Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Kamis, 08 Agustus 2013

Lebaran nih...(3)

Mampir, menikmati  nasi boranan khas Lamongan.
Pagi, adzan subuh menggema. Hari kedua lebaran. Kami bertiga bangun, melakukan ritual pagi, bersiap melaksanakan munajad kami. Apa lagi kalau bukan......bersepeda. Taratataaaaaa......

Tapi Arga mengingkari janji. Sebenarnya tidak mengingkari janji. Dari kemarin dia sudah bilang kalau ingin memburu sunrise di pantai. Maka selepas salat, dia langsung melesat menuju pantai, lengkap dengan peralatan fotografinya.

Kami tidak jadi bersepeda bertiga, tapi berempat. Lho? Ya, kedua keponakan, O'im dan Sa'ad, ikut serta. Mereka kami minta untuk mengenakan jaket, karena pagi masih dingin. Teringat kapan itu, waktu O'im ikut kami bersepeda, dia 'njebeber' kedinginan karena tidak mengenakan jaket. Terus batuk-batuk....uhuk uhuk....

Maka berangkatlah kami menembus pagi yang masih gelap. Sawah di kanan-kiri, pepohonan di sepanjang jalan, dan makhluk-makhluk kecil yang namanya 'samber moto', menemani perjalanan kami. 

Tujuan kami jelas. Nasi uduk dan serabeh Merakurak. Jarak tempuh, untuk 5 kilometer itu, biasanya tidak sampai tiga puluh menit. Mungkin untuk pagi ini kami tempuh sedikit lebih lama, karena kami membawa pasukan anak-anak kecil itu.

Alhamdulilah, meski serabeh tidak buka, tapi nasi uduknya buka. Yang ngantri, wow....bakule sampek gak ketok bokonge. Kami mengambil beberapa buah tempe goreng yang masih hangat, tiga gelas teh panas, dan secangkir kopi. Sambil menunggu nasi uduk bungkus, kami menikmati hidangan itu, duduk-duduk di bale-bale, sebuah tempat duduk dari bambu. Nikmat nian......

Kami juga memanfaatkan menemui Sumarno dan Thoifur, dua teman SMP dan SMA saya, yang rumahnya di sekitar itu. Bertemu dengan anak istrinya, serta dengan orang tuanya. Bapak ibu mereka, yang sudah sepuh-sepuh, bahkan sudah ada yang bungkuk, nampak bahagia sekali dengan kunjungan kami. Mereka semua ikut 'njagongi' kami. Mereka juga menyilakan kami untuk singgah setiap kali mudik, meski pun mungkin Thoifur dan Sumarno sedang tidak di rumah. Indahnya silaturahim....

Nasi uduk, 23 bungkus, sudah siap dibawa pulang. Sepeda kami kayuh lagi. Ditemani matahari yang mulai menggeliat dan membagikan sinarnya yang hangat, kami melaju, menyibak kebekuan pagi. 

Sebentar lagi pesta nasi uduk. Kalau biasanya kami hanya minta Rp. 2.000,- per bungkus, kali ini kami minta Rp. 2.500,-. Jadi porsinya sedikit lebih besar. Padahal dengan dua ribu rupiah sebungkus itu saja sudah kenyang. Tapi tidak masalah. Sedikit kekenyangan tidak apa-apa. Ini kan lebaran?

Tuban, 9 Agustus 2013

Wassalam,
LN

Lebaran nih....(2)

Rencana sowan-sowan ke tetangga-tetangga batal. Perumahan sepi nyenyet. Kata pak satpam, semua mudik, hanya satu rumah saja yang tidak mudik. Tetangga-tetangga di kampung juga sepi. Sebagian besar juga mudik atau sedang berkunjung ke rumah saudara-saudaranya di luar kota. 

Ya sudah. Demi memanfaatkan waktu, kami mengubah agenda. Rencana ke Tuban yang awalnya besok, kami ajukan. 

Sore ini juga kami melaju ke Tuban. Dengan membawa serta tiga buah sepeda lipat, ini 'klangenan'nya mas Ayik. Cita-cita kami, besok pagi, selepas subuh, tiga sepeda itu akan kami kayuh bertiga, ke Merakurak. Apalagi kalau tidak demi nasi uduk dan serabeh. Kalau ini, klangenan saya. Juga klangenan semua.

Masuk tol Gunungsari sampai keluar pintu tol Bunder, jalan relatif lengang. Tapi begitu keluar dari tol, mobil-mobil pribadi dan sepeda motor cukup padat. Beberapa kali sempat kena macet.

Haduh. Tiba-tiba terjadi kecelakaan di depan mata. Meski dari arah berlawanan, nampak jelas di depan mata. Sebuah sepeda motor tertabrak sepeda motor yang lain. Penumpang yang ditabrak itu, seorang laki-laki menggonceng istri dengan anaknya yang masih bayi dalam gendongan ibunya. 

Saya ngeri membayangkan apa yang terjadi pada mereka, terutama pada si bayi itu. Syukurlah, nampaknya tidak terlalu parah, mudah-mudahan. Setidaknya saya melihat, si ibu bisa langsung bangkit, dibantu orang-orang, dan bayi itu tetap dalam gendongannya. Si suami, begitu bisa bangkit setelah ditolong orang-orang, langsung menghambur ke arah anak istrinya. Tidak mempedulikan laki-laki yang menabraknya. Orang-orang sudah mengurus laki-laki itu.

Hhhh.... Sejenak saya bernafas lega. Kemacetan begitu saja terjadi pada jalur kanan. Kami terus melaju. Tidak akan melambatkan mobil hanya sekedar untuk menonton kecelakaan itu. Kecuali akan menyebabkan macet, juga tidak etis, orang kemalangan kok ditonton. 

Gerimis turun begitu kami memasuki Lamongan. Awalnya kami heran, kok bakul-bakul nasi boranan di pinggir jalan itu pada berlarian. Kami pikir ada obrakan, ternyata mereka menghindari hujan. Bernaung di bawah emperan toko yang lagi tutup, menggelar lapak nasi borannya di sana. 

Kami berhenti di tempat kerumunan nasi boranan itu. Nasi boranan, nasi putih, urap, berbagai lauk pilihan, dan dibubuhi bumbu semacam bumbu bali, yang pedas rasanya. Yang khas adalah ikan sili, sejenis ikan kali, yang dipanggang. Juga ikan kutuk (ikan gabus) goreng, yang dicelup ke dalam bumbu yang pedas itu. Lauk khas lainnya, gimbal empuk, sate uritan, telur dadar, telur asin, dan udang goreng.

Saya melahap seporsi nasi boranan. Arga dan mas Ayik, seperti biasa, tak pernah cukup hanya dengan seporsi. Mereka habiskan dua pincuk nasi boranan, tandas.

Gerimis ternyata tidak lama. Gerimis parlente. Kami melanjutkan perjalanan. Ternyata sejak dari Lamongan kota, sepanjang jalan basah. Gerimis sesekali rapat. Memasuki kota Tuban malah disambut hujan deras. Sejuk semilir. Sesejuk hati kami yang sebentar lagi bersua dengan para pujaan hati, ibu, mas-mas, mbak-mbak, adik-adik, keponakan-keponakan.

Masuk halaman rumah kami yang besar, ternyata ada banyak sepeda motor parkir di mana-mana. Ya, ini lebaran pertama. Rumah kami, sejak siang, selalu dipenuhi dengan para santri, para siswa, mantan santri, mantan siswa, para wali kelas, dan juga para ibu jamaah pengajian. Kami langsung mengarahkan mobil ke halaman belakang rumah induk. Parkir di depan rumah kakak kedua saya, mas Zen. Tidak berbeda jauh. Rumahnya juga dipenuhi para tamu. 

Akhirnya malam itu, kami bersua dengan banyak orang. Saya langsung bergabung di ruang tamu putri, setelah bersalaman dengan ibu, mas-mas dan mbak-mbak serta para keponakan. Tamu-tamu itu, sebagian kecil adalah teman masa kecil saya. Setidaknya, mereka masih ingat Luluk kecil yang sekarang sudah menjelma menjadi Luluk jumbo...haha.

Saya hanya sebentar bergabung dengan mereka. Saya lantas menarik diri ke ruang makan di belakang, berkangen-kangenan sama saudara-saudara. Mbak ipar saya, mbak Uma, menyiapkan menu nasi pecel plus tempe gimbal dan ayam goreng. Meski perut kenyang, tak kuasa juga hati ini untuk tidak menikmati lezatnya pecel sayuran dan teman-temannya. Apa boleh buat. Sebulan puasa kan? Dan ini sedang lebaran...

Tuban, 8 Agustus 2013

Wassalam,
LN

Lebaran nih....

Pagi, adzan subuh bergema. Saya 'njrantal' bangun dari lelap saya. Maunya langsung ke kamar mandi, tapi ternyata kamar mandi yang hanya satu-satunya itu sedang terisi. Mas Ayik terdengar lagi 'jebar-jebur'. Maka saya langsung ke belakang, mengambil air wudhu, sholat di mushola. Sementara ibu dan Rini, adik ipar saya, sudah 'uplek' di dapur. Memanaskan opor, sambal goreng, rendang, bikin teh, dan entah apa lagi... Aroma wangi macam-macam makanan itu menusuk hidung, merasuk ke dalam kekhusyukan sujud saya.

Sejak semalam kami 'ngumpul' di rumah Tanggulangin. Saya sekeluarga, Dedi sekeluarga, Iwuk sekeluarga, dan bapak ibu. Rumah kecil ini jadi penuh oleh kami bersebelas. Bukan hanya karena jumlah kami yang cukup banyak, tapi juga karena ukuran kami yang hampir semua jumbo atau bahkan superjumbo. Benar. Hanya bapak dan dua cucu kecilnya, Chiro dan Gendis, saja yang berukuran kecil. Selebihnya ukuran jumbo dan superjumbo. Saya, alhamdulilah, masih masuk jumbo, belum termasuk superjumbo. Hehe.

Kami bersiap. Bergantian mandi, ganti baju, nyambi nyapu, nyiapin meja makan, dan sebagainya. Mas Ayik memandikan bapak dan membantu bapak berbusana. Bapak ingin salat 'Ied di masjid, meski sebenarnya jalan saja susah. Tidak masalah. Ada mobil yang nanti bisa membawa bapak, meski jarak rumah ke masjid tidak sampai 150 meter. Jarak segitu, sudah terlalu jauh untuk kondisi bapak. Jadilah mas Ayik, bapak, ibu, dan Dedi bermobil, sambil membawa kursi untuk duduk bapak ketika salat. Saya dan yang lain berjalan kaki, menuju sumber suara yang menggemakan takbir. Allahu akbar 3x. Laailaaha illallahu allaahu akbar. Allaahu akbar wa lillahilhamdu.

Usai salat 'Ied, seperti biasa, kami sungkem kepada bapak ibu, dimulai dari mas Ayik sebagai anak tertua, saya, adik-adik, terus cucu-cucu. Belum tuntas sungkem-sungkeman, tamu sudah mulai berdatangan. Tapi acara sungkem lanjut saja. Tamu-tamu juga pada sungkem ke bapak ibu.

Di perumahan ini, bapak ibu terhitung warga yang paling sepuh, sehingga menjadi jujugan bagi tetangga-tetangga. Selain itu, ada kebiasaan memberi angpau pada anak-anak kecil. Jadi anak-anak kecil pun kemriyek pada ke rumah, dan dik Diah, adik ipar saya, bertugas membagi angpau, uang baru-baru. Postur dik Diah yang besar, cocok sekali untuk peran itu....hehe. Layaknya juragan yang sedang bagi-bagi uang untuk para pekerjanya....

Tak berapa lama, kami kedatangan tamu agung. Sahabat kami, mas Rukin Firda, dengan dua putranya yang cakep-cakep, Lodi dan Nana. Yunie, istri mas Rukin, sedang jaga rumah ditemani anak wedok, Chacha, supaya tetap ada yang menerima tamu di rumah. 

Kami hanya 'jagongan' saja. Anak-anak ditemani Arga, di teras depan. Kami para orang tua ngobrol di gazebo. Sebenarnya kami mau mengajak makan pagi mas Rukin dan anak-anak, dengan menu kupat dan opor ayam. Ternyata menunya sama dengan menu di rumah mas Rukin. Yunie masak opor ayam juga. Meski bukan kupat, tapi lontong, sama saja, beda bungkus. 

Setelah tamu sepi, dan nampaknya siang ini tak akan banyak tamu, karena--seperti pada umumnya di perumahan--para penghuninya banyak yang langsung mudik setelah 'unjung-unjung', kami pun berkemas. Bersiap kembali ke Karah. 

Sore nanti dijadwalkan sowan-sowan ke tetangga-tetangga di Karah. Besok pagi mudik ke Tuban. Sowan ibu dan saudara-saudara di sana. Pakdhe budhe paklik bulik mas mbak adik dan ponakan-ponakan. 'Segepok' uang baru dan berkotak-kotak kue sudah kami siapkan. Tidak hanya untuk keluarga, tapi juga untuk teman-teman dan para sahabat. 

Saatnya berbagi, saatnya bermaaf-maafan, saatnya berlebaran.....

Surabaya, 8 Agustus 2013

Wassalam,
LN

Rabu, 07 Agustus 2013

Menggapai Ridho Allah

Ini sebuah acara di TVOne. Secara kebetulan saja saya, yang memang tidak terlalu hobi nonton TV, menemukannya pagi menjelang siang ini. 

Ceritanya, saya sedang mengisi 'slontongan' kupat-kupat dengan beras yang sudah saya 'pususi'. Tugas dari ibu, saya musti bikin kupat untuk menu buka puasa bersama sore nanti, dan juga untuk makan pagi setelah salat idul fitri besok. Dari pada hanya ngisikan beras, saya menghidupkan televisi. Duduk manis dengan tampah penuh slontongan kupat dan seember beras yang sudah bersih. Sambil menonton TV.

Dengan host K.H Syuhada Bahri, Ketua Umum Dewan Da'wah Islam Indonesia, acara ini begitu menarik perhatian saya. Misi Dewan Dakwah adalah melahirkan 1000 orang da'i yang mempunyai kompetensi mendidik umat si semua lapisan, di semua kalangan. 

Program bagus ini sedang menayangkan kisah perjalanan para da'i di berbagai pelosok Indonesia. Saat ini, yang sedang ditampilkan adalah perjuangan Ustad Buyah Hasan Pasaribu di Pulau Sikakap, Kepulauan Mentawai. Beliau yang mualaf itu berjuang ke titik-titik yang tidak mudah dijangkau. Kendaraannya adalah perahu, dan tentu saja dilanjutkan dengan jalan kaki menembus hutan dan semak belukar. Meski sudah tidak muda lagi, semangatnya begitu mengagumkan, sampai membuat saya mbrebes mili karena terharu.

Perjuangannya yang terberat adalah ketika harus mengajarkan Islam untuk menggantikan keyakinan masyarakat yang masih percaya pada kekuatan kayu-kayu besar, pada mistik-mistik, dukun-dukun, juga kepada arwah nenek moyang. Demi mengajarkan Islam itu, beliau sampai pernah diusi-usir oleh penduduk setempat.

Tapi beliau tak pernah menyerah. Tetap dengan sepenuh hati, perjuangannya tak pernah putus. Ternyata tak sia-sia. Beliau banyak mendapatkan pengikut dari masyarakat yang semula memusuhi beliau itu.

Saya jadi ingat perjuangan anak-anak SM-3T. Di awal-awal kehadiran mereka di Sumba Timur dua tahun yang lalu, penolakan sebagian masyarakat begitu kuat. Sampai memunculkan banyak friksi dan konflik. Sampai harus digelar peradilan adat segala untuk menyelesaikan masalah yang melibatkan guru-guru pengabdi itu. 

Semua itu dikarenakan tajamnya jurang perbedaan agama dan budaya. Sempat mereka dituduh sebagai guru-guru yang sengaja dikirim untuk menyebarkan agama. Sempat juga dianggap telah melanggar hukum adat karena melakukan sesuatu yang menyulut persoalan dalam kehidupan masyarakat setempat.

Syukurlah, berkat kesabaran dan kesungguhan mereka, masyarakat akhirnya tahu apa tujuan kehadiran mereka di Tanah Marapu itu (Marapu adalah nama 'agama' masyarakat tradisional Sumba). Sampai akhirnya, setelah setahun itu, tangan masyarakat Sumba Timur terbuka lebar untuk menerima peserta angkatan berikutnya. Berkat perjuangan para peserta angkatan pertama yang telah berhasil 'membuka jalan'. 

Perubahan memang membutuhkan waktu. Kadang cepat, kadang lambat. Namun perjuangan, sekecil apa pun, asal dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan hanya demi menggapai ridho-Nya, insyaallah akan selalu membuahkan hasil.

Selamat menyambut buka puasa yang insyaallah terakhir pada Ramadhan ini. Selamat merayakan idul fitri, mohon maaf lahir dan batin. Semoga semua ibadah kita selama di bulan Ramadhan diterima Allah SWT, dan kita semua dipertemukan dengan Ramadhan tahun depan. Amin YRA. 


Otw Tanggulangin, 7 Agustus 2013. 17.10 WIB.

Wassalam,
LN

Selasa, 06 Agustus 2013

TERKENANG PULAU SALURA

Senja hari di Salura
Matahari berpamit dari balik bukit
Bersama gumpalan mega berarak

Riuh rendah ceria anak pantai
Bersahut dengan debur ombak
Menyongsong malam
Menanti ribuan kunang-kunang dari perahu nelayan

Akankah ditemukan
Serombongan cumi yang sedang berpesta
Berkeliling berlomba berebut cahaya
Siap terjebak dalam perangkap dan jala
Mewujudkan harapan para pengelana

Senja hari di Salura
Akankah kembali kupetik keindahannya......

Tanggulangin, 4 Agustus 2013. 13.05 WIB

Saat si Iyah Mudik

Lebaran tinggal dua hari lagi. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, saat ini kami masih tenang-tenang saja. Tidak larut dalam hiruk-pikuknya mudik. Ya, karena lebaran ini, kami cukup mudik ke Tanggulangin saja, di rumah bapak ibu. Baru pada lebaran hari kedua nanti, kami mudik ke Tuban. 

Biasanya, setiap lebaran tiba, kami mudik ke Ponorogo dan Tuban. Seringkali, hampir tiap tahun, kami melakukan safari. Kalau lebaran pertama di Tuban, maka safarinya ke Pamotan, Rembang, Solo, Boyolali, Sragen, baru Ponorogo. Kalau lebaran pertama di Ponorogo, maka rutenya meliputi Sragen, Solo, Boyolali, Rembang, Pamotan, baru Tuban. Ya, sowan pakde paklik dan saudara-saudara, selain ke bapak ibu. Namun sejak bapak ibu Ponorogo kami boyong ke Tanggulangin, urusan mudik juga kami sederhanakan.

Dini hari tadi, sekitar pukul 02.00, Iyah sekeluarga mudik. Bersepeda motor. Bersama saudara-saudaranya yang lain. Ya, konvoi. Padahal tujuan mudik mereka lumayan jauh, Magetan. Itu pun bukan di kotanya, tapi masih jauuuhh dari kota. 

Meski pun ada cukup banyak tawaran mudik gratis, Iyah sekeluarga dan saudara-saudaranya tetap memilih bersepeda motor. Alasannya, karena tidak tahan naik bus, selalu mabuk. Kalau sudah mabuk, pasti 'ngglele', nggak kuat mengangkat kepala dan membuka mata, dan kondisi 'mabuk kepayang' itu nggak kunjung hilang meski sudah sampai rumah. Bahkan kadang perlu pemulihan sehari dua hari untuk mengembalikan stamina.

Beda kalau naik sepeda motor. Meski 'kanginan' sepanjang perjalanan, tapi tidak pernah mengalami mabuk. Mau istirahat kapan pun dan di mana pun bebas. Kalau pun badan pegal-pegal dan kaku-kaku sesampai di rumah, itu akan segera hilang hanya dengan istirahat sebentar atau tidur beberapa jam. Setelah itu sudah segar lagi. Berbahagia bersama keluarga.

Iyah (nama lengkapnya Warsiyah), adalah pembantu rumah tangga (PRT) kami yang sudah belasan tahun bersama kami. Sejak dia lulus SMP.  Aslinya Ponorogo. Saat itu, Arga, anak semata wayang kami, baru masuk TK nol kecil. Iyah yang masih imut bertugas menjaga Arga saat kami bekerja. Dia rajin dan dapat dipercaya. 

Sambil momong, dia kami sekolahkan di Madrasah Aliyah. Meski nyaris tidak pernah mengikuti pelajaran secara reguler, dia lulus dengan baik. Dia bersekolah di Madrasah Aliyah Alhidayah, di Tuban. Sebenarnya ini sekolah 'keluarga' kami. Kepala sekolahnya adik ragil saya. Kepala yayasannya ibu saya. Nah, mungkin karena sekolah keluarga, maka aroma nepotisme sangat kental dalam menyekolahkan Iyah. Adik saya mengirimkan buku-buku yang harus Iyah pelajari. Soal ujian juga dikirimkannya. Ketika mendekati Unas, Iyah melakukan tryout jarak jauh. Begitu waktu Unas, baru Iyah ke Tuban, berangkat ke sekolah bersama teman-temannya, layaknya siswa-siswa reguler yang lain, menempuh Unas, dan lulus. Lulus murni. Tidak pakai contekan lho. Dasarnya memang dia anak cerdas, dan nasib baik sedang berpihak padanya.

Iyah juga kami kursuskan menjahit. Supaya dia punya bekal untuk menjalani hidupnya di masa depan. Saya tekankan pada dia, perempuan harus bekerja, punya pegangan, meski tidak harus meninggalkan rumah. Menjadi penjahit membuat dia nanti bisa memiliki usaha sendiri, tidak selalu menggantungkan pada suami, dan bahkan bisa membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga. Tidak selamanya Iyah harus menjadi pembantu rumah tangga, namun kelak, dia harus mandiri dan bahkan punya usaha sendiri.

Setelah sembilan tahun bersama kami, Iyah menemukan tambatan hati. Seorang jejaka, kakak temannya sesama PRT. Anaknya sopan, bertanggung jawab, dan kami  melepasnya setelah melihat kesungguhan Slamet, nama jejaka itu. 

Maka Iyah pun menikah. Saya meminta dia untuk tidak bekerja pada kami lagi. Saya katakan ke dia, "mosok awakmu arep melu bapak ibu terus...". Dia harus belajar mandiri, dengan bekal keterampilan menjahitnya. Slamet sendiri bekerja sebagai pembantu tukang, yang penghasilannya tidak menentu. 
Mereka berdua tinggal di kamar kontrakan, tidak terlalu jauh dari rumah kami. Sementara saya sudah memiliki PRT lagi, lulusan Madrasah Aliyah Alhidayah juga. Ya, mantan muridnya adik saya. Nepotisme lagi.

Namun begitu, kami tidak lantas melepaskan Iyah begitu saja. Ketika Iyah hamil, kami membelikannya susu khusus untuk ibu hamil dan makanan-makanan untuk menjaga kondisinya. Bagaimana pun dia sudah seperti anggota keluarga kami sendiri. Sembilan tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah kebersamaan. Apa lagi sejauh itu, Iyah seperti 'tiang penyangga' kami. Memastikan anak kami aman dalam asuhannya, masih sempat dia mencuci, menyeterika, bahkan memasak. 

Iyah pada awalnya sama sekali tidak bisa memasak, mencuci dan menyeterika. Semua kami ajarkan dari nol. Namun anak manis itu 'gathekan'. Cepat pintar dan mau belajar. Seringkali malah dia yang berinisiatif untuk memasak dengan menu yang dia pelajari dari buku-buku masakan saya. Benar-benar meringankan urusan dalam negeri kami.

Setelah anaknya berusia sekitar empat tahun, Iyah minta bekerja lagi ke saya. Menjahit tidak terlalu bisa diandalkan, mengingat saat ini baju jadi tersedia di mana-mana dengan mudah, dan murah.

Begitulah. Kebetulan saya juga sedang tidak punya pembantu, maka kehadiran Iyah pun kami terima dengan suka cita. Dia datang ke rumah setiap pagi, setelah mengantarkan anaknya sekolah. Mencuci dan menyeterika, serta bersih-bersih rumah. Kalau memungkinkan, sekalian memasak. Di antara waktu-waktu itu, dia akan menjemput Nia, anak perempuannya. Lantas pulang ke tempat kontrakannya, setelah makan siang, dan seringkali, sekalian membawa lauk-pauk untuk suaminya, supaya dia tidak perlu memasak lagi di rumah.

Sekitar dua tahun ini, sejak kami pindah ke rumah baru kami yang letaknya hanya di seberang jalan saja dengan rumah lama, Iyah sekeluarga kami minta untuk tinggal di rumah lama kami. Tidak perlu bayar, dan bahkan kami bayar. Tugas dia seperti biasanya, hanya tambah menjaga rumah. 

Rumah itu, nyaris tidak ada yang kami pindahkan isinya, kecuali meja kursi kayu besar. Selebihnya, kulkas, TV, dispenser, bahkan ricebox dan lain-lain, kami biarkan, dan Iyah sekeluarga bisa memanfaatkannya. Untuk Iyah, kami siapkan dua kamar di atas, satu kamar cukup luas, satu kamar lagi adalah kamar yang hanya pas untuk satu single bed kecil dan satu lemari pakaian. Kamar tamu dan kamar utama, serta kamar kerja kami, cukup dia bersihkan setiap hari. Namun begitu ada keluarga dia datang, paklik pakde simbok adik dan lain-lain, semua kamar boleh dipakai, bahkan juga kamar utama. Ya, bagaimana pun saudara-saudara Iyah adalah tamu-tamu kami. Dan memberi kenyamana pada tamu adalah wajib hukumnya.

Begitu juga bila saudara-saudara kami yang datang. Maka semua kamar akan penuh, dan Iyah sekeluarga akan melayani mereka dengan baik dan menyenangkan. Di mata sauadar-saudara kami, Iyah sekeluarga juga sudah bukan orang lain. Sudah menjadi kerabat kami juga.

Sejak menempati rumah kami, Slamet, suami Iyah, bekerja di PT. Jacobs, perusahaan tempat mas Ayik bekerja. Sekali lagi, aroma nepotisme juga sangat kuat. Dengan posisi mas Ayik yang mantan kabag personalia dan saat ini memegang 'general affair', memasukkan Slamet tidaklah sulit. Mulus saja. Apa lagi Slamet tipe pekerja yang rajin dan tekun. Dengan begitu Slamet memiliki gaji yang pasti tiap bulan, tidak seperti saat dia bekerja di bangunan.

Saat ini, Iyah sekeluarga sudah punya sepeda motor sendiri, sudah bisa bikin sumur di rumahnya di Ponorogo, sudah bisa sedikit 'dandan-dandan' rumah yang ditempati simbok dan adiknya di Ponorogo. Nia, anak perempuannya, sudah kelas 1 SD, kebetulan seperti ibunya, rajin dan cerdas. Anak itu punya baju-baju yang layak, tas dan sepatu yang tidak hanya satu-satunya, sepeda mungil, dan juga bisa sesekali 'jajan' bakso dan nasi bebek. Kehidupan mereka sedikit demi sedikit membaik.

Iyah memulai paginya dengan mengantarkan Nia ke sekolah. Setelah itu baru mengurus rumah kami. Setiap pagi, saya sendiri yang menyiapkan makan pagi untuk keluarga, membersihkan rumah, membersihkan dapur, dan menyiapkan bekal suami. Kecuali kalau saya sangat 'kepepet', saya baru memanggil Iyah. 

Setelah mengantar anaknya ke sekolah, Iyah memulai aktivitasnya mencuci, menyeterika, memasak, dan bersih-bersih di rumah kami. Saya memiliki standar yang cukup tinggi dalam urusan bersih-bersih, dan Iyah tahu itu. Meninggalkan rumah dalam keadaan kotor akan membuat saat-saat saya di tempat kerja dipenuhi dengan keruwetan. Pulang kerja bila disuguhi rumah tidak rapi, akan membuat kelelahan saya menjadi bertumpuk-tumpuk. Iyah tahu, sejak dulu, saya nyaris tidak pernah membiarkan satu sendok kotor pun menjelang tidur. Dengan begitu ketika bangun pagi, hati dan pikiran cerah, dan siap melakukan aktivitas dengan penuh semangat; bukannya memberesi perkakas kotor sisa makan malam.

Sore hari, ketika kami pulang kerja, Iyah sudah menyiapkan teh manis dan makan malam. Tapi dia jarang sekali ke rumah setelah sore itu, kecuali kami perlukan. Saya sendiri yang akan membereskan semuanya, meja makan dan dapur. Sudah saatnya Iyah berkumpul bersama keluarganya, mendampingi anaknya belajar, dan menemani suaminya. Dia sendiri punya 'negara', dan urusan dalam negerinya juga musti beres.

Saya sangat menikmati, kalau tidak boleh dikatakan hobi, bersih-bersih rumah. Mencuci piring dan gelas-gelas, membersihkan meja makan, dapur, dan seluruh rumah, merupakan ritual setiap malam yang nyaris tak pernah saya tinggalkan (tentu saja kalau saya sedang di rumah). Ada kepuasan yang tak ternilai ketika melihat setiap sudut bersih dan rapi. 

Dalam kondisi rumah belum beres, saya sering tidak bisa mulai bekerja, misalnya koreksi atau membaca tesis mahasiswa. Maka tidur sampai larut malam akhirnya menjadi kebiasaan saya. Saya merasa bisa bekerja lebih optimal ketika semua sudah tidur. Saya akan memutar lagu-lagu atau mendengarkan ayat-ayat suci Al Quran untuk menemani saya bekerja. 

Selama Ramadhan ini pun, kebiasaan saya nyaris tidak berubah, aktivitas Iyah juga nyaris tidak berubah. Bedanya, saya selalu meminta dia untuk tidak usah memasak. Apa yang saya atau dia masak untuk menu berbuka, itu jugalah yang menjadi menu dia. Dengan begitu dia tidak perlu bekerja dua kali. Dan, yang lebih penting, dia tidak perlu belanja. Cukup masak saja, dan menu buka puasa serta sahurnya beres.

Maka ketika Iyah pulang mudik, sebenarnya kami tidak terlalu terganggu dengan ketidak hadirannya. Saya lumayan hobi memasak, hobi bersih-bersih, dan hobi mencuci baju. Yang saya sangat tidak hobi adalah....seterika. Ya, dari dulu, pekerjaan satu ini begitu tidak menarik bagi saya. Menjemukan bin membosankan. Bikin ngantuk, bikin bete.

Tapi karena Iyah tidak ada, ya, apa boleh buat. Maka pagi tadi, adalah saat saya kembali memegang seterika. Seprei-seprei, baju-baju, serbet-serbet, semua saya gosok dengan seterika, sementara mesin cuci sedang memutar pakaian kotor. Karena saya tidak suka kalau melihat 'umbrukan', maka saya paling tidak suka menumpuk 'seterikaan' (maksudnya baju-baju yang belum diseterika). Ya begitulah, konsekuensi dari sebuah pilihan....

Urusan masak pun, tanpa Iyah, juga tidak terlalu bermasalah. Di kulkas kami selalu tersedia logistik yang alhamdulilah lebih dari cukup. Bahkan untuk seminggu ke depan pun, insyaallah aman sentausa. Kalau malas masak pun, Arga dengan senang hati akan melesat keluar rumah, membeli ini itu untuk berbuka.

Seperti sore ini tadi. Arga yang pingin makan nasi padang, pergi menjelang senja, dan pulang dengan tiga bungkus nasi padang, lengkap dengan lauk-pauk kesukaan kami masing-masing. Sementara saya tetap menyiapkan nasi putih, pepes udang, dan kue-kue untuk kudapan. Tentu saja, tiga gelas teh manis dan kurma. Dan berbukalah kami dengan sukses, bahagia lahir dan batin.

Namun tanpa Iyah sekeluarga, seperti ada yang kurang. Jamaah tarawih tidak lagi berdampingan dengan Nia yang centil yang selalu 'ngelendot' di pangkuan ibunya bila kecapekan. Sore hari, tidak ada yang menyapa saya, 'sayah, bu?' Atau ' pijet, bu?'. Dan, ini yang terpenting dan paling membuat betapa penting kehadiran Iyah.... Seterikaan itu......hiks...

Surabaya, 6 Agustus 2013. 24.10 WIB.

Wassalam,
LN

Rabu, 31 Juli 2013

Menulis Bagi Saya (3)

Sayang sekali saya tidak terlalu tertib mengumpulkan tulisan-tulisan saya. Sebenarnya sudah pernah saya kumpulkan tulisan-tulisan itu, saya masukkan ke dalam kotak-kotak karton khusus, tapi terus ke mana karton-karton itu, saya tidak berhasil melacaknya. Maklum, ketika SMA, saya sempat dua kali pindah tempat kos, begitu juga ketika mahasiswa. Saya khawatir jangan-jangan karton-karton itu 'katut dirombeng'. Hehe.

Andaikata waktu itu saya sudah punya komputer atau laptop (boro-boro.....), mungkin tulisan-tulisan itu bisa saya dokumentasikan dengan baik. Tapi jangankan komputer. Mesin tik manual saja musti 'memaksa' minta dibelikan ke bapak ibu. Kertas juga pakai kertas buram, itu pun harus menghabiskan berbotol-botol tipp-ex. Haha...geli juga kalau mengingat masa-masa itu....

Saya pernah bercita-cita jadi wartawan. Ketika saya kuliah di Prodi Tata Boga, saya merasa telah salah masuk program, dan saya terlalu banyak kelebihan energi. Maka saya mulai mencari informasi ke AWS (Akademi Wartawan Surabaya), siapa tahu saya bisa 'nyambi' kuliah di sana. Ya, ternyata bisa. Untuk waktu dan energinya. Tapi untuk duitnya....tunggu dulu. Kuliah di prodi Tata Boga saja rasanya sudah sangat berat. Kalau hanya membayar kos dan uang makan saja tidak terlalu repot. Tapi biaya praktek, job training, gelar-gelar, PPL, dan juga.....untuk kegiatan di Himapala dan lain-lain. Wah, saya tidak tega untuk meminta lagi pada bapak ibu agar menambah jatah bulanan saya dengan mengambil kuliah di AWS. Dua kakak laki-laki saya masih kuliah juga. Membiayai tiga anak kuliah dan tiga anak sekolah, tentu bukanlah beban yang ringan. Bapak 'hanya' seorang guru di M.Ts.N, dan ibu 'hanya' guru honorer, yang 'nyambi-nyambi' jualan krupuk, kacang, dan emping.

Maka saya berusaha melupakan AWS. Saya menghibur diri dengan terus menulis dan berpetualang. Saya sangat menyukai aktivitas outdoor, dan Himapala menjadi pilihan saya untuk menyalurkan kelebihan energi saya. Di situlah saya banyak kenal dengan orang-orang yang akhirnya memberi warna dalam hidup saya, dan terus menjadi sahabat saya sampai detik ini. Pratiwi Rednaningdyah dan Rukin Firda adalah dua di antaranya. Bahkan saya menemukan pendamping hidup saya. Ya, Baskoro Adjie. Mas Ayik. Senior yang dua tahun di atas saya itu saya 'temukan' di 'belantara' Himapala dan di Senat Fakultas. Peribahasa 'tresno jalaran soko ngglibet' itu benar-benar terjadi dalam hidup saya. He he....

Jalan untuk menjadi wartawan sebenarnya sempat terbuka. Menjelang lulus D3 Tata Boga dengan predikat mahasiswa pemuncak (karena IP tertinggi), saya didekati oleh salah seorang wartawan Surya. Harian Surya waktu itu belum lama terbit, dan saya diminta untuk menjadi kontributor tetap di kolom boga yang terbit setiap hari Minggu. Wah, senang sekali saya. Saya sudah sempat beberapa kali keluar-masuk markas Surya untuk setor naskah dan ambil honor. Namun ternyata....panggilan jadi dosen itu lebih kuat menarik saya. Saat itu saya diminta untuk menjadi koasisten di beberapa mata kuliah, yang kebanyakan adalah mata kuliah praktek, antara lain Patiserie, Dasar Boga, dan Hidangan Oriental. Sibuknya bukan main, saya sampai seperti kekurangan waktu. Maka dengan sangat berat hati, Surya saya lepaskan. Hidup memang harus memilih. 

Nah, sekarang kembali ke soal menulis. 

Belum terlalu lama, mungkin sekitar pertengahan 2010, saya bergabung di mailing list (milis) keluarga unesa. Di situlah saya mengenal orang-orang hebat yang kemudian menjadi rabuk yang menyuburkan kembali kegemaran saya menulis. Benar-benar sebuah berkah. 

Betapa tidak. Mereka, Sirikit Syah, Eko Prasetyo, Satria Darma, Habe Arifin, hanyalah beberapa nama yang begitu mampu menggelorakan semangat saya untuk kembali menulis. Menulis sesuatu yang sudah sangat lama tidak saya lakukan. Menulis cerpen, puisi, dan laporan perjalanan atau kegiatan dalam bentuk feature. Bukan sekedar menulis proposal dan artikel ilmiah seperti yang telah bertahun-tahun belakangan ini musti saya geluti. Juga Achmad Wahju, M. Ihsan, M. Khoiri, Suhartoko, Abdur Rohman, Fafi Inayatillah, Rukin Firda dan Pratiwi Rednaningdyah. Bahkan nama-nama yang 'katanya' pendatang baru dalam urusan menulis pun, Hariyani Fatawi, Lies Amin, Ida Tisrina, Samsul Hadi, Azis Hakim, begitu berarti menjaga stamina saya dalam menulis. 

Saya bersyukur 'kecemplung' dalam kubangan lumpur milis keluarga Unesa ini. Saya seperti tanaman yang sudah bertahun-tahun dirundung kegersangan dan nyaris mati kekeringan, ketika itu, tiba-tiba seperti ditegakkan lagi. Disiram dengan air hujan yang terus-menerus sepanjang tahun, dan dirabuk. Saya serasa lahir kembali.

Gara-gara berteman dengan keluarga unesa inilah saya akhirnya dapat bergabung sebagai penulis dalam antologi cerpen 'Ndoro, Saya Ingin Bicara, serta 'Hope and Dream'. Saya juga akhirnya memiliki website yang 'kopen' karena jasa baik M. Ihsan dan Abdur Rohman, yang dari sana kemudian muncul buku 'Jejak-Jejak Penuh Kesan'. Saya juga beberapa kali diminta untuk memberikan endorsement pada buku-buku yang ditulis dan digawangi oleh Eko Prasetyo dan M. Basir. Ya, memberikan endorsement. Selevel saya, diminta untuk memberi endorsement. Begitu hebatnya teman-teman itu memberikan apresiasi pada 'kepakaran' saya.

Kalau selama ini saya sudah biasa menjadi penyunting jurnal dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya, maka saya mulai memberanikan diri menjadi penyunting buku-buku yang ditulis dalam bentuk feature, seperti 'Jangan Tinggalkan Kami' dan 'Setahun Hatiku untuk Sumba'. Saya telah menghasilkan beberapa buku sebelum bertemu dengan keluarga Unesa, namun pertemanan dengan mereka membuat saya berpikir untuk tidak hanya menulis buku ajar dan referensi, tapi juga buku-buku jenis lain. Maka dalam berbagai tugas saya, khususnya sebagai koordinator Program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T), dan juga Direktur Program Pendidikan Profesi Guru (PPPG), serta tugas-tugas yang lain, selain tulisan-tulisan dalam bentuk artikel 'standar' yang saya hasilkan, saya juga menuliskan hampir semua kisah perjalanan dan pengalaman saya. Menulis dan berpetualang, membuat hidup saya menjadi lebih hidup (Iklan A Mild kali.....hehe).

Apa yang sudah saya lakukan dalam urusan tulis-menulis, tentu saja bukan merupakan pencapaian yang hebat. Saya tidak termasuk orang yang dengan senang hati mengorbankan rasa kantuk hanya supaya menghasilkan sebuah tulisan. Tugas-tugas utama saya sebagai dosen dan tugas tambahan yang lain, bagaimana pun harus saya prioritaskan. Menulis hanyalah selingan yang menyenangkan. Tidak ada yang menuntut saya harus menulis kecuali diri saya sendiri. Kalau saya merasa lelah dan ingin tidur karena energi sudah tersita untuk tugas-tugas yang lain, maka saya pun tidur. Menulis? Nanti-nanti saja...

Begitulah. Saat ini, sebuah buku 'Khasanah Kuliner Tradisional Jawa Timur' sudah siap terbit. Sebuah buku lagi, rencananya berjudul 'Berbagi di Ujung Negeri', sedang dihimpun oleh Abdur Rohman, dan Rukin Firda siap menyuntingnya. Ada banyak sahabat di kanan-kiri saya yang membuat saya merasa kuat untuk terus menulis. Bersama M. Khoiri dkk, saat ini kami sedang mempersiapkan buku 'Unesa Menuju Era Indonesia Seabad Bermartabat' (pada mulanya bertema 'Unesa Menuju Era Indonesia Emas'). Buku ini, rencananya, akan menandai lahirnya 'Pusat' Literasi Unesa. Istilah 'Pusat' (dalam tanda petik), karena nama ini masih dibahas dalam rapim, dan musti disesuaikan dengan 'aturan main' berdirinya pusat di bawah payung universitas.

Apa pun, embrio Pusat Literasi Unesa itu sudah ada. Apa pun namanya nanti, itu hanya wadah. Tentu saja, wadah tetaplah penting. Tapi apalah artinya wadah, kalau isinya tidak ada?

Maka teruslah menulis, dan mari kita ucapkan: selamat datang 'Pusat' Literasi Unesa.

Tanggulangin, Akhir Agustus, 2013. 19.00 WIB.
(Bukber bersama keluarga)

Wassalam,
LN