Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 20 Desember 2015

Go To America (6): My Birthday

Pagi ini cerah sekali. Matahari meski tidak penuh sinarnya, cukup memberi sedikit kehangatan. Tapi ini hari istimewa saya. Jadi seperti apa pun keadaan cuaca, hati saya harus tetap cerah. Ya, today is my birthday.

Sejak kemarin, ucapan selamat ulang tahun sudah mengalir dari keluarga, teman, dan mahasiswa di Indonesia. Ya, karena di Indonesia, 18 Oktober itu adalah kemarin.

Hari ini, kami punya acara. Pergi ke Bear Lake bersama Amanda Castillo, staf USU Global Engagement yang baik hati dan murah cerita itu. Sejak tadi pagi, kami sudah menyiapkan bekal untuk di perjalanan dan untuk makan siang. Bekalnya sederhana saja. Roti tawar panggang yang saya oles mentega dan saya taburi gula, dan roti naan yang saya isi dengan ragout  jagung, telur dan sayuran lain. Enak. Dilengkapi dengan buah pir yang ranum-ranum dan sebungkus besar chips.

Amanda datang menjemput tepat waktu. Pukul 10.30. Posturnya yang tinggi terbungkus kaus dan celana jeans serta sepatu kets. Blazer berbahan kaus mempermanis penampilannya.

Kami berangkat. Amanda memegang kemudi. Selama mengemudi, Amanda bercerita apa saja. Perempuan ini memang suka sekali bercerita. Kalau kita bertanya tentang satu hal saja, yang sebetulnya jawabannya cukup setengah meter, Amanda bisa menjawabnya sampai puluhan kilometer. Seperti yang diceritakan Shelly pada saat pertama kali kami bertemu di Salt Lake City. Kata Shelly, Amanda ramai sekali orangnya, sehingga kalau kita bicara dengan dia, maka kita harus memutusnya dan mengatakan, "Okay, Amanda, see you on Monday..." Haha, geli juga saya dengan cerita Shelly. Tapi bagi kami, Amanda sangat berjasa. Bukan hanya karena dia telah berbaik hati membawa kami menjelajah Logan dan sekitarnya. Namun juga karena dia telah meningkatkan keterampilan 'listening" kami dengan sukarela.

Menyusuri jalan-jalan panjang dan lebar yang relatif sepi dengan bukit-bukit, lembah-lembah, hutan-hutan di sepanjang jalan, mengingatkan saya pada Sumba. Bedanya, jalan-jalan di Sumba sempit dan berbatu-batu, rusak berat di mana-mana. Sementara di sini, jalan lebar dan mulus. Mungkin benar kata Pak Oenardi, pajak yang dibayarkan oleh rakyat Amerika, seluruhnya kembali pada rakyat. Lihat fasilitas umum yang ada. Jalan, transportasi, rumah sakit, sekolah-sekolah, semuanya seperti sempurna. Tidak hanya bangunan fisik, namun juga layanannya.    

Bear Lake merupakan danau alamiah yang lokasinya ada di perbatasan Utah dan Idaho di Western US. Sekitar 280 km2, dia membelah hampir sama dua negara bagian. Bagian Utah meliputi danau terbesar kedua di Utah, setelah Utah Lake. Danau ini disebut "Caribbean of the Rockies" karena warna biru turkisnya yang unik, yang diakibatkan oleh deposit calcium carbonate yang terkandung dalam danau. Kandungan air danau tersebut menyebabkan terjadinya evolusi beberapa spesies fauna yang unik yang terjadi hanya dalam danau ini. 

Bear Lake konon usianya lebih dari 250,000 tahun. Pada mulanya disebut "Black Bear Lake" oleh Donald Mackenzie, penjelajah North West Fur Company, yang menemukan danau tersebut pada 1819. Nama danau kemudian berubah menjadi Bear Lake.

Bear Lake merupakan destinasi wisata yang populer bagi turis dan penyuka olah raga. Lembah di sekelilingnya juga memiliki reputasi sebagai penghasil buah rasberi yang sangat bermutu. 

Baiklah, kembali ke perjalanan kami yang ramai karena celoteh Amanda yang seperti tanpa jeda. Hari itu kami tidak hanya mengunjungi Bear Lake, namun, sambil menyelam minum air, kami singgah di beberapa tempat wisata yang sangat alami dan mengagumkan. Ada lebih dari lima camping ground yang dilengkapi dengan danau dan lembah serta hutan-hutan yang indah, ada juga yang dilengkapi dengan tempat memancing, ada juga yang dilengkapi dengan air terjun dan gua-gua. Indonesia tentu memiliki semua itu, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Salah satu kelebihan (atau kekurangan?) itu, di tempat-tempat rekreasi di sini, tidak ditemukan para penjual suvenir atau makanan di sembarang tempat, kecuali di kedai-kedai atau store yang jumlahnya tak sampai lima buah. Di kawasan camping ground dan memancing, bahkan saya tidak melihat satu pun orang berjualan. Ya, ini negara maju, Saudara. Mereka tidak perlu berjualan di tempat-tempat seperti ini hanya demi memperoleh puluhan atau ratusan dolar. Apa lagi kesadaran mereka terhadap lingkungan begitu baik, sehingga melakukan aktivitas yang akan merusak kelestarian dan kemurnian alam--misalnya dengan berjualan di sembarang tempat--sepertinya tidak mungkin mereka lakukan.

Jalan-jalan yang panjang, sepi, melintasi hutan, lembah, bukit dan pegunungan, mengingatkan saya pada film-film cowboy. Dan memang benar. Beberapa kali kami berpapasan dengan cowboy, pria tinggi gagah bercelana jeans, kemeja polos atau kotak-kotak, sepatu tinggi, dan topi lebar. Mereka menunggang kuda. Sebagian ada yang naik motor gede, nah, ini dia cowboy modern. Paduan kemurnian alam dan modernitas seperti menyatu dengan begitu harmonis.

Dalam perjalanan pulang dari Bear Lake, kami singgah di sebuah store yang menjual makanan, minuman, dan merchandise berlogo atau bertuliskan Bear Lake. Kaus, gantungan kunci, topi, scarf, dan lain-lain. Di halaman belakang tempat itu, adalah hamparan rumput hijau yang bersih dengan pemandangan alam berupa sungai dan pegunungan. Ada beberapa tempat duduk dan kursi. Amanda membeli chips dan sebotol besar jus jambu. Kami mengeluarkan bekal kami dan membebernya di atas meja. Sambil menikmati udara yang sejuk dan pemandangan alam yang asri, kami makan dan salat bergantian, dengan sajadah yang digelar langsung di atas rumput. 

Selesai saya salat, saya duduk menemani Amanda makan chips. Pak Asto giliran menunaikan salat. Amanda bertanya, apakah kami sedang menyembah matahari atau apa? Saya katakan, saya baru saja selesai salat, dan salat itu menyembah Allah, Tuhannya umat Muslim. Dia mengangguk-angguk, entah paham entah tidak, namun nampaknya ini bukan waktu yang tepat untuk berdiskusi tentang agama.

"It's her birthday, Amanda." Kata Pak Asto tiba-tiba seusai dia salat.
"Really? Okay, I'll sing a song for Luthfi's birthday." Sahut Amanda.

Jadilah kami berpesta kecil-kecilan di taman rumput itu. Dengan makanan sederhana bekal perjalanan kami. Cukup meriah karena Amanda menyanyikan lagu dan kami berdua, saya dan Bu Lusia, sebagai penyanyi latarnya. Sementara Pak Asto mengabadikan dengan video di androidnya.

"Happy birrthday to you
Happy birthday to tou
Happy birtjday dear Luthfiyah...
Happy birthday to you....

Logan, Utah, USA, 18 October 2015.

Rabu, 16 Desember 2015

Meru Betiri dan Kisah Kehidupan Penyu yang Dramatis

TAMAN Nasional Meru Betiri. Pasti Anda pernah mendengar nama ini. Ya, sebuah taman nasional yang berada di Sukamade, pelosok Banyuwangi. Berjarak sekitar enam jam perjalanan darat dari Surabaya, ditambah dua jam perjalanan di tengah hutan lindung yang medannya berbatu-batu, naik turun, dan berkelok-kelok. 

Meru Betiri tidak hanya dikenal dengan hutan lindungnya, namun juga dikenal sebagai tempat penangkaran penyu. Di salah satu pantainya, yaitu Pantai Sukamade, ratusan bahkan ribuan telur penyu dirawat. Diberikan kondisi yang optimal agar ribuan telur putih lunak itu menetas dan melahirkan generasi baru penyu yang akan mengisi perairan Samudera Indonesia.

Tahukah Anda, sekali bertelur, seekor penyu bisa menghasilkan lebih dari seratus butir setiap kali. Di Meru Betiri, rekor tertinggi pada 2010, sebanyak 215 butir telur dihasilkan dari hanya seekor penyu. Tahun ini, 2015, paling banyak dihasilkan 192 butir telur dari seekor penyu.

Begitu telur-telur itu menetas, petugas akan mengambil dari pantai dan memindahkannya di tempat penangkaran. Puluhan atau ratusan telur yang dihasilkan oleh setiap penyu dipendam dalam pasir dan dikurung dengan kawat-kawat dengan diameter kurungan sekitar 30 cm. Setiap kurungan itu diberi label, berapa jumlah telur, kapan diambil, dan dari jenis penyu apa. Ada empat jenis penyu yang ditangkar di Taman Nasional Meru Betiri, yaitu penyu hijau, penyu lekang, penyu sisik dan penyu belimbing. 

Puluhan atau ratusan telur dalam sangkar-sangkar itu tidak menetas bersamaan. Biasanya terjadi tiga kali masa menetas. Begitu juga, tidak semua telur akan menetas. Kemungkinan telur yang menetas sekitar 70 persen. Bila penyu-penyu mungil itu sudah keluar dari tanah, mereka dibiarkan sekitar seminggu tetap dalam kurungan mereka, sampai plasenta di perut mereka tertutup. Baru kemudian mereka akan dilepas di pantai.

Kehidupan penyu sangatlah dramatis. Sejak masih berupa telur, predator yang mengancam kehidupan telur itu sudah mengintai dari segala penjuru. Mengambilnya segera dari pantai tempat telur-telur itu dihasilkan oleh penyu, dan menyimpannya dalam ruang penangkaran, adalah upaya awal untuk menyelamatkan hidup mereka. Begitu telur-telur itu menetas, dan bayi-bayi penyu sudah saatnya dilepas di laut, maka merangkaklah kaki-kaki mungil mereka di atas pasir pantai yang basah menuju samudera luas di hadapan mereka. Saat itu, bahaya yang luar biasa ganas mengancam. Ratusan jenis predator bisa memangsanya tanpa ampun.

Menurut Pak Tri, salah satu petugas yang memandu kami melepaskan bayi-bayi penyu ke laut pada suatu pagi yang cerah, peluang hidup penyu-penyu itu hanya satu di antara seribu. Ya. Satu dibanding seribu. Betapa dramatis.

Lantas saya bertanya pada Pak Tri.
"Satu di antara seribu? Terus buat apa ditangkarkan sebegini rupa?"
"Kalau tidak ditangkar, mereka akan punah."
"Tapi hanya satu di antara seribu?"
"Bila tidak ditangkar, kemungkinan peluangnya jauh lebih kecil dari itu. Kehidupan kura-kura itu sangat rumit. Predator mengintai mereka sejak mereka masih dalam bentuk telur. Dan bahaya terus mengancam mereka sampai kapan pun."

Saya tercenung. Teringat pengalaman traumatis yang pernah saya alami sekitar dua tahun yang lalu. Saat itu, saya sedang melaksanakan tugas di sebuah pelosok di Maluku Barat Daya. Di atas Kapal Marsela yang saya tumpangi, orang-orang, sebagian besar anak buah kapal (ABK), menangkap seekor penyu besar yang panjangnya sekitar satu meter. Penyu itu diikat dengan tali di banyak bagian tubuhnya. Orang-orang, pada umumnya ABK, bergotong royong menarik penyu dari laut masuk ke kapal. Pada kondisi telentang, dia ditarik-tarik. Badannya hanya mampu bergerak-gerak kecil tak berdaya. Kepalanya terkulai, dan matanya....menangis. Ya, penyu itu mengeluarkan air mata. Hati saya teriris-iris melihatnya. Tak terbayangkan betapa kesakitannya dia. Saya beringsut menjauh darinya, tidak tega melihat matanya yang seperti memohon. Saya masuk kamar, meninggalkan orang-orang yang sedang bersorak-sorai dan sibuk memotret-motret. Di dalam kamar, saya termangu-mangu dengan bayangan penyu besar itu memenuhi kepala saya.

Tak berapa lama, penyu itu disembelih. Tentu saja saya tidak tega melihatnya. Konon, dalam keadaan batok sudah dilepas, bahkan ususnya pun sudah diangkat, penyu itu masih hidup. Dagingnya terus berdenyut sampai akhirnya denyutannya hilang setelah dagingnya dipotong kecil-kecil. Daging itu diolah menjadi makanan atau bahan makanan. Ususnya juga bisa diisi dengan daging penyu yang sudah dipotong kecil-kecil dan dicampur garam, kemudian dijemur sampai kering. Bahan makanan semacam sosis itu namanya pepeta. Dia tahan lama, dan bisa menjadi persediaan makanan sampai bertahun-tahun.

Betul juga kata Pak Tri. Predator mengancam kehidupan penyu sepanjang hidupnya. Dan predator itu termasuk manusia. Di banyak tempat, telur penyu dijual bebas dan manusia memakannya dengan lahap.

"Lagi pula, Bu..." Lanjut Pak Tri. "Bayangkan kalau semua penyu itu hidup. Laut akan dipenuhi oleh populasi penyu yang tak terkendali. Bayangkan, seekor penyu sekali bertelur bisa menghasilkan puluhan bahkan ratusan butir."

Benar juga. Tuhan Maha Adil. Alam sebenarnya telah mengatur sedemikian rupa untuk kelangsungan hidupnya. Ada keseimbangan yang begitu alamiah supaya kelestariannya terjaga. Namun demi lebih menjaga kelangsungannya, diperlukan tangan-tangan dingin untuk memastikan segala sesuatunya berjalan lebih sempurna. 

Taman Wisata Meru Betiri, Sukamade, Banyuwangi, 12 Desember 2015

#edisi kangen milis ganesha#

Salam,
LN

Selasa, 01 Desember 2015

Go To America (5): Barbecue dan Seuntai Doa

Minggu pagi yang cerah, dan kami punya acara menarik hari ini. Ya, barbecue. Bersama orang Indonesia yang ada di Logan dan sekitarnya. Tentu saja mereka tidak hanya datang dari Logan, namun juga dari Wyoming dan Idaho.

Semalam, Andreas dan Firda ada di apartemen kami. Sekeranjang besar daging domba yang sudah dipotong-potong dalam ukuran besar dibawanya. Bersama seorang temannya, namanya Adam. Saya tidak sempat beramah-tamah dengan Adam karena dia juga tidak berlama-lama di apartemen kami. Sekadar mengantarkan daging domba yang menurut saya entah untuk berapa puluh orang itu. Banyak sekali.

Saya 'kamitenggengen.' 
"Ndre, maksudnya, ini kita yang harus mempersiapkan?"
"Ya, Bu. Dipotong-potong, ditusuk-tusuk, untuk barbecue besok."
'Hah?" Saya menahan diri untuk tidak menunjukkan kekagetan saya. Tidak tega melihat Andreas dan Firda yang sudah langsung menyingsingkan baju dan siap dengan pisau dan talenan. 

Saya sebenarnya ingin protes. Kok bisa-bisanya sih kami yang harus kerepotan seperti ini? Saya tidak membayangkan akan jadi tamu istimewa dalam barbecue itu, tapi setidaknya saya tidak dibebani dengan pekerjaan berat mempersiapkan daging-daging ini. Kami ini kan orang baru, orang tua-tua lagi. Masak sih, disuruh ngurusin daging satu ekor domba utuh begini, sama anak-anak muda ini?

"Ndre, tahu gini aku nggak mau, Ndre...." Tidak tahan, akhirnya saya protes juga.
"Terus, gimana?"
"Kupikir kita nggak ikut-ikutan repot begini...."
"Jadi tamu begitu?"
"Tidak juga. Tapi tidak repot begini. Ini namanya kalian ngerjain kami."
"Terus, gimana?" 
"Ya sudah, gimana lagi."

Siang ini, kami sudah berkumpul. Daging yang semalam kami persiapkan, sudah berada di atas alat barbecue yang tersedia di taman. Oya, hampir di setiap kompleks apartemen, tersedia taman, playground, dan alat untuk barbacue. Siapa saja penghuni apartemen bisa menggunakannya, asal mendaftar lebih dulu. Kalau mau acaranya di dalam ruang, ruang yang cukup luas juga tersedia. Lengkap dengan pantry, alat-alat memasak dan menghidangkan, bumbu-bumbu, bahkan piano dan sound system. 

Tapi kami hari ini memilih tempat di taman, persis di belakang apartemen Andreas. Ada meja-meja panjang dan kursi-kursi, yang juga bisa dipinjam di FASA, kantor yang melayani semua keperluan penghuni asrama. Suhu udara yang meskipun dingin masih memungkinkan kami untuk menikmati sate domba dan berbagai makanan lain di luar. Sate udang, nasi basmati, couscous makanan khas Meksiko, dan makanan lain yang dibawa oleh para undangan. Reyla dan suaminya Ryan, membawa bihun goreng. Reyla dari Cibinong dan Ryan, suaminya, asli Amerika. Silvia, mahasiswa S2 Civil engineering dari Sumba Barat, membawa es krim Aggie Blue yang terkenal lezat itu. Es krim itu diproduksi sendiri oleh USU. Saya dan Bu Lusia, meskipun tidak membawa apa-apa kecuali buah apel,  menyiapkan sambal salsa, couscous, nasi basmati, dan juga memanggang naan bread sejak pagi tadi. Pak Asto juga sudah membantu memanggang sate di taman, bersama para bapak yang lain. 
Ternyata lumayan juga orang Indonesia di Utah. Setidaknya ada sekitar dua puluh orang yang siang ini hadir. Termasuk Pak Oenardi dan Bu Nanik, isterinya. Yang lain adalah para laki-laki yang bekerja sebagai chef. Mas Andi, Pak Agus, Mas Fuad, dan Mas Aries, serta beberapa nama lain. Ada Adam yang juga mahasiswa S2 USU, yang asli kelahiran dan warga negara Saudi Arabia, namun ibunya adalah perempuan Sunda. Adam fasih berbahasa Indonesia karena ibunya mengajarinya sebagai bahasa sehari-hari. Juga ada beberapa nama yang datang dari Idaho dan Wyoming. 

Berteman dengan para chef itu sungguh menyenangkan. Mereka ramah, humoris, cerdas. Kebanyakan atau mungkin hampir semua, mereka sarjana. Tapi bidang kerja yang saat ini mereka geluti, sama sekali tidak ada hubungannya dengan bidang yang ditekuninya di bangku kuliah. Mereka semua bekerja di restoran. Dengan gaji awal USD 1500, dan sekarang rata-rata gaji mereka sudah di atas USD 3000. Sangat amat lumayan. Jauh lebih tinggi dibanding gaji dosen di Indonesia, bahkan gaji guru besar sekali pun. 

Itulah yang membuat mereka bertahan di sini. Meski jauh dari anak istri. Meski harus bekerja dari pagi hingga malam, hampir setiap hari. Dunia mereka adalah apartemen dan tempat kerja. Sekali-sekali pergi pesiar dengan teman-teman bila ada lbur kerja. Di awal-awal kedatangan mereka di sini, memang sebagian dari mereka sempat mengalami stres. Tapi sekarang semua baik-baik saja, sudah terbiasa dengan kondisi yang ada. Komunikasi dengan keluarga juga mudah dan murah, karena bisa via skype atau watssapp yang hanya memanfaatkan free wifi. Mengirim uang pada keluarga di Tanah Air juga tidak sulit karena bisa dilakukan di bank mana pun yang mereka mau. 

Para pekerja itu datang ke Amerika sebenarnya dengan visa turis. Visa yang hanya berlaku enam bulan. Namun mereka tidak pulang meski masa berlaku visa sudah habis. 
"Tidak dikejar-kejar seperti di Arab atau di Malaysia begitukah, Mas?" Tanya saya pada Mas Aries, pria asal Yogyakarta, yang sudah lebih dari sepuluh tahun di Amerika.
"Tidak, Bu. Di sini semua pendatang seperti kami aman. Bisa hidup tenang, bisa punya rumah, punya mobil. Keluarga bisa datang setahun sekali berlibur di sini bersama kami. Yang penting kita tidak melakukan tindak kriminal, semuanya baik-baik saja." Jelasnya.

Okay, jelas. Dan itulah hidup. Selalu dihadapkan pada pilihan. Di sini uang mudah dan berlimpah, tapi Anda harus bekerja selama sepuluh sampai dua belas jam sehari. Dari pagi hingga malam. Jangankan salat Jumat, menunaikan salat wajib saja musykil. Salat setiap hari dikumpulkan saja, dirapel setelah pulang kerja. Di tempat kerja, Anda tidak bisa memilih-milih pekerjaan. Bila Anda seorang chef dan harus menyiapkan makanan berbahan dasar daging babi atau bahan-bahan tidak halal yang lain, maka Anda harus lakukan itu. Tidak ada pilihan.

"Tidak pingin pulang ke Tanah Air, Mas?" Tanya saya pada Mas Andi, pria asal Pulogadung, Jakarta, yang sudah tujuh tahun di Amerika.
"Aduh, pingin sekali, Bu. Tapi gimana lagi."
"Kan bisa ambil cuti, Mas?"
"Sekali kami pulang, selamanya kami tidak bisa balik ke sini, Bu. Langsung di-black list."
"Ow." Saya surprised. "Begitu ya?" 

Hati saya terenyuh. Mereka sedang berjuang demi hidup yang lebih layak, yang mungkin akan sulit mereka dapatkan bila berada di Tanah Air. Meski mereka mengakui, "seenak-enak bekerja di negeri orang, lebih enak bekerja di negeri sendiri." Namun demi sebuah kehidupan yang lebih baik, saat ini mereka harus bertahan dulu dalam situasi ini. Mas Andi bahkan sudah mulai ancang-ancang menyekolahkan anaknya di Amerika, supaya anaknya dapat dekat dengan dia dan dia tetap bisa membiayai sekolah anaknya dengan aman.  

Siang semakin larut dan saya pamit pulang ke apartemen dulu untuk menunaikan salat dhuhur. Sambil melangkahkan kaki, pikiran saya masih dipenuhi dengan bayangan Mas Aries, Mas Andi, Mas Fuad, Pak Agus, dan wajah-wajah lain yang datang dari Wyoming dan Idaho. Mereka adalah saudara-saudara saya. Merekalah pejuang sejati bagi keluarga mereka. Saya seperti bisa merasakan betapa rasa rindu pada anak isteri itu begitu menyiksa, namun mereka harus mampu mengendapkan itu semua justeru karena sayang mereka pada keluarga terkasih. Dalam hati, saya menguntai doa. Ya Allah, berikan kesehatan dan perlindungan selalu bagi mereka dan seluruh keluarga mereka. Dalam naungan kasih dan sayang-Mu yang tak pernah putus. Selalu. 

Aggie Village Apt., Logan, Utah, Minggu, 11 Oktober 2015

Go To America (4): Andreas dan Firda

Sore yang dingin, pukul 18.30. Saya janjian sama Andreas dan Firda untuk pergi ke public laundry yang ada di kompleks apartemen kami. Kebetulan kami, meski tidak berdekatan, berada dalam satu kompleks apartemen, yaitu Aggie Village. Saya di 28 H, dan Andreas bersama Firda di 16 J.

Andreas dan Firda adalah pasangan muda. Andreas, S1 dan S2-nya lulusan UI, jurusan Ilmu Komputer, sedang mengambil Ph.D di USU, dalam bidang Engineering Education. Ini adalah tahun ketiga dia di USU. Firda, isterinya, baru menyusul sekitar sebulan ini. Sekitar dua bulan yang lalu mereka menikah. Firda juga lulusan UI, jurusan Manajemen Rumah Sakit.

Di mata saya, kedua orang muda itu begitu baik. Dalam kondisi apa pun, mereka seperti siap menolong siapa saja. Tempo hari mereka datang ke apartemen kami, setelah sehari sebelumnya bertemu di rumah Pak Oenardi,  tiga hari setelah kedatangan kami. Tujuan mereka tentu saja bersilaturahim, dan mengajak kami untuk barbecue bersama teman-teman Indonesia yang ada di Logan dan sekitarnya, pada hari Sabtu. 

Tentu saja kami menyambut ajakan Andreas dengan suka cita. Bertemu dengan banyak orang dan makan-makan, adalah dua di antara hobi saya. 

Sebelum saya turun tadi (apartemen saya ada di lantai 2), Firda sudah menelepon lewat WA.
"Bu, apa jadi mau ke laundry?"
"Ups, boleh, Firda. Tapi saya masih masak?" 
"Berapa lama lagi kira-kira, Bu?"
"Setengah jam?"
"Ehm....boleh. Kami tunggu di taman dekat playground."
"Oke. Thank you."

Kebetulan Bu Lusi, teman seapartemen, sedang di kamar, mungkin tidur. Saya segera berbenah. Menyiapkan makanan di meja makan. Mengambil baju-baju kotor saya yang sengaja saya tumpuk saja, tidak ada yang saya cuci kecuali underwear. Sudah saya niatkan untuk mencucinya di public laundry. Bukan apa-apa. Saya hanya butuh pengalamannya. Seperti yang saya lihat di film-film. Orang biasa mencuci baju-baju mereka di public laundry, membayar dengan koin atau credit card. Saya ingin pengalaman itu. Udik banget ya? Nggak apa, mumpung lagi di sini. Di tempat saya, di Karah, tidak ada fasilitas semacam itu. Ada sih, jasa laundry, tapi yang mencuci pemilik jasa, bukan pelanggan. 
Dari kejauhan, saya sudah bisa melihat Andreas dan Firda yang lagi duduk-duduk di taman. Saya melambai dan mereka membalas lambaian saya. Public laundry hanya sekitar lima puluh meter dari tempat itu. Kami langsung menuju ke sana.

Andreas meminta saya membaca manual di mesin cuci. Melakukan instruksi setahap demi setahap. "O, kamu sedang mengajariku dengan metode direct teaching, Ndre." Kata saya. "Yap. Betul."

Tapi saya tidak punya koin sebagaimana yang seharusnya. Lima buah 0.25 dollar. Ternyata untuk hal begini pun, Andreas sudah menyiapkannya.

Maghrib tiba dan kami meninggalkan tempat laundry untuk menunaikan salat di apartemen Andreas. Apartemen Andreas berjarak sekitar 100 meter dari tempat laundry. Lebih dekat daripada apartemen saya. Makanya saya lebih memilih menumpang salat di rumah Andreas daripada pulang ke apartemen, dan nanti kembali lagi untuk mengambil pakaian saya.

Saat salat berjamaah itulah keharuan saya menyeruak. Andreas yang menjadi imam kami, membaca surat Ar-Rahman. Tidak utuh. Mungkin sekitar dua puluh ayat di rakaat pertama dan lima belas ayat di rakaat kedua. Namun setiap kali bacaannya sampai pada ayat "fa bi ayyi alaai robbikumaa tukadzibaan," hati saya bergetar. 

Saya sedang berada jauh dari tempat tinggal saya. Berjarak terbang lebih dari 20 jam. Berbeda waktu sekitar 13 sampai 14 jam. Semua seperti terjadi begitu saja. Proses yang saya lalui untuk sampai bisa ke sini, tidaklah terlalu sulit. Satu-satunya yang berat bagi saya adalah berpisah dengan keluarga. Berat sekali rasanya.

Ini adalah perpisahan saya terlama dengan keluarga. Saat saya menempuh S2 di Yogyakarta, hampir setiap minggu kami bertemu. Saat mengemban berbagai tugas di luar kota, seingat saya yang terlama selama sepuluh hari, yaitu saat saya melakukan monitoring Program SM-3T di Maluku Barat Daya. 

Namun hati saya yang ragu untuk berangkat ke sini,  justeru dikuatkan oleh Mas Ayik, suami saya. Juga oleh ibu. Keraguan saya antara berangkat dan tidak, dipatahkan dengan dorongan keluarga. Bahwa ini adalah peluang. Kesempatan emas untuk menambah wawasan dan pengalaman. Kesempatan emas untuk melihat dan belajar banyak hal di belahan dunia yang lain.

Saat ini, ketika saya sudah berada di sini, perasaan berat karena jauh dari keluarga, sedikit terobati karena kehadiran orang-orang baik seperti Andreas dan Firda. Belum genap seminggu saya mengenal mereka. Namun kami seperti sudah kenal lama sekali. Langsung akrab. Mereka meminjami kami pisau, talenan, pirex, bahkan serbet dan gantungan baju. Lampu kecil yang setiap malam menemani tidur saya juga punya mereka. Mereka siap membantu apa saja, dan menunjukkan pada kami di mana membeli sayur, buah, tahu dan tempe. Dan masih banyak lagi kebaikan mereka. Bagi kami pendatang baru, uluran tangan orang-orang seperti Andreas dan Firda betapa sangat berarti.

Salat selesai dan saya menyeka mata saya saat menutup doa. Meski mata saya sudah kering tapi hati saya masih terasa basah karena rasa haru tak juga hilang. Namun saya melarikannya dengan mengucap banyak syukur. 

Tak pernah terbayang, suatu saat, saya akan berada di sini, di negeri yang bahkan dalam mimpi pun tidak pernah saya angankan. Allah begitu Maha Kuasa, menjadikan apa yang seolah tidak mungkin menjadi terjadi karena kuasanya.

"Fabiayyi aalaa irobbikumaa tukadhdhibaan."

Terima kasih, Ya Allah.
Terima kasih, bapak ibu, suami, anakku, dan keluarga besarku.

Terima kasih Andreas dan Firda...

Aggie Village Apt, Logan, Utah, USA, 8 Oktober 2015

Kamis, 26 November 2015

Go To America (3): The Aggies, Sepeda, dan Kedisiplinan

Saya menyebutnya Kampus biru putih. Ya, The Utah State University (USU) adalah kampus yang warna dominannya biru dan putih Meski gedung-gedungnya yang artistik dan rapi berwarna tanah atau warna batu bata, tapi aksen biru dan putih tetap ada di banyak bagian. Pada bingkai-bingkai jendela dan pintu, papan-papan nama, kursi-kursi taman, tempat parkir, dan juga interiornya.

Bahkan busana, aksesoris dan perlengkapan yang dikenakan para penghuni kampus pun dominan biru dan putih. Sweater, celana panjang, jaket, ransel, sepatu, bahkan sepeda dan botol tempat minum. Biru tua, biru langit, abu-abu, hitam, dan putih. 

Pink, juga merupakan warna yang lumayan disukai, meski warna ini tidak terlalu dominan. Namun dia seperti memecah dominasi warna-warna yang ada. Berbagai busana dan aksesoris dengan warna pink seperti sweater, topi, t-shirt, jaket, dan sepatu, menjadi "center of piece" di deretan barang-barang fashion, baik di USU store atau di store dan mall di luar USU.  

USU dilambangkan dengan banteng. Warnanya biru dan putih juga. Di mana-mana gambar banteng ini bisa ditemukan. Mengapa banteng (buffalo), karena awal mula USU yang berdiri sejak 8 Maret 1888 ini adalah universitas pertanian (Agriculture). Banteng mungkin menjadi representasi yang sangat lekat dengan pertanian. 

Warga USU, siapa pun mereka--mahasiswa, dosen, visiting scholar--disebut The Aggies. Sebutan itu bagi saya pribadi begitu berkesan, terasa  hangat dan bersahabat. Membuat kami merasa benar-benar menjadi bagian dari USU. Dalam email-email yang kami terima, mereka selalu mengawali dengan sapaan "Hello, Aggies". Selama di sini, belasan kali kami menerima email, terkait dengan informasi apa pun, antara lain  jadwal check up kebersihan dan keamanan apartemen, jandwal berbagai event, termasuk undangan pesta halloween dan pameran-pameran.
  
Kampus utama USU di Logan merupakan satu dari aset terbesar universitas. Luasnya sekitar 500 acres (2.0 km2), sekitar satu mil timur laut downtown Logan, lokasinya ada di ujung Logan Canyon. Namun sebagai city campus, bangunan USU menghampar di mana-mana, dan jarak dari satu titik ke titik lain seringkali  membutuhkan bus kampus untuk mencapainya. 

Kampus USU seperti terletak pada sebuah "bangku", atau kaki bukit yang menyerupai rak-rak yang menghadap ke lembah ke arah barat. Mount Logan dan Bear River Range melengkapi keindahannya. USU memiliki lebih dari seratus bangunan utama. Kegiatan mahasiswa lebih terpusat pada bagian selatan kampus, yang merupakan tempat bagi sebagian besar jurusan, the Quad, the Taggart Student Center, dan Old Main Building.

Bangunan yang terkenal termasuk Old Main, bangunan pertama di USU. Juga Merriel-Cazier Library (luasnya 28.300 meter persegi), perpustakaan universitas yang ultra-modern, yang menampung lebih dari 1.549.000 volume total. Perpustakaan juga menawarkan area arsip dan koleksi-koleksi khusus yang luas, sistem penyimpanan dan pengambilan otomatis, dan lebih dari 150 workstation dan 33 ruang belajar kelompok. Gedung penting lainnya adalah Manon Caine Russel-Kathryn Caine Wanlas Performance Hall, yang konon memiliki beberapa akustik terbaik di seluruh Western United States.

Logan City Cemetery membagi kampus menjadi dua bagian. Pada bagian selatan, menghampar gedung-gedung akademik. Sedangkan pada bagian barat dan utara masing-masing terdapat Dee Glen Smith Spectrum dan Romney Stadium. Banyak gedung penelitian pertanian dan sain berlokasi di bagian utara. Logan Canyon yang terdekat, adalah tempat rekreasi yang populer bagi mahasiswa, dengan jalan dan taman di sepanjang sungai. Selain untuk berkemah dan hiking, ngarai juga berfungsi sebagai rute utama Beaver Mountain Ski Resort dan Bear Lake. Program Outdoor Recreation USU menyewakan peralatan camping, olah raga air, olah raga gunung, dan olah raga musim dingin, kepada mahasiswa; sekaligus menyediakan peta jalan area dan pemandu untuk perjalanan mereka ke canyon atau tempat lain. Pendek kata, bagi Anda para penyuka aktivitas outdoor, Anda akan benar-benar terpuaskan dengan kondisi alam Logan dan fasilitas yang disediakan USU untuk menikmatinya.

Apartemen kami, Aggie Village, sebenarnya masih dalam kompleks kampus, namun karena lumayan jauh, kalau ke kampus kami menumpang bus kampus. Sekitar sepuluh menit menumpang bus. Kecuali setelah kami memperoleh sepeda dari Aggie Bike, kami-saya dan Pak Asto- menempuhnya dengan bersepeda. Waktunya lebih singkat dibanding naik bus, karena bisa mengambil jalan pintas melewati Logan City Cemetery yang letaknya hanya di seberang apartemen kami. Tidak perlu menunggu bus. Kadang-kadang yang membuat lama saat naik bus kampus, karena kami harus menunggu bus yang akan membawa kami. Bus-bus itu melintas setiap lima belas menit sekali, tentu saja dengan jadwal yang sudah pasti. 

Di Logan, setiap orang bisa mendapatkan peta apa saja, termasuk rute transportasi dan jadwal. Peta itu bisa diperoleh di sembarang tempat, di airport, di tempat wisata dan pusat perbelanjaan, atau di institusi pendidikan seperti USU.

Saya dan Pak Asto hampir setiap hari bersepeda ke kampus. Bahkan untuk berbelanja ke Walmart, Smiths, atau swalayan lain pun, kami menempuhnya dengan bersepeda. Meski sepulang dari tempat-tempat belanja tersebut, jalanan menanjak sekitar tiga puluh menit waktu tempuh harus kami lalui. Tidak masalah. Rasanya memang sangat sensasional, karena kami seringkali bersepeda dengan suhu mendekati nol derajat Celcius. Wow bangets. Nafas memburu berpadu dengan hempasan udara dingin yang seolah siap membekukan tubuh. Kami pernah beberapa kali menyerah, turun dari sepeda, dan menuntunnya saat jalan menanjak dan nafas seperti mau putus. Kalau kami berhasil melewatinya, kami merayakan kemenangan di rerumputan tempat parkir Aggie Village Apartement dengan minum air mineral dan makan apa yang ada dari belanjaan kami, buah atau roti. Kemudian kami bergantian berfoto dengan latar belakang Logan City Cemetery. Pernah suatu ketika, Pak Asto pucat sekali setelah berjuang keras menaklukkan jalan menanjak, dan saya malah tertawa terbahak-bahak melihatnya. "Dik, lungguho Dik, goleko nggon gawe semaput." Ledek saya.  

Saya ingin bercerita tentang sepeda. Sejak awal, begitu kami melihat banyak penghuni apartemen bersepeda dan tempat parkir seperti selalu penuh, kami berkeinginan juga untuk bisa bersepeda. Amanda, staf USU Global Engagement, menunjukkan pada kami di mana kami bisa meminjam sepeda, yaitu ke USU Aggie Bike, sebuat pusat layanan bagi warga USU yang memerlukan sepeda. Namun ternyata, meskipun kami sudah menunjukkan identity card dan A-number (nomor unik untuk semua mahasiswa dan visiting scholar di USU), kami tidak diperbolehkan meminjam. Sepeda bisa dipinjam hanya khusus bagi mahasiswa atau visiting scholar yang mengambil waktu minimal sekitar enam bulan. Bukan visiting scholar seperti kami yang hanya singkat waktunya.  Peminjaman maksimal satu semester, dan seterusnya bisa diperpanjang lagi. Tidak ada syarat yang berat, peminjam hanya harus menyiapkan kunci yang diameternya tidak kurang dari 12 mm, harus menjawab kuis (terkait dengan tata-tertib bersepeda), dan harus melakukan check up sepeda dua minggu sekali ke USU Aggie Bike. 

Untung ada Andreas dan Kevin. Oya, Kevin adalah putra pertama Pak Oenardi Lawanto, associate professor di Engineering Education Department. Beliau yang menjadi salah satu alasan kami datang ke Utah ini. Sedangkan Andreas adalah lulusan UI yang saat ini sedang mengambil Ph.D dalam bidang Engineering Education. Andreas meminjam sepeda untuk saya, dan Kevin meminjam sepeda untuk Pak Asto. Tapi tentu saja atas nama mereka berdua, dan tanggung jawab apa pun terkait dengan sepeda itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka. Saking baiknya mereka saja mau meminjam sepeda hanya supaya cita-cita kami untuk bisa bersepeda selama di Utah ini bisa kesampaian. 

Sebenarnya masih ada Silvia Landa, mahasiswa Master Degree dalam bidang  Civil Engineering. Gadis hitam manis yang berasal dari Sumba Barat ini memperoleh beasiswa dari Usaid Prioritas. Saya kagum pada prestasinya untuk memperoleh beasiswa itu, dan juga perjuangannya untuk menempuh studi di Utah. Saya tahu seperti apa tempat asalnya, dan keberadaan dia di sini benar-benar membuat saya salut.

Silvia sebenarnya bersedia juga meminjamkan sepeda untuk Bu Lusia, tapi nampaknya Bu Lusia bukan penggemar sepeda. Jadi hanya kami berdua yang bersepeda ke mana-mana, dan Bu Lusia memilih setia naik bus. Tidak masalah. Bus ke mana pun gratis, dan lebih aman karena terhindar dari kedinginan dan "menggos-menggos." Hehe.

Logan, sebuah kota kecil, dengan populasi sebanyak 48.174 jiwa. Berjarak 81 mil sebelah tenggara Salt Lake City. Sekitar lima jam perjalanan darat menuju Yellowstone yang terkenal itu, tempat yang diimpikan oleh para fotografer. Dan hanya sekitar dua menit, ya, dua menit menuju Logan Canyon.

Transportasi ke mana pun, di Kota Logan ini, free. Ada bus yang rutenya khusus dalam kampus, ada bus kota, namanya CVTD (Cache Valley Transit District), yang rutenya di seluruh penjuru Kota Logan. Tentu saja, bus yang nyaman, dengan driver yang profesional, dan, ini yang penting, gratis. 

Segalanya serba rapi dan teratur di Logan. Tidak ada kebut-kebutan di jalan raya. Mendengar klakson mobil berbunyi adalah hal yang sangat langka. Sepeda motor bisa dihitung dengan jari, semuanya jenis moge (motor gede). Tidak ada kendaraan yang parkir sembarangan. Ada jalur khusus untuk pedestrian dan pesepeda. Pedestrian dan pesepeda menjadi raja di jalan, dalam arti pengguna jalan yang lain selalu memberikan prioritas. 

Perilaku di jalan raya memang sangat berbeda dengan perilaku kita di Indonesia. Hal inilah yang menjadi salah satu kekaguman saya. Sebagai pejalan kaki atau pesepeda, saya merasa begitu nyaman dan aman. Jalur-jalur khusus yang tersedia untuk kami memungkinkan kami berjalan dan bersepeda dengan aman tanpa dibayangi ketakutan tersenggol kendaraan lain. Kalau pun kami harus menyeberang jalan atau menempuh jalan yang tidak dilengkapi dengan jalur khusus, kendaraan-kendaraan besar akan memberikan prioritas pada kami. Dilengkapi dengan rambu-rambu jalan yang jelas dan semua beroperasi dengan baik, dan perilaku berlalu-lintas yang juga baik, maka Logan menjadi kota yang sangat nyaman bagi siapa saja. 

Tentu saja ada banyak hal baik yang bisa kita pelajari selain perilaku berlalu-lintas. Tata kota yang ramah lingkungan, salah satu buktinya adalah tidak ada gedung-gedung yang tinggi menjulang. Sesuatu yang menjulang di Logan adalah barisan Rocky Mountain itu. Taman dan rumput hijau ada di mana-mana. Kantor-kantor rapi, layanan cepat dan ramah.  Kedisiplinan pada waktu yang mengagumkan. Di USU, saat break pergantian jadwal perkuliahan, mahasiswa memenuhi hampir semua jalanan kampus, berpindah dari satu kelas ke kelas lain, karena sistem perkuliahan dengan moving class. Mereka berjalan cepat-cepat, sebagian bersepeda dan ber-skateboard, sebagian bahkan berlari-lari, untuk mengejar waktu kuliah. Begitu kuliah mulai, kampus seperti tak berpenghuni, jalanan sepi sekali. Semua ada di dalam kelas-kelas, belajar. Untuk masalah kebersihan kampus dan kesadaran warganya untuk selalu menjaga kebersihan, jangan tanya. Sangat-sangat mengagumkan.

Suatu siang, saya sedang berjalan, dan seorang mahasiswa menyapa saya. Dia mengatakan kalau kerudung saya bagus sekali dan dia suka. Saat mengatakan itu, makanan yang dibawanya terjatuh sebagian, hanya berupa remah kecil sebesar biji jagung. Tapi dengan sigap dia mengambil remah itu dengan tisu sambil mengatakan, makanan itu bisa membuat seseorang terpeleset. Saya terpesona sekali dengan sikapnya, meskipun saya yakin, remah makanan itu terlalu kecil untuk membuat seseorang terpeleset.

Inilah mungkin yang dinamakan peradaban maju itu, begitulah saya sering berpikir. Saya yang sering berkunjung ke daerah-daerah tertinggal di pelosok Tanah Air,  merasa sudah memiliki peradaban yang sangat maju dibanding mereka. Namun begitu saya ada di Logan ini, menghayati budaya dan tata kehidupan warga dan segala fasilitas yang tersedia, sayalah masyarakat tertinggal itu. Ya, benar-benar tertinggal. Tapi saya yakin, ada hal-hal tertentu yang tetap membuat kita memiliki keunggulan. Hal-hal apakah itu? Mari coba kita renungkan.... 

Aggie Village Apartment, Logan, Utah, Senin, 5 Oktober 2015. 

Minggu, 22 November 2015

Aceh Singkil Lagi 4: Sukamakmur yang Tidak Makmur

Kami meninggalkan PBB pada sekitar pukul 13.00. Setelah menyantap makan siang yang lezat. Beramai-ramai bersama kepala dinas dan jajarannya, guru-guru, dan para peserta SM-3T.

Matahari semakin condong ke barat dan kepala dinas meminta kami bergegas. Masih ada satu tempat lagi yang akan kami singgahi, yaitu desa Sukamakmur. Sekitar 30 menit berspeedboat. Tidak jauh. Namun saat pulang nanti, laut bisa jadi sudah tidak teduh lagi. Maka kami harus berkejar-kejaran dengan waktu.

Dengan dilepas para guru dan peserta SM-3T di dermaga, speedboat kami melaju membelah samudera. Suaranya berdebum-debum. Tidak terlalu keras. Tidak terlalu membuat nyali ciut. Kami bahkan masih sempat bercanda dan berdiskusi, meski dengan sudah payah. Ya, karena harus berteriak-teriak mengimbangi raungan speedboat.

Desa Sukamakmur. Jangan bayangkan dia sebuah desa yang makmur. Dia hanya suka makmur saja. Baru pada tahap suka. Kondisi sebenarnya, jauh dari makmur. Tempatnya terpencil, kondisi alamnya tidak menampakkan kesuburan, rawa-rawa yang mengelilinginya, dan juga rumah-rumah serta orang-orangnya yang amat sederhana. Semuanya semakin menegaskan betapa tertinggalnya desa ini. Masih jauh dari makmur.

Kami turun dari speedboat di dermaga yang kecil yang langsung berhadapan dengan jalan yang memanjang dari laut menuju daratan. Panjang sekali jalan itu. Lurus, tanpa belokan. Itulah satu-satunya jalan untuk akses ke dan dari desa Sukamakmur. Di kanan-kiri jalan itulah rawa-rawa, tanaman-tanaman khas laut semacam mangrove, dan di kejauhan adalah ilalang dan pepohonan liar.  

Sukamakmur merupakan satu dari empat desa di Kecamatan Pulau Banyak Barat. Tiga desa yang lain adalah desa Haloban, Asantola, Ujung Sialit. Dengan singgah di Sukamakmur ini, berarti semua desa di PBB sudah pernah saya kunjungi. 

Di PBB, menurut data, penduduk paling banyak terdapat di desa Pulau Balai, desa yang baru pagi tadi kami tinggalkan. Penduduk paling sedikit di desa Sukamakmur. Pantaslah. Di desa ini, kami menangkap kesan sepi. Tidak banyak orang. Jauh keadaanya dengan di Pulau Balai. 

Sukamakmur memang desa yang sepi, jauh dari mana-mana. Akses ke luar desa satu-satunya hanya melalui laut. Penduduk asli mayoritas dari Suku Nias. Kalau dikatakan bahwa jumlah penduduk Sukamakmur paling sedikit dibanding desa lain di PBB, memang terasa dari suasana sepinya.  

Kami mengunjungi sebuah sekolah yang sepi, karena memang kegiatan belajar sudah selesai. Melongok ke kelas-kelas dan perpustakaan. Mengamati halaman sekolah yang tak terlalu luas, dan sebuah bendera merah putih kusam melambai-lambai di ujung tiangnya yang langsing.  

Kami tidak lama di Sukamakmur. Ada kekhawatiran pada situasi laut. Semakin sore, perjalanan tidak semakin aman, tapi dibayang-bayangi dengan angin dan ombak. Kekhawatiran itu membuat kami bergegas kembali ke speedboat.

Dan benar. Sepanjang perjalanan laut dari Sukamakmur ke Singkil, adalah perjalanan yang sangat mendebarkan. Speedboat berdentum-dentum sangat keras digoncang angin dan ombak. Tidak seperti saat berangkat dari Haloban tadi siang, goncangan-goncangan yang sangat kuat seperti tidak memberi kesempatan kami bernafas dengan tenang. Bahkan tiba-tiba saja speedboat berhenti di tengah laut. 

"Ada apa, Pak?" Tanya saya pada driver.
"Ombak dari samping kanan samping kiri, angin kencang dari depan dari belakang." Jawabnya. Nafasnya terengah-engah. Tapi wajahnya tetap menunjukkan ketenangan. Atau dia berusaha untuk tetap tenang. 

Seisi speedboat diam. Orang-orang yang tadinya mengobrol juga diam. Saya yang di sepanjang perjalanan nyaris tidak pernah berhenti membaca salawat, semakin khusyu membacanya. Juga doa Nabi Nuh. Bismillahi majreeha wamursaha, inna robbi laghafuurur rohiim. Mbak Ully yang agak tidak sehat karena kelelahan, nampak pucat wajahnya, meski berusaha tenang. 

Diam-diam saya melirik tumpukan pelampung di bagian belakang speedboat. Sebelum berangkat tadi driver bilang, pelampung yang ada sudah banyak yang rusak. Pelampung itu hanya mampu bertahan sekitar satu jam di dalam air. Artinya, bila terjadi keadaan darurat, orang yang mengenakannya hanya bisa terapung selama sekitar satu jam. Selebihnya, bila pertolongan tidak segera tiba, wallahu a'lam.

"Tenang, Bu. Tidak apa-apa, kita jalan lagi, pelan-pelan." Kata driver, seperti memahami kegalauan saya. 

Perjalanan dari tempat kami berhenti menuju ke Singkil masih satu jam lagi. Tidak lama. Tapi cobalah, Kawan, cobalah menumpang speedboat atau kapal kecil atau perahu pada saat laut tak terlalu bersahabat. Angin kencang dan ombak yang menampar-nampar speedboat seperti menampar-nampar ketahanan kita. Hidup serasa di ujung tanduk. Dan waktu begitu lamanya berjalan. Bahkan seperti diam tak beranjak.

Akhirnya, kelegaan pun tiba. Pantai di depan mata. Warung di pinggir dermaga sudah nampak. Syukurlah. Cukup sudah ujian mentalnya hari ini. Wajah kami semua cerah. Mbak Ully yang semua sakit seperti sembuh total. Sehat seperti sediakala. Apa lagi saat segelas kopi panas ada di depan hidungnya. Aroma harum kopi aceh seolah mengembalikan semangat yang sempat porak-poranda dihempas badai laut beberapa waktu yang lalu. Nyawa kembali utuh. 

Besok, waktunya kembali ke Surabaya. Tempat kami mengisi hari demi hari bersama keluarga, kolega, dan mahasiswa. Hidup begitu berarti saat kita berusaha terus untuk memberinya arti. Bismillah. Amin.

Aceh Singkil, 23 April 2015

Wassalam,
LN