Mendung tebal menggayut di
langit. Angin berhembus kencang, suaranya mendesis-desis. Batang dan ranting
pohon sonokembang bergoyang-goyang, sebagian daunnya berguguran. Sebentar saja
halaman gedung rektorat telah basah. Suasana yang sejenak tadi sejuk, berubah menjadi
agak menakutkan. Hujan di bulan Desember. Berangin, penuh dengan kilat dan
petir. Menyambar-nyambar di langit yang gelap.
Lula memarkir mobilnya dengan
tergesa. Meraih tas laptopnya, payung, dan membuka pintu mobil, menghambur ke
teras gedung. Uff. Payungnya tersenggol sesuatu—tepatnya—seseorang.
“Maaf.” Kata pertama yang spontan
meluncur dari mulutnya. “Maaf, tidak sengaja.” Dia anggukkan kepala pada
laki-laki di depannya, dan tersenyum. Tapi senyumnya begitu saja menggantung.
Senyum laki-laki di depannya juga.
“Dik Lula?” Sapa laki-laki itu.
Desiran halus begitu saja mengalir
di dada Lula. Sejenak. Karena dia harus cepat
menguasai perasaan. Dia segera meraih tangan yang mengulur di depannya. Menyalaminya,
masih dengan perasaan berkecamuk yang dia coba untuk menenangkan.. “Mas Gilang? Kok ada di sini, Mas?”
“Ya. Ada rapat. Diundang Rektor.
“Oya? Rapat apa?”
“Pembentukan panitia Forum Ilmiah
Ikatan Alumni”.
“O, begitu.” Lula manggut-manggut.
Mengusapkan tisu di mukanya yang sedikit basah karena air hujan. Laki-laki itu,
Gilang Susanto, memandanginya dengan perasaan yang sama berkecamuk. Dua puluh
tahun. Tak disangka bertemu lagi. Dan perempuan itu, Lula Amanda, tidak banyak
berubah. Masih saja manis. Meski ada yang berbeda. Rambut hitam dan ikalnya
yang dulu terurai, sekarang tertutup rapat dengan kerudung merah hati. Senada
dengan busana kerja yang membungkus tubuhnya yang ramping. Masih seperti dulu.
“Saya duluan ya, Mas. Ditunggu rapat
di PR 3”.
“O ya, ya.” Gilang terjaga. Tetap
dengan pandangan yang belum lepas dari wajah Lula, yang bergegas pergi. Rasanya
dia ingin menahan perempuan itu, mengajaknya ngobrol, sejenak saja, untuk
melepaskan perasaan yang tiba-tiba menggumpal di benaknya. Tapi dia tidak mempunyai
keberanian. Karena dia sendiri tidak memahami perasaan itu. Rasa yang begitu
lama tidak pernah menghinggapinya, sejak dua puluh tahun. Saat ini, ketika
usianya menjelang empat puluh lima tahun, mendadak rasa itu mengusiknya.
Lula menaiki tangga. Ruang PR 3 ada
di lantai dua. Dia sedang ditunggu untuk acara technical meeting Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa. Dia harus ikut memberikan
pengarahan untuk acara yang dua hari lagi akan digelar itu. Setumpuk karya
tulis sudah menunggu untuk dibacanya.
Tapi pertemuan satu dua menit
tadi, lebih mendominasi pikirannya.
Gilang—meski hanya sebentar pernah
mengisi hatinya, dulu—tak urung sempat membuat jantungnya berdesir halus. Tidak
pernah dia bayangkan bisa bertemu lagi. Meski sebenarnya Gilang bekerja di kota
yang sama, namun seolah laki-laki itu tenggelam ditelan waktu. Sesekali pernah
terbersit Lula ingin bertemu, hanya untuk tahu keadaannya, atau sekedar
bertegur sapa. Kalau dia mau, tentu tidak sulit melakukannya. Teman-temannya
banyak yang mengajar di perguruan tinggi yang sama dengan Gilang. Sekedar untuk
mengetahui nomer telepon genggam Gilang, bukanlah hal yang sulit. Tapi Lula
merasa tidak pantas, merasa tidak perlu. Bukan karena takut membangkitkan
perasaan yang pernah ada, namun lebih karena dia ingin menghormati suaminya. Dengan
alasan itu jugalah dia menolak tawaran temannya untuk membantu mengajar di
perguruan tinggi itu. Dia tidak ingin Anggoro, suaminya, merasa tidak nyaman
karena dia bekerja di satu institusi dengan Gilang.
Kabar
terakhir yang didengarnya dari seorang teman, Gilang merupakan kandidat Guru Besar
yang pertama di jurusannya. Hebat. Dari dulu, Gilang memang hebat. Gilang yang angkatannya
setahun di atas Lula itu adalah fungsionaris mahasiswa yang aktif di dalam
lingkungan institut maupun di luar institut. Agamis dan idealis. Juga cerdas. Penampilannya
lugu, bicaranya lugas. Gilang sangat menonjol dalam forum-forum ilmiah
mahasiswa. Dan sebagai pemimpin redaksi media mahasiswa, kecerdasannya juga
nampak dari tulisan-tulisannya. Meskipun begitu lugu, Gilang
bisa menjadi sangat mengagumkan karena kecerdasannya.
“Selamat siang, Bu Lula.”
“Oh, siang.” Lula agak terkejut,
terjaga dari lamunannya. Pak Hardi, staf PR 3, menyapanya ramah. “Saya tidak
terlambat kan, pak?”
“Tidak, Bu. Silahkan makan siang
dulu, sudah disiapkan.”
Lula mengambil tempat duduk.
Menyalami pak Fuad dan bu Merry yang sudah lebih dulu duduk. Meraih nasi kotak
di depannya. Hm, ayam goreng lalap. Cocok untuk perutnya yang lagi lapar.
*
Lula tertegun membaca surat Gilang,
meski sebenarnya dia sudah menduga hal itu akan terjadi: Gilang menyatakan
cintanya. Sikap Gilang yang belakangan agak lain, dapat ia rasakan bahwa Gilang
memiliki perasaan khusus. Meski Gilang tidak pintar mengungkapkannya, Lula tahu
laki-laki itu jatuh hati padanya.
Dan Lula bertanya pada diri sendiri,
cinta jugakah aku pada Gilang? Lula tidak tahu. Yang jelas, dia sangat mengagumi
Gilang. Sebagai seorang gadis dua puluh tahun, dia sudah memiliki gambaran tentang
laki-laki ideal untuk pendamping hidupnya kelak: agamis dan cerdas. Soal
penampilan tidak terlalu penting, asal lebih tinggi dari dia yang tingginya 162
centi meter. Dan Gilang memenuhi semua kriteria pria idaman yang diangankannya.
Oleh sebab itu, rasanya tidak akan sulit mencintai Gilang. Maka ketika Gilang
meminta jawabannya, meski tidak yakin, Lula memberanikan diri mengatakan: “Okelah,
mas Gilang, kita coba jalan. Saya tidak yakin dengan perasaan saya, tapi saya
akan belajar mencintai.”
Belakangan, jawaban itu
menyelamatkan Lula ketika dia harus memutuskan meninggalkan Gilang, dan
berpaling kepada Anggoro. Tiga bulan. Hanya tiga bulan Lula bertahan dengan
usahanya untuk belajar mencintai Gilang. Usaha yang ternyata sia-sia. Anggoro
sedikitpun tidak memberinya kesempatan untuk itu. Dengan segala daya upaya,
Anggoro berusaha keras merebut hati Lula. Menyita hampir seluruh waktunya untuk
membuat Lula tidak berpikir yang lain kecuali memikirkannya. Tidak peduli
Gilang yang seolah berdiri di atas bara panas.
“Beri kesempatan aku untuk belajar
mencintai mas Gilang, mas. Tolonglah. Jangan datang-datang lagi. Aku sudah
berjanji, aku akan belajar mencintainya.” Pinta Lula pada Anggoro, di suatu
sore, ketika untuk kesekian kalinya, Anggoro menyatakan cintanya.
Tapi Anggoro hanya menggeleng, tak
peduli. “Tidak. Aku tidak bisa.” Dia menggelengkan kepala lagi. “Aku terlanjur
sangat, sangat mencintaimu.” Matanya menatap Lula tajam untuk meyakinkan.
Dan Anggoro terus mengunjungi Lula.
Melimpahinya dengan perhatian dan kelembutan. Memenuhi buku catatan kuliahnya
dengan puisi-puisi cinta. Membawakannya sekantong melati yang harumnya semerbak
menyebar di segala penjuru ruang kamarnya. Menemaninya di perpustakaan.
Menghadiahinya dengan buku-buku Kahlil Gibran yang sangat dikagumi Lula.
Nama Gilang semakin terkikis dari
hati Lula. Semakin ia ingin menjangkau, semakin jauh saja rasanya. Gilang yang
idealis, meminta Lula untuk meninggalkan aktivitasnya di Mapala. Menuntutnya untuk
tidak mendaki gunung, caving, rock
climbing, dan segala aktivitas yang menurut Gilang tidak pantas dilakukan
oleh seorang wanita. Memintanya untuk membatasi pergaulan dengan teman-teman
yang di mata Gilang akan memberi pengaruh tidak baik. Mengharuskannya untuk
mengerti bahwa dia tidak bisa setiap saat bersama Lula, karena dia punya banyak
kesibukan di berbagai organisasi.
Lula akhirnya harus memilih. Dan
pilihan itu jatuh pada Anggoro. Orang yang tidak punya kelebihan apapun dibanding
Gilang, kecuali bahwa Lula lebih mencintainya. Gilang yang cerdas dan idealis
adalah sosok yang sangat dingin baginya. Sosok yang tidak mampu memberinya rasa
aman ketika sedang berjalan bersama. Sosok yang tidak pernah bisa membuat hati Lula tersentuh oleh
kata-katanya, oleh perhatiannya. Sekeras apapun Lula berusaha mencintai,
ternyata tidak berhasil. Baru disadarinya, sebagai perempuan, dia tidak hanya
butuh laki-laki yang agamis dan cerdas. Lebih dari itu, dia membutuhkan
perhatian, perlindungan, dan rasa aman. Dan semua itu ada pada Anggoro.
Gilang pun terluka. Sangat. Lula
sendiri sungguh tidak menduga Gilang akan seterluka itu. Sosoknya yang selalu tegar
dan cenderung angkuh mendadak luruh hanya dengan beberapa kalimat Lula: “Maafkan
aku, mas Gilang. Aku tidak bisa. Aku tidak berhasil belajar mencintai mas.
Maafkan aku. Kita jalan sendiri-sendiri.”
Gilang seperti tidak percaya, meski
sebenarnya dia lamat-lamat bisa merasakan, Lula tak penah serius belajar
mencintainya. Lula terlalu sibuk dengan perhatian orang lain, yaitu Anggoro. Setiap
kali Gilang datang mengunjungi Lula di sela-sela kesibukannya, Anggoro hampir
selalu ada bersama Lula. Meski Gilang tahu Anggoro adalah senior Lula di
Mapala, tapi dia juga tahu mereka bertemu tidak untuk urusan organisasi. Maka bagai
harimau yang terluka parah, Gilang bertanya:. “Apa karena ada orang ketiga?”
Lula terkejut, tidak menyangka
Gilang akan bertanya seperti itu. Dia menatap Gilang. Mata laki-laki itu berembun.
Oh, batu karang itu menangis. Lula telah mencabik-cabik hatinya. Membuatnya
jatuh tersungkur dari ketinggian yang tak pernah dibayangkannya. Terpuruk,
sakitnya luar biasa. Lula juga ingin
menangis merasakan darah yang mengucur deras dari luka hati Gilang. Tapi dia
harus berkata jujur. “Mas Anggorokah maksud mas?” Tanyanya. Dan dia menguatkan
hati. “Ya.”
Sejak itu, Gilang seperti terbawa
angin. Hilang ditelan bumi. Pergi membawa cintanya ke tempat di mana dia bisa
menyibukkan diri. Membunuh waktu untuk bisa melupakan Lula. Andai bisa, dia
ingin mencuci otaknya. Agar kenangan tentang Lula terbuang sama sekali dari
benaknya. Sampai suatu saat dia akan menemukan tambatan hati yang lain.
Tiga tahun bersama, akhirnya Lula
pun disunting Anggoro. Saat itu, Lula bahkan sama sekali tidak teringat Gilang.
Cara Anggoro mencintainya tak membuka peluang sedikitpun bagi Lula untuk
memikirkan orang lain. Anggoro telah merebut hatinya. Utuh-utuh. Dan menutupnya
rapat-rapat untuk hadirnya cinta yang lain. Sekarang,
setelah hampir dua puluh tahun pernikahan itu, dengan seorang anak semata
wayang hasil buah kasih, perhatian Anggoro nyaris tidak berubah. Sikapnya yang
melindungi, penuh perhatian, semakin sarat sejalan dengan usianya yang semakin
matang. Anggoro yang romantis selalu memenuhi hari-harinya dengan ungkapan
sayang, penuh perhatian bahkan untuk hal-hal kecil, tak pernah lupa memberinya
bingkisan dan kado—meski hanya sebuah puisi—untuk hari-hari istimewa. Membuat
Lula merasa menjadi perempuan yang sangat dibutuhkan dan berarti.
Meski begitu, pertemuan dengan
Gilang tadi siang ternyata mampu mengusik hati Lula. Wajah Gilang yang lugas
dan cerdas, dengan penampilan yang semakin matang, masih memenuhi benaknya. Mata
tajamnya yang menatap Lula lekat-lekat masih terbayang jelas. Entah kenapa,
Lula merasa senang dengan pertemuan tadi. Rasanya,
kekaguman ini belum sirna, pikir Lula. Meski bukan cinta, namun pertemuan dengan
orang yang pernah dikaguminya itu, ternyata membuat perasaannya agak berbeda. Mungkin
karena setelah sekian lama tidak pernah bertemu. Dan bagaimana pun, Gilang
pernah dekat, meski tidak sangat dekat.
*
Lula tertegun. Ada SMS berupa sebuah
puisi. Dari Gilang. Dibacanya puisi itu: “Terkadang terang, terkadang gelap, semua
dilalui. Ketika bertemu masa lalu, terasa menjadi muda kembali. Digapai-gapai
kedamaian, diam didapat. Ketika hanya pandangan dilakukan, justru bergerak
seluruh jiwa ini. Ah, bidadari itu terbang lagi ke singgasana. Apa yang terjadi
nanti, bila raga hanya dapat bersandar di kursi? Akankah masa lalu itu, dan
bayangan mendatang, disatukan dalam periuk jiwa muda? Ah. Bayang-bayang semakin
lenyap bersama lenyapnya angan. Hanya senyum tersisa, mendengkur, menyongsong
hidup baru esok hari.”
Padahal jam telah menunjukkan hampir
pukul dua belas tengah malam. Lula memang masih terjaga karena dia harus
membaca karya ilmiah yang akan dinilainya lusa. Dan Gilang, apa yang
dilakukannya pada malam selarut ini? Melamunkan dirinya? Begitukah? Tapi bila
tidak, kenapa mengirim SMS seperti ini? Malam-malam lagi. Tidakkah dia terlalu
berani mengambil risiko? Bagaimana kalau Anggoro tahu?
Lula membaca puisi itu lagi.
Diresapinya setiap kata, satu per satu. Dan hatinya berdesir. Desiran halus
seperti ketika bertemu Gilang tadi siang. Ada perasaan bahagia menyusupi relung
hatinya. Sejenak Lula linglung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia
ingin membalas, namun ditahannya. Tapi akhirnya jari-jarinya menekan telepon
genggamnya. “Mas, tidur, dah malam.
Jangan melamun, daripada ngelantur. Ok?” Akhirnya SMS itupun terkirim.
Sejak itu, puisi-puisi Gilang dan
kata-kata lembutnya mengalir deras lewat SMS. Lula selalu menyimpannya.
Membacanya dengan cermat. Meresapinya diam-diam. Dan membiarkan hatinya
berbunga-bunga. Dia tidak pernah mendapatkan satu puisi pun dari Gilang, dulu.
Dia tidak pernah melihat sisi romantis Gilang, kecuali sosoknya yang dingin dan
pengatur. Ketika sekarang, setelah dua puluh tahun berlalu, tiba-tiba dia
menemukan sosok Gilang yang lain. Maka dia bertanya pada Gilang lewat SMS: “Setahuku,
dulu mas Gilang tidak bisa membuat puisi. Dari mana mas belajar?”
“Dari orang yang saat ini sedang
membaca SMS-ku. Andai dari dulu aku tahu harus lakukan ini, mungkin aku tidak
harus kehilangan.....”
Hari-hari pun terus berlanjut.
Puisi-puisi Gilang dan kata-kata lembutnya terus mengalir. Lula menikmatinya. Bahkan
selalu menunggu-nunggu. Andai saja dari dulu Gilang selembut dan seromantis ini.
Andai saja dia tidak terlalu dingin dan keras hati.... Lula mulai
berandai-andai. Sosok Gilang yang cerdas selalu membuatnya kagum. Dan kekaguman
itu semakin lengkap ketika dia temukan sisi lembutnya. Sisi yang tak pernah dirasakannya
ketika itu.
Tapi tiba-tiba Lula tersadar ketika Gilang
bertanya: “Apakah dik Lula sekarang sudah berhasil belajar mencintai saya?”
Oh, tidak. Aku tidak mau terjebak. Lula
betul-betul seperti baru tersadar. Pintu selingkuh terbuka lebar di depan
matanya. Ponsel memberinya kemudahan untuk itu. Anggoro yang mempercayainya membuat
jalan menjadi serba aman. Aktivitasnya sebagai wanita bekerja di luar rumah memungkinkannya
untuk bisa mengambil kesempatan. Mengendalikan waktu dengan leluasa untuk
sekedar mencari selingan.
Tapi Lula sudah memiliki Anggoro dan
Raga yang mencintainya. Tak akan dia menukarnya dengan apapun untuk kedua
belahan jiwanya itu. Tidak juga dengan kesenangan yang mungkin akan membuat
hidupnya lebih berwarna. Lula merasa, semuanya harus diakhiri. Sebelum pintu
itu semakin terbuka lebar, dan menjebaknya dalam hidup yang pasti tidak akan pernah
sama lagi. Hidup yang sudah ternoda dengan pengkhianatan.
“Aku rasa, sekarang sudah bukan
waktunya lagi belajar untuk itu, mas Gilang.” Jawabnya. Lega. Karena dia telah
mengambil keputusan yang paling tepat. Menghapus jejak masa lalunya yang
tiba-tiba datang menawarkan manisnya madu sekaligus pahitnya racun kebahagiaan
sesaat.
Lama Lula menunggu balasan Gilang. Dua
jam lebih. Dan dia sudah mulai tidak peduli ketika tiba-tiba ponselnya
berbunyi. SMS dari Gilang.
“Ya, sudah tidak waktunya. Sudah
kadaluarsa.” Tulis Gilang. “Namun telah kupetik keindahannya....” *
Surabaya,
akhir tahun 2006
Surabaya, 7 Mei 2013