antara agenda yang padat, kami menyempatkan diri untuk melihat-lihat Bintan, khususnya pada destinasi wisatanya. Sejak januari 2022, Bintan menjadi salah satu wilayah yang termasuk dalam skema gelembung perjalanan (travel bubble) antara Indonesia dengan Singapura. Bintan memiliki pantai-pantai yang indah dan menakjubkan. Juga pula-pulau yang berpenghuni maupun tak berpenghuni yang memiliki kecantikan alam yang luar biasa. Bintan juga memiliki banyak kuliner khas, antara lain otak-otak sotong, gonggong, dan sebagainya. Berbagai kekayaan tradisi dan budaya di Bintan juga sangat menarik dan membanggakan.

 

Salah satu destinasi wisata, yaitu Pulau Penyengat, tidak hanya memiliki keindahan alam, namun juga kaya jejak sejarah peradaban. Salah satu tempat yang tidak boleh ketinggalan untuk didatangi adalah kompleks makam petinggi Kerajaan Riau Lingga. Para petinggi itu adalah Raja Hamidah, Raja Ali Haji, Raja Ahmad, Raja Ja'far, juga Raja Haji Fisabilillah. Yang terakhir ini diabadikan menjadi nama bandar udara Bintan. Raja Haji Fisabilillah adalah panglima perang saat melawan Belanda, sedangkan Raja Hamidah adalah permaisuri yang mempunyai otoritas melantik sultan. Selanjutnya, Raja Ali Haji, sebagian besar kita pasti tahu, adalah pengarang Gurindam 12, cikal bakal bahasa Melayu dan bahasa Indonesia.  Raja Ali Haji adalah seorang pujangga dan sastrawan, dan sering disebut sebagai Bapak Bahasa Melayu.

 

Namun sayang sekali, karena keterbatasan waktu, saya belum memiliki kesempatan untuk mengunjungi Pulau Penyengat. Cukup mendengar cerita dari beberapa teman yang beruntung bisa mengunjunginya bersama rombongan Menteri. Saya bersama beberapa teman harus membersamai Bu Dirjen PEID untuk meramaikan acara jalan sehat.

 

Namun saya merasa cukup beruntung berkesempatan mengunjungi beberapa pantai, dan salah satunya yang sangat menakjubkan adalah Lagoi Beach. Pantai Lagoi yang indah ini dilengkapi dengan sebuah hotel berupa kapal. Kapal bersejarah itu Bernama MV Doulos Phos, yang berusia lebih dari seratus tahun, yang didatangkan pada tahun 2019. Sesuai dengan nama kapalnya, maka hotel kapal ini dinamakan Doulos Phos Hotel & Resort.

 

Doulos Phos Hotel & Resort menawarkan liburan menarik dengan pengalaman sangat unik di atas kapal, menggabungkan konsep hotel & resort dengan fasilitas di atas kapal dan di darat. Di darat ada kolam renang, spa, massage, restauran dan sebagainya. Hotel kapal ini memiliki 104 kabin, sebutan untuk kamar, dan memperkerjakan lebih dari 100 pekerja. Pengalaman lain yang diperoleh bila menginap di kapal hotel ini ialah kita bisa melihat langsung mesin kapal yang masih utuh.

 

Tiga hari di Bintan dengan agenda Hari BUM Desa yang padat tidak terlalu memberi keleluasaan kami untuk melakukan eksplorasi. Namun kesempatan yang sempit itu sungguh berkesan. Bintan layak dimasukkan dalam daftar destinasi wajib kunjung kembali.

Jumat, 27 Januari 2023

Nawawarsa UU Desa (3): Wilayah Perbatasan

Pagi ini, kami kembali menginjakkan kaki di Kupang, ibu kota Provinsi NTT. Sebagian dari kami langsung menuju Bandara Internasional El Tari, sebagian masih beristirahat sejenak karena penerbangan masih sore nanti, dan sebagian check in lagi di Hotel Aston, karena penerbangan masih besok pagi. Saya sendiri bersiap-siap melakukan perjalanan darat menuju Atambua.

Perjalanan ke Atambua sebenarnya sudah tidak termasuk rangkaian Peringatan Nawawarsa UU Desa. Itu hanya ide spontan saya saja yang sudah sejak lama ingin melihat wilayah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Berkali-kali ke Kupang, saya belum berhasil mencapai Atambua, ibu kota Kabupaten Belu. Tempat terjauh yang sudah saya capai baru sampai Timor Tengah Selatan (TTS), untuk meghadiri kegiatan pengembangan bumdes, bersama Kepala BPPMDDTT Denpasar dan Bupati TTS.

Ide spontan itu tidak lepas dari tawaran Kepala Dinas PMD Provinsi NTT, Bapak Viktor Manek. Saat international conference tempo hari, beliau menanyakan apakah saya sudah pernah mengunjungi perbatasan. Ketika saya jawab belum, beliau menawarkan diri untuk mengantar saya sekaligus mengunjungi para pendamping desa di Atambua. Tentu saja saya senang sekali. Tanpa pikir panjang, saya langsung meminta izin kepada Pak Sekjen, dan beliau mengizinkan. 

Sekitar pukul 13.00, kami berangkat. Ada tiga mobil, satu mobil Pak Kadis PMD dan stafnya, satu mobil Pak Kapus P3MD, Dr. Yusra, dan stafnya, dan satu mobil membawa saya bersama dua orang staf dan tentu saja, seorang driver. 

Selama sekitar enam jam kami melaju di jalan yang mulus, berkelok-kelok, naik turun. Hanya ada sedikit sekali beberapa bagian jalan yang rusak. Nawacita-nya Presiden Jokowi benar-benar kami rasakan wujudnya. Membangun dari pinggiran. Jalan-jalan di daerah 3T, terutama yang berbatasan dengan negara lain, adalah jalan-jalan yang mulus. Sebagaimana yang dikatakan Presiden Jokowi, wilayah perbatasan adalah berandanya NKRI, bukan halaman belakang. Sebagai sebuah beranda, maka infrastruktur dan pelayanan sudah seharusnya layak dan memadai, karena ini menyangkut harkat martabat bangsa sekaligus kewibawaan NKRI di mata dunia.


Kami tiba di sebuah hotel di Atambua saat matahari sudah tenggelam sempurna. Matahari Hotel, begitulah nama hotelnya, cukup memadai untuk kami beristirahat malam ini. Beberapa teman pendamping desa mengirimi kami nasi putih lengkap dengan ikan bakar, sambal dan lalapannya. Namun begitu saya melihat sate jeroan dan rasa sambalnya yang khas, saya langsung menebak, yang jual orang Lamongan. Dan ternyata benar. 

Orang Lamongan memang luar biasa. Di mana pun pergi, bahkan di pelosok-pelosok negeri pun, orang Lamongan ada. Mereka menjual soto lamongan, sego sambel atau penyetan, gorengan, dan lain-lain. Juga orang Jawa yang lain. Waktu di Rote kemarin, penjual bakso yang kami kunjungi berasal dari Sragen. Penjual jamu di Kupang, adalah orang Wonogiri. Saya pernah bertemu orang Lamongan yang jualan kue di Mamberamo Raya, Papua. Dan masih banyak lagi orang Jawa, termasuk orang Madura, yang bertebaran di mana pun di seantero Nusantara. Mereka eksis, kuat, dan bahkan bisa membuka lapangan kerja bagi banyak orang di sekitarnya, termasuk keluarga mereka di kampung asal.

Paginya, kami memulai kegiatan sekitar pukul 09.00, setelah menikmati sarapan dengan menu sederhana di restoran hotel, yang pelayannya perlu ditingkatkan keramahannya. Jalanan basah karena hujan baru saja reda. Gerimis kecil sempat menemani perjalanan kami menuju desa pertama yang kami singgahi. Namanya desa Kabuna, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu. Ada puluhan pendamping desa, yang  biasa disebut tenaga pendamping profesional (TPP), yang sudah menunggu. Juga kepala desa dan perangkat desa. Ada juga belasan anak sekolah, yang di antara mereka menyajikan tarian khas, namanya tari likurai. Tarian ini konon merupakan tarian untuk menyambut pahlawan yang pulang dari perang dan membawa kemenangan. Setelah menari, salah satu dari anak sekolah membacakan kata sambutan dalam Bahasa Inggris yang sangat bagus dan natural. Oya, sebuah kain tenun khas Atambua diselempangkan di pundak saya oleh Ibu Kades. Ini adalah kain tenun Atambua pertama yang saya terima. Hari itu, dalam kunjungan-kunjungan selanjutnya, saya menerima empat kain tenun yang cantik-cantik, secantik alam NTT dan orang-orangnya.

Ada yang menarik di Desa Kabuna ini. Dari banyak prestasinya, salah satu prestasi yang mengesankan bagi saya adalah sebagai juara pertama perpustakaan umum desa se-Provinsi NTT. Mungkin fasilitas perpustakaan bisa jadi dimiliki oleh banyak desa yang lain, namun Kabuna mampu menggerakkan dan meningkatkan minat baca masyarakatnya. Kepala Desa Kabuna, Adrianus Yoseph Laka, menjelaskan bahwa Perpustakaan Desa Kabuna bersifat inklusif, dimana pengujung tidak hanya membaca namun dapat mengaskses internet sebagai sumber informasi tentang segala hal. Menurutnya, perpustakaan harus mampu mengubah perilaku masyarakat. Dia memasang internet untuk menarik minat masyarakat. Dia juga melibatkan pendamping perustakaan untuk mengklasifikasikan pengunjung sesuai dengan jenjang sekolahnya, mulai dari PAUD, SD, SMP dan SMA, serta kelompok orang tua. Koleksi perpustakaan disesuaikan dengan kebutuhan pengunjung. Ada kegiatan pemberian tugas bagi mereka serta permainan-permainan, dan kemudian mereka diberikan waktu mengakses internet untuk menyelesaikan tugas-tugas. Tentu tugas-tugas yang diberikan adalah tugas-tugas yang bermakna dan bersifat kontekstual, terkait dengan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.

Kami juga menemukan salah satu makanan khas, yang sebenarnya berasal dari Timor Leste, yaitu roti paung. Roti yang berbentuk bun kecil ini teksturnya keras, mengingatkan saya pada roti perancis. Saya sendiri menyukai roti bertekstur keras, sehingga roti paung ini cocok di mulut saya. Menurut penuturan Pak Kadis PMD dan Bu Kades, yang kebetulan adalah dosen di Universitas Timor Atambua, roti ini memang asli dari Timor Leste. Di Atambua, yang membuat roti ini adalah orang-orang asli Timor Leste yang eksodus pada saat jajak pendapat dulu. Sebagai koloni Portugis, roti ini sangat mungkin peninggalan negara tersebut.

Selesai kegiatan di Desa Kabuna, kami menuju  Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain, yang merupakan perbatasan Indonesia-Timor Leste. Nah, akhirnya, cita-cita terpendam saya terwujud. Yaitu menjejakkan satu kaki di wilayah NKRI dan satu kaki di wilayah Timor Leste. Seperti yang pernah saya lakukan di Sebatik, satu kaki di NKRI dan satu kaki di Malaysia. Panas matahari yang sangat menyengat tak membuat surut langkah kaki untuk sedikit memasuki wilayah Timor Leste. Hanya beberapa meter saja dari pintu masuk perbatasan, karena tanpa passport, tentu saja kita tidak diizinkan untuk meneruskan langkah. Dan memang tujuan hari ini tidak untuk mengunjungi Timor Leste, namun untuk melihat seperti apa wilayah perbatasan ini.

Kami juga bertemu dengan orang-orang Timor Leste yang sedang memasuki wilayah Indonesia yang akan mengunjungi keluarganya di Atambua. Kami juga melihat sejumlah orang yang memberikan jasa penukaran uang rupiah dengan Dollar AS atau sebaliknya. Ya, sejak berpisah dengan Indonesia, mata uang resmi Timor Leste adalah Dollar AS. Berbagai pertimbangan terkait pemilihan mata uang ini tentu termasuk karena mata uang ini dianggap kuat dan stabil dan diterima di seluruh dunia. Meskipun begitu, berbagai mata uang yang lain juga beredar di Timor Leste, termasuk rupiah, bath (Thailand), escudo (Portugis), dan dollar Australia.

Kami berlama-lama di wilayah perbatasan, dan sempat menunaikan shalat dhuhur di mushalla kantor keimigrasian. Kami juga menyempatkan mengobrol dengan para penjaga yang kabanyakan masih muda dan ramah. Harapan pemerintah bahwa wajah wilayah perbatasan tidak hanya layak dan indah, namun juga layanan yang ramah dan prima, sepertinya terwujud di sini.

PLBN Terpadu Motaain merupakan salah satu dari 18 pos lintas batas negara yang dimiliki oleh Indonesia dan yang pertama kali diresmikan diantara lima PLBN lainnya yang berada di Provinsi NTT. Saya sendiri beberapa kali mengunjungi wilayah perbatasan, namun PLBN di Atambua ini merupakan PLBN kedua yang saya kunjungi. PLBN pertama yang saya kunjungi adalah PLBN di perbatasan NKRI dan Papua Nugini, di Skouw, Papua. PLBN selain melayani bidang keimigrasian, kepabeanan, karantina, keamanan, dan administrasi pengelolaan, juga menjadi sistem utama yang melayani aktivitas masyarakat perbatasan, khususnya yang berhubungan dengan lintas batas.

Dari Motaain, kami melanjutkan perjalanan lagi. Tentu saja menuju ke arah Kupang, namun kami masih singgah dulu di desa Naiola, Kecamatan Noemuti, Kabupaten Timor Timur Utara (TTU). Puluhan pendamping desa juga sudah menunggu di sana, meskipun hari sudah mulai sore. Kami berdialog tentang berbagai isu terkait dengan peningkatan kinerja TPP. Kami juga memberikan motivasi pada TPP untuk bekerja sebaik mungkin sebagai bentuk pengabdian dan kepedulian kita pada pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.

Senja mulai jatuh dan kami pamit untuk melanjutkan perjalanan menuju Kupang. Gerimis kecil menemani perjalanan kami membelah TTS menuju Kabupaten Kupang dan Kota Kupang, dalam balutan gelapnya malam. Kami mencapai Hotel Aston hampir tengah malam. Tubuh lelah, namun semangat tetap terjaga. Dini hari besok, kami harus sudah bergerak dari hotel menuju Bandara El Tari, dan terbang Kembali menuju Jakarta. 


Kupang, 16 Januari 2023

Kamis, 26 Januari 2023

Nawawarsa UU Desa (2): Rote Ndao, Sang Penjaga Kedaulatan NKRI

Sabtu pagi, sekitar pukul 08.00-10.00, kami berlayar menuju Rote dengan menumpang kapal cepat. Menteri desa dan ibu, wamen dan ibu, sekjen, semua pejabat eselon 1 dan 2, tim protokol, ajudan, dan pendamping, memenuhi kapal. Cuaca cerah, air laut tenang, hanya sesekali ada gelombang yang menggoyangkan kapal, mengayun-ayun, dan membuat kebanyakan kami tertidur pulas.

Saya duduk menatap keluar ke arah laut yang tak nampak lagi garis pantainya. Pikiran saya melayang pada hampir semua pengalaman melaut yang pernah saya alami. Saya pernah menaiki kapal cepat semacam ini dari Sorong menuju Raja Ampat. Waktu tempuhnya juga hampir sama, sekitar dua jam. Pernah menumpang Pangrango selama delapan-sembilan jam dari Saumlaki ke Pulau Babar, Maluku Barat Daya (MBD). Kembali dari Pulau Babar menuju Ambon, saya menumpang Feri Marseila selama sekitar sembilan belas jam. Terombang-ambing di atas Laut Banda yang airnya hitam kelam dengan ombak yang bergulung-gulung. 

Saya pernah juga menumpang speedboat dari Sarmi menuju Kasonaweja, Mamberamo Raya, Papua, selama tujuh jam mengarungi Sungai Mamberamo. Tujuh jam berada di atas speedboat yang lajunya menghentak-hentak keras, yang sesekali harus bermanuver untuk menghindari kayu-kayu besar yang merintangi. Pengalaman lain menaiki speedboat adalah saat mengarungi Pulau Banyak di Aceh Singkil, dan speedboat kami yang dikemudikan oleh Polisi Perairan (Polair) harus tiba-tiba berhenti di tengah laut karena ombak dan angin menghantam dari segala arah.

Namun dari semua pengalaman saya membelah lautan, berperahu nelayan dari Katundu menuju Pulau Salura, Sumba Timur, adalah pengalaman paling mendebarkan. Bagaimana tidak. Dengan perahu kecil, kami melaut di laut lepas. Tanpa pelampung. Dengan ombak yang bergulung-gulung dan kondisi hujan. Saking kecilnya perahu, setiap kali ombak menerjang, air laut masuk ke badan perahu dan kami harus mengeluarkannya dengan timba plastik. Sudah begitu, perahu sempat terhenti karena kehabisan bahan bakar, dan di mana bahan bakar disimpan, kami masih mencari-cari. Lantas saat menjelang merapat ke pantai, ombak besar menghadang sehingga perahu harus agak memutar untuk menepi dengan lebih aman. 

Sungguh semua itu menjadi pengalaman yang mungkin tak akan terlupa sepanjang hidup saya. Semua kisah tersebut saya tuangkan dalam website pribadi saya, www.luthfiyah.com.

Kapal cepat menuju Rote yang kami tumpangi saat ini bagai ayunan bayi yang meninabobokan. Tak heran kalau sebagian besar dari kami memilih tidur, memanfaatkan waktu karena lelah sebenarnya mulai menyapa. Sejak perjalanan Surabaya-Kupang dan berlanjut dua hari penuh mengikuti raker serta seharian mengikuti international conference, membuat kami seperti kurang istirahat. Maka tidur di kapal yang bergoyang-goyang kecil adalah kesempatan yang tak boleh terlewatkan. Bahkan terdengar dengkuran-dengkuran para penumpang yang kelelahan, bersaing dengan deburan ombak dan deru mesin kapal.

Menjelang kapal mencapai pantai, serombongan perahu nelayan menyambut kami. Perahu-perahu itu penuh dengan hiasan warna-warni. Pak Menteri dan kami semua melambai-lambai pada para pengemudi dan penumpang perahu-perahu kecil itu yang juga tengah melambai-lambai sambal memamerkan senyum ramahnya. 

Salah satu perahu yang paling kecil mengingatkan saya pada Salura, sebuah wilayah perbatasan antara Indonesia dan Australia. Perahu nelayan yang menggunakan motor, dengan suara mesin yang meraung-raung, serta asap hitam keluar dari cerobong kecilnya dan yang membuat hidung terasa berjelaga. Seperti itulah perahu yang saya gunakan untuk mengarungi Samudra Hindia menuju Salura beberapa tahun yang lalu.

Rote, pulau paling selatan ini, yang sangat panas, menyambut kami dengan segala keramahannya. Namun belum ada waktu untuk menikmati keindahan pantainya atau sekadar beramah-tamah dengan orang-orangnya, karena kami para pejabat eselon 1 harus mendampingi Menteri dan Wakil Menteri menuju titik nol kilometer selatan Indonesia. Jarak tempuh hanya sekitar satu jam, namun sekitar sepertiga jalan yang kami tempuh adalah jalan berbatu-batu, naik turun dan berkelok-kelok, membuat perjalanan seolah lebih lama. Meski tak bisa dipungkiri, betapa pemandangan selama perjalanan begitu menakjubkan. Ditambah lagi dengan pasukan pawai kuda berhias yang mengiringi rombongan saat memulai perjalanan, sungguh sebuah pemandangan yang sangat mengesankan. Pasukan berkuda itu mengenakan pakaian khas lengkap dengan ti’i langga, topi lebar khas Rote. 

Dan selalu, saya selalu merasa tergugah setiap kali berada di wilayah-wilayah perbatasan semacam ini. Berbagai macam perasaan berkecamuk, namun kecintaan pada negerilah yang menyeruak sangat kuat. Mata saya kabur saat menatap Sang Merah Putih berkibar-kibar di atas bukit karang, diantara bentangan laut dan pantai yang luar biasa indah. Keharuan dan kebanggan bercampur-aduk. Panas matahari yang sangat menyengat tak menyurutkan langkah kami untuk menaiki bukit dan mendekat. Menteri, Wakil Menteri, Pejabat Pemprov NTT, Pejabat Pemkab Rote, para pendamping desa, dan masyarakat setempat, memadati bukit berbatu-batu itu. Di tempat ini, Menteri Desa sempat membagikan buku untuk para siswa. Menteri Desa juga mendapatkan gelar adat, dan dalam prosesi pemberian gelar tersebut, Menteri Desa dan Wakil Menteri sempat berdialog dengan  kepala-kepala desa.

Setelah puas bercengkerama dengan titik nol, kami kembali berkendara. Kami menuju Kantor Bupati Rote Ndao, dan menikmati jamuan makan siang yang lezat. Dari semua hidangan yang disajikan, jagung bose merupakan hidangan yang sangat khas. Hidangan yang bahan pokoknya dari jagung dan kacang-kacangan serta dicampur dengan santan ini mempunyai rasa yang relatif netral, dan lazim digunakan sebagai makanan pokok. 

Sehari itu agenda padat sekali, berakhir sampai sekitar pukul 22.30. Pesta Rakyat yang digelar di Pelabuihan Ba’a dengan berbagai hiburan, termasuk penampilan Marion Jola, penyayi asli NTT, benar-benar menyedot ratusan atau bahkan ribuan masyarakat Rote Ndao dan sekitarnya. Pidato Peringatan 9 Tahun UU Desa yang disampaikan oleh Menteri Desa juga sangat menarik, karena dibawakan dalam bentuk monolog, dan dilengkapi dengan tayangan video dengan layar yang sangat lebar dan atraktif. Menarik dan mencerahkan. Pada saat-saat tertentu, kami yang duduk di kursi undangan, turun dan menuju panggung untuk menyanyi dan menari bersama. Kami semua mengenakan busana adat Rote, sehingga sangat menyatu dengan masyarakat dan alam Rote. Kegembiraan kami semua sangat terasa pada malam yang kebetulan juga sangat cerah itu.

Meski agenda sangat padat, saya sempat bertemu dengan beberapa guru yang merupakan alumni SM3T dan PPG Unesa, yang sudah sekitar delapan tahun bertugas di Rote Ndao. Mereka adalah anak-anak muda yang luar biasa, yang menjadi guru melalui rekrutmen guru garis depan, dan memilih Rote sebagai tempat pengabdian mereka. Tentu saja mereka semua sudah berkeluarga, sebagian besar sudah memiliki anak, sudah memiliki rumah, dan bahkan sudah ber-KTP Rote Ndao. 

Kami mengakhiri malam itu dengan semangkuk bakso yang kami nikmati di pusat jajanan yang berlokasi di seberang hotel New Ricky, hotel tempat kami menginap. Bersama seorang guru yang saya pernah mengajarnya saat dia menempuh PLPG, dan mengingat saya karena saya pernah memberinya sebuah buku hasil tulisan saya sendiri. Rote Ndao tetap saja terasa hangat meski malam sudah semakin larut, namun selepas tengah malam, hujan turun meski hanya sebentar. Setidaknya ada kesejukan yang mengantar istirahat kami malam ini. Besok pagi, kami akan kembali mengarungi lautan menumpang kapal cepat menuju Kupang, meninggalkan Pulau Rote, Sang Penjaga Kedaulatan di Gerbang Selatan Indonesia.


Rote Ndao, 14 Januari 2023