Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Kamis, 18 Desember 2014

Bu Arini Dan Prof. Budi Dharma

Saya baru saja menutup kuliah di Prodi S2 PTK saat sebuah SMS masuk. "Ass.wrwb,yth ibu Luthfi,sy pengin telp ibu terkait dg literasi,ibu berkenan jam brp?maturnuwun(bu Arini Perpust Kota Sby)"

Saya langsung membalas: "Monggo, Bu...."

Begitu keluar dari kelas, ponsel berdering. Pasti dari Bu Arini. Saya sepintas membaca nomor telepon dengan kode wilayah 031. Bu Arini menelepon dengan pesawat telepon kantor Badan Perpustakaan Kota Surabaya. Beliau adalah kepala kantor itu.

"Assalamualaikum..."
"Waalaikum salam..." Suara di seberang. "Prof. Luthfi, saya Arini...maaf, mengganggu, Prof..."

Kami terlibat obrolan yang lumayan panjang. Bu Arini merasa sangat berkesan dan bahagia sekali diundang untuk menjadi narasumber dalam Talkshow Literasi tanggal 13 Desember, di PPPG Unesa beberapa hari yang lalu. Kata beliau: "Saya senang sekali, Bu, dan saya semakin berani untuk melangkah mengembangkan Surabaya sebagai kota literasi. Teman saya banyak ternyata. Saya juga sudah melapor ke Ibu Wali, dan beliau merespon dengan sangat baik. Tapi beliau memberi tugas tambahan lagi ke kami, Bu. Beliau minta, kami tidak hanya menyasar SD, tapi juga madrasah dan pondok pesantren. Haduh, Bu....padahal madrasah dan pondok pesantren itu jumlahnya sekitar 350, SD 1500, lha kan 2000, Bu...." Begitu curhat Bu Arini.

"Bagus sekali itu, Bu..." Tukas saya.

"Iya, Bu. Saya bilang ke Bu Wali, Ya Bu, semoga berhasil... Tapi Bu Wali njawabnya begini, Bu: "Jangan semoga berhasil... Harus berhasil."

Saya spontan tertawa. Bu Walikota Tri Rismaharini ini memang luar biasa. Beliau tidak hanya lihai menyulap Surabaya menjadi penuh taman, dan menutup Dolly dengan gagah perkasa, tapi juga demen mengembangkan literasi. Suerr. Perempuan sederhana yang tak takut pada apa pun demi kebenaran itu, sepak terjangnya begitu mengagumkan. Keren abis.

Waktu Bu Arini bilang kepada Bu Risma, bahwa menembus madrasah dan ponpes itu sulit sekali, dengan tegas Bu Risma menjawab: "Biar saya nanti yang nembus madrasah dan ponpes."

Menurut Bu Arini, beliau sudah pernah bersurat pada Rektor Unesa, Prof. Warsono, beberapa bulan yang lalu. Isi suratnya adalah tawaran kerjasama dalam program literasi. Tapi sampai saat ini, bu Arini belum menerima balasan surat itu, dan malah mendapat kabar, kalau Prof. Warsono belum pernah menerima surat tersebut. Bisa jadi, surat itu ketlisut, entah di mana....

"Saya ingin mengundang ibu untuk diskusi bagaimana sebaiknya membumikan program literasi ini ke sekolah-sekolah, Bu. Supaya kami bisa melibatkan para mahasiswa dalam program ini. Nanti kita diskusikan bersama Pak Satria Darma juga. Apa Ibu berkenan nggih, Bu?"

Saya spontan menjawab: "Tentu saja, Bu Arini, saya sangat bersedia. Kami senang kalau kami bisa berkontribusi dalam program literasi. Bukankah itu menjadi bagian tugas perguruan tinggi juga? Kalau ada sinergi dengan program Ibu, tentu saja itu akan lebih baik."

Bu Arini juga bilang, "Saya sudah membaca buku Bu Luthfi. Buku yang menceritakan kunjungan Ibu ke pelosok-pelosok itu..."

Saya tertawa. "Itu hanya buku sederhana, Bu Arini....catatan-catatan ringan saja. Bacaan sebelum tidur..."

"Saya juga sudah baca tulisan Ibu, lho..." Tukas saya. "Luar biasa, Ibu ternyata pandai menulis juga. Bagus tulisannya." Saya mengomentari tulisan Bu Arini di buku "Menuju Wujud Surabaya sebagai Kota Literasi". Buku yang berisi 46 kisah para pegiat perpustakaan kota Surabaya. Ada tulisan Ketua IGI, Satria Darma juga.

"Itu kalau nggak didorong-dorong sama Bu Wali gitu....saya nggak pede, Bu.."

Kami menutup pembicaraan yang manis itu. Saya menuju ruang dosen, karena ada kencan dengan beberapa mahasiswa yang akan berkonsultasi. Siang yang mendung justeru membuat hati saya berbunga-bunga. Kesan tentang sosok Arini Pakistyaningsih yang 'sulit disentuh' karena sewaktu mengundang untuk menjadi narasumber musti melalui beberapa lapis birokrasi, hilang sudah. Dia perempuan cantik yang ramah dan rendah hati. Mungkin Arini yang tempo hari itu bukan Arini yang saat ini. Sudah bermetamorfosis setelah bertemu dengan para pegiat literasi dan bagawan sastra Unesa yang begitu hebat kiprahnya namun tetap rendah hati dan ramah sikapnya. Siapa lagi kalau bukan Budi Darma.

Budi Darma. Dada saya terasa 'mak deg' begitu membuka pintu ruang dosen pasca. Ada Prof. Budi Darma di situ. Betapa tidak. Saya belum selesai membayangkan sosok legendaris itu dalam benak saya, dan tiba-tiba saat ini saya sudah berada di depannya. Senyum ramahnya langsung mengembang. Dia berdiri, mengulurkan tangan, menyambut saya, meninggalkan dua mahasiswa yang baru saja berkonsultasi.

"Apa kabar, Mbak Ella?"
Saya tersipu-sipu. Mbak Ella. Bahkan beliau memanggil saya dengan nama kecil saya itu.

"Alhamdulilah, Bapak. Sehat. Bapak juga nggih?"

Beliau menyilakan saya duduk di sofa, bersebelahan dengan beliau. Lantas beliau bercerita, sewaktu talkshow literasi tempo hari, beliau sebenarnya sedang agak 'nggliyeng'. Jam 02.00 dini baru datang dari Tiongkok, dan pagi langsung ke PPPG. Lantas beliau memuji saya, yang blusukan ke mana-mana, dan membuat catatan perjalanan di setiap tempat. Juga memuji karena saya masih sempat menulis cerpen.

"Cerpen menopo, Bapak?"
"Itu...cerpen tentang...Mbak Ella ada di suatu tempat yang dingin....kemudian ada seseorang yang menyatakan...."

Saya semakin tersipu. "Itu cerpen jelek, Bapak....malu saya.."

"Tidak...itu luar biasa....Mbak Ella masih sempat nulis cerpen. Juga cerpen yang tentang laut itu...ya, saya sudah membacanya juga..."

Haduh, saya gobyos. Mungkin muka saya merah padam, entah karena senang, entah karena malu. Ternyata yang beliau maksud adalah cerpen saya di antologi cerpen 'Ndoro, Saya Ingin Bicara" itu.

"Waduh, Bapak, itu cerpen sekadar mengisi waktu luang saja... Saya menulisnya di sini ini lho, Bapak...." Saya menunjukkan BB jelek saya..."Malu saya Bapak membaca cerpen jelek saya itu..."

Dan Prof. Budi cerita tentang betapa bangganya beliau pada teman-teman para pegiat literasi. Beberapa nama beliau sebut. Satria Darma, Sirikit Syah, Much. Khoiri....

"Inggih, Bapak, alhamdulilah, saya berada di antara mereka. Saya jadi ketularan. Tapi saya masih belajar...."

Hari ini agenda saya begitu padat. Dari jam ke jam. Mengajar dari pagi sampai siang, terus ke Gedung I6 untuk menghadiri acara Presentasi Ekspedisi New Zealand Himapala, dan lanjut ke Gedung Gema menghadiri acara Dzikir Bersama Anak Yatim dalam Rangka Dies Natalis Unesa. Semua acara begitu menyenangkan. Namun yang lebih menyenangkan, adalah selingan peristiwa di antara acara-acara itu, ngobrol dengan Bu Arini dan Prof. Budi Darma.

Surabaya, 18 Desember 2014

Wassalam,
LN

Senin, 15 Desember 2014

Penghuni Kapal Selam, Sebuah Oase

Penghuni Kapal Selam. Begitulah judul pertunjukan teater yang digelar pada tanggal 9-10 Desember di Gedung Pertunjukan Cak Durasim, Surabaya. Sebuah hiburan padat nutrisi yang disuguhkan oleh Teater Kanvas, Jakarta. Menikmati suguhan selama sekitar dua jam, membuka mata setiap penonton, betapa karya tersebut tidak dikerjakan secara sambil lalu. Adalah sebuah karya yang utuh, di mana seni, kerja keras, religiusitas, ketangguhan, dan idealisme, berbaur dengan begitu indah dan sarat makna.

Sebagaimana pengakuan Zak Sorga, selaku penulis naskah dan sutradara, "karya teater yang baik selalu lahir dari pergulatan hidup dan cita-cita seniman di tengah masyarakatnya. Melalui pengamatan dan perenungannya tentang kehidupan, dipadu dengan berbagai macam rintihan sosial, gejolak politik, ketidakadilan, kebobrokan keluarga, kekonyolan laku manusia, penyelewengan sejarah, kerinduan pada Tuhan, atau harapan yang indah tentang masa depan, maka lahirlah sebuah karya teater". 

Zak Sorga sejatinya bukanlah orang baru dalam dunia teater. Setidaknya, dia telah lebih dari tiga puluh tahun menggeluti bidang yang menjadi tumpuan hidup berkeseniannya itu, sejak masih duduk di sekolah menengah, di SMA 1 Tuban, dan berlanjut saat dia mengambil kuliah di departemen Teater Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Lantas lahirlah Teater Kanvas dari tangan dinginnya, pada 1987. Bukti keseriusan berkeseniannya antara lain adalah keberhasilannya meraih predikat sebagai sutradara terbaik Festival Teater Jakarta tiga tahun berturut-turut (1991, 1992, 1993). Belasan naskah drama telah dihasilkannya sejak tahun 1985. Beberapa film televisi juga telah disutradarainya. Bukti lain, lebih dari 100 skenario TV juga telah ditulisnya dan ditayangkan di berbagai stasiun TV.

Tulisan ini tak hanya menceritakan tentang sosok Zak Sorga. Tapi juga tentang salah satu karyanya 'Penghuni Kapal Selam'. Sebuah kisah para aktivis yang hilang, yang diculik oleh para penguasa, dan dijebloskan dalam kapal selam. Kisah yang menceritakan tentang kedhaliman para tiran atas lawan-lawan politiknya. Kisah yang menyajikan pergulatan batin diri pribadi para penghuni kapal selam itu, friksi di antara mereka, serta kesalehan yang terus bertahan dalam terpaan intrik dan tipu daya.

Cobalah simak salah satu cuplikan dialog yang menggambarkan kedhaliman para tiran itu. 

"Rupanya mereka lebih suka aku jadi perampok daripada jadi orang baik-baik. Orang rajin ke masjid kok ditangkap. Aku ditanya macam-macam, dipukuli, dipojokkan ke tembok. Rambutku dia betot sekeras-kerasnya, tetapi aku tetap tidak bisa menjawab pertanyaan mereka. Aku memang tidak tahu apa-apa. Lalu aku dicambuki, mataku dicongkel.
  
Sebanyak empat belas pelaku menjadikan kisah itu begitu penuh letupan-letupan. Sesekali mencekam, sesekali menampar kesadaran, tidak jarang juga megundang gelak tawa. Lengkap. Mereka adalah Abdul Ghofar (seorang guru agama), Muthalib (politikus tua yang stres berat), Jerio (orator dan aktivis politik yang ambisius tapi cengeng), Yon (aktivis dakwah yang labil), Kukuh (mahasiswa yang hampir  gila karena siksaan), Pii (mantan penjual es yang telah dipenjara sejak anak-anak), Prawoto (mantan pemimpin perampok yang sudah bertobat), Sokle (tukang bengkel elektronik yang dituduh menggerakkan massa), Sipir Kepala yang merasa berkuasa dan kuat, Juru Runding yang licik, Si Kutu Buku, Penyusup, seseorang yang selalu salat, dan para sipir penjaga. 

Dua jam, tentulah bukan rentang waktu yang mudah untuk menampilkan sebuah suguhan 'kelas berat' semacam teater dengan jalan cerita yang 'tidak populer' semacam itu. Ya, hanya orang-orang yang mempunyai daya apresiasi saja yang bisa menikmatinya dengan sepenuh hati. Tentu saja ini membutuhkan kepiawaian Sang Sutradara untuk membuat mata dan pikiran para penikmat tetap terfokus pada lakon yang dikemasnya.

Tapi cobalah lihat ratusan penonton yang memenuhi setiap kursi di dalam gedung Cak Durasim itu. Mereka kebanyakan adalah anak muda. Sepanjang dua jam lebih, para anak muda itu sepenuhnya khidmat menyimak. Tidak ada yang 'clometan' atau melontarkan komentar ''asal nyeplos', tak bermutu, merendahkan, sebagaimana kekhasan anak muda bila menonton sebuah hiburan. Mereka tidak hanya dari kalangan mahasiswa jurusan seni, namun dari berbagai kalangan. Bahkan juga banyak yang dari kalangan orang awam seperti saya. Hanya sekedar didorong rasa ingin tahu, rasa penasaran, dan rasa dahaga atas sebuah tontonan yang tidak hanya 'begitu-begitu' saja.

Bagi saya pribadi, dan juga saya yakin bagi semua penonton, pertunjukan ini layak dikatakan "sesuatu banget." Di antara kejenuhan atas berbagai tontonan 'murahan', kehadiran Teater Kanvas dengan "Penghuni Kapal Selam"-nya, seperti menjadi oase. Bahkan bagi orang awam yang tidak terlalu pilih-pilih hiburan. Kisah yang dilakonkan, sebagaimana ungkapan saya di atas, begitu penuh nutrisi, tentunya bagi jiwa. Ada nilai-nilai hidup yang tergali, ada ironi, ada pelajaran tentang makna sejati sebuah perjuangan. Sebuah tontonan seni sarat pesan bagi siapa pun yang masih percaya bahwa 'kejujuran di atas segalanya'. 

Coba kita simak pada ending cerita. Abdul Ghafar, orang yang paling konsisten di penjara itu, dan tak pernah bergeming pada bujuk rayu sipir dan juru runding, adalah satu-satunya orang yang masih bisa bangkit meski tertatih-tatih, pasca penjara itu dirobohkan untuk mengubur hidup-hidup semua penghuninya. Nilai hidup yang bisa dipetik, perjuangan demi kebenaran tetaplah 'indah pada waktunya'.

Seorang mahasiswa saya, mahasiswa PPPG Unesa. menulis kesan di wall FB-nya setelah menonton pertunjukan itu: "kesabaran tidak pernah memiliki batas, ia bahkan lebih luas dari samudra." Seorang lagi berkomentar; "ia bangkit atas keteguhan imannya." Yang lain menullis: "pengen nonton lagi... Pesan moralnya bagus banget." Komentar lain, yang begitu apresiatif dan penuh harapan: "Bersyukur masih banyak komunitas yang mau membingkai nila-nilai ketuhanan, keilmuan, kepedulian, kritis, optimis, dan kesabaran dalam karya seni teatrikal. Semoga terus mengalir, menumbuhkan jiwa-jiwa positif di setiap tempat yang dialirinya,"

Zak, orang yang kebetulan saya kenal cukup baik sejak awal mula dia belajar teater, adalah orang yang total menjalani hidup yang menjadi pilihannya. Teater mungkin adalah jalan sunyi. Namun dia telah bertekad untuk terus bertahan di jalan sunyi itu, berjuang demi sebuah kecintaannya pada seni dan kehidupan. Hidup, menurutnya, haruslah memiliki tema. Banyak orang yang sudah menjadi pemimpin sekali pun, keberadaan mereka tidak membawa perubahan apa-apa sebab hidup mereka tanpa tema. 

Kedudukan tema, begitu menurut Zak, sama pentingnya dengan keindahan seni teater. Melalui ketajaman memilih tema dalam sebuah zaman, seorang sutradara bisa diukur visi dan misi kehidupannya. 

Dan Zak Sorga, telah menunjukkan kelasnya tersendiri dalam percaturan dunia seni di Tanah Air, karena visi dan misi kehidupannya itu.

Surabaya, 15 Desember 2014

Wassalam,
LN

Rabu, 03 Desember 2014

Sumtim 1: Melaut Bersama 'Orang Gila'

Akhirnya kembali saya jejakkan kaki di tempat ini. Di sebuah desa bernama Katundu, Kecamatan Karera, Kabupaten Sumba Timur. Mendung gelap menggantung di langit. Tidak ada gerimis, tidak ada hujan. Namun angin mengabarkan kalau sebentar lagi hujan akan turun. 

Kami berkemas. Mengeluarkan barang-barang dari mobil, barang-barang yang akan kami bawa menyeberang ke Salura. Buku, majalah Unesa, majalah Al-Falah, alat-alat mandi, nasi bungkus, kue-kue, dan perlengkapan pribadi kami. Membungkus semuanya dengan kantung plastik rapat-rapat. Termasuk membungkus semua gadget dan kamera. Menutup peluang air hujan atau air laut membasahi semuanya.

Saya sudah pernah mengalami pengalaman buruk sepulang dari Salura. Kamera pocket saya rusak. Lensa tidak bisa dibuka-tutup. Ada semacam pasir di sela-selanya. Itulah kenangan saat berlayar ke Salura. Di bawah guyuran gerimis yang rasanya asin, kamera saya terpapar air yang mengandung garam itu. Selesai sudah.

"Pak Heri, apa kita perlu pakai jas hujan?" Tanya saya pada Pak Heri, Kepala Sekolah SMP Satap Salura, sekolah yang akan kami kunjungi. Beliau menjemput kami, dengan membawa perahu yang disewanya bersama pemilik perahunya.

Laki-laki itu menatap ke atas, melihat ke langit, membaca cuaca.

"Sepertinya tidak, Ibu."
"Sepertinya?" Saya balik bertanya. Tidak yakin. Saya tetap mengambil jas hujan. Setidaknya, kalau pun hujan tidak turun, saya memerlukannya untuk melindungi tubuh saya dari terpaan ombak. 

Tapi tiba-tiba gerimis turun.
"Pak Heri, belum-belum sudah membohongi saya?"

Pak Heri tertawa. 
"ini hujan cuma lewat saja, Ibu." 

Begitu kami sudah mengenakan jas hujan, dan bersiap turun menuju perahu, tiba-tiba saya ingat sesuatu.
"Mana pelampung?"
Saifud, koordinator kabupaten peserta SM-3T Sumba Timur, menjawab. "Ada, Bunda. Di perahu. Kemarin saya sudah minta disiapkan. Ada sekitar 10 buah."

Kami bertujuh berjalan menuju perahu. Saya dan Mas Febri (staf PPPG), Mas Oscar (driver), dan empat orang peserta SM-3T: Saifud, Ade, Gangga, dan Bintang. Saifud berjalan mendahului kami, untuk memastikan keberadaan pelampung. Ketika kami hampir sampai di dekat perahu, Saifud memberi tahu, kalau ternyata pelampung tidak disiapkan. 

Mak deg. Saya keder.
"Bagaimana, Bunda?" Tanya Saifud. Wajahnya menggambarkan kekhawatiran kalau saya akan batal menyeberang karena tidak ada pelampung. "Kemarin saya sebenarnya sudah pesan supaya pelampung disiapkan, tetapi ternyata tidak ada satu pun, Bunda. Katanya terlambat menitipkan ke perahu."

Saya melempar pandangan ke Pak Heri yang sudah ada di dalam perahu. 

"Pak, nggak bawa pelampung?" Tanya saya.
Pak Heri menggeleng, "Tidak apa-apa, Ibu. Aman." Laki-laki asli Muncar, Banyuwangi itu tersenyum, meyakinkan. Tapi di mata saya, dia seperti sedang menyeringai. Bisa-bisanya tidak bawa pelampung? Ini Samudra Hindia. Menyeberang dengan perahu nelayan kecil lagi. Hadeh.

Saya jadi ingat saat di Waisai, Raja Ampat. Pagi hari, sekedar mengisi waktu, saya berjalan ke pantai. Menikmati semilir angin dan melihat laut. Gelombang cukup besar, dan saya lihat ada perahu-perahu nelayan yang tetap melaut. Menuju ke tengah samudra. Gila. Cari mati apa mereka? Kapal sekecil itu? Tanya saya. Tapi mereka benar-benar melaju. Membelah samudra luas. Saya memandanginya terus, sampai perahu itu berubah jadi titik kecil yang akhirnya juga hilang, tak terlihat. 

Dan saat ini, saya menjadi bagian dari kegilaan itu. Mengarungi Samudra Hindia, dengan perahu nelayan. Tanpa pelampung. Kalau terjadi apa-apa, entahlah. Saya bayangkan, kalau masih pakai pelampung, setidaknya saya masih bisa kampul-kampul... 

Di Jawa, perahu kecil itu biasa disebut jukung. Di Salura, disebut perahu cumi, karena fungsi utamanya untuk mencari cumi.

Tentu saja saya tidak mungkin mundur. Langkah maju sudah diambil, tak akan surut. Ini bukan masalah malu. Tapi perjalanan sejauh ini, sejak dari Surabaya sehari sebelumnya, dilanjutkan dengan enam jam dari Waingapu pagi tadi, terlalu berharga untuk diabaikan, hanya karena tidak ada pelampung. Lihatlah wajah-wajah itu. Penuh optimisme. Bahkan anak kecil yang tak berbaju itu. Juga seorang mama berkerudung. Mereka tak ada rasa gentar sedikit pun meski tidak pakai pelampung. Tapi....ya, ini memang dunia mereka. Mereka sudah terlahir di sini, dengan kondisi alam yang telah selama hidup mereka akrabi. Sedangkan saya? Oh Tuhan....

Saya mengumpulkan kekuatan. Menceburkan kaki ke laut. Melompat masuk perahu dengan penuh keyakinan. Duduk di bagian belakang, berdampingan dengan Ade, gadis peserta SM-3T yang turut mendampingi kami sejak dari Waingapu. Di depan saya, duduk berhimpitan Mas Oscar dan Saifud. Di depan lagi, anak laki-laki belasan tahun, duduk berdampingan dengan Kakak Arni, perawat di Puskesmas Pembantu di Salura. Di depannya lagi, dua orang tukang perahu. Di depannya lagi, entah siapa, mungkin penumpang kapal. Hari ini adalah hari pasar di Katundu, sehingga ada beberapa penumpang lain selain kami, dengan tujuan Salura. Di depan lagi, Gangga dan Bintang. Pak Heri duduk sendirian persis di belakang saya dan Ade.

Perahu ini langsing sekali. Bila dua orang duduk berdampingan, tidak ada lgi space di samping kanan-kiri, pas untuk berdua. Perahu sekecil ini, ditumpangi tiga belas orang. Benar-benar gila. Entah ini berani atau konyol, atau keduanya. Setidaknya saya jadi semakin percaya dengan lagu lama itu. Nenek moyangku....seorang pelaut... 

Perahu pun melaju. Saya tahu, kami membutuhkan waktu sekitar satu jam seperempat untuk sampai di Salura. Ini penyeberangan kedua bagi saya. Penyeberangan pertama dulu juga dalam rangka monev SM-3T seperti sekarang ini. Namun, sebagaimana setahun yang lalu, menit demi menit seperti berjalan begitu lambat. Perahu seolah tidak bergerak. Meski begitu, laut yang hitam, sehitam mendung yang menggayut di langit, dan puncak-puncak bukit yang tersamarkan oleh kabut tebal, tak membuat hati saya ciut. Malah justeru pasrah. Menyerahkan keselamatan diri sepenuhnya pada perlindunga-Nya. Saya sudah sering mengalami situasi semacam ini. Kepasrahan total ternyata memberikan ketenangan. Ya, apa saja bisa terjadi memang. Tapi saya yakin, Allah akan melindungi perjalanan kami.

Saat mencapai separo perjalanan, hujan turun dengan deras. Sebagian dari kami menggigil kedinginan. Kilat menyambar-nyambar. Tapi dua orang tukang perahu itu hanya menggeleng-nggelengkan kepala, sambil tersenyum. Sesekali mereka melihat ke langit, menerka cuaca. Menggeleng-gelengkan kepala lagi. Saya tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Saya hanya berdoa, semoga hanya hujan saja. Sederas apa pun, semoga hanya hujan saja, tanpa disertai badai.

"Ini benar-benar hujan lewat." Kata Pak Heri, menyadari kesalahan prediksinya tadi. Ya, hujan deras yang lewat, namun terus singgah. Singgahnya lama lagi. Hidung saya semakin mampet. Saya memang sedang flu, dan paparan air hujan asin yang terus-menerus menerpa wajah saya benar-benar membuat saya seperti kehilangan lubang hidung.

Tak berapa lama, mesin di bagian kanan perahu tiba-tiba mati.
"Oli, oli." Teriak pak Heri.
Tukang perahu mencari oli. Di bawah kaki-kaki para penumpangnya. Ternyata ketemu di bawah kaki saya. Subhanallah. Ternyata saya benar-benar melaut bersama orang-orang gila. Oli yag begitu pentingnya saja sembarangan meletakkannya. 

Setelah pada bagian-bagian tertentu mesin perahu itu dituangi oli, perahu berjalan lagi. Normal. Karena hujan tak juga mereda, mesin bagian kanan depan ditutup plastik. Sedangkan mesin di sebelah kiri, tidak ditutup, tapi Pak Heri mengungkitnya dengan menggunakan dayung. Rupanya permukaan air yang menaik, menyebabkan mesin terlalu dekat dengan air, dan harus diungkit supaya tidak bersentuhan dengan air laut. 

Akhirnya nampaklah garis pantai dari kejauhan. Pasirnya yang putih terlihat muncul tenggelam, seirama dengan goyangan perahu yang diterpa ombak. Warna kelabu yang menutup permukaan pulau menandakan kalau pantai masih jauh. Air laut, sejauh mata memandang, masih tetap hitam legam, tanda laut dalam. Warna hijau kebiruan tak juga terlihat.

Sampai akhirnya tibalah saat yang kami tunggu. Air laut berangsur berubah menjadi biru, lantas hijau. Dasar laut yang putih nampak meski samar. Pasir putih di depan sana semakin dekat, dan pulau yang berkabut itu sudah mulai terlihat konturnya, pohon-pohonnya, lekukan garis pantainya. 

Di daratan, sekelompok orang sudah menunggu. Salah satu di antaranya adalah Wahyudi, guru SM-3T dari Prodi Pendidikan Fisika, yang bertugas di SMP Satap Salura. Dia datang bersama anak muridnya, lengkap dengan gerobak yang akan mengangkut bagasi kami.

Alhamdulilah, Ya Allah. Kau lindungi kami semua dalam perjalanan ini. 

Salura, akhirnya...

Salura, 2 Desember 2014

Wassalam,
LN

Minggu, 30 November 2014

Melbourne 5: Sovereign Hill dan The State Rose Garden

Mendung menggantung di langit saat kami tiba di Sovereign Hill. Sebuah tempat di ketinggian yang sejuk dan dingin. Seperti layaknya sebuah taman di perbukitan, saya membayangkan pasti akan ada banyak hal yang menakjubkan di balik pepohonan yang rapat itu.

Melalui sebuah undak-undakan, kami berjalan menuju pintu masuk. Beberapa orang berbusana ala masa lampau pun menyambut kami. Yang perempuan dengan blus panjang yang lebar bagian bawahnya, lengkap dengan topi lebarnya juga. Yang laki-laki berbusana lengkap dengan topi panjangnya juga dan sepatu boot. Mereka memandu para tamu dengan sangat ramah, termasuk melayani mereka yang ingin sekedar berfoto-foto. Counter penjualan tiket dan berbagai macam souveneer yang cantik-cantik ada di ruang yang menjadi pintu masuk ke Sovereign Hill itu.

Hujan deras membuat kami harus mengeluarkan payung dan menutup kepala kami dengan topi atau kerpus. Hawa dingin, namun tak menyurutkan kami untuk meneruskan wisata yang bagi kami tidak murah ini. Ya, 50 dollar per orang bukankah setara dengan hampir enam ratus ribuan? 'Hanya' untuk berwisata seperti ini? Hanya untuk masuk. Kalau kita ingin mengenakan kostum seperti orang-orang pertambangan zaman dahulu, kita dikenakan tambahan biaya 37 dollar lagi. Begitu juga kalau kita ingin naik kereta kuda dan mengikuti mining tour, harus membayar entah berapa dollar lagi.

Namun tentu saja bukan 'hanya'. Ya, karena ternyata begitu hujan reda, berbagai pemandangan langsung mencerahkan mata kami.  Serombongan anak sekolah biara, dipimpin oleh seorang guru perempuan, berjalan rapi dengan pakaian biara mereka, dengan topi-topi khas, dan berjalan cepat dengan kedua telapak tangan saling berpagut di bawah dada. Anak-anak itu berusia belasan tahun, mungkin siswa sekolah dasar, dan mereka sesekali membalas sapa kami dengan senyum manis dan sopan. Mereka masuk ke tempat pandai besi, ke peternakan kerbau dan kuda, ke toko roti, ke mana saja. Ada saatnya mereka bermain lompat tali, persis seperti yang dilakukan Laura Angels dan teman-temannya dulu. Melihat mereka begitu tertib dan rapi dengan segala kepolosan, membuat kita seperti melihat anak-anak sekolah zaman dahulu yang begitu takzim pada gurunya.

Menikmati Sovereign Hill memang mengingatkan kita pada film favorit masa kecil 'Little House on The Prairie". Para petugas yang mengenakan kostum zaman dahulu. Para wanita dengan rok lebar dan berat, lengkap dengan topi kain menutup rambut. Para pria mengenakan pantolan dan topi yang tinggi, lengkap dengan ikat pinggang dan sepatu kulit serta segala macam aksesoris. Mereka ada di toko-toko, apotek, bakery shop, bar, hotel, dan di rumah makan. Semua dengan latar masa lalu, sebelum tahun 1900-an. Dengan bangunan, alat-alat, perabot, dekorasi, yang semuanya dengan nuansa masa lalu. Roti, obat-obatan, permen, alat-alat memasak, dan sebagainya, pun dibuat dengan cara konvensional. Juga ada rumah-rumah para penambang, lengkap dengan dapur tradisional, kandang- kandang kuda, ternak ayam, dan bunga-bunga warna-warni, di pekarangan rumah kayu yang sederhana.

Hari sudah semakin siang dan Sovereign Hill yang panas namun sejuk kami tinggalkan sekitar pukul 13.00, setelah kami menyempatkan diri mengelilingi gold museum. Tempat di mana sejarah penemuan emas dan pengembangannya di Victoria bisa dipelajari. Termasuk para penemu dan selintas biografinya. Kita juga bisa membeli perhiasan emas di tempat itu, dalam bentuk cincin, giwang, liontin, bross, dan sebagainya. Harganya? Hm, untuk ukuran kami, tidak murah tentu saja....hehe.

Dari Sovereign Hill, kami berkendara lagi bersama Mas Toro menuju State Rose Garden. Sebagainama namanya, tempat ini adalah sebuah taman bunga yang luas, dan sejauh mata memandang, adalah bunga dan bunga. Kita akan terkagum-kagum dengan begitu banyaknya ragam bunga mawar dengan berbagai warna dan ukuran. Tak terbayangkan bagaimana taman sebesar dan seindah ini hidupnya dibiayai hanya mengandalkan dari donatur. Benar-benar fantastis.

Selain Sovereign Hill dan The State Rose Garden, kami juga berkesempatan mengunjungi tempat wisata bersejarah Shrine of Rememberance. Wisata belanja murah meriah juga kami lakukan di Shaver, toko yang menyebut dirinya sebagai "the recycle superstore". Ya, kita bisa mendapatkan barang bekas apa saja di sini. Buku, baju, peralatan rumah tangga, mainan anak-anak, aksesories, apa pun ada. Saya memborong buku-buku dan pernak-pernik alat makan. Semua barang itu masih bagus dan tidak rugi kalau kita beli, setidaknya sekadar sebagai kenang-kenangan kalau kita pernah ke Shaver.

Melakukan perjalanan di Melbourne begitu menyenangkan. Di sepanjang jalan banyak kita temui padang rumput, bukit dan lembah, dan domba-domba, juga hutan-hutan yang hijau menyejukkan. Meski melaju di jalan tol, sesuai peraturan, kecepatan mobil tidak lebih dari 117 kilometer per jam. Nampaknya para pengendara di Melbourne adalah pengendara yang patuh dan sopan. Apa lagi di sepanjang jalan tol kabarnya ada kamera terembunyi, dan bila ada kendaraan yang melebihi batas kecepatan, maka surat pemberitahuan dari kepolisian akan dilayangkan ke rumah pemilik kendaraan, dan yang bersangkutan akan terkena denda. Tidak perlu ketemu polisi di jalanan, apa lagi bermain mata dan 'berdamai' demi mengamankan pelanggaran.

Begitulah, semua serba rapi. Serba tertib dan teratur. Membuat betah dan nyaman siapa pun. Tentu kita, Indonesia, akan menuju ke sana juga, dan bahkan saat ini kita semua sedang menuju ke sana. Menuju pada keadaan yang lebih rapi, teratur, nyaman, layanan yang ramah dan peduli, termasuk peduli pada lingkungan sekitar. Betulkah? Semoga. Harus tetap optimis.

Melbourne, 4 November 2014

Wassalam,
LN

Jumat, 21 November 2014

New Zealand, Akhirnya Terwujud

Delapan mahasiswa itu berdiri tegak di sudut panggung. Tangan kiri mereka mengepal,  tangan kanan mengacungkan dayung. Di belakangnya adalah perahu karet besar berwarna biru. Di sebelah kiri mereka berdiri sebuah banner bertuliskan New Zealand Rafting Expedition 2014. Beberapa meter di belakang mereka, backdrop bertuliskan "Persembahan Himapala Unesa untuk Almamater dan Negeriku Tercinta, New Zealand Rafting Expedition 2014." Di depan panggung, belasan awak media cetak dan TV sedang mengambil gambar mereka.

Ya. Setelah diperjuangkan sejak lebih dari setahun yang lalu, mimpi itu, ekspedisi ke New Zealand, akhirnya terwujud. Ekspedisi rafting untuk mengakrabi tiga sungai sekaligus, Sungai Kaituna, Rangitaiki, dan Ngaruroro.

Ketiga sungai itu memang penuh dengan jeram yang curam dan sudah dikenal sebagai tempat untuk rafting yang menantang. Sungai Kaituna memiliki panjang sekitar 50 kilometer. Rangitaiki memiliki panjang 155 kilometer. Sedangkan Ngaruroro, terpanjang di antara ketiganya, yakni 164 kilometer.

Delapan orang itu, adalah Dimas Prasetyo Kurniawan, Anggar Sukmana Saputra, Dwi Zulaikah, Rizal Fanani Aziz, Fitria Indriani, Choirul Huda, Ulumuddin Fanani, dan Nafisa Ratna Sari. Tiga perempuan, lima laki-laki. Dua perempuan di antaranya adalah dari Program Studi Pendidikan Tata Busana. Ya, meski sehari-hari berurusan dengan fashion dan jahit-menjahit, nyali mereka besar juga untuk menjadi atlit rafting di lokasi yang bahkan belum pernah mereka kunjungi kecuali lewat dunia maya.

Tim delapan itu, tentu tidak terbentuk begitu saja. Ada proses panjang yang harus mereka lalui. Dari sebanyak 37 pendaftar, disaring sedemikian rupa, baik fisik maupun mental, tinggallah 10. Dari 10 orang, karena hanya diperlukan 8, maka gugurlah 2  di antaranya. 

Mereka juga harus masuk training center. Rutin fitness dan latihan dayung di Rolak dua kali seminggu. Bahkan pada hampir setiap akhir pekan, mereka turun ke Sungai Pekalen dan sungai lain untuk latihan. Mereka juga melakukan tryout di Dampit, Malang, juga ke Sungai Citandui, Jawa Barat. Sampai akhirnya, setelah fisik dan keterampialn mereka dinilai siap, mereka harus menjalani karantina di Roks (Rolak Outbound Kids) mulai tanggal 17 November sampai menjelang pemberangkatan nanti. Karantina itu dimaksudkan untuk lebih membangun kekompakan dan kebersamaan mereka. Lepas dari itu, sejak berbulan-bulan sebelumnya, korespondensi, perizinan, pengurusan passport dan visa, serta persiapan logistik, terus dilakukan.

Pada tanggal 27 November nanti, tim akan berangkat dari Surabaya menuju Auckland, New Zealand. Semua perjuangan yang telah dilakukan sejak setahun yang lalu, dengan berbagai rintangan dan tantangan yang harus dihadapi, akhirnya terbayar sudah. Benar. Bukan perjuangan yang ringan untuk mendapatkan dana sekitar 180 juta, bernegosiasi dan beaudiensi kesana kemari untuk mencari dukungan, di antara waktu-waktu kuliah dan tugas-tugas yang menumpuk, dan jadwal latihan yang padat. Mereka melalui semunya benar-benar dengan penuh perjuangan, dengan segala daya upaya, tetesan keringat, bahkan air mata, demi mewujudkan mimpi itu.

Siang itu, di Gedung Gema Kampus Ketintang, upacara pelepasan Tim New Zealand digelar. PR 3, Dr. Ketut Prasetyo, menyerangkan bendera Merah Putih sebagai simbol menitipkan nama baik negeri untuk mereka. Pembina Himapala, Luthfiyah Nurlaela, menyerahkan bendera Unesa, sebagai simbol menitipkan kejayaan Unesa. Dan Ketua Umum Himapala, Maratus Sholihah, Menyerahkan bendera Himapala, sebagai simbol menitipkan kehormatan Himapala untuk mereka. Semua yang hadir menyaksikan dengan penuh rasa haru dan bangga. Para orang tua, para senior Himapala, juga para awak media.

Ini bukan ekspedisi pertama untuk Himapala. Setidaknya sudah ada lima kali ekpedisi besar yang sudah dilakukan sejak puluhan tahun silam. Ekspedisi Cartenz, ekspedisi Lawe Alas, ekspedisi Tebing Bambapuang, ekspedisi Sulsel 3 divisi (panjat, caving, rafting), ekspedisi ladies team Selelo Sumatera, dan ekspedisi elit (5 tebing dalam satu bulan penuh). 

Ekspedisi New Zealand, sejatinya, adalah juga mimpi para senior Himapala. Dan saat ini, anak-anak muda itu, mewujudkan mimpi itu, dengan dukungan penuh para seniornya. Betapa indahnya sebuah silaturahim yang terus terjaga sebagaimana layaknya seorang adik-kakak.    

Ekspedisi semacam ini, tidaklah dimaksudkan untuk menaklukan alam. Alam sama sekali bukan untuk ditaklukkan, tapi untuk diakrabi. Juga bukan sebagai simbol kekuatan, keperkasaan. Ini tentang perjuangan mengalahkan rasa takut, tentang ketegaran, sekaligus tentang kerendah hatian, kebersamaan, serta kemampuan untuk bertahan. Sebagai bagian dari peningkatan kesadaran akan betapa kecil dan tak berartinya manusia, di tengah alam yang maha luas dan tak terhingga nilainya. Sebagai wujud rasa syukur dari sosok-sosok makhluk yang begitu tak berarti di hadapan Sang Pencipta. Ini tentang menjaga reputasi, menjaga kejayaan sebuah organisasi, almamater, dan kejayaan negeri.

Tanggal 7 Desember nanti, Tim New Zealand akan kembali dari petualangan mereka. Mereka akan membawa banyak pengalaman. Mereka akan membawa oleh-oleh berupa dokumentasi foto dan video. Mereka akan membawa banyak cerita. Namun, sebagai bagian dari masyarakat akademis, mereka akan menuliskan cerita pengalaman petualangan itu dalam sebuah buku. Buku yang menceritakan seluruh perjuangan mereka, suka duka mereka, dan juga--mungkin--tentang pelajaran berharga bagi semua untuk lebih mencintai alam semesta. 

Buku itu, akan menjadi kado indah untuk Ulang Tahun Unesa yang ke-50. Selamat Ulang Tahun, Unesa. Semoga kejayaan semakin dekat dan senantiasa dalam genggaman.

Selamat jalan, selamat berjuang, kawan. Kami di sini menanti kalian, lengkap dengan doa penuh harapan untuk kesuksesan kalian. Jaga kesehatan, jaga keamanan, jaga kehormatan. 

Salam lestari.

Surabaya, 21 November 2014.

Wassalam,
LN

Senin, 10 November 2014

Melbourne 2: Hidup Tidak Selamanya Mudah

Kami menuju Stasiun Moreland yang tidak terlalu jauh dari Hotel Dolma. Ditemani Tiwik dan Adzra, namun keduanya tidak ikut jalan-jalan, hanya melepas kami di stasiun tersebut. Untuk pertama kalinya, kami menggunakan myki di stasiun ini. 

Tujuan kami adalah Camberwell Market. Sebuah pasar yang tidak buka setiap hari, dan berbagai barang 'branded' bekas dijual di sana. Mulai dari pernak-pernik merchandise, sepatu, tas, baju, topi, alat-alat rumah tangga, alat-alat musik, alat-alat tukang, alat-alat menjahit, sampai sepeda bekas. 

Sepanjang perjalanan ke Camberwell market adalah perjalanan yang hijau dan teduh. Di mana-mana padang rumput, taman-taman, bukit-bukit, hutan-hutan kecil yang pohon-pohonnya berbaris rapi, rumah dan gedung-gedung berwarna tanah, dan tidak ada sampah berserakan. Tepatlah kalau Australia dikatakan sebagai negera terbersih di dunia dan Victoria disebut city of green. 

Suhu yang dingin tetap kami rasakan di dalam train. Musim seharusnya sudah masuk ke summer, tapi sisa-sisa spring masih sangat terasa. Hari ini tidak hanya cuaca yang dingin, namun juga berangin dan sedikit gerimis. Melbourne benar-benar membuat kami mengalami shock weather. 

Kami turun di Parliament. Ganti naik train ke arah Belgrave, menuju pasar Camberwell.

Saya sebenarnya lelah sekali. Tapi sangat sayang membuang waktu hanya untuk duduk-duduk atau tertidur di lobi hotel. Maka, pada siang hari pertama di Melbourne ini,  kami habiskan dengan berjalan-jalan ke Camberwell Market. Berbelanja barang-barang bekas. Saya sendiri tidak terlalu tertarik dengan barang bekas. Pikiran terlanjur tidak terlalu bisa menerima barang bekas, terutama untuk kelompok baju dan aksesoris.  Beda dengan orang-orang Melbourne, me-'recycle' barang-barang mereka sudah menjadi budaya. Oleh sebab itu, di mana-mana ditemukan toko barang bekas. Penampilan orang-orang itu selalu up to date, fashionable, modern, meski tidak selalu mengenakan barang baru.

Saya hanya membeli sebuah CD rekaman kelompok musik yang judulnya The Scrimshaw Four Bazaar. Kelompok musik itu sedang bermain di tempat itu juga. CD itu, untuk siapa lagi kalau bukan untuk Arga.  

Kami juga melakukan window shopping di kawasan Fliders Road, dan lanjut ke Queen Victoria Market (Vicmart). Di Vicmart ini, anak sulung Tiwik, Ganta, yang beberapa waktu yang lalu sudah diwisuda lulus high school, bekerja membantu buka-tutup toko, untuk sekedar mengisi waktu luangnya. Dia mendapatkan 50 dollar untuk empat jam waktu kerja per hari, dan bekerja selama lima hari seminggu. Pendapatan yang sangat lumayan. Lebih dari sepuluh juta per bulan. Hm....

Sore ini kami benar-benar lelah. Juga kelaparan. Sepotong dua potong fried chicken dan french fries, yang kami dapatkan di ujung Swanston street, membantu mengusir lapar dan dingin. Masih harus naik satu kali tram lagi sebelum sampai ke hotel kami.

Nanti malam, kami harus briefing, untuk mempersiapkan presentasi pada esok harinya, di Victorian Institute of Teaching (VIT) dan di University of Melbourne. Tiwik akan datang ke hotel untuk membantu persiapan kami. Tempo hari saya katakan pada Tiwik: "berkali-kali aku bersyukur pada Tuhan, Wik, betapa beruntungnya aku punya kamu. Huwaaa...." 

Karena kami akan berkunjung ke tiga institusi, kami berbagi tugas. Kesempatan pertama, di VIT, saya yang akan presentasi. Pak Sulaeman kebagian giliran kedua, di University of Melbourne. Dan lusa, di Victorian University (VU), Pak Yoyok yang akan presentasi. 

Kami tiba kembali ke Hotel Dolma saat matahari bersiap untuk tenggelam. Tubuh kami sangat lelah. Tujuh pack nasi padang yang kami beli dari penjual yang berasal dari Vietnam, ya dari Vietnam--bukan dari Padang--kami bawa pulang, untuk makan malam nanti. 

Menyapa Melbourne yang baru sepintas ini memberikan kesan mendalam bagi saya. Hidup di tempat ini seolah begitu nyaman. Lihat di mana-mana. Kota yang bersih. Taman di mana-mana. Hiburan dan kemudahan di mana-mana. Transportasi yang sangat rapi dan serba otomatis. Jalanan tanpa macet. Orang-orang yang mondar-mandir dengan penampilan  dan wajah-wajah yang bersemangat. Semua serba modern, fashionable, dan mewah.

Tapi coba sedikit menengok ke Pasar Camberwel. Seorang tua berjualan sepeda dan barang-barang "rongsokan". Sweater yang dikenakannya koyak dan terburai di beberapa bagian. Sepatunya adalah sepatu butut. Juga sepasang suami istri yang berjualan pernak-pernik, dan menawar-nawarkannya dengan wajah memelas. "Everything is two dollars, everything is two dollar..... All must go, all must go....". 

Secara berseloroh, Pak Yoyok berkomentar. "Lihat mereka. Ternyata para turis yang sering kita lihat di Indonesia, seperti ini kerja mereka di sini. Isih keren awak dewe. Haha....."

Memang tidak semua orang yang berjualan barang bekas di tempat itu berpenampilan memelas. Banyak orang dewasa dan anak muda yang nampaknya berjualan hanya sekedar mengisi waktu luang atau melampiaskan hobi. Mereka cantik-cantik dan keren, bahkan ada yang wajahnya secantik Sandra Bullock.

Beberapa tuna wisma, meski tidak banyak, juga saya temukan di beberapa tempat, di stasiun dan emperan pertokoan di Flinders street dan Bourke street. Salah seorang dari mereka bahkan memasang tulisan: "Hello, my name is Sarah. I am homeless and if any one could help with food, coffee and any spare clothes...", dan seterusny. Ada juga yang menengadahkan topinya dengan tatapan kosong. Musisi jalanan, mirip di kawasan Malioboro, menyanyi dan memainkan berbagai instrumen, mungkin dengan tujuan benar-benar mencari uang atau sekadar menyalurkan hobi, baik sendiri maupun berkelompok, dan mengharap koin dari para pengguna jalan.

Ya, bahkan di Melbourne pun, hidup tidak selamanya mudah.


Melbourne, 2 November 2014

Wassalam,
LN

Melbourne 1: Princess Pinus untuk si Princess

Pukul 07.30 waktu Melbourne. Garuda Indonesia mendarat mulus di landasan Tullamarine Airport. Udara dingin terasa menggingit kulit begitu kami keluar dari badan pesawat jumbo itu. 

Kami bertujuh. Saya, Pak Sulaiman, Bu Kisyani, Pak Yoyok, Pak Heru, Bu Lucia, dan Mbak Silfia. Kami semua tim PPPG (Program Pengembangan Profesi Guru) Unesa, kecuali Bu Kisyani yang baru saja mengakhiri masa jabatan sebagai PR 1 Unesa. Juga Mbak Silfia, staf Kantor Urusan Internasional Unesa. 

Kedatangan kami ke Melbourne adalah untuk melakukan benchmarking ke tiga institusi, yaitu Victorian Institute of Teaching (VIT), University of Melbourne, dan Victoria University (VU). Kawasan benchmarking kami seputar sistem sertifikasi guru dan pendidikan guru. Korespondensi dengan ketiga institusi itu sudah kami lakukan sejak tiga empat bulan yang lalu, untuk menyampaikan tujuan kami dan menentukan  hari di mana kami bisa berkunjung. Bahan presentasi sudah kami persiapkan juga, termasuk mempelajari berbagai hal tentang profil ketiga institusi.  

Kami semua tidur hanya sebentar semalam. Perbedaan waktu antara Indonesia dan Australia yang selisih empat jam, membuat tidur kami tidak sempat lelap. Tiba-tiba saja setelah sekitar dua jam terbang, pramugari membangunkan kami dan membagikan breakfast. Oh God. Ini seperti makan sahur saja. Tapi saat kami mengintip keluar jendela, ternyata hari sudah mulai terang. Meski masih ada sekitar dua setengah jam lagi waktu yang tersedia sebelum mendarat, kebanyakan kami sudah tidak bisa melanjutkan tidur yang tertunda setelah menghabiskan breakfast yang terlalu cepat itu.

Kami berjalan memasuki gedung terminal, mengikuti petunjuk arah. Mengisi custom form, menuju counter imigrasi yang antriannya mengular. Lanjut mengambil bagasi, berjalan ke arah yang ditunjukkan petugas. Berdiri lurus di line 4. Semua bagasi, termasuk tas tenteng, diminta meletakkan di lantai, di depan kami berdiri. Anjing pelacak mengendus-endus tas-tas kami. Semua aman kecuali ransel Pak Yoyok. Dia membawa roti daging, dan meskipun sudah dia 'declare', tetap saja dia harus berurusan dengan petugas, dan rotinya disita. Hiks.... 

Kami berjalan keluar, menunggu penjemput. Berdiri di meeting point sembari menahan dingin. Mbak Silfia menelepon Bu Pratiwi, teman kami yang sedang menempuh program Ph.D dalam bidang cultural studies di University of Melbourne. Bu Pratiwilah yang membantu menyiapkan semua keperluan kami selama di Melbourne, akomodasi, transportasi, dan juga konsumsi. Bu Pratiwi juga yang membantu mengoreksi bahan presentasi kami untuk ketiga institusi yang akan kami kunjungi nanti. Kami menyiapkan power point, dan power point itu saya narasikan, supaya bisa lebih membantu memperlancar presentasi kami. Maklum, dengan keterbatasan keterampilan bahasa Inggris kami, apa pun harus kami lakukan, supaya tidak terlalu mengecewakan ketika presentasi dan diskusi nantinya.  

Bu Pratiwi. Sebenarnya dia bukan orang lain bagi saya. Tiwik, begitu saya menyebutnya, adalah teman seperjuangan. Satu angkatan di Himapala IKIP Surabaya (Unesa sekarang), sama-sama aktif di senat fakultas, sama-sama penyuka kegiatan tulis-menulis, teman satu kost ketika kuliah di S2 di Yogyakarta, dan sama-sama menjadi dosen di Unesa.

Kami dijemput oleh Bang Luhut, mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Melbourne. Menurut Mbak Silfia, kebanyakan mahasiswa Indonesia berkuliah sambil bekerja. Juga para pelajar SMA. Mengisi waktu dengan bekerja part-timer, gajinya cukup menjanjikan. Satu jam rata-rata tidak kurang dari 8 dollar. Mereka bekerja apa saja, mencuci piring di rumah makan, membuka dan menutup lapak di pasar atau toko, menjadi driver, dan sebagainya.

Setelah berkendara selama sekitar dua puluh menit dari Tullamarine Airport, kami tiba di penginapan Dolma, di kawasan North Coburg. Sebuah penginapan sederhana, tapi cukup nyaman. Kami membayar 'hanya' 1.750 dollar untuk tiga kamar, selama lima hari, dengan tambahan satu microwave dan satu toaster. Namun kami datang terlalu pagi, oleh sebab itu kami belum bisa check in. Petugas meminta kami memasukkan koper-koper kami ke ruang di sisi ruang resepsionis.  

Udara pagi yang dingin, sekitar 13 derajat Celcius membuat tubuh kami lumayan menggigil. Bu Lucia sampai membungkus tangannya dengan kaus tangan. Jaket kulitnya menutup rapat-rapat tubuhnya. Kami semua menutup tubuh kami dengan jaket. Untungnya, kami semua membawa jaket. Beberapa hari sebelum keberangkatan kami, Tiwik sudah mengingatkan kami untuk membawa baju hangat, payung dan topi.  

Tak berapa lama, Tiwik datang dengan Adzra, anak bungsunya yang masih kelas 1 SD. Kami menyambutnya dengan suka cita. Saya memeluk tubuh mungil Tiwik dengan sepenuh hati. Kerinduan pada seorang sahabat. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, saya akan menemui Tiwik di sini. Selama ini kami hanya berkomunikasi via BBM dan mendengar ceritanya dari mailing list keluarga Unesa. Apa yang dia ceritakan semuanya berkesan, semua ceritanya, cerita sedih maupun menyenangkan. Tiwik mengalami banyak hal selama menempuh studinya, banyak hal, yang menguras energi lahir dan batin, dan dia bisa melaluinya dengan baik. Tiwik, dengan tubuh mungilnya itu,  adalah pejuang yang sangat tangguh dan tak kenal menyerah. 

Tiwik membawakan kami nasi kotak plus sebotol air mineral. Wow, benar-benar saat yang tepat. Meski di pesawat tadi kami sudah sarapan dengan menu nasi goreng dan ayam berbumbu, udara dingin membuat perut kami sudah lapar lagi. Menu nasi putih, tahu isi, nugget, dan balado terong, begitu pas dengan suasana pagi ini. 

Adzra, gadis kecil Tiwik, begitu  ceriwis. Kemarin dia berultah. Dia bercerita tentang ultahnya, sekolahnya, apa saja, dengan bahasa Inggrisnya yang sangat lancar. Tentu saja. Anak itu telah bersekolah di Melbourne selama sekitar dua tahun. Untuk anak seusia dia, belajar bahasa sangatlah cepat, apa lagi dalam lingkungan belajar yang sangat mendukung, baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan teman sebayanya. Maka dia berbicara dalam bahasa Inggris dengan begitu natural, dengan body languange yang sungguh menggemaskan. 

Saya memberinya oleh-oleh  tas ransel biru dan sebuah buku bacaan. Sebenarnya saya tidak tahu kalau dia sedang berultah. Tapi tas biru dan buku itu membuat matanya berbinar-binar.

"It's gift for you. For your birthday." Kata saya. 
"Oh, really?" Dia seperti tidak percaya. 
"Yes, sure."

Adzra melompat-lompat sambil melambai-lambaikan tas biru dan bukunya. 

Bu Kisyani bertanya. "Adzra, what is the meaning of Adzra?"
"Princess."
"Princess?" Saya menyahut. "You got the book of Princess Pinus."

Ini benar-benar kebetulan yang menyenangkan. Adzra, si princess itu, sedang berulang tahun, dan dia mendapatkan buku berjudul Princess Pinus sebagai hadiah ultahnya. Tentu ini bukan buku yang ditulis dalam bahasa Inggris. Buku tentang kisah inspiratif regu penggalang SMP IT Auliya,  yang dihimpun oleh sahabat baik kami, Mas Basir Aidi, dan kebetulan saya diminta untuk memberikan endorsement dalam buku itu, saya harapkan bisa membantu Adzra untuk tidak melupakan bahasa ibunya, bahasa Indonesia.

Saya membongkar koper. Mengeluarkan kering tempe dan sambal pecel pesanan Tiwik. Juga buku-buku titipan Mas Khoiri, teman dosen dan juga sahabat kami, juga buku-buku dari saya sendiri. Salah satunya adalah buku 'Cermin', kumpulan tulisan saya dan Dik Utik, adik saya, buku yang menandai ulang tahun kami pada Oktober yang lalu.

Setelah selesai makan, kami bersiap untuk jalan-jalan, sekadar menunggu waktu. Tiwik membagikan 'myki visitor", sebuah kartu pass untuk memanfaatkan transportasi umum, yaitu train, tram dan bus. Kami akan memerlukannya selama sekitar seminggu kami di sini. Sejumlah 42 dollar per orang kami membelinya, dengan-- tentu saja-- dibantu Tiwik. 

Baik, mari kita mulai menyapa Melbourne yang dingin meski matahari bersinar cerah.

North Coburg, Melbourne, 2 November 2014


Wassalam,
LN