Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Selasa, 11 Desember 2012

Ujian Terbuka Sahabatku: Suryanti

Sore ini, saya menghadiri ujian terbuka seorang dosen PGSD, Dr. Suryanti, S. Pd. Dosen cantik ini adalah istri Dr. Wahono Widodo, M. Si, dosen Pendidikan Sains. Keduanya adalah sahabat saya, sahabat kami sekeluarga. Begitu dekatnya persahabatan kami, sampai hubungan kami sudah seperti saudara.

Judul disertasi bu Yanti, begitu panggilan akrabnya, adalah "Model Pembelajaran untuk Mengajarkan Keterampilan Pengambilan Keputusan dan Penguasaan Konsep IPA bagi Siswa Sekolah Dasar". Keterampilan pengambilan keputusan merupakan salah satu tujuan mata pelajaran IPA di SD dan merupakan keterampilan yang sangat penting, baik untuk sukses dan mandiri dalam bisnis dan kehidupan, serta kepemimpinan dan organisasi. Begitulah salah satu hal yang melatarbelakangi penelitiannya. Selain itu juga didasarkan pada kenyataan di lapangan yang menunjukkan keterampilan pengambilan keputusan siswa SD masih rendah. 

Temuan penelitian Suryanti cukup menarik, berupa model pembelajaran Multi Siklus DEAL, dengan langkah pembelajaran Discussion, Exploration, Analysis, dan Look-back. Penerapan model pembelajaran ini memberikan hasil penguasaan konsep dan keterampilan pengambilan keputusan lebih baik dibanding dengan pembelajaran IPA yang selama ini dilakukan. Penguasaan konsep sendiri menyumbang 10,2 persen terhadap penguasaan keterampilan pengambilan keputusan. 

Suryanti, yang background-nya pendidikan Fisika itu,  diangkat sebagai dosen di Prodi PGSD-FIP IKIP Surabaya sejak 1993. Perempuan berusia 44 tahun ini selain pernah menjabat sebagai sekretaris dan ketua jurusan PGSD, juga terlibat sebagai Tim Fasilitator IPA SEQIP, Tim Pengembang Instrumen Sertifikasi Guru, Tim MBS PGSD Ditjen Dikti, Tim Pengembang Modul DBE 2, dan Tim Pengembang Pendidikan Karakter Ditjen Dikdas. Yang juga membanggakan, Suryanti sejak 2011 dipercaya sebagai Ketua Umum Asosiasi Dosen PGSD Indonesia. 

Sepanjang pengalaman saya, ujian terbuka kali ini adalah ujian terbuka 'terpenuh'. Semua kursi berpenghuni. Bahkan di luar ruangan, para 'supporter' berjubel. Saya lihat di barisan para undangan itu adalah Prof. Sunarto, Prof. Mega, Prof. Suyono, Dr. Yuni Sri Rahayu, Dr. Manuharawati, dan banyak lagi. Dosen FMIPA dan dosen FIP, mahasiswa PPs, mahasiswa S1 juga. Nampaknya bu Yanti ini banyak penggemarnya.

Dr. Wahono hadir bersama kedua putranya yang ngganteng-ngganteng: Achmad Danang Rizki Pratama dan Ahmad Nizar Permana. Kedua remaja ini juga bersahabat dengan anak saya, Arga. Sejak anak-anak kami masih kecil-kecil, kami sering melakukan acara keluarga bersama, sehingga hubungan kami memang sangat dekat. 

Penampilan bu Yanti sangat menarik. Bukan karena dia nampak begitu cantik dan anggun dengan kebaya hijau mudanya. Namun juga karena dia bisa menjawab semua pertanyaan dewan penguji dengan sangat lancar dan meyakinkan. Perempuan berjilbab itu memang cerdas, komunikasinya bagus, dan memiliki manajerial skill yang menonjol. Saya prediksi, beberapa tahun ke depan, dia akan menjadi salah satu srikandi kuat di Unesa, setidaknya selevel Prof. Kisyani. He he....

Suryanti merupakan lulusan pertama Prodi S3 Sains PPs Unesa. Saat ini dia ada di depan kami, didampingi pendamping prosesi, pak Budi Jarwanto. Asdir 1 PPs yang memimpin ujian terbuka, Prof. Muslimin, membacakan hasil penilaian Dewan Penguji. Suryanti lulus, dengan predikat sangat memuaskan, dan berhak menyandang gelar doktor. Suryanti tersenyum lega, manis sekali. Dan keharuan menyeruak di hati saya begitu saja.... Seperti apa rasanya 'lulus', seolah masih begitu membekas di benak saya, meski itu telah terjadi bertahun-tahun silam. 

Hari ini telah saya saksikan kebahagiaan itu, kebahagiaan yang sudah lama-lama ditunggu, oleh Suryanti, oleh keluarganya, dan oleh semua sahabat dan sanak saudaranya. Kebahagiaan yang membanggakan prodi S3 Pendidikan Sains dan Unesa.

Btw, biasanya saya memilih tidak bertoga ketika menghadiri ujian terbuka. Selama belasan kali saya menghadiri ujian terbuka, baru tiga kali saya mengenakan toga, dan duduk di jajaran prosesi. Pertama, ketika ujian terbuka sahabat saya, Dr. Nanik Indahwati, tim inti SM-3T. Kedua, ketika ujian terbukanya ibu Rektor yang lulus dengan predikat cum laude itu. Yang ketiga ya sekarang ini. Kalau sudah duduk di depan, konsekuensinya kita harus mengikuti acara sampai selesai, tidak bisa 'nyambi', misalnya 'nyambi' ngajar atau melayani konsultasi. Artinya, kita tidak bisa menyelinap keluar ruangan sebelum acara selesai. Itulah yang membuat saya seringkali agak enggan untuk bergabung di barisan prosesi (He he, jujur.com). 

Tapi saya sudah siap untuk mengenakan toga lagi ketika nanti saya menghadiri ujian terbuka sahabat-sahabat saya yang lain. Termasuk sahabat dan guru saya, Sirikit Syah....

Auditorium Pascasarjana, 11 Desember 2012

Wassalam,
LN

Senin, 10 Desember 2012

Nggowes Bersama Pakde Karwo dan Gus Ipul

Pagi ini ramah sekali. Sedikit mendung, tetapi justru itulah yang membuat pagi ini begitu menyenangkan. Matahari yang malas menampakkan sinarnya membuat kami malah bersemangat.

Ya, karena pagi ini kami akan nggowes. Bersepeda. Bersama pakde Karwo dan Gus Ipul. Meskipun tepat jam 06.00 saya, mas Ayik, dan tujuh teman dari Surabaya sudah tiba di lokasi start, tetapi ternyata kami tetap saja telat. Teman saya, mas Esa, yang menjadi salah satu panitia kegiatan ini, menanyakan di mana posisi saya. Dia katakan acara akan segera dimulai. Sejak beberapa hari yang lalu saya memang sudah diwanti-wanti sama mas Agus Maimun, ketua IKASMADA, kalau saya diharapkan bisa turut mendampingi para pejabat. Tapi posisi saya dan mas Ayik masih di belakang, dan saya perkirakan tidak mungkin bisa menjangkau tempat pemberangkatan tepat pada waktunya. Maka saya katakan saja pada mas Esa, "monggo dimulai sajalah". Toh Pakde Karwo dan Gus Ipul tidak mungkin mau menunggu saya, tambah saya dalam hati. Wakakak......

Luar biasa. Saya hampir tidak percaya ketika panitia mengumumkan bahwa peserta bersepeda ini sebanyak delapan ribuan. Saya sempat berpikir bahwa jumlah itu karangan panitia saja. Biar kegiatan ini dinilai hebat. Tapi tidak. Saat saya dan mas Ayik berusaha menerobos barisan para pesepeda itu, supaya kami bisa menjangkau barisan terdepan di mana rombongan Pakde Karwo berada, untuk sekedar 'setor muka' ke mas Agus Maimun bahwa saya sudah hadir, kami tidak kunjung sampai pada tujuan. Barisannya terlalu panjang untuk bisa kami tembus dalam waktu cepat. Sampai akhirnya, setelah menempuh jarak sekitar satu-dua kilometer, dan menyelinap di sela-sela sepeda yang rapat, ketika rombongan Pakde Karwo mengakhiri bersepedanya dan masuk ke bus mini yang sudah dipersiapkan, saya baru tiba. Tanggung. Saya mengurungkan niat untuk bergabung. Lagi pula, semangat bersepeda sudah terlanjur menggelora. Keringat yang mulai membasahi punggung saya yang hangat menuntut kaki-kaki ini terus mengayuh. Ya sudah. Saya mengangkat telepon, menghubungi mas Agus Maimun, menyapanya hangat, dan mengatakan kepadanya kalau saya sedang menikmati bersepeda. Dia meminta supaya saya bisa bergabung, tapi dengan halus saya tolak. Saya ucapkan selamat untuk acara yang luar biasa sukses ini, dan titip salam saja untuk Pakde Karwo dan Gus Ipul (saya sambil 'mbatin', pakde Karwo dan Gus Ipul 'cek' bingung, Luthfiyah iku sopo kok titip-titip salam....hehe). 

Keren. Benar-benar keren rute nggowes ini. Meskipun saya, mas Ayik dan teman-teman dari Surabaya mengambil rute on road, rute ini lumayan menarik. Bukan karena tantangannya. Ya, karena sebagian besar rombongan kami adalah para penggila sepeda, dan rute yang sangat ekstrim pun mungkin sudah pernah dilalui. Namun hamparan hutan, kebun, bukit-bukit berbatu, jalan-jalan kecil yang berkelok-kelok dan naik turun, begitu cantiknya. Ya, Tuban memang eksotis. Beberapa pesepeda saya lihat sengaja memarkir sepedanya di hamparan bebatuan dan berfoto-foto di sana dengan memanfaatkan latar belakang perbukitan yang indah.

Di tengah perjalanan, mas Esa menelepon. Menanyakan di mana posisi saya. Dengan setengah berteriak, saya menjawabnya dengan riang-gembira. "Saya sedang ada di tengah hutan, dan di hutan itu ada mushola. Kerreeeeennnn....!"
"Ya yaaa, saya tahu di mana itu. Tempo hari ketika survey, kita sholat maghrib di mushola itu". Jawab mas Esa. Wow, betapa syahdunya. Bersujud di musholla di tengah hutan, dalam keremangan senja, dan suara alam, serta aroma wangi pepohonan. "Jangan lupa segera merapat ke panggung kalau sudah sampai finish", pesan mas Esa.

Sekitar pukul 09.00 kami sudah sampai di kompleks Kompi, tempat panggung dipasang. Pak Karwo sudah langsung kembali ke Surabaya tadi pagi, tinggal Gus Ipul, Wabup Tuban, dan tentu saja, mas Agus Maimun, beserta para panitia. Panggung itu cukup megah, lengkap dengan seperangat alat musik untuk nge-band. Gus Ipul pegang mix, menjadi 'pembawa acara'. Memanggil para pemenang offroad. Begitu melihat sosok saya di antara kerumunan para penonton di depan panggung, mas Agus Maimun dan mbak Arina langsung melambai. Meminta saya segera naik panggung. Saya tertawa-tawa saja sambil memotret-motret mereka. Sepertinya lebih asyik memandangi mereka bersama Gus Ipul dan pak Wabub dari depan panggung daripada bergabung di sana. Tapi dasar mas Agus. Saya lihat dia berbisik-bisik pada Gus Ipul. Tak ayal, nama saya pun langsung disebut oleh Gus Ipul, dan diundang naik ke panggung. Katanya, inilah salah satu alumni pertama SMADA. Dosen Unesa, dan sudah profesor. Protolan femuda ansor. He he..... Selalu itu yang dikatakan Gus Ipul setiap kali menyebut profesor. Protolan femuda ansor. Sama seperti beliau.

Kegiatan ini begitu sukses. Tak terbayangkan akan sesukses ini. Hadiah utama memang hanya tujuh buah sepeda motor dan belasan sepeda angin, dengan puluhan hadiah hiburan. Tapi peserta begitu membludak. Belakangan saya tahu dari seorang panitia, sepuluh ribu tiket habis terjual. Dan panggung begitu meriah. Dengan penampilan para siswa SMADA yang unjuk kebolehan 'nge-band', pantomim, menyanyi, dan dipandu dua pembawa acara yang ramai. Diselang-seling dengan pengundian doorpize dan hadiah utama. Dalam sambutannya yang sempat saya dengar dari kejauhan tadi pagi, pakde Karwo mengungkapkan kebanggaannya. Bagaimana mungkin bisa mengumpulkan orang begini banyak. Saat ini, saya mendengar lagi ungkapan kebanggaan dan takjub itu dari Gus Ipul dan bapak Wabup. Ikatan alumni memang seharusnya tidak hanya mengurusi reuni, tapi melakukan banyak hal yang bisa lebih memberi manfaat bagi almamater dan masyarakat luas.      

Hari ini, ada ribuan alumni SMADA beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya berkumpul di sini. Lebur jadi satu dengan masyarakat Tuban dan sekitarnya. Memberikan keceriaan dan kesehatan bagi jiwa dan raga. Memberi warna indah pada persaudaraan dan persahabatan. Saya mungkin bukanlah siapa-siapa di antara ribuan orang ini. Saya mungkin juga tidak menyumbang apa pun pada keberhasilan kegiatan ini. Tapi saya ingin mengucapkan rasa terimakasih saya pada kawan-kawan saya yang telah bekerja sangat keras demi terselenggaranya acara ini, dan juga banyak acara yang lain. Mas Agus, mas Esa, mas Sur, mas Agung, mbak Arina, pak Yasin, dan semuanya yang tidak mungkin saya sebut, juga kepala sekolah SMADA, juga guru-guru kami, terimakasih.

Saya bangga menjadi bagian dari IKASMADA.

Tuban, 9 Desember 2012
LN 

Sabtu, 08 Desember 2012

Seminar Pendidikan: PPG Lagi...

Pagi sampai siang tadi saya diundang sebagai pembicara seminar di Gedung I FIS Unesa. Penyelenggaranya adalah Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan PPKN. Saya ditandemkan dengan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur dan Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur. Tema seminar yaitu 'Eksistensi LPTK dengan Adanya Kebijakan PPG'.

Saya disambut oleh ibu Listyaningsih, pembina BEM PPKN. Begitu memasuki ruang seminar, saya langsung merasakan aroma penuh semangat, baik dari panitia maupun para peserta. Lebih-lebih ketika ketua panitia menyampaikan laporannya, dilanjutkan dengan sambutan Ketua BEM dan sambutan Ketua Jurusan. Tepuk tangan riuh rendah menggema setiap kali ada pernyataan-pernyataan yang 'cocok' dengan pikiran-pikiran mereka. Bahwa PPG seharusnya hanya untuk lulusan LPTK, bahwa mestinya semua lulusan LPTK tidak perlu lagi mengikuti PPG, dan bahwa profesi guru adalah bagi orang-orang yang sejak awal hatinya sudah terpanggil sebagai guru dan oleh sebab itu seharusnya hanya untuk lulusan LPTK. Juga, menurut versi mereka, pada UU Sisdiknas maupun UUGD-pun tidak pernah ada istilah PPG, yang ada hanyalah istilah sertifikasi. Rupanya saya sedang berada di antara beberapa tokoh unjuk rasa PPG di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Selain juga sedang berada di antara para mahasiswa yang memang benar-benar ingin memahami PPG dengan berbagai seluk-beluknya. 

Oleh karena bapak Sulistiyanto Soeyoso, ketua Dewan Pendidikan Jatim dan bapak Herry Bagus yang mewakili Dr. Harun belum hadir, maka saya diberi waktu untuk presentasi lebih dulu. Moderatornya, Wahyu, saya goda kalau dia lebih cocok jadi provokator daripada jadi moderator. Dia tertawa saja. 

Apa yang saya sampaikan lebih banyak sebagai klarifikasi atas pemahaman mereka yang belum utuh mengenai PPG. Saya katakan bahwa pada berbagai hal saya sepaham dengan pikiran mereka. Di sisi lain, mereka juga harus melihat fakta. Lulusan LPTK yang jumlahnya luar biasa setiap tahunnya, dan sebagian besar dari mereka tidak dihasilkan dari LPTK yang bermutu. Fakta bahwa LPTK belum mampu menghasilkan guru di semua bidang yang dibutuhkan di lapangan. Juga pemahaman terhadap istilah sertifikasi, yang hanya dipahami lewat jalur PLPG, tentulah itu pemahaman yang kurang tepat. Sertifikasi juga bisa ditempuh melalui PPG dengan berbagai bentuk penyelenggaraannya.  

Saya sangat beruntung siang ini bisa bergabung dengan pak Sulistyanto dan pak Herry Bagus. Hampir semua pikiran pak Sulis sejalan dengan pikiran-pikiran saya. Beliau memulai presentasinya dengan mengajak kita semua bicara tentang Indonesia. Peran apa yang bisa kita ambil supaya Indonesia menjadi lebih baik. Unesa adalah universitas yang sangat kecil. UI adalah universitas yang sangat kecil. MIT dan semua universitas terkenal di dunia ini adalah universitas yang kecil. Kita semua sedang ada di universitas yang sangat besar, yaitu universitas kehidupan. Di universitas ini, setiap kita adalah guru. Kurikulum kita sendirilah yang menentukan. Tergantung kurikulum yang kita buat itu ketat atau tidak. Kalau ketat, kita akan menjadi someone. Kalau tidak ketat, kita akan menjadi noone. Bedanya, someone itu do something, dan noone itu do nothing.

Pak Sulis yang nyentrik itu juga menambahkan bahwa faktor keunggulan bangsa ke depan tidak lagi ditentukan oleh teknologi, tetapi oleh mental dan karakteristik kita, letak dan kondisi geografis, renik-renik kebudayaan, dan keunikan ekologis. Semua hal ini kalau dikembangkan dengan baik akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang unggul karena hal-hal tersebut tidak bisa direproduksi dan diduplikasi. Sayang sekali kebijakan kita tidak mengarah kepada pengembangan keempat hal tersebut.

Ketika bicara tentang pentingnya kewirausahaan, pak Sulis secara bercanda melontarkan ide, seharusnya ijazah sarjana diubah. Ijazah sebaiknya dibuat dari batu, ukurannya 1 meter kali 2 meter, biar tidak bisa dibawa ke mana-mana untuk difotokopi dan dilegalisir serta digunakan melamar pekerjaan, termasuk menjadi pegawai negeri sipil. He he, geli juga dengan ide konyolnya itu.

Bangsa ini membutuhkan orang-orang yang bermental baja untuk bisa membangkitkan keindonesiaan. Maka kita harus jujur. Pendidikan kita harus dirombak. Kurikulum dibuat sebagus apa pun, kalau UN tetap seperti ini, maka kurikulum itu tidak ada gunanya. Pendidikan hanya menghasilkan orang-orang yang bertambah tua, tapi tidak bertambah dewasa.

Pada sesi tanya jawab, saya dicecar dengan berbagai pertanyaan seputar PPG. Salah seorang peserta, Zaim namanya, dari jurusan Pendidikan Sendratasik, bertanya dengan suara keras dan berapi-api. Kata-katanya tajam. Tubuh kecilnya itu seperti mau meledak ketika dia menyampaikan ketidaksetujuannya pada konsep PPG. Saya senang dengan pikiran-pikiran kritisnya. Sayang sang seniman itu tidak mudah dipuaskan. Waktu tidak cukup kalau hanya untuk melayani dia. Maka saya janjikan saya akan 'memberinya kepuasan' di luar forum. He he.... 

Surabaya, 8 Desember 2012

Wassalam,
LN

Senin, 03 Desember 2012

Puisi Ultah untuk Mas Ayik

Puisi Ultah untukmu

Mungkin hanya sederet puisi
Sebagai saksi hari ini
Saat pagi menyibak hari
Dan matahari melumat bumi
Menghimpun semua asa di hati

Duhai, kasih
Cintaku seputih kapas
Selembut sutra
Sewangi mawar
Seelok purnama
Seluas samudra
Seindah semesta

Rinduku adalah malam 
yang menunggu pagi
Kemarau panjang
yang menanti hujan
Rindu seorang pengelana
yang mengharap pulang

Adalah padang gersang 
yang luas menghampar
Akulah sang musafir
Dan kau oase berlimpah air
Tak sekedar pelepas dahagaku
Juga pembasuh sekujur jiwaku

Simpanlah hatimu hanya untukku
Biar bisa kulalui setiap malamku bersamamu
Genggamlah rindumu hanya untukku
Biar bisa kujalani sepanjang waktu selalu di sisimu
Selalu
Tak lekang oleh waktu
Tak aus oleh ragu
Tak pupus karena jemu

Selamat ultah, kekasih
Segala yang terbaik untukmu
Senantiasa kumohonkan
dari Yang Maha Kasih

Surabaya, 4 Desember 2012

Sabtu, 01 Desember 2012

Membaca Itu Membebaskan

Pagi ini saya bersiap-siap berangkat ke Yogyakarta untuk menghadiri rapat koordinasi persiapan PPG. Seperti biasa, setiap kali saya pergi ke luar kota, saya selalu berusaha membawa satu dua buku untuk saya baca selama di perjalanan, ketika menunggu waktu sebelum masuk pesawat, di dalam pesawat, atau sekedar untuk bacaan menjelang tidur selepas kerja yang biasanya sampai larut malam.

Kebetulan ada belasan buku yang saya beli dan belum sempat saya baca. Sebagian besar adalah buku-buku tentang pendidikan dan kewirausahaan bidang boga. Sebagian lagi buku-buku yang mungkin tidak secara langsung berhubungan dengan bidang saya, antara lain buku serial keterampilan intelektual: Writing without Teachers, How to Read a Book, dan Program Paedia Silabus Pendidikan Humanistik. Juga ada dua buku yang lain: John Dewey Pendidikan Dasar Berbasis Pengalaman, dan Mari Berbincang Bersama Platon. Setelah sekilas mencermati buku-buku baru tapi terbitan lama itu (tahun 2011 dan sebelumnya), akhirnya saya memutuskan membawa 'Writing without Teachers' yang ditulis oleh Peter Elbow serta diberi pengantar oleh Radhar Panca Dahana dan Donny Gahral Adian.

Nampaknya buku ini menarik. Dalam catatan penerbit dikatakan, 'Writing without Teachers' memiliki dua makna. Pertama, mengenalkan 'cara menulis yang jauh lebih mudah dan menggairahkan', karena membebaskan Anda dari segala aturan dan syarat yang biasa diberikan para guru. Segala aturan yang justru tidak berfungsi sebagai pengarah langkah, tetapi malam menjadi pemasung gerak kita. Sangat banyak siswa dan mahasiswa yang tak pernah mampu menulis justru karena dari awal sudah dibelenggu segala aturan, harus begini dan begitu.

Kedua, buku ini sangat praktis. Dengan buku ini, belajar menulis secara benar sudah bisa langsung dimulai dan terus ditingkatkan dengan 'membentuk kelompok tanpa guru'. Tak perlu menunggu untuk menemukan guru atau pembimbing khusus baru memulainya. Tak perlu menunggu kapan di sekolah akan dibuka kelas khusus atau ekskul buat belajar menulis. Tak perlu menunggu kapan di dekat rumah akan dibuka sanggar belajar menulis, Anda bisa membentuk sanggar itu sendiri bersama beberapa teman Anda. Ya, Anda bisa membentuk 'kelompok menulis tanpa guru'.

Dalam pengantarnya, Radhar Panca Dahana memastikan bahwa menulis bukan lagi sebuah kerja elite, sulit, mahal, dan artifisial sebagaimana mulanya. Menulis kini adalah sebuah kerja 'alamiah', seperti kita minum, tidur, beranak, bersenandung, atau mencoret-coret gambar. Ia adalah suatu kebutuhan dasar. Ia adalah ukuran adab dan kebudayaan. Dan manusia terhisap di dalamnya. Manusia harus bisa menulis, bahkan menjadi penulis, begitu klaim Radhar.

Apa yang coba dijabarkan Elbow, penulis buku ini, bukan sebuah definisi tentang tulisan bagus dan buruk, namun lebih pada usaha untuk menemukan cara yang lebih baik untuk memahami tulisan bagus dan baik yang ada di sekeliling kita. Dalam proses nirguru ini Elbow menawarkan gagasan tentang 'freewriting'. Sebuah proses yang langsung mendahulukan praksis menulis bebas ketimbang proses yang umum digunakan: memulai dengan outline dan editing. Menulis bebas ini sederhana, semacam disiplin kecil untuk tiap hari menulis tanpa henti selama 10 menit. Bukan untuk menghasilkan tulisan bagus tetapi sekadar menulis tanpa prosedur sensor dan editing. 'Tak perlu melihat ke belakang lagi, tak ragu melanggar aturan, tak peduli bagaimana ejaan atau bahkan memikirkan apa yang tengah kamu kerjakan'. Satu-satunya aturan: jangan berhenti menulis.

Di ujung kata pengantarnya yang berjudul 'Metabolisme Tulisan' itu, budayawan Radhar meyakinkan bahwa jasa Elbow akan terasa benar bila kita melihat kerja menulis sebagai suatu 'proyek untuk terus memperbaiki diri, proyek mengoptimalisasi potensi diri, proyek menjadi manusia yang maksimum'. Kerja menulis akan selalu menempatkan kita dalam level atau derajat kemanusiaan yang lebih tinggi. Maka, lanjut Radhar, setelah kata pertama dalam kitab suci, 'Iqra' atau 'bacalah', tak buruk sama sekali bila moral Elbow pun kita serukan sebagai lanjutannya: 'menulislah.'

Senada dengan Radhar, Donny Gahral Adian bahkan mengatakan menulis adalah 'proklamasi kemerdekaan dari aturan'. Kolonialisme rezim aturan bisa melumpuhkan pikiran. Padahal, menulis adalah menuangkan pikiran, bukan aturan. Aturan adalah fasilitas kebudayaan yang menampik kejanggalan. Kejanggalan adalah awal mula kreativitas. Orang yang menabrak aturan gramatika atau sosial dalam menulis jangan buru-buru dipinggirkan. Ia adalah orang yang sedang bertumbuh kreativitasnya dan membuka pintu pengalaman selebar-lebarnya.

Donny yang seorang penulis dan dosen filsafat UI itu menegaskan bahwa kita harus percaya gagasan kita adalah tunas yang bisa tumbuh menjadi besar dan menarik. Kita harus bisa menulis di jalan bebas hambatan, melaju kencang tanpa rambu-rambu dan membiarkan pengalaman menjadi soko guru satu-satunya.

Saat ini saya sedang berada di ruang tunggu bandara Juanda. Saya baru bisa melakukan 'super scan' saja pada buku yang menurut saya sangat menarik ini. Buku yang pada 2011 merupakan cetakan kedua ini (cetakan pertama tahun 2007) berturut-turut menuturkan tentang latihan menulis bebas, proses menulis--bertumbuh, proses menulis--menggodok, kelas menulis tanpa guru dan gagasan kelas menulis tanpa guru. Sangat mungkin saya akan banyak setuju dengan apa yang ditulis Peter Elbow ini, meskipun--berdasarkan pengalaman saya yang belum banyak dalam urusan tulis-menulis ini--memahami 'aturan' menulis tetaplah perlu. Bolehlah pada awalnya kita 'merdeka dalam menulis', namun pemahaman kita pada aturan menulis akan semakin meningkatkan kemampuan menulis kita.

Btw, saya sebenarnya agak dongkol karena pesawat Wings Air yang harusnya menerbangkan saya pada pukul 11.10 tadi sudah terbang duluan. Saya terpaksa diterbangkan dengan pesawat lain pada pukul 13-an karena alasan ada kesalahan seat. Padahal seharusnya saya hadir di Inna Garuda pada pukul 14.00. Mbuh, apa maksudnya kesalahan seat itu. Tapi paling tidak, dalam kedongkolan saya, saat ini saya bisa memanfaatkan waktu untuk menulis bebas seperti sekarang ini. Sampai akhirnya hilanglah rasa dongkol saya. Menulis memang membebaskan. Setidaknya membebaskan dari rasa dongkol... He he

Awal Desember 2012

Wassalam,
LN
(Baru saja mendarat di bandara Adisucipto Yogyakarta)

Senin, 26 November 2012

Melatih Siswa Tunagrahita Membuat Corflakes Cookies

Siang ini saya menguji skripsi mahasiswa S1 Pendidikan Tata Boga, judul skripsinya: Pengembangan Buku Siswa untuk Meningkatkan Proses dan Hasil Belajar Kompetensi Dasar Cornflake Cookies pada Siswa Tunagrahita SMA-LB Negeri Gedangan, Sidoarjo. Sebuah judul yang sangat biasa. Yang membuat karya ini luar biasa adalah subjek penelitiannya, siswa tunagrahita. Ini yang pertama kali mahasiswa tata boga mengembangkan perangkat pembelajaran praktek dengan siswa berkebutuhan khusus sebagai subjek belajarnya.

Nama mahasiswa penulis skripsi tersebut adalah Agus Dwi Kurniawan. Awalnya dia mahasiswa D3 Tata Boga angkayan 2007, lulus tahun 2010 dengan pedikat cumlaude (IP 3,87). Selepas dari D3, dia langsung mengambil program alih jenjang (transfer) ke program S1 Pendidikan Tata Boga. Saat ini dia maju ujian skripsi, mendahului teman-teman seangkatannya.  

Agus, begitu nama panggilannya, adalah mahasiswa bimbingan saya. Sejak awal dia sudah menampakkan diri sebagai mahasiswa yang istimewa. Bukan karena keberadaannya di antara mahasiswa yang mayoritas kaum Hawa itu. Namun lebih karena kelebihannya dibanding teman-teman seangkatan, baik dalam bidang akademis maupun non akademis. Agus tidak seperti kebanyakan mahasiswa pada umumnya, yang hanya memiliki salah satu keunggulan dalam dua bidang, teori atau praktek. Agus memiliki dua-duanya. Dia cerdas di matakuliah teori dan sangat terampil di matakuliah praktek. Agus juga aktif berkegiatan di BEM Jurusan, aktif di kegiatan kewirausahaan dan pelatihan karya tulis. Yang istimewa lagi, Agus sangat santun, ramah, helpful ke siapa saja.

Agus juga pekerja keras. Sembari kuliah, dia berwirausaha. Jualan apa saja. Mie goreng, nasi bungkus, roti, dan lain-lain. Sejak beberapa tahun ini, bersama teman-temannya, dia menjalankan wirausaha boga. Outlet-nya ada di halaman gedung A3. Ketekunan dan kekompakan dengan teman-temannya dalam berwirausaha inilah yang menjadikan usahanya telah mampu bertahan sejak tiga tahun ini.

Sepanjang pengalaman saya menguji skripsi, inilah ujian tercepat. Tidak lebih dari tiga puluh menit. Bu Dwi Kristiastuti sebagai penguji pertama nyaris tidak ada pertanyaan, kecuali apakah Agus tidak dicolek-colek sama siswanya ketika mengajar. Mengingat sepuluh siswa yang diajarnya ketika pengumpulan data, semua cewek, dan mereka--sebagaimana anak usia SMA--mungkin sedang dalam masa pubertas, betapa pun mereka adalah anak-anak berkebutuhan khusus. Agus menjawabnya sambil agak malu-malu, ya memang begitulah yang terjadi. Tapi hal itu tidak menjadi kendala yang berarti, karena justru membuat dia bisa masuk ke dunia mereka dengan mudah, dan itu sangat membantunya dalam mengajarkan keterampilan. Kalau selama ini mereka selalu diajar oleh guru-guru perempuan, dengan sumber belajar yang sangat terbatas, maka kehadiran Agus dengan sumber belajar yang menarik dan inovatif sangatlah berarti bagi sepuluh siswa sekaligus lima guru itu. Benar-benar memberi warna dan semangat yang lain. Bahkan kepala sekolah berharap, ada lebih banyak lagi mahasiswa Unesa yang bersedia meneliti di sekolah itu. Tidak hanya bidang boga, tapi juga bidang yang lain. Tidak hanya untuk tunagrahita, tapi juga ketunaan yang lain.

Bu Niken Purwidiani sebagai penguji kedua lebih banyak melakukan klarifikasi atas apa yang ditulis Agus dalam skripsinya. Misalnya tentang bagaimana cara Agus mengajar, menilai aktivitas siswa dalam belajar, dan menilai respon siswa. Dengan kondisi ketunaan mereka, tentu tidak mudah memahamkan mereka. Juga bagaimana keterlibatan guru-guru selama dia melaksanakan pembelajaran. 

Saya sendiri, sebagai dosen pembimbing sekaligus penguji, hanya menyarankan satu hal pada Agus. Yaitu menambahkan kajian secara kualitatif mulai dari tahap pengembangan perangkat, tahap pengumpulan data, dan juga pada hasil penelitian dan pembahasan. Apa yang telah dilaporkan Agus dalam skripsinya lebih banyak berupa angka-angka dan diagram-diagram yang 'dangkal makna'. Tidak lebih dari laporan penelitian 'gaya standar'. Keunggulan penelitiannya tidak tergali dengan baik karena Agus menulis laporannya dengan mengikuti pola yang 'itu-itu' saja. 

Saya meminta Agus lebih mendetilkan analisis siswa yang menjadi subjek belajarnya. Sebanyak sepuluh siswa itu dengan masing-masing karakteristiknya, baik secara fisik maupun mental. Saya juga meminta Agus untuk menjelaskan lebih rinci bagaimana dia memasuki lapangan penelitiannya. Bagaimana membangun hubungan dengan siswa dan guru-guru di sana. Bagaimana dia menuntun siswa berinteraksi dengan media pembelajaran yang sudah dikembangkannya, membimbing mereka bergulat dengan alat dan bahan-bahan, serta mengspresiasi kinerja mereka selama proses pembelajaran. Saya ingin Agus menceritakan bagaimana perilaku dan ekspresi kebanggaan mereka ketika mereka merasa telah berhasil membuat sesuatu. Meski sesuatu itu hanya berupa biskuit kecil-kecil yang disebut cornflakes cookies itu. Saya juga ingin Agus lebih banyak menceritakan latar penelitiannya, bagaimana kondisi sekolah, kepala sekolah, guru-guru, fasilitas sekolah, dan juga atmosfer lingkungan sekolah. Banyak hal menarik dan mengharukan yang bisa ditulis Agus daripada sekedar angka-angka yang bagi saya seperti angka-angka yang miskin makna.

Tentu saja saya yakin Agus akan bisa memenuhi harapan saya, harapan kami semua dosen pengujinya. Dia anak cerdas dan selalu berusaha melakukan yang terbaik. Maka siang itu, kami bertiga sepakat meberikan nilai yang nyaris sempurna untuk skripsinya. Kalau ada A plus, dia layak mendapatkannya. Tapi karena tidak ada, maka cukuplah A saja.

Sebelum memberikan ucapan selamat, saya sempat menanyai Agus, apa cita-citanya. Dia ingin menjadi guru. Setelah lulus, dia akan mengikuti program SM-3T, ingin mengabdikan diri di pelosok, supaya dia mendapatkan pengalaman riil sebagai bekal untuk mencapai cita-citanya. Tapi perasaan saya sempat terharu ketika saya bertanya tentang keluarganya. Agus anak kedua dari dua bersaudara. Sejak kelas empat SD, dia dan kakaknya sudah ditinggal bapak dan ibunya pergi ke Brunei untuk bekerja. Sungguh saya tidak menduga, Agus yang begitu ramah dan ceria memiliki masa-masa di mana dia harus kehilangan kasih sayang orang tua karena jarak yang memisahkan mereka. Bahkan ketika dia diwisuda dengan predikat cumlaude beberapa waktu yang lalu, tak satu pun anggota keluarga yang mendampinginya. Tapi anak itu begitu manis. Membungkus kerinduannya pada kedua orang tuanya dengan keceriaan, kemandirian, keramahan dan optimisme.

Selamat, Agus. Satu tahap telah berhasil kau lewati. Semoga tahap-tahap selanjutnya tetap mampu kau jalani dengan baik.

Surabaya, 26 November 2012

Wassalam,
LN 
(OTW ke Jombang)

Sabtu, 24 November 2012

Catatan yang tercecer dari Konaspi VII

Siang ini adalah sesi yang diisi oleh Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah. Beliau memulai presentasinya dengan menggambarkan proses perjalanan waktu yang sangat cepat. Betapa cepatnya hidup kita. Mulai dari lahir sampai mati. Dan waktu adalah modal utama. Bila kita tidak bisa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, maka kita akan menjadi orang-orang yang merugi.

Di sekitar kita, banyak orang yang berlomba-lomba menanamkan investasi bertahun-tahun untuk sebuah jabatan, namun ternyata itu semua hanya untuk mempertinggi tingkat kejatuhannya. Jatuh karena tidak 'kuat martabat dan derajat'. Jatuh karena tidak amanah mengemban suatu jabatan. Jatuh karena salah memanfaatkan peluang. 

Menurut Komaruddin, sumberdaya alam (SDA) Indonesia tidak tereksplorasi dengan baik dan benar, karena Indonesia tidak mampu mengembangkan ilmu dasar dan engineering. Yang banyak adalah ilmu-ilmu sosial, sehingga yang tumbuh pesat adalah LSM dan partai. Pendapat ini tentu saja mengundang senyum geli para audience. Sepintas 'nyleneh', tapi kalau dipikir-pikir, benar juga.

Komaruddin menayangkan sebuah slide berupa gambar ilustrasi khas China. Dikatakannya, sebuah perjalanan atau journey, akan selalu menghadapi tantangan (digambarkan dengan sebuah gambar 'dragon'). Problem generasi sekarang, mereka lembek menghadapi tantangan. Mereka tidak berani menghadapi 'dragon of life' dalam hidupnya.  'On the journey, we reinvent ourselver, to be more authentic and realign with the surrounding environment.' Apakah anak-anak kita mengalami situasi seperti ini? Apakah pendidikan memberikan kesempatan yang cukup bagi mereka untuk siap menghadapi tantangan dalam hidupnya?

Hal penting lain yang disampaikan oleh Komaruddin adalah tentang values. Values (living values, business values, corporate values) merupakan produk dari kebijaksanaan (the product of wisdom of life). Wisdom lebih tinggi tingkatannya daripada hukum. Kalau orang hidup dengan wisdom, hukum itu tidak diperlukan. 

Setiap orang akan mengalami siklus hidup yang disebut 'The Archetypes'. Pertama, setiap orang akan memasuki tahap 'orphan'. Artinya, kita sesungguhnya memiliki sifat tidak berdaya, selalu membutuhkan orang lain.  Seperti anak yatim piatu, kita merasa selalu memerlukan bantuan,  selalu membutuhkan perhatian, selalu ingin merasa terlindungi (feeling of helplessness; always needy and weary; longing for attention; caring and protection). Tetapi juga terbuka pada persahabatan dan pertemanan.  

Yang kedua,' wanderer', atau pengelana. Setiap orang akan masuk tahap 'suka keluyuran'. Titik positifnya adalah selalu melakukan eksplorasi, memperluas wawasan. Dalam pendidikan dikenal dengan research. 'The building of knowledge society'. Tetapi sayangnya, dalam bidang penelitian, terutama dalam bidang teknologi, kita lebih banyak sebagai user. Dalam menggali informasi pun, kalau dulu yang kita lakukan adalah hunting informasi, sekarang lebih banyak melakukan seleksi informasi. Informasi apa pun sudah tersedia begitu berlimpah, tinggal bagaimana kita memilih dan memanfaatkannya sesuai kebutuhan kita. 

Yang ketiga adalah warrior, yaitu harga diri. Komaruddin mempertanyakan, di mana harga diri kita ketika TKI diiklankan besar-besaran di Malaysia? Di mana harga diri kita ketika kekayaan SDA di Papua dijarah habis-habisan oleh negara Asing? Dan lain-lain. Seharusnya kita menjaga harga diri dan martabat kita. Kita harus berani membela nasib sendiri, nasib guru, nasib bangsa.
Petinju yang sejati tidak akan pernah bertarung di luar panggung. 

Selanjutnya adalah 'altruist' artinya 'find the more meaningful life'. Saatnya berjuang untuk orang lain, untuk bangsa. Bukan hanya memikirkan diri sendiri (selfish,  seff center). Ketika seseorang mencapai tahap altruist, dia akan merasa bahagia ketika membahagiakan orang lain. Berbahagialah Anda menjadi guru, menjadi dosen, dokter, menjadi apa saja, yang hidupnya untuk memberikan manfaat dan kebahagiaan bagi orang lain. Untuk bekerja dan melayani. Gaji bukan hanya dari kas negara, tapi juga dalam bentuk moral reward. Kepribadian yang sehat adalah ketika sudah sampai pada tahap altruist. Altruist itu dari hati ke hati. Ukurannya bukan uang, tapi mentalitas. Secara pedas, Komaruddin mengemukakan, dulu bangsa ini didirikan oleh orang-mana yang kaya, terutama kaya hati. Sekarang dipimpin oleh orang-orang yang kaya tapi kere mentalnya, maka korupsi terjadi di mana-mana.

Kelima adalah innocent, yaitu 'the feeling of relief, carefree, having self happiness'. Orang yang tidak merasa punya dosa karena dia selalu berusaha berbuat baik selama hidupnya. Orang yang bebas dari rasa takut karena dia melakukan hal-hal yang benar. Maka tinggalkanlah legacy yang baik. 
Selanjutnya keenam adalah 'magician'. Tahap di mana kita dapat mengubah hidup kita (capable to transforming our lives). Kata Komaruddin, every man was born as a khalifah/leader. Every man has unlimited power to create big legacy. Every man has capacity to change.  Dengan cara apa? Dengan memaksimalkan 'the power of the head, the heart, the hand'. Dan dalam hal ini, pendidikanlah pemegang peran utamanya.

Terakhir adalah 'anxiety'. Di ujung journey kita dihadang anxiety. Rasa cemas, khawatir. Kegelisahan pada apa yang bisa kita wariskan. Maka bersiaplah agar kita bisa meninggalkan warisan yang berguna bagi anak cucu generasi penerus kita. Bersiaplah agar kita tidak terkungkung dalam kecemasan dan kegelisahan di ujung perjalanan kita.

Tujuah tahapan tersebut bukanlah tahapan yang linear. Ada kalanya kita bisa berpindah-pindah dari satu tahap ke tahap yang lain.  Yang terbaik adalah pada level altruist. Bahagia ketika memberi, bukan diberi. Oleh sebab itu mari kita berjuang sebagai bangsa yang kuat,  bukan bangsa peminta-minta, bukan bangsa yang terus-menerus dirundung hutang. Mari kita berjuang sehingga kita menjadi bangsa yang bermartabat. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mendorong pendidikan memiliki dan mengembangkan sifat-sifat tersebut?

Yogyakarta, 2 November 2012

Wassalam,
LN