Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Catatan Perjalanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Perjalanan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 Oktober 2016

Dompu (3): Drama Satu Babak

Acara serah terima di pendopo Kabupaten Dompu berjalan lancar, meski bupati tidak hadir. Asisten Bupati menggantikan menyambut kami beserta Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kabupaten Dompu. Puluhan kepala sekolah juga hadir dan siap membawa serta para guru SM-3T ke lokasi tempat penugasan. Pada acara itu, setelah acara sambutan dari Asisten Bupati, Prof. Sukirno memberi sambuta selaku Koordinator SM-3T UNY, dan saya memberi sambutan sebagai wakil dari Direktorat GTK Kemdikbud.

Selepas acara serah terima, Pak Nuril menawari saya untuk bersama-sama beliau menuju Pekat, tempat terjauh yang merupakan lokasi penugasan beberapa peserta SM-3T. Saya menyetujui, tetapi driver yang membawa saya ragu, karena hari sudah terlalu sore, menjelang maghrib. Dia bilang, "bisa-bisa tengah malam kita baru tiba kembali ke sini, bu." Saya pun meminta maaf pada Pak Nuril karena tidak bisa bersama-sama beliau mengantarkan para peserta SM-3T ke Pekat. Sepertinya hari ini saya tidak terlalu bersemangat untuk 'berpetualang'. Kondisi tubuh yang sebenarnya tidak terlalu fit membuat saya memilih untuk tinggal di Kota Dompu saja. 

Selepas maghrib, Nur, adik angkatan saya di Himapala, lulusan Pendidikan Teknik Sipil Unesa, dan guru SMK 1 Woja, mengunjungi saya di hotel tempat saya menginap. Dibawakannya saya sekantung besar makanan khas Dompu, termasuk sejerigen dan sebotol madu. Juga Kue karoto sahe dan kue kahangga khas Dompu yang manis, legit, dan gurih. 

Sebelumnya, Ibu Firdan, bibinya Arifuddin, salah seorang alumnus PPG SM-3T, sudah membawakan saya madu, lengkap dengan telur lebahnya, setoples plastik ukuran tanggung. Wah, saya bisa buka toko madu nih di Surabaya. Madu asli Bima dan Dompu lagi.

Nur, seperti saudara saja bagi kami, saya dan suami. Begitulah kami para anggota Himapala. Di mana pun berada, kami akan saling mencari dan berusaha untuk bisa bertemu. 

Nur biasa kami panggil Dompu. Itu memang panggilannya di Himapala. Nama aslinya, Noerlaila Wahida, sering kami lupakan. Sekadar cerita, sebelumnya saya sendiri mengira namanya memang Dompu. Ternyata itu hanya julukan Nur saja yang diberikan oleh teman-teman Himapala, semata-mata karena dia berasal dari Kabupaten Dompu. Saya sendiri baru mengenal bahwa Dompu adalah nama sebuah kabupaten, beberapa tahun belakangan ini. Pelajaran geografi saya memang payah.

Saya memilih Dompu ini pun, salah satu pertimbangannya karena ada Nur di sini. Selain, tentu saja, karena saya belum pernah ke Dompu. Juga, Dompu adalah satu-satunya kabupaten di NTB yang digunakan sebagai wilayah penugasan SM-3T angkatan VI. Satu pertimbangan penting lagi, adalah karena Dompu merupakan kampung halaman Syahru Romadhon.

Malam ini saya bersama Nur mengunjungi keluarga Syahru Romadhon. Syahru adalah mahasiswa PPG Unesa angkatan 3 yang meninggal di asrama pada Maret 2015 yang lalu. 

Waktu itu, Syahru baru dua minggu tinggal di asrama Kampus Unesa Lidah Wetan. Saya memanggilnya ke ruangan saya, dan saya tanyakan kabar tentang ayahnya yang sakit keras. Saya tahu ayah Syahru sakit karena saat masih bertugas di Mamberamo Tengah sebagai guru SM-3T, Syahru sempat minta izin untuk pulang awal karena ayahnya kritis. Nah, seminggu setelah saya memanggilnya itu, anak muda yang patuh dan pendiam itu meninggal di kamarnya di asrama, pagi hari setelah dia menunaikan salat dhuha dan dalam keadaan sedang membaca Al Qur'an. Semoga Allah SWT memberinya chusnul khotimah. 

Siang harinya, jasad Syahru divisum di RSUD Dr. Soetomo, malamnya disalatkan di Masjid Kampus Lidah Wetan, dan pagi diterbangkan ke Dompu, NTB. Saya sendiri tidak bisa mengantarkan jenazahnya karena tidak ada penerbangan ke Bima waktu itu. Namun Pak Heru dan Pak Rahman, serta salah satu saudara sepupu Syahru yang kuliah di ITS, mendampingi jenazah Syahru ke kampung halamannya. Mereka terbang dari Surabaya menuju Lombok, dan lanjut menyeberang ke Bima dengan kapal laut. Pesawat yang menuju Bima adalah pesawat ATR, sehingga bagasinya terlalu kecil untuk memuatkan peti jenazah. Dari Bima, jenazah diangkut mobil ambulance menuju Dompu.

Saat ini, saya sudah berada di depan rumah keluarga Syahru. Ummi Ros, ibunda Syahru, dan juga bapaknya yang baru pulang dari masjid, menyambut kedatangan saya dan Nur. Dua adik Syahru juga ada bersama mereka. Tak berapa lama, nenek Syahru serta paman dan bibinya, bergabung. Saya dengan segala pemahaman saya, menyampaikan rasa syukur saya karena bisa mengunjungi abah dan ummi-nya Syahru. Kami duduk di atas tikar, ngobrol, berbasa-basi, sampai kemudian Ummi Ros tiba-tiba bertanya.

"Sebentar, apakah ini Ibu Luthfi?"

Oh Tuhan. Saya baru sadar, saya belum memperkenalkan diri sejak kedatangan saya sekitar sepuluh menit yang lalu. Jadi sejatinya keluarga ini tidak tahu mereka sedang berbicara dengan siapa. Saya terlalu percaya diri dengan mengira mereka sudah mengenal saya dengan cukup baik.    

"Ya, Ummi, betul. Saya Luthfiyah."

Dan seperti dikomando, tiba-tiba tangis pecah di ruangan kecil itu. Ummi Ros menghambur ke pelukan saya dan melepaskan tangis dan sedu-sedannya. Lelaki tua itu, sang Abah, bangkit dari duduknya sambil menutup mukanya. Dua adik Syahru menundukkan kepala dalam-dalam dengan muka memerah. Nenek, paman dan bibi Syahru, dengan isaknya masing-masing. Saya pun tak kuasa menahan air mata yang membanjir. Nur terpukau memandang semuanya. Tak menyangka akan menyaksikan drama satu babak yang begitu dramatis. Sampai akhirnya semuanya bisa menguasai diri dan suasana mulai berangsur normal meski diliputi kesedihan mendalam.

Syahru Romadhon adalah anak pertama di keluarga itu. Lulusan Prodi Pendidikan Matematika IKIP Mataram, lantas mengikuti Program SM-3T Unesa, bertugas setahun di Mamberamo Tengah, Papua. Menjadi tumpuan dan tulang punggung keluarga. Selama di tempat penugasan, insentif bulanannya disisihkan untuk menopang kebutuhan keluarga, termasuk membeli obat-obatan untuk ayahnya yang sakit paru-paru. Umi Ros, ibunya, adalah mantan TKW di Arab Saudi, makanya dipanggil 'Ummi', sebutan yang lazim bagi perempuan yang sudah berhaji. Kedua adiknya masih bersekolah di pendidikan menengah. Tinggal di rumah kecil dengan perabot sederhana, dengan ibunya yang berdagang kecil-kecilan, memang berat bagi keluarga tersebut untuk hidup dengan layak. Kepergian Syahru yang menjadi tumpuan keluarga menjadi pukulan berat. Apa lagi dalam kondisi Syahru sedang berada di rantau dan masih sempat mengobrol dengan abah ummi serta adik-adiknya semalam sebelum kepergiannya. Rasa kehilangan yang mendalam itu membuat Ummi Ros sangat sering menghubungi saya untuk menumpahkan kesedihannya. Tanpa pernah mengenal saya secara fisik, Ummi Ros mengenali suara saya. Saat dia menyadari bahwa yang ada di hadapannya adalah saya, juga karena dia mengenal dari suara saya.

Malam merangkak pelan dan saya berpamit pada keluarga sederhana itu setelah menyerahkan sekadar oleh-oleh dan santunan. Sebongkah rasa syukur menyeruak. Ya Allah, hanya karena kehendak dan izin-Mu, saya bisa berada di sini. Bersilaturahim dan berjumpa dengan orang-orang tabah yang dari mereka saya bisa belajar tentang keikhlasan dan kepasrahan.

Sementara Pak Nuril dan para peserta SM-3T sedang berada di tengah perjalanan menuju tempat tugas mereka, di hotel, bersama Prof. Sukirno, Pak Marsidi, dan Nur, saya merencanakan perjalanan kunjungan ke sekolah besok pagi. SMK 1 Woja, sekolah  tempat Nur bertugas, akan menjadi salah satu sekolah yang kami kunjungi. Di sana ada dua peserta SM-3T yang ditugaskan. Dua sekolah yang lain juga akan kami kunjungi, sebelum besok siang, kami tim pendamping akan terbang kembali ke tempat tugas masing-masing.

Dompu, cukuplah kukenal kau dari kesahajaanmu, kehangatanmu, keramahanmu
Meski ada bait-bait luka yang menggores dan menghunjamkan lara
Aku ingin kau bangkit dan berdiri dengan gagah perkasa
seperkasa Tambora
Menyambut masa depan yang indah seindah padang savana
Kau pantas menikmati manisnya kehidupan sebagaimana manisnya karota sahe dan kahangga
Sesekali pedihnya perjuangan mesti kau sesap sebagaimana kau sesap pedasnya minasarua
Selalu ada gurihnya masa-masa seperti gurihnya kelapa dan jagung ketan di Taman Amahami dan Jalan Panda
Juga orang-orang yang senantiasa berujar 'sentape' dan 'lemboade', itulah kau dengan segala kemurah-hatian dan kerendah-hatian

Dompu, saatnya kau dikenal sebagai negeri kecil 'Kota Tepian Air' yang murni dan damai bak surga nirwana  

Tamat.

Dompu, 6 September 2016 

Dompu (2): Bernego dengan Driver Bandara

Siang yang terik menyambut kedatangan para peserta SM-3T UNY beserta pendampingnya. Waktu menunjukkan pukul 13.15. Bandara Sultan Muhammad Salahuddin, Bima, seketika ramai. Penumpang pesawat baling-baling itu menyeruak memasuki gedung terminal yang tidak terlalu luas itu. Sebagian besar mereka adalah anak muda dengan rompi berlabel SM-3T. 

Bersama Pak Nuril dan stafnya, saya menghampiri Prof. Sukirno, pendamping dari UNY, yang nampak lelah. Perjalanan dari Yogyakarta sejak sekitar pukul 7.00 pagi tadi pasti telah menyita energi beliau karena harus mengurus puluhan calon guru itu. Sebagian besar mereka belum pernah naik pesawat, sehingga satu-satunya pendamping itu harus memandu mereka mulai dari check in, boarding, mengurus makanan mereka, mengawasi mereka yang mabuk, hingga  tiba di Bima ini. Sebenarnya masih ada satu pendamping lagi, Pak Marsidi, staf bagian keuangan UNY. Namun beliau harus mendampingi lima peserta SM-3T yang belum terangkut pada penerbangan ini. Mereka akan terbang menumpang pesawat Garuda dan diprediksi akan tiba di Bima sekitar pukul 16.00 sore nanti. Ya, meski sebenarnya jatah pendamping yang dialokasikan oleh GTK hanya satu orang, namun situasi mengharuskan Koordinator SM-3T UNY untuk memberangkatkan satu orang pendamping lagi. Mereka khawatir, bila lima peserta yang tertinggal itu tidak didampingi, para peserta tidak bisa sampai di tujuan, mengingat mereka belum pernah pergi jauh dengan menumpang pesawat.

Prof. Sukirno menyerahkan beberapa map pada saya. Map itu berisi surat untuk bupati dan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kabupaten Dompu. Juga ada daftar hadir peserta serta berkas berita acara serah terima. 

Prof. Sukirno benar-benar nampak lelah. Ternyata beliau belum sempat makan sejak pagi. Jatah makan pagi dari GTK di Bandara Adisutjipto Yogyakarta tadi pagi hanya pas untuk para peserta. O tidak. Ini pasti telah terjadi miskomunikasi antara GTK dengan penyedia jasa makanan. Mana mungkin para pendamping tidak diberi jatah makan pagi, sementara mereka harus mendampingi peserta sejak pagi?

Belasan driver berkerumun di depan pintu keluar, bersemangat menunggu calon penumpang mereka. Mereka menggerombol, kasak-kusuk, gelisah, mondar-mandir seperti tidak sabar. Di dalam terminal, para porter berusaha berebut mengangkat bagasi para peserta SM-3T yang tentu saja sangat banyak. Kami berusaha menghalangi para porter, tapi tentu saja tidak mudah. Mereka memaksa membawa troli-troli penuh bagasi itu, dan nampaknya akan tersinggung bila dilarang. Untung hanya dua porter. Belasan porter yang lain bisa dipahamkan, bahwa anak-anak muda itu harus mengurus bagasi mereka masing-masing.

Sementara itu, para driver mulai tahu bahwa puluhan penumpang yang sebagian besar berseragam itu tidak akan menggunakan jasa mereka. Dua buah bus besar telah menunggu di luar halaman bandara. Bus antar kota antar provinsi. Biro travel setempat yang bekerja sama dengan biro travel di Jakarta yang ditunjuk GTK, telah menyediakan dua armada bus tersebut.

Suasana tak nyaman langsung terasa. Beberapa driver sudah mulai gerah. Mereka membiarkan para peserta SM-3T bergerak menuju bus dengan membawa troli-troli penuh bagasi, namun para driver sepertinya tidak akan membiarkan begitu saja bus bergerak meninggalkan mereka begitu saja. 

Salah seorang driver, nampaknya pimpinan mereka, bertanya pada saya, "Ibu ketua rombongankah?" Saya jawab, "tidak". 

Pak Nuril juga ditanya, "kenapa  tidak menggunakan mobil bandara?"

Saya dan Pak Nuril mencoba memahamkan mereka, bahwa dua bus besar tersebut bukan atas keputusan kami. Semua sudah diatur GTK dengan biro travel di Jakarta dan di daerah, kami tinggal memanfaatkannya saja. 

Alih-alih mereka paham. Suasana justeru semakin memanas, sepanas terik matahari yang siap membakar amarah mereka. Salah satu dari mereka meminta supaya mereka bisa bicara pada petugas dari biro travel penyedia bus. Saya yang sengaja membaurkan diri di kerumunan para driver yang sedang bergolak itu menuruti permintaan mereka. Saya menelepon biro travel Jakarta, dan meminta disambungkan dengan biro travel lokal. Saya menjelaskan, para driver bandara marah dan mungkin akan memboikot dua armada bus yang akan mengangkut peserta SM-3T. 

Petugas biro travel bertanya, apakah ada polisi di sekitar saya. Saya jawab, "ada. Dua orang. Sejak tadi. Tapi sepertinya kedua polisi itu tidak bisa berbuat banyak. Harus travel yang menjelaskan."

"Baik, Bu. Kalau begitu saya coba bicara sama ketua drivernya."

Ponsel saya serahkan ke pimpinan driver yang wajahnya sudah merah padam. Sementara dia bicara dengan petugas biro travel, saya dan Pak Nuril berunding.

"Prof, mereka tidak akan buyar sebelum dikasih uang." Kata Pak Nuril.
"Maksudnya?"
"Kita keluarkan saja uang sekadarnya untur porter dan driver. Kita bilang saja untuk  uang rokok."
"O begitu. Oke."

Maka atas inisiatif Pak Nuril, kami pun mengeluarkan sejumlah uang. Tidak banyak. Benar-benar sekadar uang untuk rokok. Tapi prediksi Pak Nuril tepat. Sekejap saja para driver itu sudah agak tenang, dan dengan segala pengertian, mereka menyerahkan ponsel saya yang tadi dipakainya untuk berkomunikasi dengan petugas biro travel.

Kami pun memasuki mobil. Para driver pun membiarkan dua bus besar bergerak. Lega. Hampir satu jam kami bersitegang tadi, dan entah mengapa, saya justeru sengaja menceburkan diri di tengah-tengah orang-orang yang kemarahannya sudah di ubun-ubun itu. Dengan segala pikiran positif saya, saya yakin keberadaan saya di antara mereka akan mendinginkan suasana. Setidaknya, mereka akan berpikir panjang untuk melakukan tindakan nekad. Ada seorang ibu yang sedang mencoba dan mengharap pengertian mereka, dan meminta maaf atas semua yang terjadi, serta berjanji akan lebih mempertimbangkan keberadaan mereka untuk waktu-waktu yang akan datang.  

Begitu mobil bergerak menuju Kabupaten Dompu, saya mengeluarkan beberapa botol air mineral dari tas saya. Prof. Sukirno nampak pucat dan kehausan, dan saya benar-benar tidak tega melihat keadaannya.

"Prof, kita makan dulu?"
Prof. Sukirno ragu.
"Tapi..." saya melanjutkan sebelum beliau berkata sepatah pun. "Jam empat kita ditunggu untuk acara penerimaan peserta di kabupaten." Saya sambil melihat jam, begitu juga Prof. Sukirno. "Waktu tinggal satu jam, kita langsung saja ya?"

Tentu saja Prof. Sukirno setuju. Tidak ada pilihan. Saya mengeluarkan kue dari tas saya dan menyilakan beliau untuk menikmati kue itu sekadar mengganjal perut.

Perjalanan dari Bima ke Dompu memerlukan waktu sekitar satu jam. Tidak terlalu lama. Apa lagi dengan pemandangan laut yang indah di sepanjang perjalanan. Kelapa muda bertumpuk-tumpuk di beberapa titik, juga jagung rebus yang warnanya putih. Sayang kami tidak mempunyai waktu untuk sejenak duduk-duduk menikmati sepotong jagung rebus dan segelas kelapa muda dengan ditemani semilir angin pantai. 

Apa boleh buat. Acara di kabupaten tentu saja tak mungkin ditunda hanya untuk menunggu kami menikmati pantai. Biarlah keinginan itu tersimpan sampai saatnya besok untuk mewujudkannya.

Bima, 5 September 2016

Minggu, 23 Oktober 2016

Dompu (1): Potret Buram Guru Profesional

GARUDA tipe Bombardier membawa saya terbang dari Surabaya menuju Lombok Praya. Cuaca cerah dan panas saat saya memasuki pesawat beberapa menit yang lalu, namun udara sejuk di dalam pesawat begitu saja mengantarkan saya dalam tidur yang lelap. Saya terbangun setelah pramugari membagikan kotak kue dan terlelap lagi tanpa menyentuhnya, sampai pesawat menjelang mendarat. Hm, nikmatnya tidur. Anda harus bersyukur jika Anda termasuk orang yang di mana pun bisa tidur. Itu akan sangat membantu Anda untuk menghemat energi guna keperluan lain yang mungkin sudah menunggu.

Lombok mendung tapi tidak hujan. Bandara sepi dan cenderung lengang. Saya memasuki lounge, menikmati makan siang. Saya hanya transit saja di sini. Pukul 14.35 nanti saya akan melanjutkan penerbangan menuju Bima.

Rupanya Garuda sangat tepat waktu hari ini. Kurang 5 menit dari waktu boarding, penumpang sudah dipanggil untuk masuk pesawat. Kurang dari 10 menit, pesawat bahkan sudah mendarat di Bandara Sultan Muhammad Salahuddin,  Bima.

Dr. Nuril, pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu, telah menunggu saya begitu saya keluar dari pintu terminal. Tidak hanya itu. Arif, Anas, dan Suherman, wajah-wajah yang sudah sangat saya kenal itu, juga telah ada. Mereka adalah alumni peserta PPG-SM-3T angkatan pertama. Seperti ingin menumpahkan rindu, saya jabat tangan mereka erat-erat, begitu juga mereka.

Saya masuk ke mobil Pak Nuril yang menjemput saya bersama anaknya. Saat mobil bergerak keluar dari bandara, ketiga anak muda tadi mengikuti kami dengan sepeda motor mereka. Sebelum sampai hotel Marina, tempat saya menginap selama di Bima, kami sempat berhenti di pinggir jalan. Makan jagung rebus yang warnanya putih dan punel serta manis asin. Juga minum kelapa muda yang hijau ranum seperti baru saja dipetik.

Hotel Marina lumayan bagus, sejuk dan bersih. Namun saat ini saya tidak terlalu tertarik untuk menikmati  kenyamanannya sebelum menyelesaian urusan dengan Pak Nuril. Besok siang adalah kedatangan Peserta Program SM-3T angkatan ke-6. Ada 58 orang dengan dua pendamping. Saya perlu memastikan transportasi, konsumsi, kepala sekolah, dan susunan acara penerimaan besok siang, sudah siap semua. 

Peserta SM-3T itu dari UNY,  bukan Unesa. Keberadaan saya di sini adalah dalam rangka melaksanakan tugas dari Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan Nasional, sebagai tim pendamping yang mewakili GTK. Oleh sebab itu, saya sengaja datang mendahului rombongan untuk memastikan semuanya, mengingat Dompu baru pertama kali ini ditempati sebagai wilayah penugasan Program SM-3T.

Selesai berdiskusi dengan Pak Nuril, saya bersama empat anak muda, karena Asbur--alumni PPG SM-3T yang lain  juga bergabung,  menghabiskan senja dan malam hari sambil makan jagung rebus dan jagung bakar di Jalan Panda. Juga menikmati bakso Manalagi di pusat Kota Bima. Suasana bahagia karena bertemu mereka, berbaur dengan kepedihan mendengarkan kisah hidup mereka selepas dari Program PPG.

Dua dari mereka saat ini telah menjadi guru. Bukan PNS atau GTT (guru tidak tetap), tetapi masih sebagai guru honorer. Ada yang mengajar di tiga sekolah, ada yang di dua sekolah. Salah satu dari mereka awalnya juga mengajar, namun tidak mampu bertahan dengan desakan kebutuhan ekonomi keluarga. Akhirnya yang mereka lakukan adalah bekerja apa saja, bercocok-tanam, beternak, berjualan kecil-kecilan, bahkan ngojek. 

Bagaimana tidak. Honorarium sebagai guru sungguh mencengangkan. Diterimakan setiap 3 bulan sekali dengan besaran sekitar 100 sampai 150 ribu. Ya, tiga bulan. Tak terbayang entah bertahan untuk berapa lama uang sebanyak itu.

Betapa rendah penghargaan pada profesi guru. Tidak hanya itu. Kalau Anda ingin menjadi guru honorer di sebuah sekolah, biarpun ANda sudah memiliki sertifikat profesi, Anda harus merelakan sejumlah uang agar bisa diterima. Jumlahnya sekitar tiga sampai empat juta. Dengan uang masuk sebesar itu, Anda belum tentu memperoleh jam mengajar. Uang itu sekadar jaminan bahwa nama Anda tercatat sebagai guru di sekolah tersebut. Artinya, Anda belum tentu dapat honor mengajar. Bagaimana bisa dapat honor kalau jam mengajar saja tidak ada?

Saya seperti tidak percaya dengan cerita itu, meski sebenarnya ini bukan cerita pertama yang saya dengar. Tapi anak-anak muda ini tidak mungkin berbohong. Mengarang cerita hanya untuk membuat alasan kenapa mereka tidak mengajar. Padahal negara telah menginvestasikan mereka selama dua tahun. Satu tahun di tempat pengabdian dan satu tahun di pendidikan profesi. Sertifikat guru profesional yang mereka perjuangkan ternyata tidak cukup sakti untuk memperoleh sekadar tempat mengajar.

Malam semakin larut, dan saya diantar kembali ke hotel oleh Arif dan kawan-kawan. Untuk mereka berempat, saya memberi sekadar oleh-oleh makanan dan buku, sebagai tanda ingat. Tentu saja mereka sangat berterima kasih meski mungkin apa yang saya bawakan itu tidak terlalu berharga. Sebelum mereka pergi meninggalkan hotel, saya titipkan salam saya untuk keluarga mereka. 

Pukul 22.00 di Bima. Malam yang berangsur sepi mengantarkan saya pada tidur yang gelisah. Bayangan kisah anak-anak saya tadi, yang harus berjuang untuk menghidupi keluarganya dengan kerja keras semacam itu, sungguh di luar dugaan saya. Terbayang juga selembar kertas bernama sertifikat guru profesional yang mereka peroleh satu dua tahun yang lalu. Perjuangan mereka di daerah 3T, serta ketekunan mereka menempuh PPG. Untuk apa semua itu? Tak adakah ruang bagi mereka agar bisa mengabdikan diri di dunia pendidikan dengan segala kesungguhan dan kompetensinya? Tentu saja dengan penghargaan yang selayaknya?

Perlu perjuangan panjang untuk mengakhiri potret buram dunia pendidikan ini rupanya. Di mana pun, tidak hanya di Bima dan Dompu, bahkan juga di kota-kota besar di negeri ini, praktek semacam itu masih banyak mewarnai.


Dompu, 4 September 2016

Minggu, 19 Juni 2016

Lounge Jorok

Kalau Anda sering bepergian dengan menumpang pesawat, dan Anda sering memanfaatkan lounge bandara sementara menunggu boarding, coba perhatikan lounge tersebut. Mulai pintu masuk, ruang duduk, menu, dan toilet. Maka Anda akan bisa membuat pengelompokan: lounge yang bersih, lounge yang sedang-sedang saja, dan lounge yang jorok.

Bagi saya, menu makanan itu penting. Saya punya menu favorit di sebuah lounge, jelasnya lounge di Bandara Juanda Terminal 1. Tauwa. Ya, minuman yang di beberapa tempat disebut kembang tahu itu. Kuah jahenya yang panas pedas dipadu dengan bunga tahu putih nan lembut itu, begitu nikmat. Juga tahu dan tempe gorengnya yang selalu hangat. Dua makanan itulah langganan saya kalau singgah di lounge tersebut.

Saya lupa nama lounge-nya (saya memang tidak pernah menghafal). Yang jelas bukan Lounge Garuda. Kalau masuk lounge tersebut, Anda bisa menggunakan kartu ATM Prioritas Anda, atau membayar cash Rp.100.000,-, kalau tarifnya belum naik sih. Pakai kartu kredit juga bisa tentu saja, tapi saya sendiri tidak pernah masuk lounge dengan menggunakan kartu kredit. Kartu member Garuda atau GFF (Garuda Frequent Flier) Anda tidak berlaku karena memang bukan Lounge Garuda. 

Menurut saya, lounge ini tergolong bersih. Menunya oke, lumayan bervariasi, ruang duduknya longgar, toiletnya selalu bersih, dan musalanya terawat. Saya betah berlama-lama di lounge ini, sampai pernah nyaris ketinggalan pesawat karenanya.

Pernah masuk lounge (maaf) Garuda di Bandara Ngurah Rai? Saya pernah, sebentar saja, terus keluar lagi. Pindah masuk lounge di dekatnya, saya lupa juga nama lounge-nya. Tapi di lounge itu, ruang duduknya lebih nyaman, dan menunya lebih enak. Karena saya punya pilihan yang sama-sama gratisnya jika masuk lounge, pakai GFF atau pakai Prioritas, maka saya memilih lounge yang lebih nyaman. Garuda, maaf lagi, meskipun sudah sangat terkenal dan lounge-nya seringkali eksklusif hanya khusus pemegang kartu GFF minimal Gold, tapi kenyamanannya kadangkala masih kalah dengan lounge yang ada di sekitarnya.

Sore ini saya menunggu boarding di lounge juga. Tepatnya, menunggu buka puasa. Dari pada saya jajan di luar dan keluar duit, saya masuk lounge dengan memanfaatkan kartu prioritas saya. Tidak pakai GFF, karena saya tidak naik Garuda, tapi naik Wings Air. Maklum, go show, jadi tiket sak-nemunya, dan memang tidak ada jadwal penerbangan Garuda menuju Surabaya pada jam-jam seperti ini.

Menu di lounge, tidak seperti bayangan saya. Setidaknya ada buah korma dan kolak, begitulah pikiran saya, mengingat ini bulan Ramadhan. Tidak ada. Yang di atas meja adalah roti mini, cake mini, dan tempe goreng mini. Tidak masalah sih. Tapi begitu menengok makanan utamanya, nah, ini baru masalah. Yang tersaji adalah oseng sawi hijau plus oseng tahu, tentu saja juga nasi putih yang dibiarkan di dalam magic com-nya. Ya ampun, kebangeten, pikir saya. Mbok sedikit menghargai orang puasa. Segini banyak orang menunggu saat berbuka puasa, ketemunya sawi sama tahu. 

Selera saya pecah berantakan. Tapi saya mengambil piring. Menyendok sawi dan tahu. Tanpa nasi. Ini hanya jurus mempertahankan hidup saja. Perut saya harus saya isi kalau tidak ingin maag saya kambuh. Apa lagi semalam tidak makan sahur, karena tidak terbangun. Kelelahan setelah rapat dan mengerjakan tugas sampai larut malam. 

Selesai makan yang hanya formalitas itu, saya bermaksud salat. Ternyata saya harus keluar lounge karena lounge tidak punya musala. Saya pun salat di luar dan meninggalkan tas koper saya tetap di dekat tempat duduk saya tadi.

Kembali ke lounge, saya masuk toilet. Alamaaakkkk. Kotornya minta ampun. Air berserak, tissue tersebar, dan klosetnya kotor. Tak tega, saya tidak jadi menggunakan toilet. Masih kuat ngempet.

Sungguh, kalau menu tidak menarik atau bahkan tidak enak pun, saya tidak akan protes. Tapi kalau toilet kotor, saya tidak bisa terima. Pokoknya tidak terima. Maka saya hampiri mas cleaning service yang lagi menyapu. 

"Mas, toiletnya kotor banget, tolong dong. Saya sampai nggak tega mau pakai."
"Ya Bu." Kata mas cleaning service.

Beberapa menit kemudian, saya masuk toilet. Nampak sudah dibersihkan memang. Tapi masih ada bekas tissue dan sabun di sudut toilet. Payah. Saya pikir memang ya cuma seginilah standar kebersihan mereka. Buruk. Kalau mereka punya standar bagus, mestinya kalau bersih-bersih ya sekalian. Masak terkesan cuma formalitas begini.

Malam ini nampaknya saya sedang diuji kesabaran saya. Wings Air baru akan mendarat pukul 19.20. Begitu informasi yang baru saja saya dengar. Padahal seharusnya jam segitu saya sudah terbang. Ya sudahlah, apa boleh buat. Toh dengan begitu saya ada waktu untuk menulis. Rasanya sudah lammmmaaaa sekali tidak menulis seperti ini.

Tapi, andaikata ada tauwa.....
Pasti lebih nikmat.

Semarang, 19 Juni 2016
LN

Rabu, 23 Juli 2014

Kisah Buah Mangga

Sekitar seminggu yang lalu, saya berkunjung ke Maumere, Kabupaten Sikka, NTT. Saya diundang oleh Konsorsium Pendidikan Kemdikbud untuk menjadi narasumber pada pelatihan Kurikulum 2013. Pesertanya adalah para guru, mulai dari guru SD, SMP, SMA dan SMK.

Hari pertama di Maumere, saya disambut cuaca yang sangat ramah. Awan tipis menutupi sebagian langit, dan sinar matahari masih bisa dinikmati kehangatannya. Sangat bersahabat, terutama bagi kami yang sedang berpuasa. Mendung, tapi tidak hujan.

Hari kedua, matahari sudah bersinar cerah sejak pagi. Saya memberi pelatihan sejak pukul 09.00 sampai pukul 15.00. Ada jeda istirahat sekitar tiga puluh menit, kesempatan menikmati makan siang bagi para peserta yang hampir semua pemeluk Katolik, dan kesempatan bagi kami yang muslim untuk menunaikan salat dhuhur.

Hari itu, adalah puasa terberat saya. Melatihkan K-13 pada para peserta yang sebagian besar masih nol pemahamannya, di cuaca yang sangat panas, di antara sekitar 150 peserta yang dengan bebasnya 'nyumak-nyamuk' dan 'srupat-sruput'. Tenggorokan saya sampai terasa pahit sekali saking 'ngorong'nya, dan kaki-kaki saya 'kemeng' luar biasa. Sekujur badan rasanya sakit semua.

Saya pernah merasakan kondisi mirip itu, ketika umroh pada Ramadhan 2011, tiga tahun yang lalu. Waktu itu, suhu di Makkah menembus angka 51 derajat Celcius. Udara panasnya tak terkira. Sekujur tubuh sakit terpapar panas, baju di badan terasa seperti baju yang baru saja diseterika, dan menyentuh benda apa pun di luar penginapan, hampir semuanya panas menyengat. Tenggorokan kering dan pahit, badan loyo, lungkrah, dan kepala serasa berasap. Benar-benar ruarrr biasa.

Di Maumere, memang rasanya tak seheboh seperti di Makkah. Namun karena saya menjadi kelompok minoritas, benar-benar minoritas, di antara para peserta yang dengan tenangnya 'telap-telep', ditambah suhu AC di ruang workshop yang tak bisa membendung suhu panas dari luar, sementara saya harus menjelaskan panjang lebar tentang K-13, 'nyerocos' terus, maka sensasi 'ngorong dan kemeng' yang saya rasakan mengingatkan saya saat di Makkah kala itu.

Begitu pelatihan selesai, saya langsung 'keplas' masuk mobil, minta pada driver supaya AC dihidupkan kuat-kuat, dan segera mengantar saya ke hotel Sylvia, tempat saya menginap. Saya ingin segera 'slulup', eh, maksud saya 'grujukan' di bawah shower. Saya mengalami dehidrasi parah, dan perlu digerojok air dingin yang berlimpah, sebelum sekujur tubuh saya 'kemlingkingen'.

Selesai mandi dan salat, saya turun ke lobi. Minta diantar driver muter-muter, ngabuburit. Saya ingin melihat-lihat kota Maumere. Saya diantar ke toko pusat oleh-oleh, ke Pelabuhan Lorosae, ke pasar tradisional melihat tenun ikat dan membeli buah-buahan.

Ya, buah-buahan. Dalam kondisi puasa, buah-buahan adalah makanan favorit saya. Buah apa saja. Yang penting buah beneran, bukan buah plastik atau buah kayu.

Sejak kemarin saya tidak makan buah. Sehari saja tidak ketemu buah, seperti ada yang kurang lengkap hidup ini. Maka sore itu, di Pasar Alok, saya membeli dua buah apel merah seharga Rp.15.000,- dan tiga buah mangga mengkal seharga Rp.20.000,-. Cukuplah. Karena besok toh saya sudah balik ke Surabaya. Di Surabaya, buah apa pun sudah tersedia.     

Sore itu, saya kembali ke hotel dengan sekantung buah, selembar kain tenun ikat, dua plastik kopi Manggarai, sebungkus nasi goreng, dan dua gelas es kelapa muda. Saya sengaja menolak ajakan panitia untuk buka puasa bersama di sebuah rumah makan. Saya ingin menikmati semuanya sendiri, di kamar, dengan menu buah segar, nasi goreng, dan es kelapa muda. Setelah itu, saya akan segera salat tarawih, ngaji sebentar, terus tidur. Lelah tubuh sehari ini harus terbayar lunas.

Dari sekian jenis makanan, bagi saya, yang paling menggiurkan adalah buah mangga. Mangga itu sejenis mangga arumanis, tapi masih mengkal. Bukan masak pohon, karena memang belum masak. Tapi justeru karena dia masih mengkal itu, rasanya begitu eksotis. Manis, asam, dan renyah. Pas dengan selera saya. Saya menikmatinya di setiap gigitan, sampai akhirnya gigi saya terasa ngiluuuu.

Saya berhenti. Mangga sebuah saja sudah cukup membuat gigi saya protes. Tapi saya puas. Dan bertekad untuk membawa serta dua buah mangga yang masih tersisa ketika saya pulang ke Surabaya besok.

Nah, sore ini, ya, sore ini, kedua buah mangga itu sudah masak. Saya mengupasnya dengan sepenuh hati, memotong-motongnya dalam bentuk kotak-kotak besar, menatanya di piring, melengkapinya dengan garpu. Saya siapkan mangga itu di atas meja makan, bersama hidangan yang lain, nasi putih, tempe goreng, bebek goreng, sambal dan lalapan, juga es garbis.

Begitu adzan maghrib terdengar, kami bertiga, bapak ibu dan anak ini, langsung menyerbu mangga yang warnanya oranye menggemaskan itu. Kami menikmatinya dengan penuh rasa syukur, lega, merasakan perjuangan sehari ini telah sampai pada batasnya. Insyaallah kami lulus. Insyaallah puasa kami diterima Allah SWT. Insyaallah kami termasuk golongan orang-orang yang diberi ampunan. Amin YRA.

Wuihh, mangga ini, rasanya.....manisnya....harumnya.... Ini benar-benar mangga istimewa. Bukan saja karena dia mangga pertama yang kami nikmati sepanjang Ramadhan ini. Tapi juga karena dia dibawa dari tempat yang sangat jauh, menyeberang laut, menyeberang pulau. Saya seperti mendengan sayup-sayup suara lagu Maumere Manise yang dinyanyikan oleh para guru peserta pelatihan menjelang pelatihan usai waktu itu. Seperti nama lagu itu, seperti tempat dia berasal, Maumere Manise, seperti itulah rasa mangga ini. Mangga manise.


Surabaya, 23 Juli 2014

Wassalam,
LN

Sabtu, 07 Juni 2014

Learning by Doing

Dua hari ini saya berada di Kupang, tepatnya di Hotel Royal Kupang. Saya dijadwalkan untuk mengisi pelatihan kurikulum 2013 bagi para guru SD, SMP, SMA dan SMK, selama dua hari. Kegiatan ini sudah terlanjur saya sanggupi sejak sekitar sebulan yang lalu. Sehingga meskipun sebenarnya saya ada undangan rapat di Jakarta untuk hari Jumat sampai Minggu, saya terpaksa tidak bisa hadir. Kalah janji. 

Pelatihan diikuti oleh sekitar 100 orang guru. Syukurlah, tidak terlalu banyak. Saya bisa leluasa dan lebih intens berinteraksi dengan para peserta. Peserta yang terlalu banyak akan membuat narasumber cepat lelah, karena bicara saja mesti ngotot. Selain itu, pengendaliannya juga tidak bisa maksimal. Kalau pun bisa, pasti melelahkan, karena perlu energi besar untuk mobile kesana kemari melakukan interaksi dengan para peserta. Saya pernah mempunyai pengalaman menjadi narasumber dengan jumlah peserta 800-an orang. Selesai acara, panitianya saya amuk. "Yo lek kampanye, tidak apa-apa mau peserta sebanyak apa pun." Kata saya. "Kalau seperti ini, tidak usah mengundang saya." Saya nggondok, dan panitia berkali-kali minta maaf.

Hari pertama, kami berdiskusi tentang rasional perubahan K-13, elemen perubahan, SKL, KI, KD, pembelajaran, dan penilaian. Waktunya mulai pukul 09.00-16.00. Hanya diselingi istirahat satu jam, pukul 12.00-13.00.

Saya menggunakan pendekatan saintifik dalam pelatihan ini. Peserta saya bagi dalam kelompok-kelompok, ada 15 kelompok dengan jumlah anggota kelompok antara 5-7 orang. Guru SD berkelompok dengan guru SD, guru SMP dengan guru SMP, guru SMA dengan guru SMA dan SMK (karena guru SMK hanya ada satu).

Setiap topik saya mulai dengan informasi singkat, kemudian peserta saya minta untuk membaca sendiri materi, berdiskusi, dan mengerjakan tugas-tugas yang sudah saya siapkan di materi yang mereka miliki. Setelah itu setiap kelompok diberi kesempatan untuk presentasi dan ditanggapi oleh kelompok lain.

Tidak terasa, diskusi berjalan sangat gayeng. Guru-guru itu begitu bersemangat. Bahkan ketika makan siang, mereka sampai dipaksa-paksa oleh panitia untuk beranjak dari kursi karena mereka maunya menuntaskaskan tugas pertama dulu. Begitu juga ketika tiba waktunya pelatihan usai, mereka juga tidak segera berhenti berdiskusi. Sampai akhirnya saya paksa mereka berhenti karena besok masih ada waktu untuk melanjutkan.

Saya bertanya kepada mereka, "apakah bapak ibu belajar sesuatu hari ini?" Saya panggil kelompok per kelompok. "Kelompok Komodo, apakah hari ini belajar sesuatu?"
"Ya." Mereka menjawab serempak.
"Kelompok Tulip?"
"Ya."
"Kelompok Mawar?"
"Ya."
Ada 15  kelompok, dan mereka menjawab "ya" dengan penuh semangat.

Mereka telah belajar menerapkan pendekatan siantifik dengan begitu mudahnya. Mengalir, sangat mengasyikkan, sangat menyenangkan. Mereka tidak menyangka, bahwa pendekatan saintifik bisa diterapkan dengan sesederhana itu. Sebelumnya mereka membayangkan, pendekatan saintifik hanya bisa dilakukan di lab, memerlukan fasilitas yang memadai, penuh dengan penyelidikan, eksperimen, dan hal-hal yang sulit dilakukan, terutama oleh sekolah-sekolah di pelosok. Mereka baru menyadari, bahkan mata pelajaran sejarah, bahasa, seni, dan olah raga, bisa dengan mudah menerapkan 5M itu, mengamati, menanya, mencoba, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan. Mereka sudah membuktikan, saat mempelajari K-13, mereka melakukan pengamatan dengan cara membaca dan mendengarkan. Mereka juga menampilkan banyak pertanyaan yang tidak sekedar membutuhkan jawaban mudah, namun pertanyaan yang membutuhkan analisis dan sintesis. Mereka juga mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu dengan memanfaatkan materi yang mereka miliki, berdiskusi, dan bertanya pada narasumber. Setelah itu, mereka berusaha menghubungkan pemahaman mereka dengan pengalaman di lapangan, dan juga dengan sumber-sumber lain. Selanjutnya, mereka mengkomunikasikan hasilnya untuk memperoleh kesimpulan bersama.

Ya. Para guru itu baru saja membuktikan, betapa pembelajaran yang interaktif, menantang dan membebaskan, akan sangat menyenangkan dan membuat betah siapa pun yang belajar. Mereka juga menyadari, dalam proses itu, sikap jujur, tanggung jawab, teliti, tangguh, juga dikembangkan. Begitu juga keterampilan berkolaborasi dan berkomunikasi. Artinya, sikap, pengetahuan dan keterampilan yang disyaratkan dalam pembelajaran dengan K-13, dapat dibangun melalui pendekatan saintifik.

Sore itu saya memberi hadiah buku bagi empat kelompok terbaik. Mereka senang sekali menerima "Mimpiku, Mimpimu, Mimpi Kita", "Ibu Guru, Saya Ingin Membaca", "Jangan Tinggalkan Kami", dan "Berbagi di Ujung Negeri." Buku-buku itu lekat dengan kehidupan mereka. Selain karena sebagian besar setting-nya di NTT, juga karena tulisan-tulisan di dalam buku itu sangat menggugah.

Hari kedua, diskusi dilanjutkan dengan penyusunan RPP. Saya memberikan materi RPP lengkap dengan peraturan-peraturan menteri, terkait kerangka kurikulum serta kompetensi inti dan kompetensi dasar semua jenjang pendidikan. Saya juga memberi contoh RPP yang menerapkan pendekatan saintifik, bagaimana mengemas proses pembelajarannya sampai pada penilaiannya. 

Seperti hari kemarin, diskusi begitu gayeng. Tidak henti-hentinya guru-guru itu berdebat, saling menanggapi, saling melengkapi. Saya sampai merasa tidak sedang berada di Kupang, salah satu wilayah di Indonesia bagian timur yang katanya SDM-nya sangat rendah kualitasnya itu. Saya baru sadar, guru-guru ini pasti bukanlah termasuk SDM yang rendah itu. Mereka datang jauh-jauh untuk ikut pelatihan di tempat ini atas inisiatif mereka sendiri. Mereka membayar biaya pelatihan dengan uang mereka sendiri. Mereka datang dari tempat-tempat yang jaraknya puluhan kilometer, ada yang dari Amarasi Barat, Amarasi Selatan, Semau Selatan, Besmarak, bahkan dari Amfuang Timur, wilayah yang berbatasan dengan Timur Leste. Mereka seperti orang-orang yang kehausan dan ingin sepuas-puasnya minum dari sumber air pengetahuan. Sampai takjub saya melihatnya.

Saya bertanya kepada mereka: "adakah guru yang paling bapak ibu ingat, ketika bapak ibu bersekolah di SD, SMP, SMA atau SPG? Apa yang membuat bapak ibu selalu mengingatnya?"

Para guru itu berebut menjawab. Ada yang mengatakan, dia ingat selalu seorang guru SMP-nya karena guru itu sangat menyenangkan ketika mengajar, dia juga tidak suka menghukum seperti guru-guru lain. Ada juga yang mengatakan, dia ingat seorang gurunya saat SMA karena guru itu suka memukul dan membentur-benturkan kepala anak-anak ke tembok.

"Jadilah guru yang dikenang oleh siswa-siswa karena hal-hal baik, bukan karena hal-hal buruk. Apakah bapak ibu ingin dikenang karena hal-hal baik atau karena hal-hal buruk, itu adalah pilihan." Kata saya. "Tentu kita ingin, siswa-siswa kita mengenang kita, karena hal-hal baik yang telah kita tanamkan pada diri mereka, hal-hal baik yang itu berguna untuk bekal mereka menjalani kehidupan mereka."

"Apakah kita ingin menjadi guru yang dinantikan kehadirannya, ataukah menjadi guru yang menakutkan, momok, bagi siswa-siswa kita?"

Guru-guru itu menjawab serempak, mereka ingin menjadi guru yang dirindukan, yang dinantikan kehadirannya oleh para siswa.

"Maka kita harus menjadi teladan bagi siswa kita. Kata pepatah, poor teacher tells, good teacher teaches, best teacher inspires the students. Kita harus bisa menjadi guru-guru yang mampu menginspirasi. Untuk bisa menjadi guru-guru yang mampu menginspirasi, kita harus menjadi teladan. Jangan menuntut siswa untuk berdisiplin kalau kita sendiri tidak bisa disiplin, datang ke sekolah seenaknya, mengajar hanya formalitas, tidak menghargai siswa, suka memukul, suka menyalah-nyalahkan, dan seterusnya."

Di akhir pelatihan, saya memanggil peserta yang paling tua di ruangan itu. Seorang ibu, usianya 74 tahun, ya, 74 tahun, dengan sigap maju ke depan. Disusul dengan seorang bapak dan seorang ibu juga, yang ternyata usia mereka 'masih' 59 tahun. Dua orang itu terpaksa mundur karena kalah tua. Saya memberikan hadiah buku pada ibu yang paling senior itu (saya lupa namanya). Meski usianya 74 tahun, dia masih aktif mengajar, karena di yayasan tempat dia mengajar masih terus menugasi dia. Semangat belajar yang terus menyala, sangat nampak dari caranya berbicara, mendapatkan applaus dari semua peserta.

Saya juga memanggil peserta yang termuda. Ada empat peserta yang maju. Yang termuda dari mereka, Ibu Maria, 24 tahun, memperoleh hadiah buku. Satu lagi, meskipun tidak termuda, 25 tahun, juga mendapatkan hadiah buku, karena tepat hari ini, dia berulang tahun. Wow, betapa senangnya dia mendapatkan hadiah buku di hari ulang tahunnya. Dia juga mendapatkan ucapan selamat dari para peserta yang lain.

Kemudian saya juga memanggil peserta yang rumahnya paling jauh. Ada tujuh peserta yang maju dan mengklaim bahwa merekalah peserta yang rumahnya paling jauh. Padahal buku tinggal tiga. Maka saya bertanya pada para peserta yang lain, "siapa tiga di antara tujuh orang itu yang berhak menerima buku?" Dan riuh-rendahlah ruangan. Tidak hanya para peserta yang ramai, tapi juga tujuh orang itu ramai sendiri di depan. Mereka berdebat dan berusaha meyakinkan saya dan semuanya bahwa merekalah yang datang dari tempat yang paling jauh. Kami juga terpingkal-pingkal menyaksikan betapa mereka bertengkar sendiri gara-gara memperebutkan buku itu. Akhirnya, setelah dibantu oleh para peserta, saya memutuskan untuk memberikan buku kepada tiga peserta. Yang lainnya, saya minta untuk menuliskan alamatnya, dan saya janjikan bahwa saya akan mengirimkan buku di alamat tersebut. Legalah mereka. Tanpa dikomando lagi, mereka bergegas menuliskan alamat mereka di secarik kertas, dan diserahkannya kepada saya. Bahkan yang tidak termasuk nominasi pun, ikut-ikutan menyerahkan alamat mereka ke saya.

Senang sekali bisa bersama para guru yang hebat itu.  Rasa lelah saya terobati dengan semangat mereka. Mereka juga nampak sangat puas dengan apa yang mereka pelajari selama dua hari ini. Wajah mereka berseri-seri.  Usai pelatihan, mereka berebut ingin berfoto dengan saya, dan beberapa dari mereka bahkan berusaha mencium tangan saya ketika bersalaman, sesuatu yang bukan kebiasaan orang NTT. Saya katakan ke mereka, apa yang kita pelajari dua hari ini tidak akan ada gunanya kalau kita tidak mencoba menerapkan dan membagikannya pada rekan guru yang lain. Ilmu itu bermanfaat kalau diamalkan. Kita akan tahu kelebihan dan kekurangan K-13 kalau kita mau memahaminya dengan baik dan mencoba menerapkannya. Learning by doing.

Selamat berjuang, guru-guru yang baik. Selamat jalan dan kembali ke pelosok-pelosok tempat kalian mengabdi. Nyalakan lilin-lilin untuk menerangi kegelapan....

Kupang, 7 Juni 2014

Wassalam,
LN