Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Selasa, 30 Agustus 2016

Laporan dari The XXIII IFHE World Congress 2016 (2)

Perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Korea kami tempuh dalam waktu sekitar 6 jam 35 menit. Sekitar pukul 01.00 dini hari tadi kami bertolak dari Bandara KLIA 2, dan saat ini, pukul 08.50, kami sudah mendarat di Incheon Airport. 

Mengikuti arus ke mana para penumpang yang lain bergerak, kami berjalan mengular sambil membaca petunjuk. Menaiki train, mengantri di bagian custom, mengambil bagasi, kemudian menuju meja airport information. Menanya bagaimana caranya kami bisa menuju Daejeon. Petugas memberi tahu kami dengan sebuah peta, dan menunjuk ke satu arah supaya kami bisa memperoleh tiket bus. Di Platform 9B.

Ternyata tidak hanya bus yang tersedia, tapi juga taksi. Kami memilih taksi sebagai alternatif pertama. Demi kepraktisan. Kalau naik bus, kami hanya bisa sampai ke Daejeon Terminal Complex. Masih harus naik bus atau taksi lagi ke Innopolis Guest House Dae Deok, penginapan kami. Penginapan kami sebenarnya di Daejeon juga, tapi bus tersebut tidak sampai ke sana. 

Wow, ternyata harga taksi cukup mahal, 250,000 Won, atau sekitar 3 juta rupiah. Kami mundur teratur. Beralih ke konter penjualan tiket bus. Membayar 69,000 Won bertiga. Sekitar 828 ribu rupiah. 

Di Incheon Airport, hampir semua petunjuk ditulis dalam Bahasa Korea. Beberapa petunjuk yang kami bisa baca adalah Transfer, Arrival, Foreigner Passport, Bagagge Claim, dan angka-angka. Selebihnya tak terbaca oleh kami, karena menggunakan huruf Hangeul.

Tentang aksara Hangeul, sebuah sumber menyebutkan, Hangeul adalah satu-satunya aksara yang diciptakan oleh seseorang berdasarkan teori dan maksud yang telah direncanakan dengan baik. Orang itu adalah Raja Sejong yang Agung (1397-1450), seorang pemimpin sekaligus ilmuwan dan pelopor budaya. Melalui upaya keras bertahun-tahun, ia meneliti unit dasar Bahasa Korea menggunakan kemampuannya sendiri tentang kebahasaan dan akhirnya berhasil menuangkannya dalam bentuk aksara. Dibanding aksara bangsa lain, Hangeul tidak didasarkan pada satu bahasa tulis atau meniru aksara lain, namun unik khas Korea. Hangeul merupakan sistem penulisan yang bersifat ilmiah, didasarkan pada pengetahuan kebahasaan yang mendalam dan asas-asas filosofis. Begitulah yang saya baca sambil menunggu bus di bus stop di bagian depan bandara yang ramai.

Sebelum naik bus, saya menyempatkan diri menghampiri vending machine. Rasa haus tak bisa saya tahan karena saya tidak minum semalaman, sejak masuk pesawat. Bodohnya saya. Sudah tidak pesan makanan di pesawat, tidak bawa minuman lagi.  

Tapi saya beruntung. Waktu saya mau membeli minuman di vending machine, ternyata saya harus membayar dengan koin 1000 Won. Padahal saya tidak punya koin. Dan vending machine tidak menerima jenis uang yang lain, misalnya uang kertas dan memberi kembalian. Seorang pria membantu saya dan membelikan saya sebotol air mineral dingin dengan uangnya. "Oh, it's your money." Kata saya. Dia menggerak-gerakkan tangannya dan saya mengartikannya "no problem". Benar-benar rezeki anak sholehah.

Perjalanan dari Incheon menuju Bus Terminal Complex, Daejeon bisa ditempuh selama sekitar 3 jam. Di sepanjang jalan, adalah laut yang mengering, gunung-gunung di kejauhan, bukit-bukit yang rimbun pepohonan, dan bangunan-bangunan menjulang. Semua papan petunjuk dilengkapi dengan tulisan dengan aksara Hangeul. 

Tibalah kami di Bus Terminal Complex. Sedihnya, tidak ada petunjuk dalam Bahasa Inggris sama sekali. Saya bertanya pada seseorang, dan entah dia bicara apa, tapi saya artikan, "silakan terus saja ke sana". 

Syukurlah, seperti mendapat durian runtuh ketika kami dapati seorang pemuda membawa papan nama besar dengan tulisan: XXIII IFHE World Congress and International Conference. Oh, thanks God. Kami langsung menghampiri dia dan menyapa dengan riang-gembira. "We are participants the IFHE Congress from Indonesia". Dan....bedudak-beduduk bedudak-beduduk. Ternyata dia tidak bisa berbahasa Inggris juga. Tapi dia berbaik hati mengantarkan kami ke tempat taksi mangkal dan menyampaikan pada driver ke mana tujuan kami.

Penginapan kami ternyata berada satu kompleks dengan Daejeon Convention Center (DCC), tempat di mana konferensi digelar. Hari ini sebenarnya acara sudah dimulai, namun agendanya adalah IFHE Council/Pre-Congress Conference. Tentu saja kami tidak perlu mengikuti acara itu. Tapi saya sempat mengintip tema pre-congress, yaitu: Current Status and Future Directions of Home Economics Curriculum around the World. 

Kami cukup melakukan lapor diri ke panitia saja saat ini. Namun sewaktu kami akan menuju ruang DCC, seorang pemuda berjas lengkap menyambut kedatangan kami dan menanyakan apakah kami sudah melakukan registrasi online dan membayar. Saat saya bilang sudah, dia katakan kalau kami tidak perlu melapor panitia dan sebaiknya langsung istirahat dulu setelah perjalanan jauh. Syukurlah. 

Pemuda ramah itu mengantarkan kami ke guest house yang ada di sisi kanan DCC. Membantu membawa koper-koper kami. Bahasa Inggrisnya bagus meski dengan logat Korea yang kental. Dia menyampaikan ke resepsionis tentang kedatangan kami, dengan bahasa Korea. Hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu isi pembicaraan mereka. Namun ujung-ujungnya, kami menerima kunci kamar. Bu Dwi dan Bu Lusi di kamar 205 dan saya di kamar 406. Maka siang itu, sekitar pukul 14.30, kami memasuki kamar kami masing-masing di Innopolis Guest House. Tak sabar rasanya membayangkan air mandi yang berlimpah dan tempat tidur yang empuk.

Siang ini kami mengemasi semuanya. Membersihkan diri dan menata bagasi bawaan. Juga menyantap makan siang pertama kami di Korea: nasi uduk instan, produksi Bu Dwi. Ya. Selama kami di Korea, kami memasak sendiri. Bukan karena kami tidak punya uang untuk membeli makanan, tetapi memperoleh makanan halal tentu tidak terlalu mudah di negara yang mayoritas penduduknya nonmuslim ini. Guest House menyediakan alat memasak di setiap kamar. Rice cooker, water boiler, kompor listrik, dan sebagainya. Tentu saja mangkuk dan sumpit khas Korea. 

Saya akan mempresentasikan paper saya besok, sedangkan Bu Dwi dan Bu Luci membawa produk penelitian masing-masing, nasi uduk instan dan nasi kuning instan, untuk dipamerkan. Kedua produk itu sudah dipatenkan. Selain membawa produk, Bu Lusi sudah menyiapkan dua bendera merah putih kecil dengan tatakannya yang manis. Besok, merah putih akan berkibar di meja pamer IFHE World Congress 2016.

Innopolis Guest House, 1 Agustus 2016

Senin, 29 Agustus 2016

Laporan dari The XXIII IFHE World Congress 2016 (1)

Air Asia yang kami tumpangi mendarat mulus di Bandara KLIA 2. Sempat saya lihat matahari senja siap menyembunyikan diri di balik cakrawala. Jam menunjukkan hampir pukul 19.00 waktu Kuala Lumpur. Sebentar lagi maghrib, dan kami bisa menunaikan shalat maghrib dan isya sekalian sebelum melanjutkan penerbangan ke Korea Selatan.

Saya bersama Dra. Dwi Kristiastuti, M. Pd dan Dra. Lucia Tri Pangesthi, M.Pd. Bertiga kami akan menghadiri XXIII IFHE World Congress 2016. IFHE singkatan dari International Federation of Home Economics. Merupakan satu-satunya organisasi dunia yang concern pada ilmu kesejahteraan keluarga dan konsumen. Didirikan pada tahun 1908, IFHE adalah sebuah NGO internasional dan memiliki status konsultatif dengan United Nations/UN (ECOSOC, FAO, UNESCO, UNICEF) dan dengan Konsul Eropa. Anggota IFHE tentu saja  adalah para profesional di bidang home economis atau ilmu kesejateraan keluarga, atau ilmu keluarga dan konsumen (family and consumer science). IFHE menyelenggarakan kongres empat tahunan, dan dihadiri oleh ratusan delegasi dari berbagai negara di lima benua. Kalau saat ini Korean Home Economics Association yang menjadi host sebagai wakil region Asia, empat tahun yang lalu, Australia yang menjadi host. Empat tahun yang akan datang, Atlanta sudah dipastikan akan menjadi host-nya.

Saya sendiri menjadi member IFHE sejak 2011, dan sejak tahun ini, Bu Lucia dan Bu Dwi bergabung. Jurusan PKK juga baru saja bergabung sebagai organization member tahun ini.

Begitu memasuki Bandara KLIA 2, kami langsung menghampiri petugas di bagian informasi. Kami menunjukkan boarding pass kami, dan petugas mengeceknya di komputer di depan dia, serta mengatakan kalau kami harus ke Gate P4 untuk check in nanti. 

Kami lantas mencari mushala. Tidak sulit karena di mana-mana bisa dengan mudah ditemukan penunjuk arah. Begitu menemukan mushala, kami bersyukur. Mushalanya bersih, sejuk. Sajadah terlipat rapi di rak kayu di sisi kiri mushala dan beberapa mukena menggantung di sisi kanan. Waktu kami akan mengambil air wudhu, terdengar informasi bahwa saat ini sudah waktunya shalat maghrib. Pas.

Di mushala itu ada beberapa kursi hitam. Saya sempat bertanya-tanya dalam hati, untuk apa kursi-kursi itu. Lantas saya ingat ibu mertua saya yang selalu shalat dengan duduk di atas kursi. Jadi untuk orang-orang seperti itulah rupanya. Di luar mushala, saya juga melihat ada baby tafel, tempat yang memudahkan ibu-ibu untuk mengurus bayinya saat berganti popok. 

Kesan saya, mushala ini ramah. Untuk semua kalangan, termasuk untuk orang-orang berkebutuhan khusus dan bayi. Mungkin seharusnya seperti itulah mushala di semua bandara. 

Di Indonesia, saya melihat sudah ada beberapa bandara yang menyediakan baby tafel, tapi di toilet, bukan di mushala. Saya belum pernah melihat mushala yang menyediakan tempat duduk untuk orang yang tidak bisa shalat secara normal. Ibu saya bisa shalat dengan berdiri, namun setelah sujud, beliau harus duduk, karena kondisinya tidak memungkinkan untuk berdiri di rakaat selanjutnya. Maka beliau memilih shalat sambil duduk di atas kursi. Kursi membantu sekali dalam hal ini, karena tidak mengharuskan beliau duduk di bawah, yang akibatnya harus 'krengkel-krengkel' untuk berdiri.

Kami akan berlama-lama di KLIA 2 ini karena penerbangan kami masih lima jam kemudian. Perut lapar dan kami menuju restoran di lantai dua. Saat akan membayar, baru ingat kalau kami tidak memiliki uang seringgit pun. 

"Sorry, may we pay by Visa? Credit card?" Tanya saya pada petugas, sepertinya keturunan India.
"Yes, can, can."

Sungguh beruntung. Lebih beruntung lagi saat menyadari betapa simpelnya berkomunikasi. Orang Malaysia pintar berbahasa Inggris, dan kami mudah sekali memahaminya. Saat tadi kami bertanya "Do you have rice?" Dia menjawab, "Yes, have, have."

KLIA 2, 31 Juli 2016

Selasa, 21 Juni 2016

PUISI CINTA UNTUK SUMBA

Sumba, aku datang lagi
Menyapamu dengan sepenuh hati
Andai kau tahu, Sumba
Betapa aku jatuh cinta, bahkan sejak pertama kali kita berjumpa

Sumba, jangan kau tanya kenapa, karena sesungguhnya aku juga tak tahu
Yang ku tahu hanya kesederhanaanmu, keindahanmu, keramahanmu, kehangatanmu, kepolosanmu, sekaligus ketegaranmu

Padang sabana dan kumpulan kuda hanyalah sebagian alasan aku mencintaimu
Begitu juga dengan tumpukan bukit menjulang dan pantai-pantai yang panjang menghampar

Namun harus kuakui, aku tak mampu enyahkan bayangan ina-ina dan bapa-bapa dengan sirih pinangnya
Juga para rambu dan umbu yang menenteng parang dan keranjang masuk keluar hutan, kebun, dan ladang

Dan, ya, anak-anak itu, anak-anak sekolah yang menerjang bukit dan belantara hanya untuk menjumpai guru-guru mereka
Guru-guru yang sejuknya seperti air bening penghilang dahaga
Yang ke mana pun membawa kuas untuk melukis jiwa-jiwa dengan pelangi penuh warna-warna  

Namun, sekali lagi, semuanya itu hanyalah sebagian alasan kenapa aku mencintaimu

Selebihnya, aku tak tahu 

Sumba, aku hanya ingin kau paham betapa kucinta kau apa adanya
Bahkan saat aku harus menorehkan luka, betapa sesungguhnya hatiku juga terluka
Bahkan saat aku harus menggoreskan lara, semua kulakukan tetap dengan sepenuh cinta

Aku mencintaimu meski kau tak bisa pahami
Namun entah kenapa, aku yakin, suatu ketika kau akan mengerti, begitulah caraku mencinta, agar keindahan dan ketegaranmu tetap terjaga

Sumba, aku datang lagi, menyapamu dengan sepenuh hati
Satu yang ingin kau tahu
Aku mencintaimu
Apa adanya

(Didedikasikan untuk para guru di Sumba Timur, juga untuk para guru SM-3T di mana pun kita pernah bersama)

Waingapu, 25 April 2016

Minggu, 19 Juni 2016

Lounge Jorok

Kalau Anda sering bepergian dengan menumpang pesawat, dan Anda sering memanfaatkan lounge bandara sementara menunggu boarding, coba perhatikan lounge tersebut. Mulai pintu masuk, ruang duduk, menu, dan toilet. Maka Anda akan bisa membuat pengelompokan: lounge yang bersih, lounge yang sedang-sedang saja, dan lounge yang jorok.

Bagi saya, menu makanan itu penting. Saya punya menu favorit di sebuah lounge, jelasnya lounge di Bandara Juanda Terminal 1. Tauwa. Ya, minuman yang di beberapa tempat disebut kembang tahu itu. Kuah jahenya yang panas pedas dipadu dengan bunga tahu putih nan lembut itu, begitu nikmat. Juga tahu dan tempe gorengnya yang selalu hangat. Dua makanan itulah langganan saya kalau singgah di lounge tersebut.

Saya lupa nama lounge-nya (saya memang tidak pernah menghafal). Yang jelas bukan Lounge Garuda. Kalau masuk lounge tersebut, Anda bisa menggunakan kartu ATM Prioritas Anda, atau membayar cash Rp.100.000,-, kalau tarifnya belum naik sih. Pakai kartu kredit juga bisa tentu saja, tapi saya sendiri tidak pernah masuk lounge dengan menggunakan kartu kredit. Kartu member Garuda atau GFF (Garuda Frequent Flier) Anda tidak berlaku karena memang bukan Lounge Garuda. 

Menurut saya, lounge ini tergolong bersih. Menunya oke, lumayan bervariasi, ruang duduknya longgar, toiletnya selalu bersih, dan musalanya terawat. Saya betah berlama-lama di lounge ini, sampai pernah nyaris ketinggalan pesawat karenanya.

Pernah masuk lounge (maaf) Garuda di Bandara Ngurah Rai? Saya pernah, sebentar saja, terus keluar lagi. Pindah masuk lounge di dekatnya, saya lupa juga nama lounge-nya. Tapi di lounge itu, ruang duduknya lebih nyaman, dan menunya lebih enak. Karena saya punya pilihan yang sama-sama gratisnya jika masuk lounge, pakai GFF atau pakai Prioritas, maka saya memilih lounge yang lebih nyaman. Garuda, maaf lagi, meskipun sudah sangat terkenal dan lounge-nya seringkali eksklusif hanya khusus pemegang kartu GFF minimal Gold, tapi kenyamanannya kadangkala masih kalah dengan lounge yang ada di sekitarnya.

Sore ini saya menunggu boarding di lounge juga. Tepatnya, menunggu buka puasa. Dari pada saya jajan di luar dan keluar duit, saya masuk lounge dengan memanfaatkan kartu prioritas saya. Tidak pakai GFF, karena saya tidak naik Garuda, tapi naik Wings Air. Maklum, go show, jadi tiket sak-nemunya, dan memang tidak ada jadwal penerbangan Garuda menuju Surabaya pada jam-jam seperti ini.

Menu di lounge, tidak seperti bayangan saya. Setidaknya ada buah korma dan kolak, begitulah pikiran saya, mengingat ini bulan Ramadhan. Tidak ada. Yang di atas meja adalah roti mini, cake mini, dan tempe goreng mini. Tidak masalah sih. Tapi begitu menengok makanan utamanya, nah, ini baru masalah. Yang tersaji adalah oseng sawi hijau plus oseng tahu, tentu saja juga nasi putih yang dibiarkan di dalam magic com-nya. Ya ampun, kebangeten, pikir saya. Mbok sedikit menghargai orang puasa. Segini banyak orang menunggu saat berbuka puasa, ketemunya sawi sama tahu. 

Selera saya pecah berantakan. Tapi saya mengambil piring. Menyendok sawi dan tahu. Tanpa nasi. Ini hanya jurus mempertahankan hidup saja. Perut saya harus saya isi kalau tidak ingin maag saya kambuh. Apa lagi semalam tidak makan sahur, karena tidak terbangun. Kelelahan setelah rapat dan mengerjakan tugas sampai larut malam. 

Selesai makan yang hanya formalitas itu, saya bermaksud salat. Ternyata saya harus keluar lounge karena lounge tidak punya musala. Saya pun salat di luar dan meninggalkan tas koper saya tetap di dekat tempat duduk saya tadi.

Kembali ke lounge, saya masuk toilet. Alamaaakkkk. Kotornya minta ampun. Air berserak, tissue tersebar, dan klosetnya kotor. Tak tega, saya tidak jadi menggunakan toilet. Masih kuat ngempet.

Sungguh, kalau menu tidak menarik atau bahkan tidak enak pun, saya tidak akan protes. Tapi kalau toilet kotor, saya tidak bisa terima. Pokoknya tidak terima. Maka saya hampiri mas cleaning service yang lagi menyapu. 

"Mas, toiletnya kotor banget, tolong dong. Saya sampai nggak tega mau pakai."
"Ya Bu." Kata mas cleaning service.

Beberapa menit kemudian, saya masuk toilet. Nampak sudah dibersihkan memang. Tapi masih ada bekas tissue dan sabun di sudut toilet. Payah. Saya pikir memang ya cuma seginilah standar kebersihan mereka. Buruk. Kalau mereka punya standar bagus, mestinya kalau bersih-bersih ya sekalian. Masak terkesan cuma formalitas begini.

Malam ini nampaknya saya sedang diuji kesabaran saya. Wings Air baru akan mendarat pukul 19.20. Begitu informasi yang baru saja saya dengar. Padahal seharusnya jam segitu saya sudah terbang. Ya sudahlah, apa boleh buat. Toh dengan begitu saya ada waktu untuk menulis. Rasanya sudah lammmmaaaa sekali tidak menulis seperti ini.

Tapi, andaikata ada tauwa.....
Pasti lebih nikmat.

Semarang, 19 Juni 2016
LN

Sabtu, 11 Juni 2016

Menu Ramadan 7: Soto Sabreng Khas Sumenep

Soto Sumenep atau yang dikenal juga dengan sebuhan soto Sabreng cukup memiliki banyak kandungan gizi sebagai hidangan berbuka maupun santap sahur. Menu ini disajikan dan dimakan dengan singkong, tauge goreng, bihun, bawang daun, bawang goreng, lontong, daging sapi atau usus sapi. Yang istimewa dari Sabreng ini ialah menggunakan bumbu kacang yang terdiri dari kacang, petis dan pisang muda yang diulek halus. Itu pula yang membedakan soto Sabreng dengan soto khas Madura lainnya.

BAHAN:
P Daging sapi                                                    250 grm
P Babat                                                             250 grm
P Usus                                                              100 grm
P Air                                                                 3 liter
P Lontong                                                         5 buah
P Singkong rebus, potong dadu                           300 grm
P Soun                                                              100 grm
P Minyak goreng                                                            100 grm
P Daun bawang merah, diiris halus, digoreng        25 gram

Bumbu:
P Bawang putih              15 grm
P Lada                          3 grm
P Jahe, dimemarkan       3 cm
P Garam                       5 grm

Bumbu kacang:
P Kacang tanah goreng   100 grm
P Petis ikan                   25 grm
P Cabe rawit                  10 buah

PEMBUATAN:

1.     Rebus babat dengan 1 liter air hingga lunak, buang air perebusnya dan potong dado 2x2 cm.
2.     Bersihkan usus, rebus dengan 500 ml air hingga lunak, buang air perebusnya dan potong sepanjang 2 cm.
3.     Bersihkan daging, rebus dengan 1,5 liter air hingga lunak, sisihkan kaldunya dan potong daging seperti babat.
4.     Haluskan semua bumbu kecuali jahe, tumis hingga harum tambahkan jahe serta kaldu.
5.     Masukkan babat, usus dan daging rebus soto hingga bumbu meresap ke dalamnya dan matang.
6.     Bumbu kacang: semua bumbu dihaluskan lalu ditambahkan sedikit kuah soto.
7.     Sajikan soto sabreng dengan urutan irisan lontong, singkong, soun, dan bumbu kacang lalu siram dengan kuah soto. Taburi dengan daun bawang goreng Soto sabreng bisa juga ditambahkan dengan kecap manis

Komposisi gizi per porsi:
·         Energi                   : 641,05 Kal
·         Karbohidrat        : 67,12 gram
·         Protein                 : 41,02 gram

·         Lemak                   : 29,48 gram

Menu Ramadan 6: Nasi Sodu Khas Situbondo

Nasi sodu merupakan salah satu kekayaan kuliner Jawa Timur dari Situbondo. Keistimewaan hidangan ini berupa nasi dengan sambal pedas dan dengan siraman bumbu sodu, santan dan rempah, diberi potongan sayur labu dan lauk ikan tongkol. Bagi sebagian pecinta kuliner nusantara, tentu tak akan melewatan khasanah kuliner Jatim ini. Apalagi dalam suasana bulan Ramadan, menu ini bisa menjadi alternatif untuk hidangan berbuka maupun sahur.

BAHAN:
P Nasi                                       500 grm
P Labu kuning (potong dadu)      250 grm
P Labu putih (potong dadu)         250 grm
P Santan                                   500 ml
P Tongkol                                  300 grm
P Minyak goreng                                    20 ml

Bumbu sayur:
P Bawang merah                                    10 buah
P Bawang putih                          8 siung
P Ketumbar                               1 sdt
P Asam atau belimbing wuluh      1 sdt
P Garam                                   1 sdt

BUMBU GESSENG:
P Bawang merah                                    10 buah
P Bawang putih                          7 siung
P Cabe merah                            5 buah
P Cabe rawit                              3 buah
P Lada                                      1 sdt
P Asam                                     2 sdt
P Garam                                   1 sdt

Sambal pedas:
P Cabe merah                            5 buah
P Cabe rawit                              4 buah
P Bawang merah                                    2 buah
P Bawang putih                          1 siung
P Tomat                                    1 siung
P Terasi                                                ¼ sdt
P Garam                                   ¼ sdt

PEMBUATAN
1.         Siapkan nasi 5 porsi.
2.         Semua bumbu dihaluskan, sisihkan.  Bila menggunakan belimbing wuluh, belimbing dipotong-potong.
3.         Tumis bumbu halus untuk sayur, masukkan labu kuning dan labu putih, kemudian masukkan santan tunggu hingga masak.
4.         Haluskan bumbu gesseng, tumis dan masukkan ikan tongkol, masak hingga matang.
5.         Cara penyajian: sepiring nasi, letakkan sayur labu, ikan tongkol yang sudah diberi bumbu, sambal pedas sedikit, tuang dengan kuah santan sayur labu.

Komposisi gizi per porsi:
CEnergi                 : 461,68 Kal
CKarbohidrat   : 58,8 gram
CProtein          : 26,48 gram

CLemak                 : 70,9 gram