Pages

Minggu, 23 Oktober 2016

Dompu (1): Potret Buram Guru Profesional

GARUDA tipe Bombardier membawa saya terbang dari Surabaya menuju Lombok Praya. Cuaca cerah dan panas saat saya memasuki pesawat beberapa menit yang lalu, namun udara sejuk di dalam pesawat begitu saja mengantarkan saya dalam tidur yang lelap. Saya terbangun setelah pramugari membagikan kotak kue dan terlelap lagi tanpa menyentuhnya, sampai pesawat menjelang mendarat. Hm, nikmatnya tidur. Anda harus bersyukur jika Anda termasuk orang yang di mana pun bisa tidur. Itu akan sangat membantu Anda untuk menghemat energi guna keperluan lain yang mungkin sudah menunggu.

Lombok mendung tapi tidak hujan. Bandara sepi dan cenderung lengang. Saya memasuki lounge, menikmati makan siang. Saya hanya transit saja di sini. Pukul 14.35 nanti saya akan melanjutkan penerbangan menuju Bima.

Rupanya Garuda sangat tepat waktu hari ini. Kurang 5 menit dari waktu boarding, penumpang sudah dipanggil untuk masuk pesawat. Kurang dari 10 menit, pesawat bahkan sudah mendarat di Bandara Sultan Muhammad Salahuddin,  Bima.

Dr. Nuril, pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu, telah menunggu saya begitu saya keluar dari pintu terminal. Tidak hanya itu. Arif, Anas, dan Suherman, wajah-wajah yang sudah sangat saya kenal itu, juga telah ada. Mereka adalah alumni peserta PPG-SM-3T angkatan pertama. Seperti ingin menumpahkan rindu, saya jabat tangan mereka erat-erat, begitu juga mereka.

Saya masuk ke mobil Pak Nuril yang menjemput saya bersama anaknya. Saat mobil bergerak keluar dari bandara, ketiga anak muda tadi mengikuti kami dengan sepeda motor mereka. Sebelum sampai hotel Marina, tempat saya menginap selama di Bima, kami sempat berhenti di pinggir jalan. Makan jagung rebus yang warnanya putih dan punel serta manis asin. Juga minum kelapa muda yang hijau ranum seperti baru saja dipetik.

Hotel Marina lumayan bagus, sejuk dan bersih. Namun saat ini saya tidak terlalu tertarik untuk menikmati  kenyamanannya sebelum menyelesaian urusan dengan Pak Nuril. Besok siang adalah kedatangan Peserta Program SM-3T angkatan ke-6. Ada 58 orang dengan dua pendamping. Saya perlu memastikan transportasi, konsumsi, kepala sekolah, dan susunan acara penerimaan besok siang, sudah siap semua. 

Peserta SM-3T itu dari UNY,  bukan Unesa. Keberadaan saya di sini adalah dalam rangka melaksanakan tugas dari Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan Nasional, sebagai tim pendamping yang mewakili GTK. Oleh sebab itu, saya sengaja datang mendahului rombongan untuk memastikan semuanya, mengingat Dompu baru pertama kali ini ditempati sebagai wilayah penugasan Program SM-3T.

Selesai berdiskusi dengan Pak Nuril, saya bersama empat anak muda, karena Asbur--alumni PPG SM-3T yang lain  juga bergabung,  menghabiskan senja dan malam hari sambil makan jagung rebus dan jagung bakar di Jalan Panda. Juga menikmati bakso Manalagi di pusat Kota Bima. Suasana bahagia karena bertemu mereka, berbaur dengan kepedihan mendengarkan kisah hidup mereka selepas dari Program PPG.

Dua dari mereka saat ini telah menjadi guru. Bukan PNS atau GTT (guru tidak tetap), tetapi masih sebagai guru honorer. Ada yang mengajar di tiga sekolah, ada yang di dua sekolah. Salah satu dari mereka awalnya juga mengajar, namun tidak mampu bertahan dengan desakan kebutuhan ekonomi keluarga. Akhirnya yang mereka lakukan adalah bekerja apa saja, bercocok-tanam, beternak, berjualan kecil-kecilan, bahkan ngojek. 

Bagaimana tidak. Honorarium sebagai guru sungguh mencengangkan. Diterimakan setiap 3 bulan sekali dengan besaran sekitar 100 sampai 150 ribu. Ya, tiga bulan. Tak terbayang entah bertahan untuk berapa lama uang sebanyak itu.

Betapa rendah penghargaan pada profesi guru. Tidak hanya itu. Kalau Anda ingin menjadi guru honorer di sebuah sekolah, biarpun ANda sudah memiliki sertifikat profesi, Anda harus merelakan sejumlah uang agar bisa diterima. Jumlahnya sekitar tiga sampai empat juta. Dengan uang masuk sebesar itu, Anda belum tentu memperoleh jam mengajar. Uang itu sekadar jaminan bahwa nama Anda tercatat sebagai guru di sekolah tersebut. Artinya, Anda belum tentu dapat honor mengajar. Bagaimana bisa dapat honor kalau jam mengajar saja tidak ada?

Saya seperti tidak percaya dengan cerita itu, meski sebenarnya ini bukan cerita pertama yang saya dengar. Tapi anak-anak muda ini tidak mungkin berbohong. Mengarang cerita hanya untuk membuat alasan kenapa mereka tidak mengajar. Padahal negara telah menginvestasikan mereka selama dua tahun. Satu tahun di tempat pengabdian dan satu tahun di pendidikan profesi. Sertifikat guru profesional yang mereka perjuangkan ternyata tidak cukup sakti untuk memperoleh sekadar tempat mengajar.

Malam semakin larut, dan saya diantar kembali ke hotel oleh Arif dan kawan-kawan. Untuk mereka berempat, saya memberi sekadar oleh-oleh makanan dan buku, sebagai tanda ingat. Tentu saja mereka sangat berterima kasih meski mungkin apa yang saya bawakan itu tidak terlalu berharga. Sebelum mereka pergi meninggalkan hotel, saya titipkan salam saya untuk keluarga mereka. 

Pukul 22.00 di Bima. Malam yang berangsur sepi mengantarkan saya pada tidur yang gelisah. Bayangan kisah anak-anak saya tadi, yang harus berjuang untuk menghidupi keluarganya dengan kerja keras semacam itu, sungguh di luar dugaan saya. Terbayang juga selembar kertas bernama sertifikat guru profesional yang mereka peroleh satu dua tahun yang lalu. Perjuangan mereka di daerah 3T, serta ketekunan mereka menempuh PPG. Untuk apa semua itu? Tak adakah ruang bagi mereka agar bisa mengabdikan diri di dunia pendidikan dengan segala kesungguhan dan kompetensinya? Tentu saja dengan penghargaan yang selayaknya?

Perlu perjuangan panjang untuk mengakhiri potret buram dunia pendidikan ini rupanya. Di mana pun, tidak hanya di Bima dan Dompu, bahkan juga di kota-kota besar di negeri ini, praktek semacam itu masih banyak mewarnai.


Dompu, 4 September 2016

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...