Pages

Senin, 10 November 2014

Melbourne 1: Princess Pinus untuk si Princess

Pukul 07.30 waktu Melbourne. Garuda Indonesia mendarat mulus di landasan Tullamarine Airport. Udara dingin terasa menggingit kulit begitu kami keluar dari badan pesawat jumbo itu. 

Kami bertujuh. Saya, Pak Sulaiman, Bu Kisyani, Pak Yoyok, Pak Heru, Bu Lucia, dan Mbak Silfia. Kami semua tim PPPG (Program Pengembangan Profesi Guru) Unesa, kecuali Bu Kisyani yang baru saja mengakhiri masa jabatan sebagai PR 1 Unesa. Juga Mbak Silfia, staf Kantor Urusan Internasional Unesa. 

Kedatangan kami ke Melbourne adalah untuk melakukan benchmarking ke tiga institusi, yaitu Victorian Institute of Teaching (VIT), University of Melbourne, dan Victoria University (VU). Kawasan benchmarking kami seputar sistem sertifikasi guru dan pendidikan guru. Korespondensi dengan ketiga institusi itu sudah kami lakukan sejak tiga empat bulan yang lalu, untuk menyampaikan tujuan kami dan menentukan  hari di mana kami bisa berkunjung. Bahan presentasi sudah kami persiapkan juga, termasuk mempelajari berbagai hal tentang profil ketiga institusi.  

Kami semua tidur hanya sebentar semalam. Perbedaan waktu antara Indonesia dan Australia yang selisih empat jam, membuat tidur kami tidak sempat lelap. Tiba-tiba saja setelah sekitar dua jam terbang, pramugari membangunkan kami dan membagikan breakfast. Oh God. Ini seperti makan sahur saja. Tapi saat kami mengintip keluar jendela, ternyata hari sudah mulai terang. Meski masih ada sekitar dua setengah jam lagi waktu yang tersedia sebelum mendarat, kebanyakan kami sudah tidak bisa melanjutkan tidur yang tertunda setelah menghabiskan breakfast yang terlalu cepat itu.

Kami berjalan memasuki gedung terminal, mengikuti petunjuk arah. Mengisi custom form, menuju counter imigrasi yang antriannya mengular. Lanjut mengambil bagasi, berjalan ke arah yang ditunjukkan petugas. Berdiri lurus di line 4. Semua bagasi, termasuk tas tenteng, diminta meletakkan di lantai, di depan kami berdiri. Anjing pelacak mengendus-endus tas-tas kami. Semua aman kecuali ransel Pak Yoyok. Dia membawa roti daging, dan meskipun sudah dia 'declare', tetap saja dia harus berurusan dengan petugas, dan rotinya disita. Hiks.... 

Kami berjalan keluar, menunggu penjemput. Berdiri di meeting point sembari menahan dingin. Mbak Silfia menelepon Bu Pratiwi, teman kami yang sedang menempuh program Ph.D dalam bidang cultural studies di University of Melbourne. Bu Pratiwilah yang membantu menyiapkan semua keperluan kami selama di Melbourne, akomodasi, transportasi, dan juga konsumsi. Bu Pratiwi juga yang membantu mengoreksi bahan presentasi kami untuk ketiga institusi yang akan kami kunjungi nanti. Kami menyiapkan power point, dan power point itu saya narasikan, supaya bisa lebih membantu memperlancar presentasi kami. Maklum, dengan keterbatasan keterampilan bahasa Inggris kami, apa pun harus kami lakukan, supaya tidak terlalu mengecewakan ketika presentasi dan diskusi nantinya.  

Bu Pratiwi. Sebenarnya dia bukan orang lain bagi saya. Tiwik, begitu saya menyebutnya, adalah teman seperjuangan. Satu angkatan di Himapala IKIP Surabaya (Unesa sekarang), sama-sama aktif di senat fakultas, sama-sama penyuka kegiatan tulis-menulis, teman satu kost ketika kuliah di S2 di Yogyakarta, dan sama-sama menjadi dosen di Unesa.

Kami dijemput oleh Bang Luhut, mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Melbourne. Menurut Mbak Silfia, kebanyakan mahasiswa Indonesia berkuliah sambil bekerja. Juga para pelajar SMA. Mengisi waktu dengan bekerja part-timer, gajinya cukup menjanjikan. Satu jam rata-rata tidak kurang dari 8 dollar. Mereka bekerja apa saja, mencuci piring di rumah makan, membuka dan menutup lapak di pasar atau toko, menjadi driver, dan sebagainya.

Setelah berkendara selama sekitar dua puluh menit dari Tullamarine Airport, kami tiba di penginapan Dolma, di kawasan North Coburg. Sebuah penginapan sederhana, tapi cukup nyaman. Kami membayar 'hanya' 1.750 dollar untuk tiga kamar, selama lima hari, dengan tambahan satu microwave dan satu toaster. Namun kami datang terlalu pagi, oleh sebab itu kami belum bisa check in. Petugas meminta kami memasukkan koper-koper kami ke ruang di sisi ruang resepsionis.  

Udara pagi yang dingin, sekitar 13 derajat Celcius membuat tubuh kami lumayan menggigil. Bu Lucia sampai membungkus tangannya dengan kaus tangan. Jaket kulitnya menutup rapat-rapat tubuhnya. Kami semua menutup tubuh kami dengan jaket. Untungnya, kami semua membawa jaket. Beberapa hari sebelum keberangkatan kami, Tiwik sudah mengingatkan kami untuk membawa baju hangat, payung dan topi.  

Tak berapa lama, Tiwik datang dengan Adzra, anak bungsunya yang masih kelas 1 SD. Kami menyambutnya dengan suka cita. Saya memeluk tubuh mungil Tiwik dengan sepenuh hati. Kerinduan pada seorang sahabat. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, saya akan menemui Tiwik di sini. Selama ini kami hanya berkomunikasi via BBM dan mendengar ceritanya dari mailing list keluarga Unesa. Apa yang dia ceritakan semuanya berkesan, semua ceritanya, cerita sedih maupun menyenangkan. Tiwik mengalami banyak hal selama menempuh studinya, banyak hal, yang menguras energi lahir dan batin, dan dia bisa melaluinya dengan baik. Tiwik, dengan tubuh mungilnya itu,  adalah pejuang yang sangat tangguh dan tak kenal menyerah. 

Tiwik membawakan kami nasi kotak plus sebotol air mineral. Wow, benar-benar saat yang tepat. Meski di pesawat tadi kami sudah sarapan dengan menu nasi goreng dan ayam berbumbu, udara dingin membuat perut kami sudah lapar lagi. Menu nasi putih, tahu isi, nugget, dan balado terong, begitu pas dengan suasana pagi ini. 

Adzra, gadis kecil Tiwik, begitu  ceriwis. Kemarin dia berultah. Dia bercerita tentang ultahnya, sekolahnya, apa saja, dengan bahasa Inggrisnya yang sangat lancar. Tentu saja. Anak itu telah bersekolah di Melbourne selama sekitar dua tahun. Untuk anak seusia dia, belajar bahasa sangatlah cepat, apa lagi dalam lingkungan belajar yang sangat mendukung, baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan teman sebayanya. Maka dia berbicara dalam bahasa Inggris dengan begitu natural, dengan body languange yang sungguh menggemaskan. 

Saya memberinya oleh-oleh  tas ransel biru dan sebuah buku bacaan. Sebenarnya saya tidak tahu kalau dia sedang berultah. Tapi tas biru dan buku itu membuat matanya berbinar-binar.

"It's gift for you. For your birthday." Kata saya. 
"Oh, really?" Dia seperti tidak percaya. 
"Yes, sure."

Adzra melompat-lompat sambil melambai-lambaikan tas biru dan bukunya. 

Bu Kisyani bertanya. "Adzra, what is the meaning of Adzra?"
"Princess."
"Princess?" Saya menyahut. "You got the book of Princess Pinus."

Ini benar-benar kebetulan yang menyenangkan. Adzra, si princess itu, sedang berulang tahun, dan dia mendapatkan buku berjudul Princess Pinus sebagai hadiah ultahnya. Tentu ini bukan buku yang ditulis dalam bahasa Inggris. Buku tentang kisah inspiratif regu penggalang SMP IT Auliya,  yang dihimpun oleh sahabat baik kami, Mas Basir Aidi, dan kebetulan saya diminta untuk memberikan endorsement dalam buku itu, saya harapkan bisa membantu Adzra untuk tidak melupakan bahasa ibunya, bahasa Indonesia.

Saya membongkar koper. Mengeluarkan kering tempe dan sambal pecel pesanan Tiwik. Juga buku-buku titipan Mas Khoiri, teman dosen dan juga sahabat kami, juga buku-buku dari saya sendiri. Salah satunya adalah buku 'Cermin', kumpulan tulisan saya dan Dik Utik, adik saya, buku yang menandai ulang tahun kami pada Oktober yang lalu.

Setelah selesai makan, kami bersiap untuk jalan-jalan, sekadar menunggu waktu. Tiwik membagikan 'myki visitor", sebuah kartu pass untuk memanfaatkan transportasi umum, yaitu train, tram dan bus. Kami akan memerlukannya selama sekitar seminggu kami di sini. Sejumlah 42 dollar per orang kami membelinya, dengan-- tentu saja-- dibantu Tiwik. 

Baik, mari kita mulai menyapa Melbourne yang dingin meski matahari bersinar cerah.

North Coburg, Melbourne, 2 November 2014


Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...