Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Catatan Perjalanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Perjalanan. Tampilkan semua postingan

Senin, 02 Juni 2014

Please Note Your Boarding Time

Pagi ini saya kembali menyapa Juanda. Hari ini saya dan besok terjadwal melakukan monitoring dan evaluasi (monev) Program PPG di UNY. Bila on time, saya akan menumpang Wings Air menuju Yogyakarta pada pukul 07.10. Diperkirakan pukul 08.20, saya akan tiba di Yogyakarta.

Di pintu masuk bandara, saya bertemu Mendikbud M. Nuh, bersama ajudannya, Mas Rizal, polisi yang tinggi semampai  dan ngganteng itu. Pak Nuh  tersenyum lebih dulu ke saya. "Selamat pagi, Pak." Saya mengulurkan tangan, tapi, tidak seperti biasanya, beliau menolak bersalaman. Mungkin beliau habis wudhu dan bersiap salat dhuha. Atau mungkin karena sebenarnya beliau tidak suka bersalaman dengan lain jenis, khas kyai NU, kecuali terpaksa. Hehe. Mas Rizal, yang dalam kondisi rileks biasanya sangat 'celelekan', kali ini 'macak' sopan, formal, dan tidak banyak cakap.

Saya mengantri di barisan penumpang Wings Air. Pak Nuh dan ajudannya berlalu, Mas Rizal bilang, 'bapak' naik Twin Air.

Setelah menerima boarding pass, saya langsung naik ke lantai dua. Dua orang gadis menyambut di ujung tangga, dengan membawa papan kecil berwarna biru dengan tulisan putih. Saya sempat membaca di salah satu papan itu. "Please note your boarding pass." Oya, saya jadi ingat, beberapa waktu yang lalu, saya mendengarkan informasi dari televisi kalau sejak Juni 2014, pengumuman naik pesawat tidak lagi akan dilakukan di Bandara Juanda. Penumpang harus mencermati waktu boarding-nya masing-masing, karena kalau tidak, mereka bisa ketinggalan pesawat.

Maka saya bayangkan Bandara Juanda sejak hari ini akan sunyi dan tenang, tidak ramai oleh pengumuman-pengumuman masuk pesawat yang sambung-menyambung seperti biasanya. Dan benar. Beberapa waktu duduk di ruang tunggu, saya tidak mendengar pengumuman apa pun. Bagus. Ini akan membuat penumpang lebih hati-hati dan lebih cermat terkait dengan waktu boarding. Ini juga akan membuat penghematan energi karena bandara tidak harus menggunakan loud-speaker terus-menerus. Juga lebih ramah lingkungan, mengurangi polusi suara.

Tapi, olala. Ternyata perkiraan saya meleset. Pengumuman pertama terdengar di seantero gedung. Pengumuman untuk penumpang yang mengandung, membawa bayi di bawah enam bulan, serta yang sedang sakit cacar, supaya mereka lapor. Juga pengumuman kedua, untuk penumpang Lion Air yang membawa bagasi lebih dari satu koli, yang diminta melapor kembali ke konter check in.

Baiklah, kalau pengumuman terkait dengan hal-hal itu, bolehlah. Itu pengumuman penting. Untuk pengumuman waktunya naik pesawat, mungkin tidak akan diumumkan seperti yang sudah diinformasikan.

Tapi, sekali lagi, dugaan saya meleset. Pengumuman demi pengumuman ternyata masih juga berkumandang. Mulai Lion Air yang akan terbang ke Balikpapan, dan lain-lain, sampai akhirnya Wings Air jurusan Yogyakarta. Itu pesawat saya. Maka masuklah saya ke badan pesawat ATR itu.

Mungkin karena saat ini masih masa transisi, meski Bandara Juanda sudah menyampaikan kalau setiap penumpang harus memperhatikan waktu boardingnya masing-masing, informasi waktu naik pesawat masih juga diumumkan. Ya sudahlah, karena masih masa transisi, bisa dimaklumi. Yang akan datang, pasti semuanya akan berjalan sesuai rencana.

Jadi, perhatian untuk semua penumpang yang akan berangkat dari Bandara Juanda, please note your boarding time....


Yogyakarta, 2 Juni 2014

Wassalam,
LN

Senin, 12 Mei 2014

Sorong 9: Kembali ke Surabaya

Pagi masih gelap saat Dian, pemandu kami mengetuk pintu  kamar. "Morning call, morning call." Suaranya memecah keheningan.
"Okay.....sudah bangun." Sahut Mbak Desi, teman sekamar saya.

Pagi ini, kami harus sarapan pukul 05.30. Serasa seperti makan sahur. Ya, karena hari masih gelap, lampu-lampu masih menyala. Tapi, meskipun tidak terbiasa sarapan sepagi itu, kami makan lahap saja: roti panggang, mi rebus, dan pisang goreng yang masih panas. 

Pukul 6.30, kami sudah siap di dalam speedboat. Cuaca cerah, sangat bersahabat. Marion dan Didik, dua sejoli yang menjadi host di Raja Ampat Dive Resort, melepas kami di dermaga, bersama dua orang kru. Melambai sampai speedboat kami menjauh. Menembus kabut tipis, berlomba dengan burung-burung laut yang terbang rendah, mengarungi Selat Dampir menuju Sorong.

Di speedboat, saya menulis, membuka tab, melihat foto-foto. Seperti tak percaya, saya baru saja meninggalkan Raja Ampat. Negeri surga. Pulau-pulau cantik nan molek. Penduduknya yang ramah, berkulit hitam, berambut keriting, berbulu mata lentik yang menaungi mata hitamnya yang bulat penuh. Oh Tuhan....betapa saya jatuh cinta pada tanah ini. Pada orang-orang ini. 

Sebersit perasaan sedih menyelinap. Dalam beberapa kali mengobrol dengan Rani, pemandu kami yang lincah dan cerdas lagi intelek itu, ada kekhawatiran pada pendidikan anak-anak di kawasan Raja Ampat. Di sebuah kampung, namanya Tanjung Besi, ada puluhan KK dengan ratusan jiwa di sana, dan anak-anak biasanya suka melongok para pelancong yang melintasi kampung mereka dari jendela-jendela rumah. Anak-anak itu, banyak yang tidak bersekolah, karena di kampung mereka tidak ada sekolah. Di sisi lain, di banyak bagian di Papua ini, ada banyak gedung sekolah yang bagus, tapi guru tidak ada. Kalau ada guru pun, mereka jarang datang ke sekolah, dengan berbagai alasan. Banyak anak lulusan SMA yang bingung mau ke mana, sekolah tidak, kerja belum, akhirnya kerjanya hanya mabuk-mabukan saja. Mereka masih muda. Energi mereka besar. Namun nampaknya, wahana untuk menyalurkan energi itu masih sangat terbatas. Maka pelampiasannya adalah di jalan-jalan, mabuk, dan aktivitas-aktivitas kontraprodutif lainnya.

Saya membandingkan kondisi tersebut dengan kondisi di wilayah-wilayah 3T yang lain. Nyaris sama. Begitulah. Dengan otak yang terus dijejali alkohol, bagaimana orang bisa berpikir jernih, berperilaku halus penuh pertimbangan, dan belajar dengan baik? Bagaimana orang terbiasa berpikir pendek bisa menerima perubahan dengan hati terbuka?  

Tentu tidak semua seperti itu. Banyak orang Papua yang berhasil, intelek dan populer. Walikota Sorong dan Bupati Kabupaten Sorong juga orang asli Papua. Rektor UNIPA, PTN satu-satunya di Papua Barat, adalah doktor lulusan Oxford University, perguruan tinggi ternama di dunia. Orang Papua juga terkenal dengan kepiawaiannya dalam sepak bola. Sebut saja nama yang ada di timnas, Tibo, Oktavianus, Patrich, Boas, dan lain-lain. Mereka hebat memainkan bola, mengharumkan nama Indonesia. Kita juga tentu masih ingat, ada anak-anak Papua yang memenangi olimpiade Matematika dan Fisika tingkat nasional dan dunia dan juara nasional membuat robot. Kalau kita mengintip di Wikipedia, ada sejumlah orang terkenal Papua atau yang secara genetis berdarah Papua, yang dibagi dalam kelompok agamawan dan teolog, ahli dan akademisi, aktivis dan pejuang, juga atlet yang terdiri dari puluhan pesepakbola dan olah raga lain seperti lari, lempar lembing, tolak peluru, petinju, angkat besi dan lain-lain, militer dan polisi, pahlawan nasional, menteri dan pejabat tinggi, politisi dan negarawan, serta seniman sastrawan dan budayawan. Nama Domine Eduard Osek, adalah juga pahlawan asli Papua yang sangat disegani sampai-sampai namanya diabadikan sebagai nama bandara. 

Artinya, Papua sesungguhnya memiliki potensi untuk bisa maju dan berkembang cepat seperti wilayah-wilayah lain di Indonesia bagian barat. Ada banyak upaya yang telah dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, juga organisasi-organisasi lain semacam LSM. Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang langsung di bawah komando wakil presiden juga dimaksudkan untuk mendorong kemajuan Papua dan Papua Barat. Berbagai program afirmasi juga telah dilaksanakan beberapa tahun dan memberi manfaat bagi para pemuda Papua untuk maju sejajar dengan teman-temannya di kota-kota besar di Indonesia. 

Namun begitu, upaya pemberdayaan tidak akan bisa berjalan dengan cepat bila Papua tidak bangkit dengan sepenuh keinginannya. Papua harus membangun kesadaran diri sendiri untuk bangun, untuk menjadi wilayah yang berdaya. Membuang hal-hal buruk yang akan menghambat    kemajuan, belajar dari banyak tempat dan orang-orang, membuka diri untuk sebuah perubahan. 

Dalam upaya tersebut, pendidikanlah yang seharusnya menjadi penggerak utama. Bicara tentang pendidikan, artinya bicara tentang guru. Guru harus menjadi contoh tentang kebaikan, kerja keras, kedisiplinan, religiusitas, penghormatan pada keberagaman, kecintaan pada belajar, kasih sayang pada anak didik, dan kepedulian pada sesama. Tidak sebaliknya, suka mangkir dari tugas, main pukul pada anak didik, mabuk dan berjudi, mengancam, mengintimidasi, dan membenci orang-orang yang ingin membawa perubahan ke arah kebaikan. 

Sedih memang, menyadari kenyataan pahit tersebut. Namun begitu, kita tidak boleh kehilangan semangat, untuk terus melakukan sesuatu, menebarkan hal-hal baik, menyemai benih-benih kasih sayang, agar setidaknya, mereka menyadari bahwa ada banyak tangan yang siap merangkul mereka, membimbing mereka menuju peradaban yang lebih unggul. 

Baiklah. Saat ini saya sedang berada di ruang tunggu Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, menunggu boarding. Saya terpisah dari rombongan Jakarta karena satu-satunya dari Surabaya hanya saya. Kami berangkat bersama-sama menumpang Garuda dari Sorong pukul 14.30 WIT tadi. Bersama rombongan Mendikbud juga. Tapi Mendikbud ada di kelas eksekutif, tidak seperti Jokowi yang tetap memilih duduk di kelas ekonomi...hehe. Sebentar lagi, kalau on time, saya akan masuk pesawat. 

Nah, ini dia, waktunya masuk pesawat. Boarding time. Sampai jumpa di Surabaya.

Makassar, 12 Mei 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 11 Mei 2014

Sorong 8: Snorkeling, Yes!

Dan di sinilah kami. Di ketinggian bukit Pianemo. Setelah berspeedboat sekitar satu setengah jam dari Pulau Waigeo dan menempuh sekitar tiga puluh menit perjalanan mendaki bukit batu yang terjal dan menanjak tajam. Batu-batu karang yang permukaannya runcing-runcing, sangat berbahaya bila terinjak kaki. Maka sepatu harus memadai. Sepatu yang tidak licin, yang alasnya tidak lunak, karena kalau lunak bisa tertembus batu karang.

Di bawah sana, adalah gundukan-gundukan pulau. Seperi jamur-jamur raksasa yang ranum, hijau muda, hijau tua, kebiruan, menghampar di atas air tenang bak pualam. Saya pernah melihat pemandangan ini di internet, di televisi, di kalender. Tapi tentu saja yang saat ini saya lihat jauh lebih indah. Tuhan......ingin rasanya saya berteriak histeris menatap  lukisan alam tiga dimensi itu. Luapan kekaguman pun berhamburan dari semua orang yang ada di puncak bukit. Juga ketercekatan. Tercekat. Ya, tak terbayangkan keindahan seperti ini ada di atas bumi. Ini bukan dunia. Ini surga. Benar-benar surga.

Maka sesi pengambilan gambar pun berlangsung. Terjadi sangat alamiah. Dengan berbagai pose. Di setiap titik-titik berbahaya itu, di atas batu-batu karang. Dengan latar belakang gundukan ratusan pulau. Ya, Raja Ampat memang terdiri dari ratusan pulau. Pulau, dimaknai semua daratan yang menyembul di atas laut. Maka daratan kecil-kecil pun dihitung sebagai pulau. 

Rasanya ingin sekali berlama-lama di atas bukit terjal ini. Memandangi gundukan-gundukan pulau sesuka-sukanya. Seperti tak kunjung puas menikmati setiap lekuknya, keseksiannya, kecantikannya, kemolekannya. Bukit terjal ini, yang harus kami daki dengan susah payah, seperti mewakili perjuangan hidup. Begitu sampai di puncaknya, hadiah indah telah menanti, suguhan alam nan mempesona. Seperti itulah hidup. Bila kau ingin mendapatkan sesuatu, sebuah kenikmatan, kebahagiaan, maka raihlah itu, namun kau harus berjuang demi mendapatkannya.

Turun dari ketinggian, kami kembali berspeedboat. Sementara teman-teman masuk ke speedboat, saya mengambil air wudhu di sebuah toilet di pinggir pantai. Lantas terburu-buru menyusul masuk ke speedboat. Salat di dalam speedboat sebisanya. Setidaknya, menghormati waktu salat. Nanti disempurnakan lagi kalau sudah tiba di daratan. 

Perjalanan menuju Arborek. Kata kapten speedboat, perjalanan akan memakan waktu sekitar 30 menit. Laut berombak keci, dan speedboat terhentak-hentak saat melaju. Lumayan keras. Saya pernah mengalami perjalanan yang lebih berat dan lebih lama dengan menumpang speedboat. Saat mengarungi Samudera Pasifik dan Sungai Mamberamo, menuju Kasonaweja, Mamberamo Raya. Meski begitu, doa yang diajarkan ibu nyaris tak pernah jeda saya lafalkan terus-menerus di dalam hati. Bismillaahi majreeha wamur saaha inna robbi laghofuu rurrohiim.

Tibalah kami di Arborek. Sebuah perkampungan yang dipenuhi dengan anak-anak berkulit hitam, berambut keriting, bermata lentik, dan bola mata hitam bulat penuh. Anak-anak itu ramah sekali, tidak seperti kebanyakan anak di daerah 3T. Mereka semua juga sadar kamera. Langsung bergaya ketika kami akan memotretnya. Oh, ternyata di antara mereka ada Marion, bule asal Perancis itu. Anak-anak itu sedang mengerubuti Marion dan mengacak-acak rambutnya. Mereka bilang, Tante Bule rambutnya banyak yang putih, dan mereka akan membantu mencabuti rambut-rambut putih itu. Tentu saja yang dimaksud rambut putih adalah rambut pirang. Marion duduk rileks saja di dermaga dan membiarkan anak-anak manis itu berebut memilih-milih rambut putihnya. Haha. Lucu sekali.

Acara pertama makan siang dulu. Menunya, nasi putih, ca sawi jagung manis, balado terong, ayam goreng tepung dan telur rebus yang dibumbu (semacam bumbu bali). Karena perut lagi lapar-laparnya, maka kami pun makan dengan lahap. Saya juga sempat salat lagi, menyempurnakan salat saya di speedboat tadi, di rumah penduduk, dengan meminjam tikar untuk alas salat.

Nah, ini dia acara yang dinanti-nanti. Snorkeling, yes! Wow, tak terbayangkan betapa indah pemandangan di dasar laut yang akan kami lihat nanti. Kami semua langsung bersiap. Memasang pelampung bagi yang tidak bisa berenang (termasuk saya), memasang snorkel di muka dan fin di kaki. Siap sudah.

Karena kemarin sore sudah dilatih sama pemandu di Pulau Freewen, hari ini kami langsung mahir. Begitu masuk ke laut yang dalamnya sekitar enam meteran, posisi kami langsung seimbang. 
"Oke, kita wisata laut ya..." Kata Dian, pemandu saya. Dia meminta saya memegang pelampung yang menghubungkan saya dengannya. Menjelajah laut dan menikmati apa pun di kedalamannya. 

Pokoknya, luarrr biasa. Tak terkatakan indahnya. Ikan-ikan itu, batu-batu karang itu, belut laut, ubur-ubur, bintang laut, merah-merah, kuning-kuning, biru-biru, hijau-hijau, semua warna-warna, bentuk-bentuk, yang diam dan bergerak-gerak, yang menghampar di bawah sana... Subhanallah, Allahu Akbar. Tidak salah kalau Raja Ampat dikatakan sebagai tempat ekspedisi bawah laut terbaik di dunia. Meski saya tidak pernah melihat di tempat lain, kecuali di Pasir Putih Sirubondo dan di beberapa laut dangkal di Jawa, namun saya tak bisa membayangkan yang lebih indah dari yang saya lihat di Raja Ampat. 

Tentu saja hari ini, selain di Arborek, kami masih akan mengunjungi tempat lain. Tempat-tempat yang pasti tidak kalah eksotisnya. Tentu saja tidak akan bisa mengunjungi semua tempat di Raja Ampat ini. Kata Dian dan Rani, pemandu kami, untuk bisa menikmati semua pulau di Raja Ampat, waktu yang dibutuhkan setidaknya seminggu. Wow, seminggu? Asyik punya tuh...hehe.

Sore ini, saya ingin segera mengunggah foto-foto saya di FB. Saya ingin menulis status tentang betapa Maha Indah Dia yang Maha Memberi Keindahan, dan betapa Maha Pengasih Dia Yang Maha Memberi Waktu, Kesempatan, Energi, dan Rasa Syukur.

Fabiayyi alaaairobbikumaa tukadzdzibaan....

Raja Ampat, 11 Mei 2014

Wassalam,
LN

Sabtu, 10 Mei 2014

Sorong 6: Ke Raja Ampat

Pagi ini adalah acara puncak itu: upacara Hardiknas, di alun-alun Aimas, alun-alun Kabupaten Sorong. Tentu saja Mendikbud dan semua rombongannya ada di sana. Saya, seperti biasa, tidak betah hanya duduk. Setelah menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, saya beringsut mendekati kerumunan wartawan yang ada di sekeliling panggung besar. Ikut memotret-motret apa pun pertunjukan yang digelar di atas panggung, termasuk sambutan demi sambutan. Saat seorang ajudan Mendikbud melihat saya, kebetulan dia mengenali saya, dia menggeser tubuhnya dan menyilakan saya berdiri di depannya. Saya tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Semalam, saya tidak bisa seleluasa ini. Semalam, di Rumah Makan Aquarius, digelar acara Silaturahim Mendikbud dengan Peserta SM-3T Wilayah Papua dan Papua Barat, sekaligus penganugerahan Rekor MURI kepada Mendikbud dan Dirjen Dikti, untuk pengiriman 7.962 Sarjana Pendidikan ke Daerah 3T. Saya didapuk sebagai pemandu acara. Weleh, jauh-jauh dari Surabaya ke Sorong, ternyata ada gunanya juga.

Selain sibuk memotret ke sana kemari, saya juga bergerak dari satu stand pameran ke stand pameran yang lain. Selain, tentu saja, di stand Pameran Foto SM-3T yang ada di ujung deretan. Stand SMK 2 Kabupaten Porong cukup menarik perhatian saya. Di sana ada pernak-pernik kebogaan, selain juga kecantikan dan kebusanaan. Seorang guru, Ibu Butar Butar, memamerkan produk jus buah merah segar. Wow, tentu saja saya tertarik. Segelas jus buah merah yang segar lansung membasahi kerongkongan saya yang memang lagi kering-keringnya. Seorang guru yang lain, Ibu Widya, lulusan Tata Boga UM, meminta saya untuk berfoto bersama, ketika saya mengaku dari Tata Boga Unesa.

Usai upacara, Mendikbud dan rombongannya melanjutkan perjalanan ke UNIPA, karena di sana sudah ditunggu dengan serangkaian acara yang lain. Kami, tim Dikti, tidak bergabung, melainkan kembali ke hotel. Pagi ini, kami akan checkout, dan bersiap ke Raja Ampat.

Ya, Raja Ampat. Tak pernah terpikir suatu saat saya akan melancong ke Raja Ampat. Tempat yang menjadi impian para wisatawan itu. Jarak dan biaya untuk mencapainya seperti tak mudah bagi setiap orang untuk memperoleh kesempatan itu. Alhamdulilah, kuasa Allah, hari ini saya mendapatkannya. 

Sebenarnya, begitu tiba di Sorong, saya dan Prof. Selamat dari Unimed, sudah mencoba mencari tiket pesawat untuk pulang tanggal 10 Mei. Bermaksud untuk kembali ke tempat kami masing-masing. Kepikiran sama tugas-tugas dan keluarga. Ternyata tiket tidak ada, bahkan sampai tanggal 12 Mei, full booked. Saya SMS ke Mas Ayik: "Mas, haruskah aku ikut ke Raja Ampat?" Jawab Mas Ayik, "Ya, sayang, ikut saja, itu kesempatan buat kamu. Nikmati. Mosok uwong kok kerjo terus. Sekali-sekali rileks. Oke?"

Ya sudah, saya menyerah. Toh tiket pesawat juga tidak ada. Mau pulang pakai kapal laut? Weleh-weleh.... Kampul-kampul di atas laut malah tidak nyampai-nyampai....

Jadilah siang ini, kami ber-18 orang berada di dalam speedboat. Semua bagasi kami masuk. Tiga orang pemandu wisata, Dian, Rani, dan Ferdi, dengan seorang driver, menemani kami mengarungi Selat Dampiar, menuju sebuah pulau di Kabupaten Raja Ampat. Dua jam perjalanan untuk sampai ke Pulau Freewen. Serangkaian agenda sudah disiapkan oleh para pemandu. Sekarang, yang penting, tidur dulu. Mengendapkan kantuk, melenturkan otot-otot, menghimpun stamina yang sempat terforsir untuk berbagai kegiatan sebelumnya...

Sampai jumpa di Raja Ampat.

Selat Dampiar, Raja Ampat, 10 Mei 2014

Wassalam,
LN

Sorong 5: The Silent Hero

Pagi yang basah di Sorong. Mendung menggantung di langit. Meski begitu, cuaca tak menyurutkan masyarakat Sorong dan sekitarnya untuk memenuhi alun-alun. Pagi ini, Mendikbud akan melakukan jalan sehat, jalan keakraban bersama anak sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat Sorong. 

Saya bersama tim sendiri sudah sejak sekitar pukul 06.00 membaur di kerumunan itu. Dasar saya, setelah sebentar beramah-tamah dengan para pejabat kemdikbud, UNM, dan Pemda Sorong, saya menyelinap di antara kelompok-kelompok dengan kostum warna-warni itu. Memotret tulisan di punggung-punggung mereka.  


STKIP Muhammadiyah Sorong, SM-3T Universitas Negeri Gorontalo Angkatan III, SD Inpres 44 Klamalu, SD Inpres 41 Malawele Aimas Sorong, MI Al-Ikhtiar Al Ma'arif Kabupaten Sorong, MIN Malawele Kabupaten Sorong, SD Inpres 39, MB. Gema Harmoni SMP 3 Sorong, SMA Bethel Aimas Kabupaten Sorong, IGTKI PGRI Kabupaten Sorong, SD Negeri 27 Mariyai Kabupaten Sorong, dan seterusnya. Asyik juga mengumpulkan tulisan-tulisan di punggung-punggug itu. 

Jalan sehat berjalan lancar. Entah di mana teman-teman tim, saya melesat jauh meninggalkan mereka. Bak wartawan yang tidak jelas dari surat kabar apa, saya sibuk memotret ke sana kemari. Berlomba dengan belasan wartawan dari berbagai media. Masa bodoh. Memang hanya wartawan saja yang boleh menyusup ke mana pun dan potret sana-sini. Hehe. 

Jalan sehat diramaikan oleh kelompok drumband SMP 3 Sorong. Suaranya berdentum-dentum mengiringi lagu-lagu daerah dan lagu-lagu nasional. Mayoretnya, laki-laki dan perempuan, lincah bergerak-gerak memberi komando. Ribuah peserta jalan keakraban mengikuti gerak langkahnya. Mendikbud dan para pejabat berada di barisan terdepan, persis di belakang barisan drumband.

Usai jalan sehat yang hanya memakan waktu sekitar satu jam, rombongan kembali ke alun-alun. Pameran foto SM-3T serta penulisan kesan dan kemanfaatan SM-3T berpadu dengan hiburan di panggung besar dan pengambilan undian berhadiah. Luar biasa ramainya. 

Saya seperti tidak sedang berada di Papua. Ini bukan daerah tertinggal. Bukan daerah yang minim penduduknya, bukan daerah yang masyarakatnya sulit diajak berubah. Lihatlah. Yang duduk di kursi-kursi itu saja, jumlahnya ada 1500 orang lebih. Ya, pasti. Karena kursi itu sudah disiapkan untuk 1500 orang lebih, yang terdiri dari anak sekolah, guru, orang tua dan masyarakat, untuk menuliskan kesan dan kemanfaatan program SM-3T. Belum yang di luar kursi-kursi itu, yang jumlahnya bisa dua tiga kali lipat. Gila. Sepanjang pengalaman saya menginjak daerah tertinggal, tidak pernah saya melihat kerumunan orang sebanyak ini.

Semua acara berjalan lancar. Tim sebelas, panitia inti yang menjadi event organizer acara, benar-benar menunjukkan ketangguhannya. Tim sebelas itu terdiri dari Akhiruddin dan sepuluh temannya yang lain, alumni SM-3T angkatan pertama. Mereka adalah alumni UNM, LPTK yang menjadi tumpuan bagi suksesnya seluruh rangkaian acara, mulai dari awal sampai akhir. Tim pusat, tanpa fasilitasi UNM, Pemda Sorong, dan seluruh masyarakat Sorong, tak akan bisa berbuat banyak.

Pagi ini, penganugerahan Rekor MURI untuk Kemdikbud, dengan penulisan 1500 kesan dan kemanfaatan Program SM-3T, diberikan oleh Bapak Paulus, perwakilan dari MURI, kepada Mendikbud, Prof. Dr. Muhammad Nuh. Sebanyak 1500 kesan yang ditulis di selembar kaus, terkumpul sebagai bukti kecintaan anak sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat Papua, pada SM-3T. Hampir semua kesan yang ditulis begitu mengharukan sekaligus membanggakan. Salah satu tulisan yang begitu mengesankan Mendikbud dan banyak orang adalah: "SM-3T, The Silent Hero." 

The Silent Hero. Ya, guru-guru itu tidak banyak cakap, tidak banyak bicara, tidak banyak publikasi, dalam segala keterbatasan dan kesulitan, mereka bergerak, mengetuk pintu hati setiap siswa, setiap pendidik, setiap orang tua, mengajak mereka semua untuk bangun, bangkit, pelan namun pasti, meninggalkan lorong-lorong gelap, menuju sebuah tempat yang terang-benderang. Guru-guru itu mengisi hati dan jiwa-jiwa yang kosong, memenuhinya dengan sentuhan penuh kasih sayang, dengan pengetahuan, keterampilan, dan kecintaan pada Tanah Air. Mereka datang di ujung-ujung negeri, merangsek menembus hutan belantara, melanggar derasnya sungai-sungai, menerjang terjalnya bukit dan batu karang, menyalakan pelita-pelita, dan memancarkan cahaya di mana-mana. Bagi mereka, menjadi guru di daerah-daerah tertinggal, bukan masalah pengorbanan, tapi masalah kehormatan. Kehormatan sebagai bangsa dan negara yang harus terus diperjuangkan. Mereka berjuang melalui jalan lain. Tidak mengangkat senjata, tidak membawa tombak dan anak panah, kecuali hanya sebuah pena, sebuah pelita, dan segunung ketulusan. Guru-guru itu, merekalah 'the silent hero' itu....  

Sorong, 9 Mei 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 08 Mei 2014

Sorong 4: Pesta Bakar Batu dan Dokter Peradaban

Sore ini Sorong hujan deras. Tapi kami musti berlomba dengan waktu. Bagi tugas dengan anggota tim. Sebagian mengikuti rombongan Mendikbud untuk acara di UNIPA. Sebagian berkonsolidasi untuk menyiapkan acara Pameran Foto dan Silaturahim besok.

Saya, Prof. Ngurah (Undiksha), Prof. Selamat Triono (Unimed) dan Pak Agus Susilohadi (Kasubdit PE Dikti), berangkat ke UNIPA. Dalam guyuran gerimis yang rapat, selepas maghrib, kami menumpang mobil FH UMS, Drivernya, Mas Umar, kelahiran Sorong, tapi berasal dari Enrekang, Sulawesi Selatan. Sejak kemarin, empat driver yang berganti-ganti memandu kami, tiga dari Sulawesi Selatan, satu dari Ciamis, Jawa Barat.

Jarak ke UNIPA lumayan jauh. Sekitar lima belas kilometer. UNIPA Kampus 1 ada di Manokwari. Yang di sini, khusus Fakultas Kedokteran, Kampus 2. Fakultas Pariwisata, Kampus 3, ada di Raja Ampat.  

Sampai di halaman UNIPA, aroma sedap makanan langsung tercium. Malam ini, selain peresmian Gedung Fakultas Kedokteran UNIPA, juga ada acara pesta bakar batu. Bakar batu merupakan budaya khas Papua yang melambangkan rasa syukur, persahabatan dan persaudaraan. Pesta ini biasanya dilakukan untuk acara pernikahan, kematian, dan hajatan yang lain, juga untuk menyambut tamu agung. 

Pesta Bakar Batu juga merupakan ajang untuk berkumpul bagi warga. Dalam pesta ini akan terlihat betapa tingginya solidaritas dan kebersamaan masyarakat. Makna lain dari pesta ini adalah sebagai ungkapan saling memaafkan antar-warga. 

Pada pesta bakar batu, biasanya makanan yang dimasak adalah babi, juga umbi-umbian dan sayur-sayuran seperti daun singkong dan daun pepaya. Namun untuk malam ini, tentu yang dimasak bukan babi, melainkan rusa. Rusa memang menjadi hewan buruan yang masih mudah didapatkan di Papua. Binatang itu, setelah disembelih, dibumbui, dimasukkan ke lubang yang sebelumnya sudah disiapkan. Lubang itu terdiri dari batu yang sudah dipanaskan, dilapisi dan pisang dan alang-alang. Daging yang sudah dipotong-potong dan ditata di lubang itu, ditutup lagi dengan daun pisang dan alang-alang serta bebatuan panas. Begitulah proses memasak berlangsung sekitar satu sampai satu setengah jam. Daging dan umbi-umbian yang dimasak mengeluarkan aroma sedap bersamaan dengan asap yang mengepul dari gundukan bebatuan itu.

Meski nampaknya sederhana, untuk menyelenggarakan pesta bakar batu, diperlukan persiapan yang cukup panjang. Prosesi Pesta Bakar Batu biasanya terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap persiapan, bakar babi, dan makan bersama. Tahap persiapan diawali dengan pencarian kayu bakar dan batu yang akan dipergunakan untuk memasak. Batu dan kayu bakar disusun dengan urutan: pada bagian paling bawah ditata batu-batu berukuran besar, di atasnya ditutupi dengan kayu bakar, kemudian ditata lagi batuan yang ukurannya lebih kecil, dan seterusnya hingga bagian teratas ditutupi dengan kayu. Kemudian tumpukan tersebut dibakar hingga kayu habis terbakar dan batuan menjadi panas. Semua ini umumnya dikerjakan oleh kaum pria.

Di lain tempat, kaum wanita menyiapkan bahan makanan yang akan dimasak. Babi disiapkan, demikian pula dengan sayur mayur dan umbi-umbian.

Kaum pria yang lain menyiapkan sebuah lubang yang besarnya sesuai dengan  jumlah makanan yang akan dimasak. Dasar lubang itu dilapisi dengan alang-alang dan daun pisang. Dengan menggunakan jepit kayu khusus yang disebut apando, batu-batu panas disusun di atas daun-daunan. Setelah itu dilapisi lagi dengan alang-alang. Di atas alang-alang dimasukan daging babi, ditutup lagi dengan dedaunan. Di atas dedaunan ditutup lagi dengan batu membara, dan dilapisi lagi dengan rerumputan yang tebal.

Tahap selanjutnya, hipere (ubi jalar) disusun di atasnya. Lapisan berikutnya adalah alang-alang yang ditimbun lagi dengan batu membara. Kemudian sayuran berupa iprika atau daun hipere, tirubug (daun singkong), kopae (daun pepaya), nahampun (labu parang), dan towabug atau hopak (jagung) diletakkan di atasnya. Kadang-kadang masakan itu ditambah dengan potongan barugum (buah). Selanjutnya lubang itu ditimbun lagi dengan rumput dan batu membara. Teratas diletakkan daun pisang yang ditaburi tanah sebagai penahan agar panas dari batu tidak menguap.

Tiap daerah dan suku memiliki istilah sendiri untuk merujuk kata bakar batu. Masyarakat Paniai menyebutnya dengan gapii atau mogo gapii, masyarakat Wamena menyebutnya kit oba isago, sedangkan masyarakat Biak menyebutnya dengan barapen. Namun tampaknya barapen menjadi istilah yang paling umum digunakan. 

Dalam sambutannya, Mendikbud menyampaikan, dua pilar yang menunjukkan sebuah peradaban unggul atau tidak, adalah pendidikan dan kebudayaan. Kedua hal itu, pendidikan dan kebudayaan, terlihat jelas ada di Sorong. Geliat pendidikan dan kebudayaan begitu terbaca dan nampak di mana-mana. Peradaban Indonesia yang unggul diyakini akan terwujud di wilayah ini. 

Mendikbud juga menjelaskan, mengapa Puncak Hardiknas yang biasanya selalu diadakan di Jakarta, saat ini diadakan di luar Jakarta, dan Sorong menjadi pilihan. Tentu ada alasannya. Sorong ada di Papua. Waktunya dua jam lebih awal dari bagian Indonesia yang lain. Kalau dua jam ini lebih maju, semuanya akan lebih maju. Selain itu, Sorong letaknya persis di kepala burung, tempat otak dari burung itu. Begitulah kata Mendikbud. 

Di Sorong ini, juga ditemukan adanya kombinasi pilar pendidikan dan kebudayaan. Hal ini jugalah yang menyebabkan restu untuk  pendirian Fakultas Kedokteran di Papua diberikan. Bahkan tidak hanya restu, tapi juga dukungan penuh. Fakultas Kedokteran UNIPA diharapkan tidak sekedar mencetak dokter untuk manusia, tapi juga dokter untuk peradaban.

Dokter peradaban. Frasa ini tentunya sangat cocok dengan tema Hardiknas tahun ini: Pendidikan untuk Peradaban Indonesia yang Unggul. Pertanyaannya, seperti apakah peradaban yang unggul itu? Kapankah perdaban yang unggul itu bisa dicapai? Sementara masalah pemerataan pendidikan, kualitas pendidikan, keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan, tak juga kunjung teratasi dari negeri ini? Peradaban yang unggul, semua kita sedang menuju ke sana. Seluruh energi harus diarahkan ke sana. Meski jauh...namun itulah tujuan bangsa dan negara ini.
  
Sorong, 8 Mei 2014


Wassalam,
LN

Sorong 3: We Love Papua

Pagi ini, pukul 09.00 WIT, kami semua sudah siap di lobi. Direktur Diktendik, Prof. Supriadi Rustad, sudah hadir bersama para direktur selingkung Dikti yang lain, yaitu Direktur Litabmas dan Lemkerma. Direktur Belmawa, Dr. Illah Saillah, tidak hadir karena sedang berkunjung ke China. 

Ada beberapa mobil yang sudah disiapkan untuk kami semua. Enam mobil di antaranya disediakan oleh Universitas Muhammadiyah Sorong (UMS). UMS merupakan salah satu PT swasta yang cukup diminati di Sorong, saat ini mahasiswanya sebanyak lima ribu lebih. Selain UMS, ada juga STKIP Muhammadiyah serta Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), satu-satunya PTN di Sorong. Universitas swasta yang lain adalah Universitas Victory, Universitas Kristen Papua (UKIP), Poltek Saint Paul, IKIP Kristen Papua, dan sebagainya.

Kami bergerak menjemput rombongan Mendikbud di Hotel Royal Mamberamo. Tepatnya bukan menjemput, tapi bergabung. Bertemu dengan para pejabat kemdikbud yang lain. Juga bertemu Dr. Sukemi, staf ahli Mendikbud. Beramah-tamah sekedarnya, sebelum akhirnya konvoi bergerak menuju SD-SNP Satap Ninjemor 1, Distrik Moisegen, Kabupaten Sorong. Salah satu SD yang menjadi tempat mengajar para peserta SM-3T. Jaraknya sekitar 60 km, dua jam dari Kota Sorong.

Jalan menuju Kabupaten Sorong kebanyakan adalah jalan beraspal, cukup baik, dan beberapa bagian adalah jalur yang ramai. Sebagian lagi jalan berkelok-kelok, naik turun, berhutan, berbukit. Batas kota dan kabupaten, adalah Taman Wisata Alam (TWA), yang sampai saat ini konon masih menjadi sengketa, apakah TWA itu milik kota atau kabupaten. Di sepanjang jalan ditemui para penjual manggis, langsap, dan buah-buahan lain. Langsap merupakan buah asli Sorong, juga matoa dan durian. Sayang sekali saat ini sedang tidak musim matoa dan durian. Kalau durian bisa didapatkan di mana pun, tapi matoa bukanlah buah yang mudah diperoleh. Buah yang berwarna coklat tua, berkulit tebal, rasa dagingnya mirip kelengkeng itu, baru saya nikmati dua kali saja, saat seorang teman pulang dari Papua. Matoa, adalah hasil bumi khas Papua, selain buah merah, sarang semut dan daun gatal.

Mobil kami melaju cepat. Berlomba dengan mendung tipis yang menggantung di langit. Sorong, bila tidak sedang hujan, suhunya panas sekali. Kata seorang teman dari Dikti, panasnya Makassar digabung Surabaya belum dapat Sorong. Syukurlah hari ini agak mendung, membantu mengurangi panas yang biasanya sangat menyengat.

Jalan antara kota dan kabupaten dulunya merupakan jalan yang rawan dengan tindak kekerasan pemalakan. Para pemalak kebanyakan adalah penduduk asli yang tinggal di hutan-hutan. Mabuk juga menjadi 'budaya', yang sering menimbulkan banyak kericuhan. Beberapa waktu yang lalu, gara-gara ulah orang mabuk yang memukul imam masjid, sempat menimbulkan pertikaian sengit yang menjurus ke SARA.  

Kabupaten Sorong merupakan daerah transmigrasi, mayoritas penduduknya adalah orang Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur). Para transmigran itu datang sejak tahun 1980-an. Yang membuat kabupaten Sorong ramai pada awalnya adalah para transmigran ini. Saat ini, masyarakatnya sudah sangat heterogen, Jawa, Ambon, Sulawesi, China, dan penduduk asli (suku Moi), Ayamaru dan dari suku yang lain. Selain suku Moi, semua suku di sini dianggap sebagai pendatang.  

Jalan mulus hanya sekitar tiga puluh menit saja, sisanya adalah jalan-jalan rusak. SP1, SP2, SP3 dan seterusnya adalah lebih popules untuk menyebut wilayah daripada nama desa. SP singkatan dari satuan pemukiman. Di wilayah SP3, ada sejunlah rumah yang bentuk dan ukurannya seragam, dibangun oleh departemen sosial untuk para penduduk asli. Namun rumah-rumah itu tidak semua ditempati, melainkan disewakan pada orang lain, dan mereka kembali hidup di hutan-hutan.

Memasuki kawasan SP4, barisan anak sekolah dan guru-guru berjejer di sepanjang jalan, mereka bernyanyi sambil melambai-lambaikan bendera. Menyambut para pejabat negara yang hanya lewat di depan mereka sekejap saja. Sekedar melambai terus berlalu. Mengharukan, hanya karena jalan dan sekolah mereka dilewati konvoi mobil pejabat, mereka rela memasang ratusan bendera dan berbaris berpanas-panas di pinggir jalan. 

Saya sedang membayangkan menjadi mereka. Membayangkan bermimpi melihat wajah menteri. Begitu raungan sirine terdengar, tegopoh merapikan barisan, dan bersiap melemparkan senyum termanis. Dalam balutan seragam sekolah, keringat yang mengucur deras, haus dan mungkin lapar, tapi betapa puas karena sudah melambai pada belasan mobil yang lampunya terus berkelip-kelip itu. Di manakah pak Menteri? Pasti di mobil yang terdepan. Sudah berlalu. Mungkin yang tadi tangannya keluar melambai-lambai. Puas sekali rasanya bisa menyambut orang besar itu.  

Mobil terus melaju di jalan yang sangat berdebu. Anak-anak sekolah dan guru-guru terus berbaris dan tertepa debu-debu itu. Pohon-pohon sagu berbaris di kanan-kiri jalan. Menurut Mas Lestari, driver UMS yang bersama kami, ulat sagu disukai penduduk setempat. Dijual juga di pasar-pasar tradisonal. Saya jadi ingat, kemarin saya ke pasar Remu, untung tidak menemui ulat sagu. Tapi itu warning bagi saya, musti hati-hati dan waspada kalau berkunjung ke pasar tradisonal lagi, supaya saya tidak kaget dan lantas berteriak histeris saking ketakutannya. Ulat, apa pun jenisnya, adalah makhluk teraneh dan ter'nggilani' di mata saya. Saya lebih baik disuruh ngepel alun-alun daripada disuruh lihat ulat. Hehehe.

Gerimis menyambut kami saat mendekati Distrik Moisegen. Hanya sekejap. Berbaur dengan debu tebal dari jalan-jalan yang berbatu dan bertanah kering. Semakin mendekati tempat kegiatan, keramaian terlihat di mana-mana. Juga bunyi-bunyian dari alat-alat musik tradisional. 

Tari Yospan, tari penyambutan,  dibawakan oleh sekelompok anak sekolah. Dengan bertelanjang dada, dan tubuh dicat warna-warni, tarian itu rancak diiringi dengan bunyi-bunyian. 

Rombongan Mendikbud, Pemda Sorong, Universitas Negeri Papua (UNIPA), Univesitas Negeri Makassar (UNM) masuk ke ruang SD yang sudah disiapkan. Lagu Indonesia Raya dibawakan oleh sekelompok anak SMP diikuti oleh semua yang hadir. Sambutan wakil peserta SM-3T UNM, Suwandi, mencairkan sekaligus membekukan suasana. Cerita tentang perjuangannya mengabdi di tempat terpencil, sulitnya medan, harapan anak didik dan masyarakat, serta kerinduannya pada keluarga, memancing applaus sekaligus air mata. 

Dalam dialog Mendikbud dengan siswa, beberapa kelucuan terjadi. Mendikbud merangkul seorang siswa SD dan bertanya. 
"Siapa namamu?"
"Anita."
"Kelas berapa?"
"Empat."
"Berapa usiamu?"
"Tidak apa-apa."
"Lho?"
"Umur, berapa umurmu?"
Anita diam.
"Ya sudah, tidak pakai umur tidak apa-apa, yang penting sekolah ya?"
Semua tertawa.

Seorang anak laki-laki, juga ditanya dengan pertanyaan yang sama oleh Mendikbud. Saat ditanya tentang nama dan kelas, dia bisa menjawab. Tapi begitu ditanya umur, dia bingung lalu menjawab: "Dua bulan." Tentu saja jawaban itu mengundang tawa. Giliran ditanya, "di mana rumahmu?", dia menjawab: "di belakang."

Meski mungkin terdengar lucu, tapi hati saya justeru menangis mendengar jawaban siswa itu. Betapa terbelakangnya mereka. Betapa tertinggalnya. Seperti itu, tentulah tidak hanya di tempat ini. Seperti itu, tersebar di ratusan bahkan ribuan tempat di berbagai pelosok Tanah Air.

Perjuangan para peserta SM-3T, bukan sekedar kisah pengabdian pada dunia pendidikan, namun kisah pengabdian untuk kemanusiaan. Lihatlah anak-anak itu, para orang tua itu. Mereka kotor, kurus kering, miskin. Mereka bisa jadi tidak peduli dengan pendidikan bukan karena tidak butuh.  Mereka hanya perlu hidup. Kebutuhan dasar mereka yang tidak pernah tercukupi memerlukan perhatian yang tidak kalah pentingnya dengan pendidikan itu sendiri. Belajar bagi mereka tidak hanya baca tulis hitung. Menggembala ternak, mencari kayu bakar, menanam ubi, mencari air, adalah bagian dari belajar itu sendiri, dan dengan itu semua mereka bisa bertahan hidup. 

Guru-guru SM-3T itu, mempunyai tugas berat untuk kedua-duanya. Memastikan mereka tetap bisa bertahan dalam kondisi serba kekurangan, sembari meningkatkan kesadaran mereka akan pentingnya pendidikan, kesehatan dan kecintaan pada Tanah Air. Memastikan di dada mereka tetaplah merah putih, meyakinkan bahwa Papua adalah bagian dari NKRI, dan NKRI itu menghampar dari Sabang sampai Merauke.

Pendidikan di Papua harus bangkit. Tugas kita adalah menyentuh mereka, mengantarkan mereka, agar mereka bisa bangun, keluar dari matarantai ketidaktahuan, kemiskinan, menuju dunia terang-benderang. Salah besar jika kita, sebagai bangsa dan negara, tidak memberikan perhatian pada mereka.

Berapa banyak energi, berapa lama waktu, yang dibutuhkan untuk membuat Papua sejajar, atau setidaknya tidak ketinggalan terlalu jauh dengan saudara-saudaranya di belahan lain di Indonesia? Itu PR besar bagi negera besar bernama Indonesia. Tugas berat bagi siapa pun pemimpin negeri kaya raya tapi miskin ini. Namun, kebijakan apa pun yang diambil oleh para pemimpin negeri, pendidikan harus menjadi prioritas. Pendidikan telah terbukti mampu memangkas matarantai kemiskinan dan kebodohan. Pendidikan memberikan multiplier effect terhadap peningkatan kesehatan dan ekonomi, yang pada akhirnya mampu meningkatkan mutu SDM seutuhnya. 

Di akhir dialognya, Mendikbud mengatakan: "Kami bangga Papua, Kami cinta Papua. We love Papua, we love Indonesia". 

Sorong, 8 Mei 2014

Wassalam,
LN

Rabu, 07 Mei 2014

Sorong 2: Daun Gatal

Daun gatal yang dijual penjual sayur.
Pagi ini, saya dan Ayu, salah satu Duta SM-3T (wakil dari UPI), mencuri kesempatan untuk naik taksi melihat-lihat Kota Sorong. Taksi, jangan dibayangkan sebagaimana taksi di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya dan kota besar yang lain. Taksi di Sorong adalah sebutan untuk angkutan kota (angkot), berwarna kuning, dengan simbol beragam, A, B, H, dan seterusnya.

Kami naik taksi dari depan hotel. Begitu duduk, saya bertanya pada pak supir, "mas, ini jurusan mana?" Tentu saja pak supir heran. "Lha ibu mau ke mana?" Tanyanya balik. "Kemana aja deh. Putar-putar Sorong."
Pak Supir yang baik hati itu, menjelaskan kalau taksi sedang menuju Pasar Remu.
"Pasar Remuk?" Tanya saya. "Pasar Hancur?"
Pak supir langsung tertawa, begitu juga penumpang di sebelahnya. Rupanya dia tahu juga kalau remuk itu dalam Bahasa Jawa artinya hancur.

Di Sorong, para pendatang menguasai hampir semua sektor. Mulai dari pasar tradisional, toko-toko kecil sampai mall, di hotel, di jalan-jalan, wajah-wajah yang bertebaran lebih banyak bukan wajah asli Papua. Mereka dari Jawa, Sulawesi, Maluku, Sumatra, dan beberapa pendatang dari bagian lain Indonesia. Jawa dan Sulawesi yang paling mendominasi. Meskipun begitu, penduduk asli, yaitu suku Moi, mayoritas  tetap eksis di antara para pendatang tersebut. Suku Moi pada dasarnya mudah berinteraksi dengan masyarakat luar, dan melebur, sehingga jumlah mereka yang meskipun tidak terlalu banyak tetap mendapatkan tempat dan berperan dalam pembangunan dan kemajuan kota. Bupati Sorong, Dr. Stevanus Malak, adalah orang asli suku Moi. Salah satu universitas swasta, Universitas Victory (Unvic), pemiliknya juga orang Moi bermarga Kalami. Kalagison, Osok, Kalami, adalah beberapa marga suku Moi yang tetap eksis di Sorong. Agama mereka yang fifty-fifty antara Kristen Protestan dan Muslim, membuat mereka tidak hanya memiliki para pendeta namun juga para ustadz.
    
Kami turun di Pasar Remu, setelah diberi petunjuk oleh pak supir dan seorang ibu, taksi lyn apa yang bisa kami tumpangi untuk kembali ke kawasan Yohan, tempat hotel kami. Ayu ragu waktu saya ajak masuk ke dalam pasar. Dia sudah bergidik duluan melihat kondisi pasar yang becek.

"Ayo, masuk. Kalau mau lihat apa-apa yang khas, di pasar tradisionallah tempatnya." Ajak saya pada Ayu. 

Di pasar, saya dan Ayu sibuk memotret-motret saja. Memotret komoditi yang dijual maupun penjualnya. Para perempuan berkulit hitam gelap berambut keriting. Ramah-ramah. Di depannya gundukan-gundukan berbagai sayur dan buah, ubi-ubian, ikan tongkol besar-besar yang sudah dipanggang, dan juga, yang selalu khas di wilayah timur, buah pinang dan sirih segar maupun kering. 

Para perempuan itu, kebanyakan bukan dari suku Moi, tetapi dari suku Ayamaru. Suku Ayamaru, Aitinyo, dan Aifat, mereka dari Sorong Selatan. Meski sirih pinang banyak dijual di mana-mana, tapi bertemu orang mengunyah sirih pinang tidak sesering di Jayapura, Sarmi atau di Mamberamo. Pengkonsumsi sirih pinang di sini lebih banyak para orang tua, dan jarang dikonsumsi para anak muda.

Salah satu jenis komoditas yang khas, yang belum pernah saya lihat di tempat lain, adalah irisan bunga pisang dengan daun pepaya. Pada wadah-wadah plastik, bahan untuk sayur itu dijual per gundukan. Sayang saya lupa tidak bertanya berapa harganya. 

Komoditas lain yang juga unik adalah daun gatal. Daun ini bentuknya mirip daun jati tapi bagian pangkalnya lebih lancip dan ukurannya juga lebih kecil. Daun-daun itu diikat setumpuk demi setumpuk, dan dari teksturnya saja sudah kelihatan kalau permukaannya sangat kasar. Saya bertanya pada ibu penjual berkulit hitam yang ramah, apa nama daun itu. "Daun gatal." Jawabnya. "Kenapa namanya daun gatal?" Tanya saya lagi. Dia minta saya menjulurkan tangan saya, supaya dia bisa menggosokkan daun itu. Tentu saja saya menolak.
"Mama dulu." Kata saya. "Kasih contoh." 
Ternyata ibu itu tanpa ragu-ragu menggosokkan tumpukan daun itu ke lengannya. Saya pun, meski agak ragu, menjulurkan lengan saya.
"Waw!" Kaget sekali saya, meski sudah menduga sebelumnya, begitu daun itu menggerus punggung tangan saya, tak ayal teksturnya yang kasar mengagetkan saya. Dan tak perlu menunggu lama, tangan saya langsung terasa gatal. Semakin lama semakin gatal. Beberapa menit kemudian bahkan keluar bintik-bintiknya, seperti habis kena ulat. 
"Sampai berapa lama gatalnya, Mama?" Tanya saya.  "Terserah ibu."
Terserah? Saya tidak paham maksud kata itu. Tapi saya tidak bertanya lebih lanjut, khawatir semakin tidak paham. Kata-katanya yang sepatah dua patah tidak terdengar jelas di telinga saya. 

"Ibu, kenapa sih mau digaruk pakai daun kasar begitu?" Protes Ayu. "Itu tangan Ibu jadi keluar bintik-bintik."
"Tenang aja, Ayu, pengalamannya ini yang mahal..."

Belakangan, saya bertanya pada driver dari Universitas Muhammadiyah Sorong (UMS) yang mengantar kami ke lokasi kegiatan, daun gatal ternyata fungsinya untuk menghilangkan pegal-pegal. Daun itu digosokkan ke punggung atau bagian tubuh yang capek, dia akan bekerja sendiri. Rasa gatal-gatal itulah yang menghilangkan pegal-pegal. 

Saya pikir, menarik juga daun gatal ini. Dia pasti punya kandungan yang berkhasiat obat, setidaknya obat pegal-pegal. Obat luar semacam balsam atau obat gosok. Saat saya coba googling, ternyata benar, daun dari tumbuhan famili Urticaceae ini memiliki kandungan kimiawi seperti monoridin, tryptophan, histidine, alkaloid, dan lain-lain. Kandungan ini disebut juga asam semut. Asam semut ini sendiri terkandung di dalam kelenjar duri pada permukaan daun. Saat duri lunak tersebut mengenai tubuh, asam semut dalam kelenjar itu terlepas dan mempengaruhi terjadinya pelebaran pori-pori tubuh. Pelebaran pori-pori ini disinyalir merangsang peredaran darah, dan alhasil, hilanglah pegal-pegal di bagian tubuh tersebut.

Papua Barat, seperti Indonesia pada umumnya, begitu kaya akan hasil alam yang memiliki banyak khasiat obat. Masih ingat buah merah dan sarang semut yang asli Papua dan memiliki khasiat menyembuhkan berbagai penyakit? Nah, saat ini wawasan saya tentang hasil alam khas Papua yang berkhasiat obat itu tambah satu lagi: daun gatal.

Sorong, 7 Mei 2014

Wassalam,
LN

Selasa, 06 Mei 2014

Sorong 1: Tidur Pulas Dulu

Hujan deras menyambut kami begitu Garuda tipe Bombardier yang kami tumpangi mendarat di Bandara Domine Eduard Osok. Waktu masih menunjukkan pukul 06.10, berbeda dua jam lebih cepat dari WIB. Perjalanan malam sejak berangkat dari Bandara Juanda pukul 23.30 semalam, transit di Bandara Sultan Hasanuddin Makasar selama sekitar satu jam, kemudian lanjut ke Sorong, cukup melelahkan saya. Apa lagi kondisi saya memang tidak terlalu prima, sejak dua hari yang lalu terus mengonsumsi obat flu dan vitamin C demi menopang aktivitas. Tapi udara Sorong yang sejuk cukup menyegarkan jiwa dan raga di pagi yang tidak terlalu pikuk ini.

Provinsi Papua Barat, dulu bernama Irian Jaya Barat, sempat diakui sebagai provinsi yang berdiri sendiri hasil pemekaran dari Provisi Papua pada 1999. Namun lantas ditangguhkan karena terjadi demonstrasi besar-besaran oleh warga Papua yang menolak pemekaran tersebut. Tahun 2003, pemekaran Irian Jaya Barat kembali diaktifkan oleh Presiden Magawati dan perlahan provinsi ini membentuk dirinya menjadi provinsi yang definitif. Nama Provinsi Papua Barat sendiri resmi diakui sejak 2007.

Nama bandara di mana pun selau mengusik rasa ingin tahu saya. Termasuk bandara di Sorong ini, Domine Eduard Osok (sebenarnya Dominique Edward Osok disingkat DEO). Ini pasti nama seseorang. Saya coba googling. Ternyata dia adalah pahlawan asal Papua. Hanya itu, selebihnya, belum berhasil menemukan informasi lain.

Bahwa DEO adalah nama pahlawan, siapa yang tidak tahu? Sama halnya nama sebagian besar bandara di tempat-tempat lain di Indonesia. Juanda, Adisucipto, Adi Sumarno, Abdur Rahman Saleh, Soekarno Hatta, Sultan Hasanudin, El Tari, Umbu Mehang Kunda, Ngurah Rai, dan banyak lagi.  

Sorong merupakan pintu gerbang bagi para wisatawan yang akan mengunjungi Raja Ampat. Ya, siapa tak kenal Raja Ampat? Salah satu destinasi wisata favorit bagi para pelancong. Surga bagi mereka yang hobi melakukan ekspedisi bawah laut, karena di sanalah, konon, tempat ekspedisi bawah laut terbaik di dunia. Terus-terang, kedatangan kami ke Sorong ini, bukan hanya karena diamanahi tanggung jawab untuk membantu panitia pusat dalam rangka Puncak Hardiknas yang akan dihadiri Mendikbud, namun karena iming-iming wisata Raja Ampat juga. Siapa tahu?

Bandara Sorong tidaklah sepikuk Sentani. Tidak nampak porter yang berserakan di mana-mana. Namun seorang petugas yang membawa selembar kertas bertuliskan nama ketua rombongan kami menentramkan hati. Kami, adalah delapan orang Dikti, satu orang dari Unimed, satu dari Unesa (saya sendiri) dan satu dari Undiksha. Dalam rangka Puncak Hardiknas yang dirayakan di Sorong, kami datang untuk mempersiapkan serangkaian acara yang sudah dirancang, bersama-sama dengan panitia UNM, PIH Dikbud, dan, tentu saja, bagian protokoler Kemdikbud.

Di bawah gerimis yang masih rinai, kami berkendara menuju Hotel Sahid Mariat, tempatnya tidak terlalu jauh dari bandara. Bukan hotel terbaik. Hotel Royal Mamberamo, hotel terbaik, sudah full-booked oleh rombongan Mendikbud. Tidak masalah. Yang penting, pagi sampai siang nanti, kami semua akan menikmati tidur yang pulas. Tidur pulas pertama di pagi pertama di Kota Sorong.

Tidur dulu ah......

Sorong, 6 Mei 2014

Wassalam,
LN

Jumat, 11 April 2014

Aarne Saluveer

Yogya mendung sore ini. Adzan maghrib baru saja berlalu. Saya keluar dari kamar Hotel Grand Quality, menarik tas koper kecil saya, turun ke lobi.

"Check out, mas." Saya menyerahkan kunci kamar ke resepsionis. "Masih ada teman di kamar, pulang besok".
"Baik, bu."
"Bisa pesan taksi ke bandara, mas?"
"Bisa, bu."

Tidak berapa lama, mobil tiba. Alphard hitam. Oh, ternyata saya tidak sendirian. Ada pria bule tinggi besar berambut panjang yang akan bersama saya.

"Pak, saya mau mampir sebentar ke Gudeg Yu Djum, hanya mbungkus saja, saget?" Tanya saya pada supir. Saya merasa perlu bertanya karena saya bukan penumpang satu-satunya di dalam mobil itu.
"Saget bu, tidak apa-apa. Kan kelewatan"

Maka mobil pun melaju. Meninggalkan hotel yang asri itu. Si bule ada di sebelah kanan saya. Begitu tiba di Gudeg Yu Djum, saya minta izin ke abang bule itu.

"Excuse me, I will buy gudeg. It only takes a minute."
Dia menatap saya.
"Okay..."
"Thank you."
"Sorry, what would you buy?" Dia bertanya, persis ketika saya mau turun.
"Gudeg."
"What is it?"
"Gudeg is traditional food of Yogyakarta."
Dia manggut-manggut.
Ternyata dia penasaran, dan mengikuti saya turun.
Di depan etalase, saya menjelaskan kepadanya makanan yang berjejer, ayam, telur, tahu, tempe, nangka muda, yang semua rasanya manis.

Saya memesan satu paket gudeg. Sepuluh butir telur, ayam bagian dada dan paha, sambal goreng krecek. Si bule mengamati mbak bakul menyiapkan pesanan saya. Dia juga bertanya, apakah saya akan membawa pulang gudeg itu, ke mana saya akan terbang, dan menanyakan berapa jam waktu yang diperlukan sampai tiba di Surabaya. Saya katakan kalau saya akan terbang dengan waktu tidak lebih dari tiga puluh menit, dan oleh sebab itu, gudeg akan aman selama dalam perjalanan.

Karena dia sepertinya ingin mencicipi gudeg, saya menawarinya.
"Do yo want some? For yor dinner?"
"No no no, thank you."

Tentu saja saya tidak akan  memaksa. Tapi sejenak, dia bilang kalau dia tidak punya rupiah, dan apakah dia bisa membayar gudeg dengan Dollar Singapura. Spontan saya jawab, dia tidak perlu membayar, saya akan mentraktirnya. Dia menolak mentah-mentah. Maka saya tanyakan ke mbak bakul, apa bisa membayar dengan Dollar Singapura. Tentu saja, seperti yang saya duga, jawabnya tidak bisa. Kata mbak bakul, kalkulatornya tidak bisa ngitung.

Si bule pergi. Benar-benar tidak mau saya traktir. Bodohnya saya, harusnya saya menukar uang dollarnya dengan rupiah saya. Tak terpikir. Saya hanya berpikir, saya harus cepat-cepat, supaya tidak tertinggal pesawat. 

Tapi saya coba membelikan si Bule sekotak nasi gudeg. Dengan sedikit nasi dan paha ayam serta sebutir telur. Lengkap dengan sendok plastiknya. Spekulasi. Kalau dia tetap tidak mau, saya akan makan sendiri gudeg itu. Tidak masalah.

Di mobil, begitu saya duduk, si Bule menjelaskan, kalau dia punya cukup uang, tapi dalam bentuk Dollar Singapura. Dia tadi akan membeli gudeg dengan uangnya sendiri, dan dia katakan, saya tidak perlu membelikan gudeg untuk dia.

Saya lihat dia mungkin agak tersinggung, atau khawatir saya menganggapnya tidak punya uang. Saya segera menyadari, spontanitas saya untuk mentraktirnya tadi mungkin tidak berkenan. Beda budaya. 

"Of course you have money. Sorry, it was a spontaneity. We used to do that..." Saya mencoba menjelaskan, sebelepotan apa pun kata-kata saya. Tapi nampaknya dia paham. Mengangguk-angguk tanda mengerti. 

Lantas saya mengeluarkan sekotak gudeg. 

"It's for you."
"No no no...." Dia menolak lagi.  Tangannya mobat-mabit lagi.  "Yo don't have to do it for me."

Saya tetap menyorongkan gudeg itu di depannya. Kepalang tanggung. Kalau dia tetap tidak mau, saya akan berikan gudeg itu ke pak supir. 

"Come on, I bought this for you. Not because you have no money, of course you have a lot of money. It just a form of our kindness, Indonesian people, for you..."

Dia ragu-ragu.
"Come on..." Saya mulai main paksa. "Please...?"
Dia masih tetap ragu.

"The food is good. It's delicious. You may not like it because it tastes too sweet, but at least, you have ever tasted gudeg, traditional food of Yogyakarta. Please....?"

Dia menatap saya. Mungkin menyelidik ketulusan saya.

"Okay." Akhirnya diterimanya gudeg itu. "Thank you."
"You're welcome"
Lantas dia membuka dompetnya. Mencari-cari sesuatu. Sambil mengatakan kalau dia ingin memberikan sesuatu ke saya. Oh, ternyata dia mengambil sebuah kartu nama. Diserahkannya kartu nama itu ke saya.

Kami meneruskan ngobrol. Dia menceritakan tujuan kedatangannya ke Yogyakarta selama dua hari ini. Juga rencananya untuk meneruskan perjalannya besok ke Singapura. Ternyata dia pemusik. Dua hari ada event di Yogya, dua hari ada event di Singapura.
"So, you are a musician?" Tanya saya senang. Ingat Arga, anak saya,  yang suka musik.

Dia juga menanyakan tentang diri saya. Saya katakan kalau saya dosen, dan ke Yogyakarta dalam rangka menghadiri rapat. Dia tanya apa bidang saya. Waktu saya katakan 'food', dia jawab, pantas saya beli gudeg banyak. Saya jelaskan ke dia, "Ya, because, my husband and my son like gudeg very much."

"How many son do you have?" Tanyanya.
"One. Twenty two years old."
"Twenty two?" Dia seperti tidak percaya. Dia bilang, saya nampak terlalu muda untuk punya anak usia 22 tahun. 
"Really? Thank you."
Dia mengangguk-angguk sambil tertawa. Senang melihat tawanya.

Sayang waktu kami untuk mengobrol tidak banyak. Mobil sudah memasuki bandara. Saya harus bersiap turun. Si bule tidak ikut turun. Ternyata dia hanya ingin kota-kota saja, memanfaatkan waktunya sebelum besok terbang ke Singapura. 

Di ruang tunggu, saya membaca kartu nama si Bule. Namanya Aarne Saluveer. Oh, ternyata dia kepala sekolah sebuah sekolah musik. Principal of the Tallinn Music College. Alamat sekolah musik tersebut juga tertulis di kartu nama itu, di Estonia. Sekali lagi, saya ingat Arga. Entah kenapa, saya punya firasat, pertemuan saya dengan si Bule ini tidak akan berhenti sampai di sini. Siapa tahu Arga bisa belajar musik pada dia. Entahlah. Mungkin itu harapan saya saja. Tapi, ya, siapa tahu? 

Yogyakarta, 11 April 2014

Wassalam,
LN

Sabtu, 15 Maret 2014

Gurunnya Manusia

Beberapa hari yang lalu (12 Maret 2014), saya ditugasi pak Rektor untuk menjadi pembahas pada acara bedah buku best seller "Gurunya Manusia". Acara itu diselenggarakan oleh Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur, dan tempat acaranya di lantai dua kantor itu juga. 

Penulis "Gurunya Manusia" adalah Munif Chatib, seorang pemerhati dan praktisi pendidikan. Buku sebelumnya, "Sekolahnya Manusia" (2009), juga menjadi best seller dan sudah berkali-kali dicetak ulang serta lebih dari 40 kali dibedah di seluruh Indonesia, mulai dari Aceh sampai Papua.

Munif Chatib sendiri adalah lulusan S1 Hukum Universitas Brawijaya. Setahun sempat menjadi lawyer, namun kemudian menyadari, hatinya tidak berada di tempat itu. Dia pun menyeberang menjadi guru. Kecintaannya pada profesi guru mendorongnya untuk mengambil program Magister Pendidikan PAUD di UNJ, serta mengambil diploma di Supercamp-nya Bobbie DePorter di USA. DePorter sendiri adalah pakar pendidikan yang melambungkan quantum teaching dan menjadi salah satu sumber ide munculnya accelerated learning. Munif, selain beruntung karena bisa belajar pada Bobbie DePorter secara langsung, dia juga sempat belajar langsung pada Howard Gardner, siapa lagi kalau bukan tokoh multiple intelligence (MI).

Saya juga sangat beruntung bertemu dengan pria yang berdomisili di Sidoarjo ini. Wajah Timur Tengahnya yang terkesan dingin ternyata begitu hangat bersahabat saat menyampaikan topik tentang bagaimana menjadi guru yang berhasil membawa setiap siswa menjadi juara. Dia tidak hanya berteori, namun juga memberikan contoh-contoh nyata di kelas dengan melibatkan semua peserta. Dia juga menayangkan video tentang bagaimana setiap anak sejatinya adalah seorang bintang sekali pun dia anak autis, down syndrom, tuna daksa, bahkan cerebral palsi. Video-video yang ditayangkannya sungguh berhasil mengaduk-aduk perasaan dan tidak sedikit peserta yang lantas dibuatnya menangis karena terharu. Pesan dari semua tayangan video yang dia sajikan adalah, setiap anak itu istimewa. Anak berkebutuhan khusus hanya memiliki satu klastes di otaknya yang rusak, namun jutaan klaster yang lain baik-baik saja. Masuklah melalui klaster yang baik itu, dan temukan bintang di sana.  

Munif tidak hanya penulis yang andal, namun juga penyaji yang memukau. Dia menyajikan analogi pendidikan yang seragam itu ibarat burung yang dipaksa berenang atau kelinci yang dipaksa untuk terbang. Itulah pada umumnya pendidikan kita. Memaksakan kurikulum yang tidak selalu sesuai dengan bakat dan minat anak. Mereka dianggap robot yang bisa diprogram.
  
Menurut Munif, untuk berubah menjadi guru yang hebat, setiap guru harus merubah paradigma/pola pikirnya. Tentu saja hal itu sangat sulit. Tapi dengan terus mencoba, berlatih, memegang komitmen, guru itu akan berhasil. 

Munif meminta semua peserta yang terdiri dari guru-guru itu menuliskan nama dan membubuhkan tanda tangan mereka dengan cepat di atas selembar kertas. Semua dilakukan dengan tangan kanan. Kemudian Munif meminta guru mengulang apa yang mereka lakukan itu, namun dengan menggunakan tangan kiri. Tentu saja semua merasa kesulitan. "Tapi bagaimana kalau itu dilatih? Setiap hari bapak ibu menulis dengan tangan kiri? Kira-kira selama lima enam bulan ke depan, akankah itu berhasil? Bapak ibu terampil menulis dengan tangan kiri?"
Semua guru menjawab ya.
"Itu artinya, semua butuh pembiasaan. Merubah pola pikir itu juga harus dibiasakan. Sulit memang, tapi dengan terus mencoba dan berlatih dengan penuh kesungguhan, kita semua akan berhasil."

Ada lima bingkisan yang harus dibuka oleh guru. Bingkisan pertama adalah memandang setiap anak yang dilahirkan itu juara. Guru harus merobohkan penghalang-penghalang yang dibuat sendiri, seperti anak itu bodoh, nakal, menjengkelkan, dan lain sebagainya. Munif menayangkan kisah Lena Maria, seorang perempuan tanpa tangan, dan dia melakukan semuanya dengan dua kakinya. Memasak, menyulam, mengendarai mobil, mengetik, semuanya. Kisah Lena benar-benar membuka mata hati kita, seperti apa pun siswa kita, senakal apa pun, sebodoh apa pun, dia pasti memiliki sebuah 'bintang'. Setiap anak adalah karya masterpiece Sang Pencipta. Tak ada satu pun anak yang merupakan produk gagal. Tugas guru adalah membuka jalan bagi setiap anak untuk menjadi bintang. Implikasinya dalam pendidikan adalah dikembangkannya sekolah inklusi: semua anak, dengan apa pun jenis kebutuhan khusus (ABK) harus diterima.

Bingkisan kedua yaitu bahwa kemampuan anak kita seluas samudera. Tugas orang tua dan guru adalah menyelami samudera luas itu untuk mengembangkan segala potensinya. "Jangan memandang kemampuan anak kita sempit". Perkembangan anak tidak perlu dilihat dari ranking dia di kelas, namun yang lebih penting adalah mengukur kemajuan dan perkembangannya dibandingkan dengan tahap-tahap perkembangan anak itu sendiri (ipsativei).

Bingkisan ketiga, setiap anak cerdas dengan multiple intelligence (MI). MI merupakan harta karun. Redefinisi kecerdasan menurut teori MI adalah kebiasaan, perilaku yang diulang-ulang (habit). Kebiasaan menciptakan produk-produk baru yang bernilai budaya. Cirinya adalah creative (lebih kepada aspek psikomotorik) dan kemampuan memecahkan masalah (problem solving, lebih kepada aspek kognitif dalam arti luas). Dengan begitu beragamnya kecerdasan dan gaya belajar anak, guru dan orang tua harus bisa memberikan stimulus yang tepat. Gaya belajar siswa harus dipahami dan mengajar harus menggunakan multistrategi. Howard Gardner memastikan bahwa setiap anak memiliki spektrum kecerdasan dan tugas kita adalah membukakan jalan bagi mereka untuk mengembangkan semua spektrum kecerdasannya. Tidak perlu ada kastanisasi bidang studi, bahwa IPA lebih unggul daripada IPS, bahwa anak cerdas adalah mereka yang nilai matematikanya tinggi, dan seterusnya.

Bingkisan keempat adalah discovering ability. Setiap orang tua dan guru harus menjelajahi kemampuan anak meskipun sekecil debu. Kembangkan kemampuan dan 
kubur ketidakmampuan anak. Untuk menjelaskan topik ini, Munif menunjukkan bagaimana seorang anak cerebral palsi berhasil menjuarai triathlon. Tidak terbayangkan bagaimana seorang cerebral palsi bisa mengikuti kejuaraan berat itu. Ternyata ada seorang ayah yang luar biasa.
Seorang ayah yang selalu melakukan 'discovering ability'.
Berkaitan dengan hal ini, seorang guru haruslah lebih banyak sebagai fasilitator, 
katalisator dan melakukan
penilaian otentik.

Bingkisan kelima adalah bakat. Setiap anak memiliki bakat dan tugas guru adalah menemukan bakat anak. 

Guru adalah profesi yang profesional. Dia dituntut untuk terus berkarya dan mampu memecahkan masalah. Tantangan bagi guru yaitu bagaimana menghayati profesinya supaya mereka menjadi profesional. Guru yanhg profesional adalah guru yang "mengajar dengan hati".

Surabaya, 15 Maret 2014. 19.50 WIB.

LN
(Nunggu boarding di Bandara Yogya)