Pages

Sabtu, 29 Oktober 2016

Dompu (2): Bernego dengan Driver Bandara

Siang yang terik menyambut kedatangan para peserta SM-3T UNY beserta pendampingnya. Waktu menunjukkan pukul 13.15. Bandara Sultan Muhammad Salahuddin, Bima, seketika ramai. Penumpang pesawat baling-baling itu menyeruak memasuki gedung terminal yang tidak terlalu luas itu. Sebagian besar mereka adalah anak muda dengan rompi berlabel SM-3T. 

Bersama Pak Nuril dan stafnya, saya menghampiri Prof. Sukirno, pendamping dari UNY, yang nampak lelah. Perjalanan dari Yogyakarta sejak sekitar pukul 7.00 pagi tadi pasti telah menyita energi beliau karena harus mengurus puluhan calon guru itu. Sebagian besar mereka belum pernah naik pesawat, sehingga satu-satunya pendamping itu harus memandu mereka mulai dari check in, boarding, mengurus makanan mereka, mengawasi mereka yang mabuk, hingga  tiba di Bima ini. Sebenarnya masih ada satu pendamping lagi, Pak Marsidi, staf bagian keuangan UNY. Namun beliau harus mendampingi lima peserta SM-3T yang belum terangkut pada penerbangan ini. Mereka akan terbang menumpang pesawat Garuda dan diprediksi akan tiba di Bima sekitar pukul 16.00 sore nanti. Ya, meski sebenarnya jatah pendamping yang dialokasikan oleh GTK hanya satu orang, namun situasi mengharuskan Koordinator SM-3T UNY untuk memberangkatkan satu orang pendamping lagi. Mereka khawatir, bila lima peserta yang tertinggal itu tidak didampingi, para peserta tidak bisa sampai di tujuan, mengingat mereka belum pernah pergi jauh dengan menumpang pesawat.

Prof. Sukirno menyerahkan beberapa map pada saya. Map itu berisi surat untuk bupati dan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kabupaten Dompu. Juga ada daftar hadir peserta serta berkas berita acara serah terima. 

Prof. Sukirno benar-benar nampak lelah. Ternyata beliau belum sempat makan sejak pagi. Jatah makan pagi dari GTK di Bandara Adisutjipto Yogyakarta tadi pagi hanya pas untuk para peserta. O tidak. Ini pasti telah terjadi miskomunikasi antara GTK dengan penyedia jasa makanan. Mana mungkin para pendamping tidak diberi jatah makan pagi, sementara mereka harus mendampingi peserta sejak pagi?

Belasan driver berkerumun di depan pintu keluar, bersemangat menunggu calon penumpang mereka. Mereka menggerombol, kasak-kusuk, gelisah, mondar-mandir seperti tidak sabar. Di dalam terminal, para porter berusaha berebut mengangkat bagasi para peserta SM-3T yang tentu saja sangat banyak. Kami berusaha menghalangi para porter, tapi tentu saja tidak mudah. Mereka memaksa membawa troli-troli penuh bagasi itu, dan nampaknya akan tersinggung bila dilarang. Untung hanya dua porter. Belasan porter yang lain bisa dipahamkan, bahwa anak-anak muda itu harus mengurus bagasi mereka masing-masing.

Sementara itu, para driver mulai tahu bahwa puluhan penumpang yang sebagian besar berseragam itu tidak akan menggunakan jasa mereka. Dua buah bus besar telah menunggu di luar halaman bandara. Bus antar kota antar provinsi. Biro travel setempat yang bekerja sama dengan biro travel di Jakarta yang ditunjuk GTK, telah menyediakan dua armada bus tersebut.

Suasana tak nyaman langsung terasa. Beberapa driver sudah mulai gerah. Mereka membiarkan para peserta SM-3T bergerak menuju bus dengan membawa troli-troli penuh bagasi, namun para driver sepertinya tidak akan membiarkan begitu saja bus bergerak meninggalkan mereka begitu saja. 

Salah seorang driver, nampaknya pimpinan mereka, bertanya pada saya, "Ibu ketua rombongankah?" Saya jawab, "tidak". 

Pak Nuril juga ditanya, "kenapa  tidak menggunakan mobil bandara?"

Saya dan Pak Nuril mencoba memahamkan mereka, bahwa dua bus besar tersebut bukan atas keputusan kami. Semua sudah diatur GTK dengan biro travel di Jakarta dan di daerah, kami tinggal memanfaatkannya saja. 

Alih-alih mereka paham. Suasana justeru semakin memanas, sepanas terik matahari yang siap membakar amarah mereka. Salah satu dari mereka meminta supaya mereka bisa bicara pada petugas dari biro travel penyedia bus. Saya yang sengaja membaurkan diri di kerumunan para driver yang sedang bergolak itu menuruti permintaan mereka. Saya menelepon biro travel Jakarta, dan meminta disambungkan dengan biro travel lokal. Saya menjelaskan, para driver bandara marah dan mungkin akan memboikot dua armada bus yang akan mengangkut peserta SM-3T. 

Petugas biro travel bertanya, apakah ada polisi di sekitar saya. Saya jawab, "ada. Dua orang. Sejak tadi. Tapi sepertinya kedua polisi itu tidak bisa berbuat banyak. Harus travel yang menjelaskan."

"Baik, Bu. Kalau begitu saya coba bicara sama ketua drivernya."

Ponsel saya serahkan ke pimpinan driver yang wajahnya sudah merah padam. Sementara dia bicara dengan petugas biro travel, saya dan Pak Nuril berunding.

"Prof, mereka tidak akan buyar sebelum dikasih uang." Kata Pak Nuril.
"Maksudnya?"
"Kita keluarkan saja uang sekadarnya untur porter dan driver. Kita bilang saja untuk  uang rokok."
"O begitu. Oke."

Maka atas inisiatif Pak Nuril, kami pun mengeluarkan sejumlah uang. Tidak banyak. Benar-benar sekadar uang untuk rokok. Tapi prediksi Pak Nuril tepat. Sekejap saja para driver itu sudah agak tenang, dan dengan segala pengertian, mereka menyerahkan ponsel saya yang tadi dipakainya untuk berkomunikasi dengan petugas biro travel.

Kami pun memasuki mobil. Para driver pun membiarkan dua bus besar bergerak. Lega. Hampir satu jam kami bersitegang tadi, dan entah mengapa, saya justeru sengaja menceburkan diri di tengah-tengah orang-orang yang kemarahannya sudah di ubun-ubun itu. Dengan segala pikiran positif saya, saya yakin keberadaan saya di antara mereka akan mendinginkan suasana. Setidaknya, mereka akan berpikir panjang untuk melakukan tindakan nekad. Ada seorang ibu yang sedang mencoba dan mengharap pengertian mereka, dan meminta maaf atas semua yang terjadi, serta berjanji akan lebih mempertimbangkan keberadaan mereka untuk waktu-waktu yang akan datang.  

Begitu mobil bergerak menuju Kabupaten Dompu, saya mengeluarkan beberapa botol air mineral dari tas saya. Prof. Sukirno nampak pucat dan kehausan, dan saya benar-benar tidak tega melihat keadaannya.

"Prof, kita makan dulu?"
Prof. Sukirno ragu.
"Tapi..." saya melanjutkan sebelum beliau berkata sepatah pun. "Jam empat kita ditunggu untuk acara penerimaan peserta di kabupaten." Saya sambil melihat jam, begitu juga Prof. Sukirno. "Waktu tinggal satu jam, kita langsung saja ya?"

Tentu saja Prof. Sukirno setuju. Tidak ada pilihan. Saya mengeluarkan kue dari tas saya dan menyilakan beliau untuk menikmati kue itu sekadar mengganjal perut.

Perjalanan dari Bima ke Dompu memerlukan waktu sekitar satu jam. Tidak terlalu lama. Apa lagi dengan pemandangan laut yang indah di sepanjang perjalanan. Kelapa muda bertumpuk-tumpuk di beberapa titik, juga jagung rebus yang warnanya putih. Sayang kami tidak mempunyai waktu untuk sejenak duduk-duduk menikmati sepotong jagung rebus dan segelas kelapa muda dengan ditemani semilir angin pantai. 

Apa boleh buat. Acara di kabupaten tentu saja tak mungkin ditunda hanya untuk menunggu kami menikmati pantai. Biarlah keinginan itu tersimpan sampai saatnya besok untuk mewujudkannya.

Bima, 5 September 2016

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...