Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 27 Januari 2013

Gagal Pulang Kampung

Minggu pagi ini saya dan mas Ayik berencana mengunjungi ibu di kampung halaman, di desa Jenu, Tuban. Sebenarnya rencana itu sudah sejak kemarin sore, tetapi tidak jadi. Ketika saya ber-sms dengan ibu kemarin pagi, ternyata beliau malah sedang di perjalanan menuju Surabaya, mengikuti rombongan ziarah wali se-Jawa Timur. Maka kami putuskan untuk besok paginya saja, yaitu hari ini, untuk berangkat ke Tuban.

Saya memasak dengan cepat untuk Arga yang sudah 'sambat' lapar. Tempe goreng, ayam bacem, dan pecel sayuran. Mas Ayik membersihkan mobil dan ngecek air aki. Selesai semua, saya mandi, bersiap-siap. Tiba-tiba seorang tetangga mengabarkan, ada tetangga kami yang meninggal. Kabar itu hampir bersamaan dengan kabar duka berpulangnya bapak Widodo, mantan PR 2 Unesa. Saya pun jadi ragu, jadi pulkam tidak ya? 

Saya menelepon ibu. Menanyakan kabarnya, jam berapa tadi malam beliau rawuh dari ziarah wali, sayah apa tidak, dan apa ada acara hari ini. Ternyata ibu ada acara pengajian, ba'da dhuhur. Ya sudah. Mungkin memang belum waktunya pulang kampung mengunjungi ibu. Kalau kami tetap berangkat pun, bisa jadi tidak bertemu ibu, karena ibu sendiri sedang padat acaranya. 

Jadilah kami gagal pulkam. Ada hikmahnya juga. Selain bisa memanfaatkan waktu untuk takziyah, kami juga bisa mengunjungi teman-teman, bersilaturahim. Maka beberapa teman berhasil kami datangi rumahnya hari ini. Ada dua teman SMP dan SMA saya, yang tinggalnya di jalan Gundih, dekat PGS (Pasar Grosir Surabaya), yang memang sejak lama ingin kami kunjungi. 

Sebelum silaturahim ke teman-teman, kami juga menyempatkan mampir di Kampoeng Ilmu di jalan Semarang. Saya berburu majalah Anita Cemerlang, yang di dalam majalah kumpulan cerpen itu ada tulisan Lutfi AZ. Beberapa waktu yang lalu saya menemukan empat buah, di Kampoeng Ilmu ini juga. Hanya empat buah. Padahal yang saya cari mungkin belasan atau bahkan puluhan. Saya memang telah bertindak ceroboh. Tidak mendokumentasikan majalah-majalah yang telah memuat tulisan-tulisan saya itu. Ada cerpen, ada laporan perjalanan dalam bentuk feature. Saat ini, setelah beberapa puluh tahun kemudian (saya menulis di Anita Cemerlang sejak 1982-1989), saya mencoba mengumpulkannya lagi. Selain dari Kampoeng Ilmu, beberapa saya peroleh dari kolektor di Yogya dan Banjarmasin. Dengan harga yang relatif mahal. Dua puluh ribuan per majalah. Padahal di Kampoeng Ilmu cuma lima ribuan. 

Saya dan mas Ayik juga melihat-lihat buku-buku yang lain. Buku-buku baru seperti Ainun dan Habibie, 5 cm, Chairul Tanjung si Anak Singkong, Sepatu Dahlan, Ganti Hati, dan puluhan buku baru yang lain. Buku baru apa pun. Juga buku-buku sastra keluaran Balai Pustaka: Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layang Terkembang dan banyak lagi. Juga novel-novel terjemahan. Kalau mau melanggar undang-undang hak cipta, monggo, silahkan borong semua buku itu. Buku dengan kertas dan cetakan yang kualitasnya jauh di bawah buku aslinya. Juga, tentu saja, harganya. Ya, buku-buku tembakan.    

Selepas dari Kampoeng Ilmu dan silaturahim ke teman-teman, saya ber-BBM dengan adik kami, Rini. Rini adalah istri Dedi, adik bungsu mas Ayik. Dia bersama anak semata wayangnya, yang saat ini sudah berusia lima tahun, tinggal di rumahnya di perumahan Permata Gedangan, Sidoarjo. Dedi sendiri saat ini sedang bertugas di Laos. Ichiro dilahirkan sebagai anak berkebutuhan khusus, yakni down syndrom (DS) atau biasa disebut mongoloid. Meski DS, Ichiro tergolong anak yang cerdas, lincah dan lucu menyenangkan. Ichi berarti satu, ro adalah sebutan untuk anak laki-laki. Waktu Ichiro masih di dalam perut ibunya, Dedi saat itu sedang bertugas di Jepang. Senseinya, namanya Ichiro Yamaguchi, adalah sosok yang sangat dikagumi Dedi karena kebaikannya. Oleh sebab itu, atas seizin beliau, Dedi menggunakan nama Ichiro, nama depan senseinya, untuk anak laki-laki pertamanya. Sampai saat ini, setiap Ichiro berulang tahun, Ichiro Yamaguchi selalu mengirim message 'selamat ultah dari papa di Jepang'.

Kami mengajak Rini dan Ichiro berburu bandeng bakar di tempat pemancingan di desa Kalanganyar, Sedati. Awalnya Rini tidak mau karena dia sedang menggoreng kentang, bahan untuk membuat kering kentang. Dua minggu lagi Dedi cuti, minggu berikutnya kembali ke Laos. Kering kentang, kering tempe, balado ikan teri, menjadi bawaan wajib bagi Dedi kalau dia kembali ke Laos. Terbatasnya pilihan menu halal di tempatnya bekerja membuat Dedi memilih membawa sendiri lauk-pauk dari Tanah Air. 

Meski hari sudah menjelang sore, lewat pukul 15.00, tempat pemancingan bandeng masih ramai.  Tempat yang sepanjang kanan-kiri jalannya adalah tambak, umumnya tambak bandeng. Di sisi kanan, di situlah menghampar kolam pemacingan, tepatnya tambak pemancingan. Lengkap dengan tenda-tenda semi permanen tempat para pemancing menghabiskan waktunya. Di sepanjang kiri jalan, para tukang masak sedang membakar bandeng-bandeng pesanan para pemancing. Asap mengepul-ngepul menyebarkan aroma gurih bandeng bakar. Di sela-sela tukang bakar itu adalah para ibu yang sedang melakukan aktivitas mencabuti duri bandeng. Bandeng, sebagaimana yang kita ketahui, adalah jenis ikan yang duri lembutnya sangat banyak. Orang seringkali malas mengonsumsi bandeng yang sebenarnya rasanya sangat gurih itu karena malas berurusan dengan duri-durinya. Maka ibu-ibu yang menawarkan jasa cabut duri bandeng sangat membantu mengatasi persoalan tersebut. Seekor bandeng dihargai dua ribu rupiah untuk menghilangkan duri-durinya. Bebas dari duri. Mau dibakar, digoreng, dipepes, bandeng bisa dimakan dengan nikmat tanpa khawatir tertelan durinya yang lembut tapi jahat itu.

Tapi entah kenapa, mungkin karena kondisi habis hujan, tempat pemancingan itu terkesan becek di mana-mana, dan belum-belum sudah membuat selera makan kami hilang. Bau anyir dan kepulan asap dari pembakaran bandeng menghasilkan aroma yang mulek meski di alam terbuka. Kami batal makan di tempat itu, dan memilih keluar dari area pemancingan.

Kami lantas menuju ke TPI Banjarkemuning yang letaknya tidak jauh dari tempat pemancingan tersebut. Saya dan teman-teman jurusan PKK sering ke tempat ini. Membeli kepiting telur, dan memasakkan ke jasa pengolahan kepiting di warung yang ada di tempat itu juga, dengan masakan asam manis atau lada hitam. Bandeng, gurami, nila, kakap, cumi-cumi, udang, bahkan lobster juga tersedia, dan bisa diolah sesuai keinginan kita. Sore itu kami memesan dua bandeng bakar dan sekilo kepiting masak lada hitam untuk kami nikmati dengan nasi putih dan teh manis.

Senja mulai turun ketika kami keluar dari warung pasar ikan 'Pak Budi', nama warung tempat kami makan itu. Sekilo kepiting masak lada hitam saya tenteng menuju mobil. Jatah untuk Arga. Anak lanang kami itu sedang tidur di rumah, kecapekan setelah tadi malam manggung di Imperial Ballroom. Ichiro di gendongan mas Ayik, dan Rini membawa sebungkus nasi putih serta beberapa potong kepiting masak lada hitam, juga menuju mobil. Kami pulang dengan perut kenyang.

Meski gagal pulkam, hari ini kami dapat banyak. Silaturahim, buku-buku, bandeng bakar dan kepiting lada hitam. Insyaalah menjadi tambahan nutrisi bagi jasmani dan rohani kami. Amin.

Banjarkemuning, 27 Januari 2013

Wassalam,
LN

Kamis, 24 Januari 2013

Omah Ndeso dan Silaturahim

Sebuah rumah kecil di desa Brotonegaran, kelurahan Brotonegaran, kecamatan Ponorogo. Luas tanah 7 x 15 meter persegi. Dua kamar, satu ruang tamu, satu kamar mandi, dan sebuah ruang dapur. Kecil mungil. Ada pohon-pohon jati di sekeliling rumah, dan sebuah sungai memanjang di belakang rumah. Kebun jagung menghampar di depan halamannya. Udara bersih dan sejuk.

Rumah itulah yang saat ini sedang kami kunjungi. Seorang saudara mengabarkan tentang rumah itu. Dia, namanya dik Ria, putrinya bulik, adik ibu mertua. Dia sendiri sudah punya rumah besar di Griya Mapan Brotonegaran. Rumah kecilnya itu hanya untuk investasi. Dia dengan ringan hati mempersilakan kami untuk mengambil alih rumah mungil itu kalau kami berminat. Tidak ambil untung. Harga persis sama dengan ketika dik Ria membelinya. Dia hanya ingin supaya keinginan kami untuk memiliki sebuah rumah singgah di Ponorogo bisa terwujud. Selama ini kalau kami ke Ponorogo, kami tinggal di rumah keprabon yang sekarang ditinggali bu Heni, bulik kami sekeluarga. Bu Heni inilah ibunya dik Ria.

Adik misan kami ini memang sangat bersahabat. Sangat 'nyedulur'. 'Ndilalah' gampang rezeki juga. Suaminya, dik Budi, bekerja di PLN. Saat ini mereka sekeluarga tinggal di Jambi, karena dik Budi tugasnya di PLN Provinsi Jambi. Rezeki mereka berlimpah sejak awal membangun rumah tangga. Saat ini sudah ada sepasang anak yang melengkapi kebahagiaan keluarga, dan saat ini juga, di perut dik Ria ada jabang bayi berusia empat bulan. Rumah tempat tinggal mereka yang besar di Ponorogo dikontrakkan, dan mereka menempati rumah dinas yang luas di Jambi. Dik Ria sendiri yang pada awalnya adalah karyawan BNI Syariah memilih resign dan bekerja di rumah supaya bisa menemani putra-putrinya. Senang sekali melihat kehidupan adik misan kami itu yang penuh dengan kebahagiaan dan kelimpahan rezeki. Alhamdulilah.

Oya, kembali ke rumah mungil itu. Tentu saja kami berminat dengan rumah itu. Begitu juga bapak dan ibu, yang memang bersama-sama kami datang ke Ponorogo ini dengan salah satu tujuan untuk ikut melihat rumah. Pak Anwar dan bu Heni, paklik dan bulik kami, juga bersama-sama kami. Jadi saat ini kami berenam. Mengitari rumah kecil itu, melihat sungai yang menghampar di belakang rumah, dan memetiki ciplukan liar yang lagi berbuah. Menyenangkan sekali.

Setelah puas memandangi rumah dan sekitarnya, kami semua memasuki mobil. Sekarang waktunya makan nasi pecel. Jam menunjukkan pukul 09.00. Waktu yang tepat untuk sarapan pagi. Warung nasi pecel iwak kali di desa Sekayu menjadi pilihan. Hmm.....sego pecel Ponorogo memang top. Inilah salah satu makanan 'klangenan' kami setiap pulang kampung ke Ponorogo. Selain sate ayam, sate kambing, dan gule kambing. Tapi dua makanan terakhir ini sedang kami posisikan sebagai musuh bebuyutan. Dia sangat potensial untuk meningkatkan kandungan trigliserida, asam urat, dan kolesterol. Mending makan sego tahu, salah satu makanan lain yang juga menjadi klangenan kami.

Selesailah sudah prosesi makan sego pecel. Bapak, yang 'dahar' dengan tangan kirinya, menuntaskan isi piring tanpa tersisa sedikit pun. Ibu, pak Anwar dan bu Heni, juga tentu saja saya sendiri, sudah membereskan sepaket nasi pecel itu. Satu paket terdiri dari nasi pecel, dengan lauk ikan kali yang digoreng renyah berbalut tepung dan selembar rempeyek udang. Bahkan di luar paket itu, kami sudah menambahkan lento, tempe kepleh (mendoan) dan pia-pia (ote-ote). Mas Ayik bahkan sudah 'tandhuk'. Ya, meski dia sedang dalam program diet dan dalam pengawasan ketat seorang ahli gizi (maksudnya ya saya sendirilah ahli gizi itu....hehe), tapi demi melengkapi kebahagiaan momen ini, dia saya beri kelonggaran. Tapi minumnya tetap, teh tawar. Teh tanpa gula. 

Sekarang saatnya melakukan lawatan dari satu saudara ke saudara yang lain. Waktu yang hanya sehari ini akan kami manfaatkan untuk mengujungi bu Har, adik bapak yang juga sudah sepuh dan tinggal di rumah keprabon. Selanjutnya ke rumah dik Iyong, kakak dik Ria, yang baru 'mbangun' rumah. Juga ke saudara-saudara lain dan teman-teman masa kecil bapak. Kebetulan, beberapa teman masa kecil bapak adalah juga orang tua teman-temannya mas Ayik. Juga, yang terpenting, berziarah ke 'pesarean' mbah kakung dan mbah putri, bapak ibunya bapak. Seterjangkaunya. Pisto. Tipis-tipis sing penting roto. Hehe. Karena nanti sore kami sudah harus bertolak ke Surabaya. Besok, kembali beraktivitas. Kembali ke rutinitas.

Seperti kata sahabat-sahabat saya (M. Khoiri, Samsulhadi, Sirikit Syah, Suhartoko, dll), mari melakukan  silaturahim untuk menyeimbangkan hidup. 'Nuruti gawean gak onok entekke'. Karena silaturahim ini juga, mas Ayik yang kemarin sakit, tiba-tiba sehat. Dia mengemudikan sendiri mobil kami dan menolak membawa driver. Silaturahim memang memberikan kesehatan. Sehat lahir dan sehat batin. Insyaalah, barokah Maulid Nabi juga. Alhamdulilah.

Ponorogo, 24 Januari 2013
   
Wassalam,
LN

Senin, 21 Januari 2013

Disangka Asam Urat

Surabaya, 20 Januari 2013

Sore ini saya mengantar suami saya, mas Ayik, ke dokter Achmad, dokter langganan kami. Seminggu ini dia mengeluhkan lutut kirinya yang bengkak dan sakit. Sebenarnya seminggu yang lalu saya sudah membawanya ke dokter, dan mas Ayik sudah minum obat resep dari dokter untuk menyembuhkan asam uratnya. Selain itu juga minum air rebusan daun salam yang setiap sore saya sediakan (tapi yang merebuskan daun salamnya mbak Iyah, penjaga rumah kami. Terimakasih, mbak Iyah).

Dokter juga menyarankan supaya mas Ayik mengurangi aktivitasnya dan lebih banyak beristirahat. Nah, untuk nasehat yang terakhir ini, mas Ayik tidak bisa lakukan. Setiap pagi dia selalu sibuk di halaman, menyapu, membersihkan tanaman dari daun-daun yang menguning. Lantas bersiap berangkat kerja. Karena Terios yang dikemudikannya bukan mobil matic, maka kaki kirinya yang meskipun bengkak harus terus bekerja ngoper-ngoper kopling.  Apalagi ketika kami 'ketempatan' Kohiga Masaki, mahasiswa dari Aichi University of Education, Jepang, yang homestay di rumah. Pagi-pagi mas Ayik sudah mengajaknya bersepeda, muter-muter di Masjid Al-Akbar dan blusukan di pasar tradisional. Besoknya, karena Arga ada acara manggung, maka mas Ayik juga harus pegang setir lagi ketika mengantar Masaki mengunjungi situs-situs peninggalan Majapahit di Trowulan Mojokerto dan lanjut ke Taman Safari. Dia tidak bersedia saya gantikan. Jadi sehari itu mas Ayik mengemudikan mobil sejauh kira-kira 150 km, dengan kondisi jalan yang sesekali macet, dan dengan dengkul yang bengkak.

Tak ayal, sepulang dari travelling itu, sakit di lutut mas Ayik semakin parah. Saya merasakan panas sekali di lututnya ketika saya memegangnya. Tempo hari dokter bilang ada radang di bagian tersebut, indikatornya adalah suhu panas itu. Tapi dasar mas Ayik, dia cuma cengar-cengir saja ketika saya ingatkan tentang 'kendablegannya'. Makan durian, tape, bersepeda, dan mengemudikan mobil. Tapi wajahnya yang meringis menahan sakit benar-benar membuat saya iba dan harus memutuskan untuk 'bertangan besi'. Malam itu, pada saat farewell party di restoran Layar, dalam rangka penutupan Students Exchage Program dari Aichi University of Education, berbagai makanan yang membahayakan, saya sisihkan. Sup asparagus, kepiting goreng dan udang saus mayo, saya jauhkan dari jangkauannya. Mas Ayik harus cukup puas hanya dengan nasi putih dan ikan bakar. Dia tersenyum kecut melihat saya yang memelototinya tak peduli. Arga dan Masaki tertawa-tawa melihat tingkah saya dan wajah memelas mas Ayik.

Sore ini dokter memberi resep obat lagi yang harus diminum mas Ayik. Hanya untuk sehari, karena besok pagi mas Ayik harus periksa di lab. Mas Ayik juga mendapatkan surat keterangan sakit untuk keperluan izin tidak masuk kerja selama tiga hari. Malam nanti, mulai pukul 21.00, mas Ayik harus puasa. Besok pagi, sekitar pukul 07.00, mas Ayik harus saya bawa ke Lab Pramita untuk pemeriksaan panel profit lemak, asam urat, glukosa darah puasa, rhematoid factor dan genu sin AP/Lat. Pemeriksaan yang terakhir itu saya tidak tahu tentang apa. Saya akan tanyakan ke dokter kalau kami sudah dapatkan hasil pemeriksaan besok. 

***
Surabaya, 21 Januari 2013 

Pukul 07.00 kami sudah berada di ruang Lab Klinik Pramita. Ramah, bersih, wangi. Sejak dari halaman parkir, kami sudah merasakan aroma keramahtamahan. Dua petugas security memandu kami ketika parkir mobil. Begitu mobil parkir, satu orang dengan santun membuka pintu di bagian kanan, dan seorang lagi membuka pintu bagian kiri. Ketika melihat mas Ayik agak 'dengklang' jalannya, mereka menawarkan apakah perlu diambilkan kursi roda. Mas Ayik menolaknya dan memilih menggelayut di lengan saya sambil menyeret kaki kirinya memasuki ruang lab.

Begitu sampai di depan pintu lab, seseorang membukakan pintu untuk kami dan lengkap dengan senyumnya dia menawarkan: 'ada yang bisa kami bantu, ibu?' Saya mengangguk membalas senyumnya, dan dia mengambilkan lembaran antrian, kemudian menyilakan kami duduk menunggu panggilan.

Saya sudah beberapa kali memasuki Lab Klinik Pramita di jalan Adityawarman ini. Saya suka interiornya yang ramah, para petugasnya yang santun, lantainya yang bersih mengkilat tapi tidak licin, toiletnya yang wangi, dan musholanya yang nyaman. Saya suka cara mereka menata mukena-mukena, digantung dengan sangat rapi. Dengan begitu mukena yang basah terkena air wudhu bisa diangin-anginkan, menjaga mukena tetap bersih dan tidak apek. Di banyak masjid yang saya pernah datangi, mukenanya banyak yang kotor, kumal, apek, dan 'tayumen' ( banyak noda berupa titik-titik hitam, disebabkan jamur yang dihasilkan dari mukena yang dilipat dalam keadaan lembab). Entah kenapa, di banyak tempat ibadah, di mushola atau di masjid, kebersihan seolah tidak terlalu dipentingkan, baik di toilet, tempat wudhu, dan bahkan di tempat sholatnya. Entah kemana 'annadhofatu minal iman' itu ya? He he. Sedih juga menyadari betapa masih minimnya kesadaran dan budaya bersih dari sebagian besar saudara kita ini.

Mas Ayik sedang diambil darahnya oleh petugas lab.
Nama mas Ayik segera disebut tak berapa lama setelah saya lapor di loket dua. Saya membantu mas Ayik berdiri dari kursi, memapahnya memasuki ruang pemeriksaan darah. Darah mas Ayik disedot beberapa mili. Setelah selesai, kami dipersilakan menunggu lagi untuk foto rontgen. Hanya sekitar lima sepuluh menitan, nama Tuan Baskoro Adjie dipanggil. Maka saya pun membantu lagi mas Ayik berdiri dari kursinya, dan memapahkan memasuki ruang foto rontgen. Petugas menyilakan saya menunggu di luar ruangan supaya tidak terkena radiasi.

Proses pemeriksaan selesai. Tinggal menunggu hasilnya nanti pukul 16.00. Semoga semuanya baik-baik saja.

***

Hujan turun cukup deras. Mendung gelap menggayut di langit. Di bawah terpaan angin yang hembusannya membuat pepohonan bergoyang-goyang, saya mengemudikan mobil menuju Lab Klinik Pramita. Mas Ayik duduk manis di sebelah saya. Sesekali dia bilang 'awas....awas....' untuk memperingatkan saya supaya saya hati-hati pegang kemudi. Saya guyoni dia: 'gak usah awas-awas....wis eruh. Aku iki wis tahun-tahunan dadi supir....' Dia ngakak saja.

Tepat pukul 16.00, kami sudah berada di tempat parkir. Dua petugas dengan membawa payung menghampiri mobil kami. Masing-masing membukakan pintu untuk saya dan mas Ayik, dan membantu kami mencapai teras. Tak perlu menunggu lama, saya langsung dipersilakan untuk menuju ke petugas yang tempatnya paling ujung, dan segera menerima hasil pemeriksaan darah dan foto rontgen.

Usai dari Lab Klinik Pramita, kami langsung menuju tempat praktek Dokter Achmad. Dokter Achmad sudah seperti bagian dari keluarga kami. Sejak Arga bayi, beliau yang 'pegang'. Meski bukan dokter spesialis anak, beliau sepertinya tahu betul bagaimana menangani anak. Semua catatan kesehatan kami sekeluarga ada pada beliau. Bahkan termasuk catatan kesehatan bapak ibu mertua dan ibu saya sendiri. Rumah beliau dekat dengan rumah kami. Kalau ada salah satu anggota keluarga kami yang sakit, beliau tidak segan-segan mampir ke rumah sambil jalan-jalan pagi. Sekedar memastikan kondisi kami baik-baik saja atau perlu tindakan medis. Kalau dihitung-hitung, persahabatan kami dengan dokter Achmad sama dengan usia pernikahan kami. Hampir dua puluh tiga tahun. Bukan waktu yang singkat.

Dokter Achmad geleng-geleng kepala melihat hasil pemeriksaan darah mas Ayik. Terutama pada kandungan trigliserida, angkanya 353. Angka itu dua kali lipat lebih dari batas normal yang lebih kecil dari 150. Kategorinya termasuk tinggi. Sementara HDL cholesterolnya rendah, hanya 38, di bawah batas lebih kecil dari 40. Padahal HDL ini adalah kolesterol baik, yang menjaga kesehatan jantung. Syukurlah, menurut Dokter Achmad, cardio risk index (CRI)-nya masih aman, yaitu 2,6. Namun Dokter Achmad menegaskan bahwa angka yang tinggi pada Trigliserida merupakan peringatan bahwa kami harus hati-hati.

Selain itu, glukosa darah puasa mas Ayik juga di atas batas normal, yaitu 169. Didiagnosis diabetes mellitus bila sama dengan atau lebih besar dari 126. Peringatan kedua untuk kami supaya lebih berhati-hati.

Lantas apa yang terjadi dengan lutut mas Ayik yang sakit? Ternyata penyebabnya bukan asam urat. Hasil pemeriksaan menunjukkan asam urat normal, yaitu 5,3. Kolesterol juga juga normal, di bawah 200, atau tepatnya 185. Setelah Dokter Achmad mencermati hasil foto rontgen lutut kiri, yaitu pemeriksaan Genu Sin AP/Lat, ternyata ada kesan terdapat osteoarthrosis genu sinitra. Radang sendi. Rasa sakit itulah akibatnya.

Dokter menyarankan supaya mas Ayik mengutangi aktivitas yang membuat sendi lututnya tertekan. Olah raga yang high-impact dihindari. Begitu dokter mengatakan bahwa bersepeda adalah olahraga yang bagus dan cocok, mas Ayik menarik nafas lega. Tapi, kata dokter, cukup di jalan datar saja, jangan yang offroad, menanjak, menurun, supaya kerja sendi lutut tidak berat. Nah lho.... 

Dokter hanya memberikan obat untuk lutut mas Ayik. Viostin DS. Obat yang harus dikonsumsi dalam jangka lama, dengan dosis yang berangsur-angsur dikurangi. Untuk trigliserida dan diabetesnya, dokter mempercayakan pada saya untuk mengatur diet mas Ayik dengan relatif ketat. Saya senyum-senyum saja sambil menengok ke arah mas Ayik yang cengar-cengir. Dokter juga tergelak melihat tingkah kami. Beliau tahu kalau selama ini saya sudah berusaha mengatur diet mas Ayik, tapi dasar memang mas Ayik yang 'ndablek'. He he. Tapi kali ini dokter 'wanti-wanti' betul, kalau mas Ayik harus diet dan harus 'manut' sama saya. Nah kan....

Peringatan untuk kita semua untuk selalu jaga pola hidup termasuk pola makan, cukup olah raga dan cukup tidur, banyak makan sayur dan buah, juga banyak mengonsumsi air putih. Hindari makanan berlemak, makanan dan minuman yang manis, minuman bersoda, durian dan tape. Dan yang terpenting, selalu mengembangkan pikiran positif serta niimati hidup dengan penuh rasa syukur.

Wassalam,
LN

Jumat, 18 Januari 2013

Kohiga Masaki yang Suka Nasi Goreng

Akhirnya anak itu muncul. Turun dari mobil kampus, menenteng dua tas kecil, dan sebuah koper besar. Senyumnya mengembang begitu melihat sosok saya. "Selamat sore..." Ujarnya dengan sikap tubuh setengah membungkuk. Sangat khas. Tubuh jangkungnya memaksa saya untuk menengadah saat membalas senyumnya. Anak muda yang tampan, dengan kacamata yang sangat serasi melekat di wajah bulatnya yang putih bersih.

Saya membawanya menuju mobil kecil saya yang sudah sejak sepuluh menit yang lalu saya parkir di halaman rektorat. Setelah memasukkan koper besarnya di bagasi mobil, dan dia duduk di sebelah saya yang siap mengemudi, kami melaju pelan ke arah pulang, sambil berbincang-bincang ringan, berbasa-basi. Saya tanyakan apa saja aktivitasnya hari ini, senangkah, capekkah, dan lain-lain. Dia menjawab dengan bahasa Inggrisnya yang terpatah-patah, dengan artikulasinya yang kadang tidak terlalu jelas di telinga saya. Tapi kami tetap bisa ngobrol gayeng. Tentang adik perempuannya, tentang ayahnya yang seorang banker, dan ibunya yang bukan wanita bekerja. Saya juga menceritakan tentang keluarga saya, tentang anak semata wayang saya yang kuliah di Seni Musik, dan suami saya yang mungkin sekarang sudah pulang kerja dan sedang menunggu kami di rumah.

"I want to eat nasi goreng". Tiba-tiba Masaki, begitu nama anak muda itu, nyeletuk. Saya spontan tertawa. "Nasi goreng? Ok, you'll get nasi goreng for your dinner". Tapi pikiran saya segera terbayang berbagai hidangan yang saat ini pasti sudah tertata di atas meja makan di rumah. Nasi putih, mie goreng, capjai, fuyunghai, sup sayur bakso ayam, dan perkedel. Tidak ada nasi goreng. Saya memang berencana memasak nasi goreng, tapi untuk sarapan pagi besok. Bukan untuk makan malam.

Sesampai di rumah, mas Ayik, Arga, Iyah dan Andra, menyambut kami. "Welcome, Masaki." Sambut mas Ayik pada Masaki. Seperti ketika bertemu saya tadi, Masaki mengucapkan selamat sore, dengan sikap tubuh setengah membungkuk. Dia memperkenalkan diri pada semua orang yang sedang menyambutnya itu. Senyumnya ramah dan sikapnya sangat sopan, namun nampak betapa periangnya dia.
 
Senja ini, kami mengobrol di teras, ditemani buah-buahan lokal seperti manggis, salak dan pisang. Juga rengginang lorjuk.  Juga teh manis. Di luar, hujan rintik-rintik, rapat. Udara sejuk. Tapi Masaki berkeringat. Dia katakan, di Jepang saat ini sedang winter, suhu bisa mencapai -5 derajat Celcius. Tapi dia nampak sangat menikmati suasana. Dia katakan, rumah kami sebagai a very beautiful home. Ya, tentu saja dia harus bilang begitu. Rumah ini akan menjadi rumahnya selama tiga hari ini, dan kami adalah host parents untuknya. Maka dia harus menyukai rumah kami, menyukai kami, dan memang, saya yakin semuanya menyenangkan bagi dia. Bukan hanya karena rumah kecil kami yang teduh, tapi lebih dari itu, adalah keramah tamahan dan ketulusan kami menerimanya sebagai anggota keluarga.

Malam ini Masaki mendapatkan yang diidam-idamkannya. Nasi goreng. Andra, mahasiswa saya yang juga anggota tim teknis di program SM-3T Unesa, dengan cepat menghidangkan nasi goreng itu setelah dia meluncur ke rumah makan Anda untuk mendapatkannya. Menyenangkan melihat Masaki menikmati semua yang kami hidangkan malam itu. Kata mas Ayik dan Andra, Masaki tak ada bedanya dengan Arga, anak kami. Sumego. Hehe....
   
Kohiga Masaki adalah salah satu dari tujuh mahasiswa peserta Students Exchange Program dari Aichi University of Education, Jepang. Mereka akan mempelajari banyak hal terkait dengan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia. Dari tujuh mahasiswa tersebut, dua di antaranya homestay di rumah pak Rektor, satu di rumah pak PR 3, satu di rumah pak PR 4, satu di rumah pak Roni (Kaprodi Pendidikan Bahasa Jepang), satu di rumah pak Martadi, dan satu di rumah kami. Mereka dari berbagai program studi, musik, sains, kesehatan, matematika dan sosial. Masaki sendiri adalah mahasiswa dari program studi sains. Saat ini dia, juga semua temannya, duduk di semester enam. 
Kami menghabiskan malam itu dengan berbincang-bincang ngalor ngidul. Masaki membuka ipadnya dan menunjukkan kepada kami foto-foto tentang Jepang. Dia menceritakan tentang Tokyo Sky-Tree, pagoda dan candi-candi tempat ibadah mereka, serta tempat-tempat rekreasi yang menyenangkan.

Mas Ayik bersama Masaki berlatar belakang patung Budha.
Besok pagi, Masaki akan diantar Arga ke kampus Lidah. Bersama teman-temannya, mereka akan mengikuti workshop Writing Japanese Calligraphy, dan menghadiri diskusi dengan mahasiswa FIS Unesa tentang Earthquake Education. Kemarin mereka mengunjungi SD Lab Unesa, Lapindo, Batik Sidoarjo, SMP Al Falah dan menyaksikan pertunjukan musik dari mahasiswa FBS. Berbagai aktivitas lain masih menunggu sampai hari Minggu besok, sebelum mereka bertolak ke Bali serta kembali ke Jepang.

Tentu saja, di antara aktivitasnya yang padat itu, kami sebagai host parents-nya juga sudah menyiapkan berbagai acara. Kami pastikan, Masaki akan pulang ke Jepang dengan kesan yang sangat manis tentang Indonesia, tentang keindahan alamnya, tentang budayanya yang mengagumkan, tentang makanannya yang lezat, dan tentang orang-orangnya yang ramah dan menyenangkan.

Surabaya, 17 Januari 2013

Wassalam,
LN

Kamis, 03 Januari 2013

Tentang Pelampung dan Kodikmar

Beberapa hari ini kami mencari sejumlah pelampung untuk kami kirimkan pada para peserta SM-3T yang bertugas di wilayah perairan. Ya, setelah jatuhnya dua korban meninggal dunia peserta SM-3T dari UPI, karena perahunya terbalik saat perjalanan pulang dari kegiatan di tempat lain di seberang laut tempat mereka
bertugas, kami begitu mengkhawatirkan para peserta yang bertugas di wilayah perairan. Dari sebanyak 178 peserta, ada 31 peserta yang bertugas di Maluku Barat Daya (MBD), sekitar 14 peserta di Aceh Singkil, dan 4 peserta di Pulau Selura, Sumba Timur, yang memerlukan pelampung. Untuk menuju ke desa terdekat
saja mereka harus menggunakan transportasi laut, untuk berbelanja, rapat ke kecamatan, atau mengambil beasiswa, mereka harus menyeberang laut menantang ombak. Bertaruh nyawa.

Maka kami putuskan untuk mengadakan sebanyak 70 buah pelampung. Yang kami perhitungkan tentu saja tidak hanya para peserta, namun juga para pemonev ketika nanti harus turun ke lokasi dan merambah wilayah perairan. Pelampung itu akan menjadi inventaris SM-3T Unesa, dan bukan menjadi hak milik para peserta.

Saya mencoba menghubungi seorang teman yang saya perkirakan paham masalah pelampung. Tidak perlu berlama-lama, sehari setelah saya menyampaikan maksud saya, teman saya itu datang dengan membawa contoh pelampung. Pelampung yang bagus, kuat dan tebal. Standar rafting. Ya, karena teman saya itu adalah
pengelola sebuah jasa wisata rafting, setidaknya dia punya saham di tempat wisata itu. Terjadilah negosiasi harga sampai akhirnya kami bersepakat. Harga per pelampung adalah Rp. 100.000,-. Saat itu, menurutnya, pelampung yang sudah ready ada 40 buah. Saya minta dia segera mengirimkannya ke sekretariat SM-3T di
Gedung Gema. Dia janjikan minggu depannya akan dikirim. Maka saat itu juga Andra dkk, tim teknis SM-3T, saya minta untuk menanyakan alamat pengiriman pelampung ke daerah tujuan Sumba Timur. Talaud, Aceh Singkil dan MBD. Kami pastikan pelampung bisa segera dikirim.

Tapi apa daya. Ketika perwakilan peserta SM-3T dari empat wilayah penugasan itu
telah memberikan alamat pengiriman pelampung, pelampung yang kami pesan tidak
kunjung datang. Teman saya bilang katanya stock 40 buah ternyata digunakan
sendiri oleh pengelola rafting, dan dijanjikan minggu depannya pesanan saya akan
dikirim. Minggu depan, dan minggu depannya lagi, ternyata pelampung tidak
kunjung datang. Saya mencoba menghubungi teman saya itu lewat ponselnya, tidak
diangkat. Beberapa lewat sms, tidak dibalas. Maka tanpa pikir panjang, saya
kirimkan pesan singkat, bahwa pemesanan pelampung sementara pending. Tentu saja
maksud saya batal. Tapi tidak enak juga mau bilang cancel. 'Musuh konco'. Tapi
terus-terang saya kecewa juga sih dengan cara dia melayani. 'Nggak
mrecayani...hehe.'

Sampai akhirnya saya bertemu dengan teman yang lain lagi, kebetulan juga
pengelola rafting, tapi beda tempat. Ya, memang banyak teman saya yang menjadi
pemilik dan atau pengelola rafting. Songa, Kasembon, Obech, dan lain-lain, eksis
berkat tangan-tangan dingin mereka.

Kembali ke urusan pelampung. Saya mencoba menjajagi kemungkinan untuk memesan
pelampung. Ternyata teman saya itu menyanggupi untuk memesankan sebanyak yang
kami perlukan. Pucuk dicinta ulam tiba. Namun ketika dia menyebutkan harga, saya
spontan bertanya 'gak oleh kurang tah?'. Harga Rp. 150.000,- terlalu mahal,
karena saya sudah cek pelampung yang ditunjukkannya sama persis kualitasnya
dengan pelampung yang telah saya lihat di teman saya yang pertama.

Entah kenapa, tiba-tiba mas Ayik, suami saya nyeletuk. 'Pesan ke marinir saja
lho', katanya. Marinir. Spontan saya ingat Kodikmar. Komando Pendidikan Marinir.
Sebuah kompleks di kawasan Gunungsari. Tempat para peserta SM-3T dikarantina
selama kegiatan prakondisi beberapa bulan yang lalu, menjelang pemberangkatan
ke tempat tugas masing-masing. Kawah candradimuka yang membentuk dengan cepat
kedisiplinan, ketahanan fisik dan mental, serta keteguhan hati para calon guru
pengabdi itu. Beberapa sosok berkelebat. Sosok-sosok yang tegap, tegas, namun
begitu peduli dan murah senyum. Betul. Sungguh citra marinir di mata saya
berubah drastis setelah saya mengenal para marinir di Kodikmar itu. Bukan sosok
yang angkuh dan 'kejam', sebagaimana kesan yang selama ini tersimpan di benak
saya. Ya. Setelah sekitar dua minggu berinteraksi dengan relatif intens dalam
rangka berbagi tugas untuk pembekalan para peserta SM-3T, marinir di mata kami
adalah manusia-manusia yang disiplin, tegas, sekaligus ramah namun penuh hormat.

Salah satu sosok yang baik hati itu adalah Kapten Marinir Ebri Badra. Maka tanpa
pikir panjang, saya sms beliau. Mengucapkan selamat tahun baru dan doa untuk
kesehatan dan kesuksesannya. Juga, tentu saja, menanyakan tentang pelampung. Pak
Badra langsung membalas sms saya, mengucap selamat tahun baru juga dengan doa
yang sama juga. "Mengenai pelampung, nanti saya telusuri, bu. Yang dibutuhkan
berapa buah?" Tanyanya.

Oleh karena pada saat itu masih dalam liburan natal dan tahun baru, sekitar dua
hari kemudian saya baru menerima kabar dari pak Badra. Beliau menyebutkan sebuah
harga pelampung yang jauh lebih murah dari harga yang telah saya dapatkan dari
teman-teman saya sebelumnya. Pak Badra juga mengirimkan foto pelampung. Beliau
pastikan, pelampung tersebut bagus kualitasnya dan sangat memadai untuk
kebutuhan para peserta SM-3T. Bila hari ini kita pesan, maka dua hari lagi
pelampung sudah akan dikirim ke Kodikmar, dan nanti Kodikmar yang akan
mengirimkannya ke Unesa.

Tak ayal saya pun langsung mengucap terimakasih pada pak Badra. Untuk perhatian
dan bantuannya. Ketika saya menyatakan permohonan maaf karena telah
merepotkannya, beliau cepat memotong kalimat saya, bahwa saya sama sekali tidak
merepotkan, karena 'kita kan satu tim, bu...' Katanya. "Saya hanya terbayang
perjuangan adik-adik kita di luar sana, bu. Mudah-mudahan mereka diberi
kekuatan oleh Allah SWT... Saya bandingkan, ketika kami bertugas di pulau
terluar, kami dibekali senjata. Namun adik-adik itu hanya berbekal ketulusan
hati saja untuk mengajar."

Terimakasih, pak Badra. Terimakasih, Kodikmar. Semoga Allah SWT senantiasa
memberikan perlindungan dan kekuatan pada kita semua dalam menjalankan tugas
sebaik-baiknya. Demi mencerdaskan anak bangsa. Demi menjaga keutuhan NKRI. Amin.

Surabaya, 3 Januari 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 28 Desember 2012

Outbond PPS Unesa

Akhirnya saya memutuskan mengikuti kegiatan ini. Outbound Keluarga Pascasarjana (PPS) Unesa. Tahun-tahun sebelumnya saya tidak pernah ikut. Saya lebih memilih berakhir pekan dengan keluarga di rumah. Liburan akhir pekan merupakan kesempatan yang mahal, dan menghabiskannya dengan orang-orang dekat kita tanpa keluarga, betapa tidak menyenangkan. Tapi mas Ayik mendorong saya untuk ikut. Itu kesempatan baik yang bisa saya gunakan untuk membangun keakraban dengan anggota keluarga PPS yang lain, mulai dari direktur, para asisten direktur, kaprodi dan sekprodi, tata usaha sampai dengan teman-teman di bagian kebersihan, keamanan, dan parkir.

Baiklah, akhirnya saya ikuti saran mas Ayik. Bergabung dengan teman-teman PPS. Dalam satu bus pariwisata kami berangkat dari halaman pasca. Saya bersisian dengan Prof. Siti Masitoh, asisten direktur 2. Begitu bus berangkat sekitar pukul 07.15, kami langsung terlibat obrolan tentang pentingnya acara semacam ini. Ya, tentu saja. Ketika semua dari kita berkegiatan di lapangan, saling bantu-membantu dalam berbagai aktivitas, tanpa sekat, bebas lepas, maka akan robohlah tembok-tembok pembatas. Tidak ada direktur dan tukang sapu. Tidak ada kaprodi dan tukang parkir. Ice breaking, team building, dan games lain yang menantang sekaligus menyenangkan.

Pagi ini kami sarapan pagi di rumah makan Mojorejo di Porong. Lantas melanjutkan perjalanan ke Bakti Alam, menikmati wisata alam di agrowisata ini. Bagi saya, ini kedua kalinya kunjungan saya ke Bakti Alam. Beberapa waktu yang lalu, kami sekeluarga bersama adik kami, juga bersama keluarganya, berkunjung ke Bakti Alam.

Wisata di Bakti Alam diperkirakan sampai pukul 12.00. Makan siang di Bakti Alam. Selepas dari sana, perjalanan dilanjutkan menuju hotel Grand Pujon View, di Pujon, Kota Batu. Check in, acara bebas, makan malam, dan malam keakraban. Nah, pada malam keakraban inilah dibuka dialog terbuka. Prof. Masitoh mengatakan, acara tersebut sebagai momen curhat. Brainstorming. Siapa saja boleh ngomong apa saja, boleh usul apa saja, boleh mengeluhkan apa saja. Boleh nyanyi-nyanyi juga. Tentu saja setelah acara curhat itu selesai.

Sepanjang perjalanan saya banyak berkaraoke, bergantian dengan teman-teman. Tidak peduli suara bagus atau tidak, yang penting ramai dan semua senang. Namanya juga acara suka ria....

Besok pagi, acara dimulai dengan senam pagi, tracking gunung Banyak, baru makan pagi. Setelah makan pagi, inilah acara yang ditunggu-tunggu, outbond. Selesai outbond, persiapan check out,  makan siang, dan check out. Melanjutkan perjalanan menuju Kasembon untuk kegiatan rafting. Rafting diperkirakan selesai pukul 16.00. Makan malam di Kasembon, kemudian melanjutkan perjalanan pulang ke Surabaya. Diperkirakan pukul 21.00 baru akan tiba di Surabaya. Wow, padat juga acaranya yaaa......

Pandaan, 29 Desember 2012

Wassalam,
LN

Surat dari MBD

Sore ini, ketika saya ada di ruang sekretariat SM-3T di Gedung Gema, pak Heru Siswanto datang. Beliau salah satu tim SM-3T. Tiga pucuk surat dibawanya. Satu untuk saya, satu untuk pak Yoyok, satu untuk pak Heru sendiri. Itu adalah surat dari Nanda, salah seorang peserta SM-3T yang bertugas di Maluku Barat Daya (MBD). Kebetulan rumah Nanda di Mojokerto, dekat dengan rumah pak Heru. Nanda berkirim surat kepada bapak ibunya di Mojokerto, dan menitipkan tiga pucuk surat itu untuk kami bertiga.

Seperti seorang ibu yang sudah sangat  lama menyimpan kerinduan pada anaknya, saya langsung meraih surat yang diulurkan pak Heru, meninggalkan pekerjaan saya mengecek data calon peserta PPG angkatan pertama.  Saya membuka amplop coklat itu dengan perasaan tidak sabar, dan membacanya dengan seksama. Sambil membayangkan sosok itu. Nanda Okkyanti, salah satu peserta SM-3T Unesa yang ditugaskan di Maluku Barat Daya.

Surat itu tertanggal 2 Desember 2012. Nanda menulisnya pada pukul 22.25 WIT. Menghayati kata demi kata yang ditulisnya dalam surat itu, saya tidak bisa menahan haru. Huruf-hurufnya menjadi kabur karena mata saya basah. Saya tidak tahan untuk tidak menangis. Saya bangga pada anak-anak kami yang begitu luar biasa itu. Anak-anak muda yang dengan sepenuh hati mengabdikan dirinya untuk anak-anak bangsa yang sangat membutuhkan uluran tangannya. Saya tidak menangkap keluhan atau penyesalan sedikit pun dari untaian kalimatnya, meski mereka hidup dalam situasi yang sebelumnya tak pernah terbayangkan betapa sulitnya. Sebaliknya adalah rasa syukur karena memeroleh kesempatan itu dan komitmen untuk terus mengemban tugas mulia yang ada di pundak mereka.

"Ibu Luthfi, saya Nanda Okkyanti, salah satu anggota peserta SM-3T Unesa 2012 penempatan Maluku Barat Daya. Sebelumnya kami tidak membayangkan bagaimana kondisi kami, karena memang sangat sulit mencari informasi tentang Maluku Barat Daya di internet. Yang kami tahu, MBD terdiri dari pulau-pulau kecil. Setelah kami berangkat pun, belum ada informasi yang lebih jelas. Karena saat tiba di Ambon dan ada kesempatan beberapa hari tinggal di sana untuk menunggu pemberangkatan kapal, kami mencoba bertanya-tanya pada masyarakat. Namun mereka pun belum pernah ke MBD karena jangkauan yang sulit dan membutuhkan waktu yang lama."

Itulah surat pembuka Nanda. Saya jadi ingat, ketika pemberangkatan peserta ke MBD pada pertengahan Oktober yang lalu, Dr. Nanik Indahwati, salah satu tim pendamping, dosen FIK, menelepon saya dari Ambon. Waktu itu saya sendiri sedang ada di Menado dan bersiap untuk bertolak ke Talaud, juga dalam rangka mendampingi pemberangkatan para peserta SM-3T. Dia mengatakan kalau kapal yang akan membawa para peserta ke MBD kehabisan bahan bakar, dan harus menunggu, mungkin sampai sekitar lima hari. Bu Nanik bilang mungkin akan ada banyak pengeluaran tak terduga karena yang jelas peserta harus ditanggung konsumsinya selama lima hari itu. Belum lagi kalau harus terpaksa mencari penginapan.
Saya spontan mengatakan ke bu Nanik, ambil keputusan terbaik untuk semua. Kembali ke Surabaya tidak mungkin. Kalau memang harus mencari penginapan dan menanggung konsumsi para peserta selama di Ambon, tidak masalah. Bu Nanik dan tim yang paling tahu situasinya, maka saya menyerahkan segala keputusan pada bu Nanik dan Tim. Ada bu Nanik, pak Muhajir, dan Juliar. Konsekuensi membengkaknya dana operasional yang tak bisa dihindari bukan kesalahan kita dan kami tinggal melaporkannya ke Dikti.

Kami terus berkabar untuk saling mengecek perkembangan. Ternyata setelah berunding dengan tim, seluruh peserta SM-3T, petugas kapal, dan kepala Dinas PPO MBD, maka diputuskan para peserta tidak perlu menyewa penginapan, tapi menginap di kapal itu. Para peserta juga cukup puas hanya disediakan dua kali makan sehari. Mereka harus melompat dari satu kapal ke kapal lain untuk mencapai pantai dan menjemput kiriman makanan mereka dari sebuah katering. Saya sungguh prihatin dengan kondisi mereka.

Maka saya menelepon kepala dinas PPO ketika setelah tiga hari mereka 'kampul-kampul' di atas kapal tanpa kejelasan kapan kapal diberangkatkan. Waktu saya menelepon kadis,  beliau baru saja tiba di Ambon, juga dalam rangka menjemput para peserta dan menemui bu Nanik dan tim. Beliau juga menugaskan dua orang stafnya serta petugas kesehatan untuk menjemput para guru pengabdi itu. Demi menunjukkan kesungguhannya dalam 'ngopeni' para guru yang akan bertugas di daerah 'kekuasaannya' itu, pak Kadis bermaksud melakukan negosiasi dengan manajemen kapal.

Akhirnya, sebagaimana dikatakan bu Nanik, kapal benar-benar baru berangkat setelah lima hari bersandar di Ambon. Saya sangat mengkhawatirkan kondisi teman-teman tim dan tentu saja para peserta. Tapi mereka meyakinkan saya melalui telepon dan sms, mereka semua baik-baik saja. Angin laut yang panas menyengat ketika siang dan dingin menusuk ketika malam hari memang sangat mempengaruhi kondisi fisik mereka. Tapi, tanya mereka, bukankah kami semua sudah dibekali dengan pelatihan ketahanmalangan?

Karena tidak memungkinkan tim untuk mendampingi sampai ke MBD, maka bu Nanik dan tim melepas para peserta di pelabuhan Galala Ambon. Bersama dua staf dari Dinas PPO dan seorang petugas kesehatan mereka berlayar ke MBD. Tanggal 19 Oktober sekitar pukul 00.15 mereka berangkat. Baru sekitar tiga jam setelah kapal meninggalkan pelabuhan Galala Ambon, sinyal sudah tidak ada. Hilang sama sekali. Dalam suratnya untuk pak Yoyok yang juga saya ikut membacanya, Nanda bercerita: "Sekitar tiga jam keluar dari Pelabuhan Galala Ambon kami sudah kehilangan sinyal. Dari situ sampai keesokan hari kami sampai di pulau Damer, tidak ada sinyal. Dan setelah sampai di pulau Babar, tepatnya di Tepa dan Letwurung tempat 12 teman kami bertugas, tetap tidak ada satu sinyal pun. Hingga akhirnya tanggal 22 Oktober sekitar pukul 05.00 WIT kami tiba di pulau Semarta tepatnya di desa Mahaleta, tempat saya bertugas. Sisa 19 orang dari kami turun di sini semua. Langsung saya dan teman-teman singgah di rumah salah satu guru yang sampai sekarang menjadi tempat singgah saya sebelum rumah kepala desa selesai dibangun. Sampai di situ kami mengeluarkan HP dan harapan punah, tidak ada sinyal setengah bahkan seperempat garis pun."

Saya membayangkan Sumba Timur, lalu Talaud. MBD, saya yakin, kondisinya jauh lebih parah. Kami masih bisa sesekali menanyakan kabar pada para peserta SM-3T yang ada di Sumba, Talaud, dan juga Aceh Singkil. Tapi untuk MBD, kami sama sekali tidak bisa menanyakan kabar. Yang bisa kami lakukan adalah menunggu mereka mengirim kabar, baik lewat telepon kabel yang ongkosnya sangat mahal, atau lewat surat seperti ini.

Nanda menceritakan bahwa untuk mencapai desa lain, transportasi di sana dengan menggunakan perahu motor (di sana disebut motor). Tidak ada kendaraan bermotor di darat karena belum ada akses jalan. Untuk mencapai desa sebelah, menurut Nanda, bisa menggunakan dua alternatif. Pertama melalui laut menggunakan perahu motor dengan biaya 250 ribu-an. Yang kedua melalui jalur darat dengan track berupa gunung-gunung tandus serta pesisir pantai dengan bebatuan karang yang membuat kaki sulit melangkah. Rata-rata perjalanan dari satu desa ke desa lain dapat ditempuh dengan jarak dua jam jalan kaki.

"Sebelumnya saya mewakili teman-teman mohon maaf karena sesampai di sini tidak bisa langsung memberi kabar. Karena memang tidak ada sinyal sama sekali di kecamatan Mdona Hyera tempat kami mengajar. Namun karena desa tempat saya (Mahaleta) menjadi tempat berlabuhnya kapal, sehingga ada kesempatan untuk saya menitip surat pada masyarakat yang pergi ke Kupang untuk dikirim lewat pos. Kebetulan tanggal 15 Desember esok merupakan kapal terakhir sebelum nanti akhir Desember ada musim barat yang tidak ada kapal karena gelombang besar. Baru nanti sekitar bulan April kapal kembali beroperasi. Sedikit informasi untuk tim monev yang ke MBD nanti, ibu, supaya tidak salah informasi pemberangkatan kapal."

Para guru muda itu, menurut Nanda, sekarang punya kebiasaan baru. Mengirim surat yang dititipkan pada warga yang pergi ke desa sebelah baik yang jalan kaki maupun naik perahu motor. "Surat pertama yang membuat saya menangis adalah ketika tanggal 26 Oktober 2012 tepat hari raya Idul Adha kami tidak bisa keluar desa. Kami berlebaran sendiri dengan diri kami masing-masing. Rasanya sedih sekali, apalagi saat itu baru hari keempat. Tepat sebelum maghrib ada murid kami berteriak, ada surat dari Tepa (kecamatan sebelah yang dapat ditempuh dalam waktu satu hari dengan kapal). Surat dari Risna dan Noval, isinya memberikan kabar dan memberitahu kalau di tempat mereka ada sinyal. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya di zaman modern seperti ini, saya masih bisa merasakan berkomunikasi melalui surat. Surat menjadi begitu berharga buat kami. Jadi sekarang kalau ada hal penting kami selalu mengirim surat yang dititipkan pada masyarakat. Kalau ada kesempatan pun kami saling mengirim masakan atau sayuran. Walau kedengarannya hal itu lucu dan aneh, tapi so sweeettt...".

"Bahagia itu syukur". Begitu lanjut Nanda. "Dulu kalimat itu hanya sebuah kalimat yang saya dengar atau saya baca. Tapi di sini, setelah dua bulan saya banyak mendengar, melihat dan mengalami, kalimat itu saya pahami maknanya. Bahagia itu bukan dari seberapa besar atau seberapa banyak yang kita dapat, tapi seberapa besar rasa syukur kita meski mungkin sedikit yang kita punya. Di sini, bahagia itu ketika pulang sekolah lapar dan di meja ada sukun rebus; bahagia itu ketika haus dan masih ada air masak walau masih sedikit hangat; bahagia itu ketika di kamar mandi ada air bersih, ketika mau masak ada kayu bakar, ketika di kebun ada daun singkong muda untuk dibuat sayur. Bahagia itu ketika kita lapar dan tidak ada makanan kecuali nasi putih yang dicampur garam dan kelapa (hahaha....rasanya enak sekali)."

Nanda begitu pandai menguntai kata-kata. Kalimatnya lancar, deskripsinya begitu detil, dan perasaannya begitu terlibat. Ada dua lembar suratnya untuk saya, dua lembar untuk pak heru dan berlembar-lembar untuk pak Yoyok. Nanda adalah alumnus PGSD, mahasiswa pak Yoyok, tidak heran kalau dia begitu dekat dengan pak Yoyok. Di suratnya untuk pak Yoyok dia begitu lepas bercerita, semua hal yang unik, lucu, menyenangkan, sekaligus hal-hal yang mengharu-biru dan menguras air mata. Membaca surat-surat itu, saya serasa ingin terbang saja ke MBD, memeluk hangat mereka semua, melepas kerinduan saya pada mereka. Anak-anak muda yang hebat dan membuat kami semua bangga.

Nanda juga mengirim CD berisi video dan foto-foto. Di dalam salah satu video yang dibuatnya sendiri, "bermain sampan", nanda bermain sampan di laut yang luar biasa indah dengan murid-muridnya. Dia mengayuh sampan sampai agak ke tengah laut dan anak-anak kecil berkulit hitam itu berebut menaiki sampannya. Riang sekali mereka. Foto-fotonya juga sangat bagus. Konon, Nanda memang menyukai fotografi. Laut, bukit, gunung, rumah, dapur, sekolah, jalan, semua dipotretnya. Sebuah fotonya yang membuat hati saya bergetar dan mata mbrebes mili adalah ketika dia berpose di pantai dengan tulisan" SM-3T Unesa" yang besar sekali terukir di pantai. Juga sebuah foto temannya yang mengenakan topi, dan tulisan "SM-3T Unesa" begitu jelas. 

"Semoga ibu dan semua yang ada di sana selalu baik-baik saja dan sehat. Kami tunggu kedatangan ibu dan tim monev di MBD. Saya juga mengucapkan terimakasih pada ibu dan panitia SM-3T hingga sekarang saya berada di tempat ini. Mungkin bukan hal yang mudah pada awalnya. Tapi kami berusaha sebaik mungkin untuk beradaptasi dan menjalankan hari-hari kami di sini. Banyak sekali pelajaran yang saya dapat dalam segala keterbatasan dan kesederhanaan. Mungkin di sini saya rindu Jawa dan semua yang di sana. Tapi ketika kembali ke Jawa mungkin rindu saya tentang semua yang ada di sini akan lebih besar. Mungkin dengan cara menjalani setiap waktu di sini sebaik-baiknya akan meminimalisir rasa rindu ketika selesai masa tugas kami."

"Demikian surat saya, ibu. Semoga surat ini bisa sampai ke bu Luthfi. Jika ada kesempatan lagi untuk berkirim surat atau telepon, insyaallah saya akan berkabar lagi. Mohon doanya semoga kami selalu diberi kesehatan dan kelancaran menjalankan tugas sebaik mungkin."

Itulah penutup surat Nanda. Selamat berjuang, Nanda. Selamat berjuang semua. Tentu saja doa kami akan selalu menyertai kalian. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan dan ketabahan yang berlipat-lipat agar kalian dapat menunaikan tugas mulia ini dengan baik. Salam kami semua. Salam MBMI. Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia.

Surabaya, 28 Desember 2012

Wassalam,
LN