Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Keluarga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keluarga. Tampilkan semua postingan

Kamis, 24 Januari 2013

Omah Ndeso dan Silaturahim

Sebuah rumah kecil di desa Brotonegaran, kelurahan Brotonegaran, kecamatan Ponorogo. Luas tanah 7 x 15 meter persegi. Dua kamar, satu ruang tamu, satu kamar mandi, dan sebuah ruang dapur. Kecil mungil. Ada pohon-pohon jati di sekeliling rumah, dan sebuah sungai memanjang di belakang rumah. Kebun jagung menghampar di depan halamannya. Udara bersih dan sejuk.

Rumah itulah yang saat ini sedang kami kunjungi. Seorang saudara mengabarkan tentang rumah itu. Dia, namanya dik Ria, putrinya bulik, adik ibu mertua. Dia sendiri sudah punya rumah besar di Griya Mapan Brotonegaran. Rumah kecilnya itu hanya untuk investasi. Dia dengan ringan hati mempersilakan kami untuk mengambil alih rumah mungil itu kalau kami berminat. Tidak ambil untung. Harga persis sama dengan ketika dik Ria membelinya. Dia hanya ingin supaya keinginan kami untuk memiliki sebuah rumah singgah di Ponorogo bisa terwujud. Selama ini kalau kami ke Ponorogo, kami tinggal di rumah keprabon yang sekarang ditinggali bu Heni, bulik kami sekeluarga. Bu Heni inilah ibunya dik Ria.

Adik misan kami ini memang sangat bersahabat. Sangat 'nyedulur'. 'Ndilalah' gampang rezeki juga. Suaminya, dik Budi, bekerja di PLN. Saat ini mereka sekeluarga tinggal di Jambi, karena dik Budi tugasnya di PLN Provinsi Jambi. Rezeki mereka berlimpah sejak awal membangun rumah tangga. Saat ini sudah ada sepasang anak yang melengkapi kebahagiaan keluarga, dan saat ini juga, di perut dik Ria ada jabang bayi berusia empat bulan. Rumah tempat tinggal mereka yang besar di Ponorogo dikontrakkan, dan mereka menempati rumah dinas yang luas di Jambi. Dik Ria sendiri yang pada awalnya adalah karyawan BNI Syariah memilih resign dan bekerja di rumah supaya bisa menemani putra-putrinya. Senang sekali melihat kehidupan adik misan kami itu yang penuh dengan kebahagiaan dan kelimpahan rezeki. Alhamdulilah.

Oya, kembali ke rumah mungil itu. Tentu saja kami berminat dengan rumah itu. Begitu juga bapak dan ibu, yang memang bersama-sama kami datang ke Ponorogo ini dengan salah satu tujuan untuk ikut melihat rumah. Pak Anwar dan bu Heni, paklik dan bulik kami, juga bersama-sama kami. Jadi saat ini kami berenam. Mengitari rumah kecil itu, melihat sungai yang menghampar di belakang rumah, dan memetiki ciplukan liar yang lagi berbuah. Menyenangkan sekali.

Setelah puas memandangi rumah dan sekitarnya, kami semua memasuki mobil. Sekarang waktunya makan nasi pecel. Jam menunjukkan pukul 09.00. Waktu yang tepat untuk sarapan pagi. Warung nasi pecel iwak kali di desa Sekayu menjadi pilihan. Hmm.....sego pecel Ponorogo memang top. Inilah salah satu makanan 'klangenan' kami setiap pulang kampung ke Ponorogo. Selain sate ayam, sate kambing, dan gule kambing. Tapi dua makanan terakhir ini sedang kami posisikan sebagai musuh bebuyutan. Dia sangat potensial untuk meningkatkan kandungan trigliserida, asam urat, dan kolesterol. Mending makan sego tahu, salah satu makanan lain yang juga menjadi klangenan kami.

Selesailah sudah prosesi makan sego pecel. Bapak, yang 'dahar' dengan tangan kirinya, menuntaskan isi piring tanpa tersisa sedikit pun. Ibu, pak Anwar dan bu Heni, juga tentu saja saya sendiri, sudah membereskan sepaket nasi pecel itu. Satu paket terdiri dari nasi pecel, dengan lauk ikan kali yang digoreng renyah berbalut tepung dan selembar rempeyek udang. Bahkan di luar paket itu, kami sudah menambahkan lento, tempe kepleh (mendoan) dan pia-pia (ote-ote). Mas Ayik bahkan sudah 'tandhuk'. Ya, meski dia sedang dalam program diet dan dalam pengawasan ketat seorang ahli gizi (maksudnya ya saya sendirilah ahli gizi itu....hehe), tapi demi melengkapi kebahagiaan momen ini, dia saya beri kelonggaran. Tapi minumnya tetap, teh tawar. Teh tanpa gula. 

Sekarang saatnya melakukan lawatan dari satu saudara ke saudara yang lain. Waktu yang hanya sehari ini akan kami manfaatkan untuk mengujungi bu Har, adik bapak yang juga sudah sepuh dan tinggal di rumah keprabon. Selanjutnya ke rumah dik Iyong, kakak dik Ria, yang baru 'mbangun' rumah. Juga ke saudara-saudara lain dan teman-teman masa kecil bapak. Kebetulan, beberapa teman masa kecil bapak adalah juga orang tua teman-temannya mas Ayik. Juga, yang terpenting, berziarah ke 'pesarean' mbah kakung dan mbah putri, bapak ibunya bapak. Seterjangkaunya. Pisto. Tipis-tipis sing penting roto. Hehe. Karena nanti sore kami sudah harus bertolak ke Surabaya. Besok, kembali beraktivitas. Kembali ke rutinitas.

Seperti kata sahabat-sahabat saya (M. Khoiri, Samsulhadi, Sirikit Syah, Suhartoko, dll), mari melakukan  silaturahim untuk menyeimbangkan hidup. 'Nuruti gawean gak onok entekke'. Karena silaturahim ini juga, mas Ayik yang kemarin sakit, tiba-tiba sehat. Dia mengemudikan sendiri mobil kami dan menolak membawa driver. Silaturahim memang memberikan kesehatan. Sehat lahir dan sehat batin. Insyaalah, barokah Maulid Nabi juga. Alhamdulilah.

Ponorogo, 24 Januari 2013
   
Wassalam,
LN

Senin, 21 Januari 2013

Disangka Asam Urat

Surabaya, 20 Januari 2013

Sore ini saya mengantar suami saya, mas Ayik, ke dokter Achmad, dokter langganan kami. Seminggu ini dia mengeluhkan lutut kirinya yang bengkak dan sakit. Sebenarnya seminggu yang lalu saya sudah membawanya ke dokter, dan mas Ayik sudah minum obat resep dari dokter untuk menyembuhkan asam uratnya. Selain itu juga minum air rebusan daun salam yang setiap sore saya sediakan (tapi yang merebuskan daun salamnya mbak Iyah, penjaga rumah kami. Terimakasih, mbak Iyah).

Dokter juga menyarankan supaya mas Ayik mengurangi aktivitasnya dan lebih banyak beristirahat. Nah, untuk nasehat yang terakhir ini, mas Ayik tidak bisa lakukan. Setiap pagi dia selalu sibuk di halaman, menyapu, membersihkan tanaman dari daun-daun yang menguning. Lantas bersiap berangkat kerja. Karena Terios yang dikemudikannya bukan mobil matic, maka kaki kirinya yang meskipun bengkak harus terus bekerja ngoper-ngoper kopling.  Apalagi ketika kami 'ketempatan' Kohiga Masaki, mahasiswa dari Aichi University of Education, Jepang, yang homestay di rumah. Pagi-pagi mas Ayik sudah mengajaknya bersepeda, muter-muter di Masjid Al-Akbar dan blusukan di pasar tradisional. Besoknya, karena Arga ada acara manggung, maka mas Ayik juga harus pegang setir lagi ketika mengantar Masaki mengunjungi situs-situs peninggalan Majapahit di Trowulan Mojokerto dan lanjut ke Taman Safari. Dia tidak bersedia saya gantikan. Jadi sehari itu mas Ayik mengemudikan mobil sejauh kira-kira 150 km, dengan kondisi jalan yang sesekali macet, dan dengan dengkul yang bengkak.

Tak ayal, sepulang dari travelling itu, sakit di lutut mas Ayik semakin parah. Saya merasakan panas sekali di lututnya ketika saya memegangnya. Tempo hari dokter bilang ada radang di bagian tersebut, indikatornya adalah suhu panas itu. Tapi dasar mas Ayik, dia cuma cengar-cengir saja ketika saya ingatkan tentang 'kendablegannya'. Makan durian, tape, bersepeda, dan mengemudikan mobil. Tapi wajahnya yang meringis menahan sakit benar-benar membuat saya iba dan harus memutuskan untuk 'bertangan besi'. Malam itu, pada saat farewell party di restoran Layar, dalam rangka penutupan Students Exchage Program dari Aichi University of Education, berbagai makanan yang membahayakan, saya sisihkan. Sup asparagus, kepiting goreng dan udang saus mayo, saya jauhkan dari jangkauannya. Mas Ayik harus cukup puas hanya dengan nasi putih dan ikan bakar. Dia tersenyum kecut melihat saya yang memelototinya tak peduli. Arga dan Masaki tertawa-tawa melihat tingkah saya dan wajah memelas mas Ayik.

Sore ini dokter memberi resep obat lagi yang harus diminum mas Ayik. Hanya untuk sehari, karena besok pagi mas Ayik harus periksa di lab. Mas Ayik juga mendapatkan surat keterangan sakit untuk keperluan izin tidak masuk kerja selama tiga hari. Malam nanti, mulai pukul 21.00, mas Ayik harus puasa. Besok pagi, sekitar pukul 07.00, mas Ayik harus saya bawa ke Lab Pramita untuk pemeriksaan panel profit lemak, asam urat, glukosa darah puasa, rhematoid factor dan genu sin AP/Lat. Pemeriksaan yang terakhir itu saya tidak tahu tentang apa. Saya akan tanyakan ke dokter kalau kami sudah dapatkan hasil pemeriksaan besok. 

***
Surabaya, 21 Januari 2013 

Pukul 07.00 kami sudah berada di ruang Lab Klinik Pramita. Ramah, bersih, wangi. Sejak dari halaman parkir, kami sudah merasakan aroma keramahtamahan. Dua petugas security memandu kami ketika parkir mobil. Begitu mobil parkir, satu orang dengan santun membuka pintu di bagian kanan, dan seorang lagi membuka pintu bagian kiri. Ketika melihat mas Ayik agak 'dengklang' jalannya, mereka menawarkan apakah perlu diambilkan kursi roda. Mas Ayik menolaknya dan memilih menggelayut di lengan saya sambil menyeret kaki kirinya memasuki ruang lab.

Begitu sampai di depan pintu lab, seseorang membukakan pintu untuk kami dan lengkap dengan senyumnya dia menawarkan: 'ada yang bisa kami bantu, ibu?' Saya mengangguk membalas senyumnya, dan dia mengambilkan lembaran antrian, kemudian menyilakan kami duduk menunggu panggilan.

Saya sudah beberapa kali memasuki Lab Klinik Pramita di jalan Adityawarman ini. Saya suka interiornya yang ramah, para petugasnya yang santun, lantainya yang bersih mengkilat tapi tidak licin, toiletnya yang wangi, dan musholanya yang nyaman. Saya suka cara mereka menata mukena-mukena, digantung dengan sangat rapi. Dengan begitu mukena yang basah terkena air wudhu bisa diangin-anginkan, menjaga mukena tetap bersih dan tidak apek. Di banyak masjid yang saya pernah datangi, mukenanya banyak yang kotor, kumal, apek, dan 'tayumen' ( banyak noda berupa titik-titik hitam, disebabkan jamur yang dihasilkan dari mukena yang dilipat dalam keadaan lembab). Entah kenapa, di banyak tempat ibadah, di mushola atau di masjid, kebersihan seolah tidak terlalu dipentingkan, baik di toilet, tempat wudhu, dan bahkan di tempat sholatnya. Entah kemana 'annadhofatu minal iman' itu ya? He he. Sedih juga menyadari betapa masih minimnya kesadaran dan budaya bersih dari sebagian besar saudara kita ini.

Mas Ayik sedang diambil darahnya oleh petugas lab.
Nama mas Ayik segera disebut tak berapa lama setelah saya lapor di loket dua. Saya membantu mas Ayik berdiri dari kursi, memapahnya memasuki ruang pemeriksaan darah. Darah mas Ayik disedot beberapa mili. Setelah selesai, kami dipersilakan menunggu lagi untuk foto rontgen. Hanya sekitar lima sepuluh menitan, nama Tuan Baskoro Adjie dipanggil. Maka saya pun membantu lagi mas Ayik berdiri dari kursinya, dan memapahkan memasuki ruang foto rontgen. Petugas menyilakan saya menunggu di luar ruangan supaya tidak terkena radiasi.

Proses pemeriksaan selesai. Tinggal menunggu hasilnya nanti pukul 16.00. Semoga semuanya baik-baik saja.

***

Hujan turun cukup deras. Mendung gelap menggayut di langit. Di bawah terpaan angin yang hembusannya membuat pepohonan bergoyang-goyang, saya mengemudikan mobil menuju Lab Klinik Pramita. Mas Ayik duduk manis di sebelah saya. Sesekali dia bilang 'awas....awas....' untuk memperingatkan saya supaya saya hati-hati pegang kemudi. Saya guyoni dia: 'gak usah awas-awas....wis eruh. Aku iki wis tahun-tahunan dadi supir....' Dia ngakak saja.

Tepat pukul 16.00, kami sudah berada di tempat parkir. Dua petugas dengan membawa payung menghampiri mobil kami. Masing-masing membukakan pintu untuk saya dan mas Ayik, dan membantu kami mencapai teras. Tak perlu menunggu lama, saya langsung dipersilakan untuk menuju ke petugas yang tempatnya paling ujung, dan segera menerima hasil pemeriksaan darah dan foto rontgen.

Usai dari Lab Klinik Pramita, kami langsung menuju tempat praktek Dokter Achmad. Dokter Achmad sudah seperti bagian dari keluarga kami. Sejak Arga bayi, beliau yang 'pegang'. Meski bukan dokter spesialis anak, beliau sepertinya tahu betul bagaimana menangani anak. Semua catatan kesehatan kami sekeluarga ada pada beliau. Bahkan termasuk catatan kesehatan bapak ibu mertua dan ibu saya sendiri. Rumah beliau dekat dengan rumah kami. Kalau ada salah satu anggota keluarga kami yang sakit, beliau tidak segan-segan mampir ke rumah sambil jalan-jalan pagi. Sekedar memastikan kondisi kami baik-baik saja atau perlu tindakan medis. Kalau dihitung-hitung, persahabatan kami dengan dokter Achmad sama dengan usia pernikahan kami. Hampir dua puluh tiga tahun. Bukan waktu yang singkat.

Dokter Achmad geleng-geleng kepala melihat hasil pemeriksaan darah mas Ayik. Terutama pada kandungan trigliserida, angkanya 353. Angka itu dua kali lipat lebih dari batas normal yang lebih kecil dari 150. Kategorinya termasuk tinggi. Sementara HDL cholesterolnya rendah, hanya 38, di bawah batas lebih kecil dari 40. Padahal HDL ini adalah kolesterol baik, yang menjaga kesehatan jantung. Syukurlah, menurut Dokter Achmad, cardio risk index (CRI)-nya masih aman, yaitu 2,6. Namun Dokter Achmad menegaskan bahwa angka yang tinggi pada Trigliserida merupakan peringatan bahwa kami harus hati-hati.

Selain itu, glukosa darah puasa mas Ayik juga di atas batas normal, yaitu 169. Didiagnosis diabetes mellitus bila sama dengan atau lebih besar dari 126. Peringatan kedua untuk kami supaya lebih berhati-hati.

Lantas apa yang terjadi dengan lutut mas Ayik yang sakit? Ternyata penyebabnya bukan asam urat. Hasil pemeriksaan menunjukkan asam urat normal, yaitu 5,3. Kolesterol juga juga normal, di bawah 200, atau tepatnya 185. Setelah Dokter Achmad mencermati hasil foto rontgen lutut kiri, yaitu pemeriksaan Genu Sin AP/Lat, ternyata ada kesan terdapat osteoarthrosis genu sinitra. Radang sendi. Rasa sakit itulah akibatnya.

Dokter menyarankan supaya mas Ayik mengutangi aktivitas yang membuat sendi lututnya tertekan. Olah raga yang high-impact dihindari. Begitu dokter mengatakan bahwa bersepeda adalah olahraga yang bagus dan cocok, mas Ayik menarik nafas lega. Tapi, kata dokter, cukup di jalan datar saja, jangan yang offroad, menanjak, menurun, supaya kerja sendi lutut tidak berat. Nah lho.... 

Dokter hanya memberikan obat untuk lutut mas Ayik. Viostin DS. Obat yang harus dikonsumsi dalam jangka lama, dengan dosis yang berangsur-angsur dikurangi. Untuk trigliserida dan diabetesnya, dokter mempercayakan pada saya untuk mengatur diet mas Ayik dengan relatif ketat. Saya senyum-senyum saja sambil menengok ke arah mas Ayik yang cengar-cengir. Dokter juga tergelak melihat tingkah kami. Beliau tahu kalau selama ini saya sudah berusaha mengatur diet mas Ayik, tapi dasar memang mas Ayik yang 'ndablek'. He he. Tapi kali ini dokter 'wanti-wanti' betul, kalau mas Ayik harus diet dan harus 'manut' sama saya. Nah kan....

Peringatan untuk kita semua untuk selalu jaga pola hidup termasuk pola makan, cukup olah raga dan cukup tidur, banyak makan sayur dan buah, juga banyak mengonsumsi air putih. Hindari makanan berlemak, makanan dan minuman yang manis, minuman bersoda, durian dan tape. Dan yang terpenting, selalu mengembangkan pikiran positif serta niimati hidup dengan penuh rasa syukur.

Wassalam,
LN

Jumat, 18 Januari 2013

Kohiga Masaki yang Suka Nasi Goreng

Akhirnya anak itu muncul. Turun dari mobil kampus, menenteng dua tas kecil, dan sebuah koper besar. Senyumnya mengembang begitu melihat sosok saya. "Selamat sore..." Ujarnya dengan sikap tubuh setengah membungkuk. Sangat khas. Tubuh jangkungnya memaksa saya untuk menengadah saat membalas senyumnya. Anak muda yang tampan, dengan kacamata yang sangat serasi melekat di wajah bulatnya yang putih bersih.

Saya membawanya menuju mobil kecil saya yang sudah sejak sepuluh menit yang lalu saya parkir di halaman rektorat. Setelah memasukkan koper besarnya di bagasi mobil, dan dia duduk di sebelah saya yang siap mengemudi, kami melaju pelan ke arah pulang, sambil berbincang-bincang ringan, berbasa-basi. Saya tanyakan apa saja aktivitasnya hari ini, senangkah, capekkah, dan lain-lain. Dia menjawab dengan bahasa Inggrisnya yang terpatah-patah, dengan artikulasinya yang kadang tidak terlalu jelas di telinga saya. Tapi kami tetap bisa ngobrol gayeng. Tentang adik perempuannya, tentang ayahnya yang seorang banker, dan ibunya yang bukan wanita bekerja. Saya juga menceritakan tentang keluarga saya, tentang anak semata wayang saya yang kuliah di Seni Musik, dan suami saya yang mungkin sekarang sudah pulang kerja dan sedang menunggu kami di rumah.

"I want to eat nasi goreng". Tiba-tiba Masaki, begitu nama anak muda itu, nyeletuk. Saya spontan tertawa. "Nasi goreng? Ok, you'll get nasi goreng for your dinner". Tapi pikiran saya segera terbayang berbagai hidangan yang saat ini pasti sudah tertata di atas meja makan di rumah. Nasi putih, mie goreng, capjai, fuyunghai, sup sayur bakso ayam, dan perkedel. Tidak ada nasi goreng. Saya memang berencana memasak nasi goreng, tapi untuk sarapan pagi besok. Bukan untuk makan malam.

Sesampai di rumah, mas Ayik, Arga, Iyah dan Andra, menyambut kami. "Welcome, Masaki." Sambut mas Ayik pada Masaki. Seperti ketika bertemu saya tadi, Masaki mengucapkan selamat sore, dengan sikap tubuh setengah membungkuk. Dia memperkenalkan diri pada semua orang yang sedang menyambutnya itu. Senyumnya ramah dan sikapnya sangat sopan, namun nampak betapa periangnya dia.
 
Senja ini, kami mengobrol di teras, ditemani buah-buahan lokal seperti manggis, salak dan pisang. Juga rengginang lorjuk.  Juga teh manis. Di luar, hujan rintik-rintik, rapat. Udara sejuk. Tapi Masaki berkeringat. Dia katakan, di Jepang saat ini sedang winter, suhu bisa mencapai -5 derajat Celcius. Tapi dia nampak sangat menikmati suasana. Dia katakan, rumah kami sebagai a very beautiful home. Ya, tentu saja dia harus bilang begitu. Rumah ini akan menjadi rumahnya selama tiga hari ini, dan kami adalah host parents untuknya. Maka dia harus menyukai rumah kami, menyukai kami, dan memang, saya yakin semuanya menyenangkan bagi dia. Bukan hanya karena rumah kecil kami yang teduh, tapi lebih dari itu, adalah keramah tamahan dan ketulusan kami menerimanya sebagai anggota keluarga.

Malam ini Masaki mendapatkan yang diidam-idamkannya. Nasi goreng. Andra, mahasiswa saya yang juga anggota tim teknis di program SM-3T Unesa, dengan cepat menghidangkan nasi goreng itu setelah dia meluncur ke rumah makan Anda untuk mendapatkannya. Menyenangkan melihat Masaki menikmati semua yang kami hidangkan malam itu. Kata mas Ayik dan Andra, Masaki tak ada bedanya dengan Arga, anak kami. Sumego. Hehe....
   
Kohiga Masaki adalah salah satu dari tujuh mahasiswa peserta Students Exchange Program dari Aichi University of Education, Jepang. Mereka akan mempelajari banyak hal terkait dengan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia. Dari tujuh mahasiswa tersebut, dua di antaranya homestay di rumah pak Rektor, satu di rumah pak PR 3, satu di rumah pak PR 4, satu di rumah pak Roni (Kaprodi Pendidikan Bahasa Jepang), satu di rumah pak Martadi, dan satu di rumah kami. Mereka dari berbagai program studi, musik, sains, kesehatan, matematika dan sosial. Masaki sendiri adalah mahasiswa dari program studi sains. Saat ini dia, juga semua temannya, duduk di semester enam. 
Kami menghabiskan malam itu dengan berbincang-bincang ngalor ngidul. Masaki membuka ipadnya dan menunjukkan kepada kami foto-foto tentang Jepang. Dia menceritakan tentang Tokyo Sky-Tree, pagoda dan candi-candi tempat ibadah mereka, serta tempat-tempat rekreasi yang menyenangkan.

Mas Ayik bersama Masaki berlatar belakang patung Budha.
Besok pagi, Masaki akan diantar Arga ke kampus Lidah. Bersama teman-temannya, mereka akan mengikuti workshop Writing Japanese Calligraphy, dan menghadiri diskusi dengan mahasiswa FIS Unesa tentang Earthquake Education. Kemarin mereka mengunjungi SD Lab Unesa, Lapindo, Batik Sidoarjo, SMP Al Falah dan menyaksikan pertunjukan musik dari mahasiswa FBS. Berbagai aktivitas lain masih menunggu sampai hari Minggu besok, sebelum mereka bertolak ke Bali serta kembali ke Jepang.

Tentu saja, di antara aktivitasnya yang padat itu, kami sebagai host parents-nya juga sudah menyiapkan berbagai acara. Kami pastikan, Masaki akan pulang ke Jepang dengan kesan yang sangat manis tentang Indonesia, tentang keindahan alamnya, tentang budayanya yang mengagumkan, tentang makanannya yang lezat, dan tentang orang-orangnya yang ramah dan menyenangkan.

Surabaya, 17 Januari 2013

Wassalam,
LN

Selasa, 25 Desember 2012

Peak Season


Tiba musim liburan seperti ini, tidak hanya hotel-hotel yang mengalami 'peak season'. Tingkat hunian sangat tinggi juga terjadi di rumah kami. Kemarin pagi, teman saya dan keluarganya datang dari Blitar. Danang, nama teman saya itu, adalah teman sekelas waktu SMP. Dia sudah sejak tiga minggu yang lalu bermaksud mengajak anak istrinya berkunjung ke rumah, membalas kunjungan kami pada Januari yang lalu. Namun karena saya selalu ada kegiatan di luar kota setiap akhir pekan, maka baru kali ini keinginannya itu terwujud.

Sorenya, rombongan dari Tuban datang. Mereka adalah ibu, mas Ipung sekeluarga, dik Utik sekeluarga, dik Hisyam sekeluarga, Anang dan Sa'ad. Dua nama terakhir ini adalah putra mas Zen, mas saya yang kedua. Total jenderal, termasuk keluarga Danang, adalah dua puluh jiwa. Maka dua rumah kami full booked. Tidak ada satu kamar pun tersisa. Empat kamar di rumah barat plus ruang keluarga, dan dua kamar di rumah timur plus ruang keluarga, semua penuh. Yang sisa hanya kamar mandi dan dapur. Hehe....

Menyenangkan sekali kedatangan tamu sebegitu banyak. Saya sudah menyiapkan makanan kesukaan para keponakan itu sejak dua tiga hari sebelumnya. Kulkas penuh. Bahan bakso, bahan soto, ayam bumbu rujak, urap-urap, sosis, nugget, cake, jeli buatan sendiri, dan buah-buahan. Juga roti mariam dan siomay. Di lemari kue, penuh dengan kue-kue kesukaan belasan anak kecil itu. Toples-toples tempat kue juga telah siap dengan macam-macam kletikan manis dan gurih. 

Momen seperti ini termasuk momen yang saya tunggu. Hampir setiap tahun para keponakan berlibur di rumah kami ketika masa libur sekolah. Tentu saja dengan eyang utinya, ibu saya. Berbagai acara telah kami siapkan untuk mengisi liburan mereka selama di Surabaya.

Pagi ini, selepas sarapan pagi,  kami semua pergi ke Taman Safari, Prigen. Danang sekeluarga tidak ikut, karena mereka sudah bertolak kembali ke Blitar selepas shubuh tadi, diantar mas Ayik ke terminal Bungurasih. Sementara ibu memilih di rumah karena rombongan keluarga dari Sragen dan Rembang juga mau datang. Mereka sedang memanfaatkan waktu liburan ini untuk muhibah, start dari Sragen, terus ke pakde kami di Boyolali, lanjut ke bulik di Pamekasan, menginap semalam di sana, dan pagi ini melanjutkan perjalanan ke Surabaya, ke rumah kami. Karena saya dan mas Ayik harus mendampingi para saudara dan anak-anaknya jalan-jalan, maka ibu memilih di rumah menunggu tamu. Ibu memang menjadi tujuan utama para saudara kami itu, selain juga kami semua tentu saja.

Acara di Taman Safari berjalan lancar. Dua mobil, satu mobil L-300 yang dikendarai mas Ipung, dan satu mobil Terios yang dikendarai mas Ayik, penuh semua. Oya, kami juga mengajak mbak Yah sekeluarga. Anaknya yang kelas satu SD, Vania,  juga berhak mengisi liburannya bersama kami semua. Mbak Yah sekeluarga inilah yang menunggu rumah lama kami. Dia yang momong Arga, anak kami, sejak Arga masih kelas nol kecil. Sembilan tahun ikut kami, dan berhenti karena menikah. Tapi setelah menikah dan punya anak, dia kembali ikut kami sekaligus kami minta untuk menunggu rumah lama, daripada dia sekeluarga kontrak atau kost di tempat lain. Suaminya, namanya Slamet, bekerja di PT. Jacob, di tempat mas Ayik bekerja, sebagai karyawan kontrak.

Cuaca sangat bersahabat pagi ini. Mendung tapi tidak hujan. Sempat ada gerimis kecil tapi hanya sebentar, dan tidak menghalangi kami menggelar tiga tikar di salah satu sudut di Taman Safari dan membeber semua makanan bekal kami. Nasi putih, terong kukus sambal kelapa, botok ketela pohon, ayam bumbu rujak, sosis, nugget, bahkan lento dan dadar jagung. Krupuk kulit ikan, krupuk rambak, dan rempeyek kacang hijau pedas juga ada. Krupuk kulit ikan dan krupuk rambak oleh-oleh dari mbak I'ah, istri mas Zen. Rempeyek oleh-oleh dari dik Utik, adik saya yang tinggalnya di Bojonegoro. Maka kami semua makan dengan nikmat. Tidak ada yang lebih membahagiakan daripada saat-saat berkumpul dengan sanak-saudara seperti ini, apa lagi dalam keadaan semua sehat dan bergembira.

Keluar dari Taman Safari, kami bermaksud berhenti di pedagang durian, tapi urung. Kami hanya membeli sebuah nangka masak yang sangat besar, beberapa buah nenas, dan dua ikat petai, serta beberapa kilogram apokat. Pesta durian ditunda dulu. Pertama, karena kami masih kenyang. Kedua, kami ingin segera sampai di rumah, biar bisa bertemu dengan para saudara yang sejak dhuhur tadi sudah datang di rumah kami.

Di tengah perjalanan pulang, saya menelepon dik Yusuf, putranya paklik dari Sragen, paklik Wahab, kalau kami sudah turun dari Prigen dan akan langsung pulang. Kami ingin bisa bertemu dengan saudara-saudara misan kami itu, juga tentu saja ingin bertemu paklik Wahab, ayahnya dik Yusuf. Bulik Kafiyah, istri paklik Wahab yang adiknya ibu saya, baru saja 'kapundhut' pada ramadhan yang lalu.

Bertemu paklik Wahab sekeluarga hebohnya persis seperti yang sudah saya duga. Kami memang sangat akrab dengan paklik Wahab sekeluarga. Setiap kali ketemu pasti 'berantem'. Lebih heboh lagi karena dua adik dik Yusuf, namanya dik Ifah dan dik Irfan, ramainya luar biasa. Dua anak ini sepertinya memang dilahirkan sebagai 'tukang bikin onar'. Tidak bisa diam, selalu mencari sasaran untuk diusilin, dan sepertinya bahagia banget kalau sudah sukses memperdayai atau mempermalukan orang. Tentu saja bukan dalam arti sesungguhnya, melainkan sebatas olok-olok dan bercanda. Meskipun mereka berdua sekarang sudah 'beranak-pinak', namun kelakuannya tidak berubah sama sekali.

Paklik Wahab sekeluarga pamitan setelah kami beramai-ramai foto bersama di depan rumah. Mereka akan melanjutkan perjalanan ke Gresik, Tuban, Rembang, dan kembali ke Sragen. Sebuah buku juga sudah didekap dik Ifah. Buku 'Jejak-jejak Penuh Kesan'. Buku yang dimintanya dari saya dengan 'setengah mekso'. Tapi tentu saja saya memberikannya dengan hati ikhlas lahir dan batin. He he....

***

25 Desember 2012

Hari ini hari natal. Pagi-pagi saya sudah mendapat sms: 'Slmt bbhga pd pesta kelahiran Tuhan yesus kristus semoga kita smua bersatu dlm cinta kristus'. He he. Entah siapa yang mengirimnya, hanya nomer ponsel tanpa nama. Saya perkirakan salah satu peserta SM-3T atau salah satu guru di daerah 3T tempat para peserta SM-3T Unesa ditugaskan.

Saya dan mbak Yah sudah membuka dapur umum selepas shubuh. Hari ini makan pagi dengan menu sederhana saja. Nasi putih, dadar telur, tempe goreng, oseng cumi, sambal bawang, dan lalapan.

Pukul 05.00 ternyata satu per satu anak-anak sudah mulai bangun. O'im, Ashfa, Sa'ad, Anang, Evi, Ima, Haris, bahkan Ibil, Husein dan Alia yang masih belum genap dua-tiga tahun pun sudah bangun. Entah apa yang mereka rencanakan sepagi ini. Oh, saya baru tahu, ternyata mereka sudah merancang acara bersepeda. Maka mas Ayik, Arga, dan Anang, para laki-laki dewasa pun menyiapkan sepeda untuk mereka. Semua sepeda koleksi mas Ayik keluar. Lima seli (sepeda lipat) dan tiga sepeda gunung. Dipimpin tiga orang itu, anak-anak bersepeda ke Masjid Al-Akbar yang memang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah kami. Anak-anak yang masih belum bisa naik sepeda berkendara naik mobil kami bersama bapak ibunya. Jadilah rumah sepi. Hanya saya, mbak Yah, dan ibu. Kalau mereka datang, mereka pasti lapar, oleh sebab itu hidangan sarapan harus kami siapkan segera.

Teh, kopi, susu coklat dan roti kering sudah tersedia di teras. Hidangan makan pagi juga sudah siap. Begitu mereka tiba dari masjid Al-Akbar, hampir semua makanan itu segera 'dibereskan'. Lantas setelah mandi dan bersiap, berangkatlah kami semua meneruskan acara mengisi liburan natal ini.

Tujuan pertama adalah Gramedia. Supaya tidak terlalu jauh, dan bisa sekalian window shopping, kami memilih Gramedia di lantai dua Royal Plaza. Begitu masuk Gramedia, anak-anak itu spontan semburat. Senang sekali saya melihat antusiasme mereka pada buku-buku. Saya menghadiahi mereka satu dua buku yang mereka suka, untuk semua. Mereka boleh memilih sendiri. O'im yang saat ini sudah kelas enam SD, memilih buku 'Detik-detik Menjelang UN' dan sebuah buku sejarah. Anang memilih buku tulisan Sujiwo Tejo dan buku tentang Jokowi. Arga, seperti biasa, mengambil buku-buku musik dan juga CD lagu-lagu kesukaannya. Evi, Ima, Ashfa dan Sa'ad, memilih dua buku, satu buku cerita dan satu buku pengetahuan. Semua menyetorkan buku-buku pilihannya ke saya yang juga sedang sibuk memilih-milih buku-buku pendidikan. Termasuk Husein, si kecil yang belum tiga tahun, menyetorkan dua buah buku mewarnai. He he, senang sekali melihat mereka riang gembira karena mendapatkan hadiah buku.

Oya, kami sempat bertemu mas Rohman sekeluarga di Gramedia. Dia sedang mencarikan tenda untuk putrinya, Alif. Mas Rohman sekeluarga adalah sahabat baik kami, maka jadilah kami ngobrol sebentar sambil menunggu antrian di kasir.

Dua hari ini kami sekeluarga begitu sibuk. Waktu dan tenaga sepenuhnya kami sediakan untuk mereka. Bukan hanya karena mereka adalah saudara-saudara kami. Tapi lebih dari itu, mereka adalah tamu-tamu kami. Menghormati dan memuliakan tamu adalah anjuran Rasulullah. Begitulah selalu yang dinasehatkan dan dicontohkan oleh bapak dan ibu kami. Memuliakan tamu adalah wajib hukumnya.
 
Alhamdulilah, mungkin karena kami suka menerima tamu, rumah kami sering ''ketamon'. Kadang-kadang sekedar untuk transit semalam-dua malam bagi saudara-saudara yang sedang melakukan perjalanan jauh, misalnya dari Solo ke Pamekasan atau sebaliknya. Kadang-kadang juga sebagai tempat 'penampungan' teman-teman atau sanak saudara yang bermaksud menghadiri acara pernikahan saudara kami yang tinggalnya di Surabaya. Ada juga seorang teman kami yang suka menginap di rumah bila ada tugas atau kegiatan mendampingi siswa-siswanya. Sementara siswa-siswanya tidur di mess, dia memilih tidur di rumah kami.

Namun tidak seperti hari-hari biasa, pada saat musim libur seperti ini, sebagaimana hotel-hotel dan penerbangan, rumah kami juga mengalami 'peak season'. Hehe....

Wassalam,
LN

Senin, 03 Desember 2012

Puisi Ultah untuk Mas Ayik

Puisi Ultah untukmu

Mungkin hanya sederet puisi
Sebagai saksi hari ini
Saat pagi menyibak hari
Dan matahari melumat bumi
Menghimpun semua asa di hati

Duhai, kasih
Cintaku seputih kapas
Selembut sutra
Sewangi mawar
Seelok purnama
Seluas samudra
Seindah semesta

Rinduku adalah malam 
yang menunggu pagi
Kemarau panjang
yang menanti hujan
Rindu seorang pengelana
yang mengharap pulang

Adalah padang gersang 
yang luas menghampar
Akulah sang musafir
Dan kau oase berlimpah air
Tak sekedar pelepas dahagaku
Juga pembasuh sekujur jiwaku

Simpanlah hatimu hanya untukku
Biar bisa kulalui setiap malamku bersamamu
Genggamlah rindumu hanya untukku
Biar bisa kujalani sepanjang waktu selalu di sisimu
Selalu
Tak lekang oleh waktu
Tak aus oleh ragu
Tak pupus karena jemu

Selamat ultah, kekasih
Segala yang terbaik untukmu
Senantiasa kumohonkan
dari Yang Maha Kasih

Surabaya, 4 Desember 2012

Sabtu, 17 November 2012

Pernikahan Emas Bapak dan Ibu

Hari ini tepat 50 tahun pernikahan bapak dan ibu. Lima puluh tahun masa pernikahan, tentulah sebuah 'prestasi' yang patut disyukuri. Berbagi rasa syukur dan kebahagiaan ini kami wujudkan dengan acara tasyakuran, dengan mengundang tetangga kiri kanan dan sanak saudara.

Saudara-saudara bapak dan ibu datang dari Jakarta, Malang, Ponorogo, Bekasi, Bogor, dan lain-lain. Rupanya mereka semua tidak ingin kehilangan momen bahagia ini. Sejak kemarin, rumah kecil di perum TAS 2 tempat tinggal bapak ibu ini sudah penuh dengan sanak saudara. Kami juga menyewakan beberapa kamar di penginapan PKPRI di Sidoarjo untuk menampung tamu-tamu istimewa tersebut. Ibu dan kakak 'mbarep' saya beserta istrinya juga rawuh dari Tuban. Rencananya, ibu Tubanlah nanti yang akan 'maringi ular-ular' pada acara tasyakuran ini.

Sesuai undangan, acara akan dimulai pukul 19.00. Sebuah tenda hijau lumut memayungi jalan di depan rumah. Puluhan kursi tertata rapi. Sebuah panggung di satu sisi, dan sebuah meja makan untuk prasmanan di sisi yang lain. Kursi-kursi mulai terisi. Selain para tetangga, termasuk tetangga-tetangga dari Bibis Karah Sawah, juga beberapa sahabat saya dan teman-teman adik. Ada beberapa teman dosen yang juga hadir, bu Hani dan pak Dewanto, suami istri dosen FT. Ada pak Hasan Dani, dosen FT juga. Dia hadir bersama istrinya, dik Tatik, adik kelas saya ketika kuliah. Bu Lucia dan suaminya, mas Primanto, juga datang. Juga dik Hendro dan mas Putu beserta istri dan seorang anaknya, dua-duanya alumni FT. Sebagian besar teman-teman yang datang itu adalah para anggota Kobamin (Komunitas Mbambung Indonesia). 

Oya, ada juga sahabat saya yang selama ini telah banyak membantu saya menulis dan menerbitkan buku. Siapa lagi kalau bukan mas Rohman. Dia datang sendirian, tapi--seperti biasa-- dengan menenteng kameranya. Maka tepatlah kalau malam ini mas Rohman 'didapuk' sebagai seksi dokumentasi. 

Teman-teman yang tidak bisa hadir sudah menyampaikan permohonan maafnya. Senin nanti jurusan PKK akan divisitasi untuk akreditasi dari BAN-PT, dan teman-teman sejak beberapa hari ini kerja lembur untuk mempersiapkan segala sesuatunya. 

Salah satu asesor yang akan melakukan visitasi itu adalah sahabat saya, bu Yuswati, dosen UNY. Saat ini dia juga sedang duduk di antara para keluarga besar kami, termasuk para besan bapak ibu. Dia memang kami undang juga untuk menghadiri acara ini. Bu Yus, begitu panggilannya, sudah kenal baik dengan bapak ibu dan adik-adik. Rumahnya yang besar di Yogya juga sudah pernah kami kunjungi, bahkan kami 'inapi' beramai-ramai waktu itu, ketika kami sekeluarga, lengkap dengan bapak ibu dan adik-adik rekreasi ke Yogya.

Acara demi acara dipandu oleh  mas Marsudi, yang menyediakan diri menjadi pembawa acara. Beliau putra menantu budhe kami. Guru Besar di Fakultas Perikanan Unibraw. Acara pembukaan dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Quran, yang dibawakan oleh Ibu Rochim (ketua kelompok pengajian di RT).  

Setelah bu Rochim mengakhiri lantunan ayat-ayat sucinya, tibalah pada acara sambutan oleh bapak dan ibu. Dengan terbata-bata, bapak menyampaikan sepatah dua patah kata. Benar-benar hanya sepatah dua patah, karena bapak belum memungkinkan untuk bicara banyak. Stroke yang menyerang beliau menyebabkab suaranya sangat pelan dan tidak terlalu jelas. Bapak hanya mengantarkan ibu untuk memberikan sambutan. Ibulah yang akhirnya menyampaikan rasa terimakasihnya pada para tamu, permohonan maafnya, dan juga rasa syukurnya karena Allah telah memberikan kesempatan pada bapak dan ibu mencapai 50 tahun pernikahan dengan selamat. 

Setelah itu adalah acara sungkeman. Mas Ayik, saya, Arga, memulai sungkem dulu ke bapak ibu. Disusul Iwuk dan istrinya, dik Diah. Kemudian Rini dan anaknya, Ichiro. Adik laki-laki kami, Dedi, suaminya Rini, tidak bisa hadir karena sedang menunaikan tugas di Laos. 

Keharuan yang sudah sejak tadi mewarnai kata sambutan ibu, akhirnya pecah ketika acara sungkeman. Bapak dan ibu memeluk kami satu persatu, nyaris tanpa kata-kata, kalau pun ada hanya gumaman yang tidak jelas, karena tertutup oleh tangis. Bapak dan ibu memerah matanya, dan bergumam dengan bibir bergetar. Saya sendiri merasakan sakit sekali di tenggorokan karena menahan haru. 

Dilanjutkan dengan acara pemberian kenang-kenangan dari bapak ibu untuk semua 'putro wayah'. Kami menerima kado dengan penuh suka cita. Ichiro, cucu terkecil pun, juga tertawa-tawa girang menerimanya. Acara ini juga sekaligus untuk memperingati ultahnya yang kelima. Anak itu mengacung-ngacungkan hadiahnya, sehingga mengundang para tamu tertawa. Ichiro, keponakan kami itu, adalah anak dengan kebutuhan khusus, yaitu down syndrom. Namun di mata kami, anak itu begitu cerdas dan, sebagaimana anak kecil pada umumnya, dia sangat lucu dengan segala tingkah polahnya.

Menginjak acara berikutnya, yaitu pemberian kenang-kenangan dari 'putro wayah' untuk bapak dan ibu. Mas Ayik yang mewakili kami semua. Dia memberikan kata sambutan sebelum menyerahkan kado pernikahan emas dari kami sekeluarga. Apa yang dia sampaikan membuat kami semua kembali diliputi keharuan. Mas Ayik menjadi begitu cengeng ketika mengungkapkan rasa syukurnya, rasa terimakasihnya pada bapak dan ibu, dan juga kepada para tetangga dan sanak keluarga yang selama ini telah ikut serta menjaga bapak dan ibu. 

Di ujung sambutannya, mas Ayik menyerahkan kado dari kami sekeluarga untuk bapak dan ibu. Sebuah buku. Judulnya 'Jejak-jejak Penuh Kesan'. Buku yang saya tulis sendiri. Mas Ayik juga tidak lupa mengucapkan terimakasih pada mas Rohman yang telah membantu menerbitkan buku itu. Dalam buku kecil bersampul indah itu, mas Rohman telah mengatur dengan sangat manis tulisan-tulisan saya dalam tema-tema:  Religi, Birrul Walidain, My Family, Orientasi, Misi, Travelling, Sosok, dan Sisi Lain. Buku dengan 282 halaman itu bersumber dari tulisan-tulisan saya yang ada di website saya. 

Ibu mendekap buku kado kami itu dengan penuh haru. Buku itu pasti menjadi kejutan yang manis bagi beliau. Dipeluknya saya erat-erat sebagai ungkapan terimakasihnya. Ibu sangat suka membaca. Sebuah hadiah berupa buku, apalagi ditulis sendiri oleh anaknya, mungkin menjadi sesuatu yang sangat berarti. Saya bisikkan ke telinga bapak, ibulah yang nanti akan membacakan buku itu untuk bapak.  
                          
Setelah acara yang cukup menguras air mata itu, tampillah acara selingan, yaitu musik patrol. Belasan anak-anak usia SD dan SMP memainkan alat-alat musik tradisional dengan irama yang rancak dan kadang-kadang mengundang tawa karena kocaknya. Menurut dik Diah, istri Iwuk, anak-anak itu rela berlatih hampir tiap malam selama berhari-hari demi mempersiapkan penampilan mereka ini. Menyenangkan sekali menyadari, bahkan anak-anak dan para remaja pun menyayangi bapak dan ibu.

Setelah musik patrol selesai, tibalah acara yang saya tunggu-tunggu. Ya, bagi saya, inilah acara yang paling spesial di antara acara spesial yang lain. Mauidhoh dari ibu Basjiroh Zawawi. Dialah ibu saya. Perempuan 79 tahun itu bergerak dari tempat duduknya dengan penuh percaya diri. Meski posturnya kecil, ibu seperti menyimpan keperkasaan yang memancar dari dalam. Suaranya yang agak serak karena batuk, tetap terdengan cukup lantang dan tegas. Mata bulatnya memancarkan kecerdasan dan kearifan. Kata-katanya yang 'penuh gizi' meluncur deras, memukau kami semua. Entah kenapa, saya selalu terpesona setiap kali menyimak 'pidato' ibu. Saya selalu merasa bukan siapa-siapa bila mendengarkan nasehat-nasehat bijaknya. Merasa kecil, merasa begitu bodoh, dan merasa betapa banyak pelajaran hidup dan kehidupan yang harus terus saya pelajari. Ibu, adalah perempuan terhebat dalam hidup saya. Bahkan sampai saat ini. Dengan segala kesederhanaan, kerendahatian, dan kearifannya.

Ibu mengakhiri mauidhohnya dengan membaca doa. Doa untuk kesejahteraan kami semua. Untuk bapak ibu, untuk semua keluarga dan anak turun kami, untuk para tamu dan keluarganya. 

Setelah itu, pembawa acara menyilakan kami menikmati hidangan. Nasi pecel pincuk khas ponorogo, sate ayam ponorogo, sate gule kambing (dari aqiqoh dik Diah), dan juga hidangan yang lain. Sebagai hidangan penutup adalah buah potong dan es menado. 

Selama acara ramah tamah itu, musik keroncong mengalun. Grup keroncong langganan kami melantunkan lagu-lagu yang sebagian besar sudah kami kenal. Bapak dan adiknya, pak Hariyadi (adik ragil Bapak yang datang dari Jakarta), 'nggetu' di depan panggung. Bapak 'request' lagu 'Jali-Jali'. Beberapa kali pak Hariyadi ikut menyanyi. Lagu yang dinyanyikan salah satunya adalah 'Pahlawan Merdeka', karena bertepatan dengan Hari Pahlawan.  Juga, tentu saja, dik Diah dan Iwuk. Iwuk menyanyikan lagu 'Stambuel Chacha'. Dia juga menyanyikan lagu 'Ayah', dengan begitu penuh perasaan, sehingga membuat banyak orang kembali berurai air mata.

Beberapa tetangga juga ikut menyumbang lagu dan berjoget beramai-ramai. Tidak mau ketinggalan, anak lanang kami, ikut turun menyanyi dengan gayanya yang kocak dan mengundang gelak tawa. Lagunya adalah 'Layang Suworo'.  Dia berjoget lucu di depan akungnya sampai akungnya terpingkal-pingkal. Selain Arga, teman Arga yang juga masih saudara, namanya Dio, ikut juga menyanyi. Lagunya 'Bengawan Solo'. Dio ini putranya kakak misan, dan kebetulan dia sekelas dengan Arga. Mas Ayik, seperti biasa, menyanyikan lagu kesukaannya, 'Esok kan Masih Ada'.

Musik keroncong masih mengalun ketika para tamu mulai berpamitan. Ibu dan kakak saya malam ini 'nyare' di rumah kami, di Karah. Beliau tidak 'kerso' 'nyare' di penginapan yang sebenarnya sudah kami siapkan. Beliau merasa lebih nyaman di Karah, semua tersedia, dan selalu ada mbak Iyah yang siap sedia membantu apa pun kebutuhan ibu. Beberapa saudara dari Jakarta, Ponorogo, Malang, menginap di penginapan yang sudah kami sediakan.

Menjelang tengah malam, acara tasyakuran dan suka ria itu berakhir. Panggung dan segala alat musik beserta sound system-nya dikemasi. Meja-meja dibersihkan. Piring dan gelas kotor dicuci. Kursi-kursi ditumpuk-tumpuk di sudut-sudut halaman. Petugas katering sudah mengusung semua panci dan alat makan ke mobilnya. Para tamu dan pemain musik sudah meninggalkan tempat sejak beberapa saat tadi. Tinggal kami: bapak ibu, paklik Hariyadi dan tante Is (istri paklik), Iwuk dan dik Diah, bu Eko (tetangga yang membantu kami), serta saya dan mas ayik. 

Seperti serba otomatis, kami pun berbagi tugas. Dik Diah dan bu Eko mencuci pecah belah di dapur. Mas Ayik dan Iwuk membereskan kursi-kursi dan meja-meja. Saya benah-benah di dalam rumah. Kado-kado yang berserakan, remah-remah makanan dan kue-kue yang berceceran, dan  sisa-sisa hidangan yang masih memenuhi meja makan. 

Dini hari menjelang. Kami selesai bekerja pada 02.30-an. Tubuh lelah dan mata mengantuk. Tapi hati senang. Esok pagi, ketika bapak ibu bangun dari tidurnya, beliau akan menyambut hari dengan keceriaan dan kebahagiaan. Rumah tempat tinggal sudah rapi, dan aktivitas rutin bisa dimulai sebagaimana biasa. 

Satu babak baru dalam hidup bapak ibu telah terlewati. Semoga babak-babak selanjutnya mampu dijalani. Insyaallah. 


Perum TAS 2, Tanggulangin, Sidoarjo,
Sabtu 10 November 2012. 

Wassalam,
LN

Rabu, 14 November 2012

Perayaan 1 Muharram 1434 H


Pagi ini kampung kami sedang menyelenggarakan perayaan 1 Muharram. Perayaan yang cukup meriah. Ada jalan sehat, ada doorprize, ada bazar, ada musik live. Cukup apik untuk skala RW, dengan remaja masjid sebagai panitianya.

Pukul 06.00 WIB peserta jalan sehat diberangkatkan. Yang memberangkatkan adalah Bapak Haji Parlan Diyatno. Beliau salah satu sesepuh di RT kami, juga pembina RW. Peserta jalan sehat lumayan banyak, mungkin sekitar dua ratusan, mulai bayi yang masih digendong ibunya sampai nenek-nenek, laki-laki dan perempuan. 

Rute jalan sehat dimulai dari TPA di sebelah rumah kami. Menyusuri jalan kampung, jalan besar, masuk jalan kampung lagi. Tidak lebih dari satu jam, kami semua sudah kembali lagi ke tempat start tadi. Tapi lumayan, cukup berkeringat juga.

Di TPA, yang sekaligus menjadi tempat finish itu, live music menyambut kami. Seorang siswa SD memainkan drum, seorang lagi memainkan keyboard, dan seorang lagi memegang bas. Semuanya masih anak-anak. Entah dimana anak-anak itu belajar,dan kapan mereka latihan bersama mempersiapkan penampilan mereka. Yang jelas, mereka tampil dengan bagus, cukup mengundang kekaguman kami para warga kampung Bibis Karah Sawah dan sekitarnya ini. Maka di antara penampilan mereka, tepuk tangan pun bergemuruh. Meriah sekali.

Di sekitar tempat pertunjukan itu, ibu-ibu menggelar bazar. Yang dijual antara lain lontong sayur, nasi pecel, es kopyor, es cao, es degan, cilok, dan bakso. Ada juga yang jual daster dan kerudung, penjualnya mahasiswa FE Unesa semester lima. Dia memanggil-manggil nama saya. Ketika saya mendekat, dia mengenalkan diri sebagai mahasiswa Unesa, mahasiswanya bu Iriani. Dengan lagaknya yang persis pedagang di Pasar Wonokromo, dia menawar-nawarkan daster dan kerudung-kerudung di depannya. Agak 'maksa'. Maka saya ambillah satu daster, sambil ngeledek dia, bakul daster dan kerudung campur. 'Campur apa, bu?' Tanyanya. 'Campur mekso....'. Tentu saja saya hanya bercanda dengan kalimat saya. Saya justeru bangga dia melakukan kegiatan wirausahanya itu, di saat teman-temannya mungkin sedang bersenang-senang dan bersantai menikmati libur awal tahun ini.

Saya dan mas Ayik makan lontong sayur dan es cao. Sambil menikmati semua yang ada di hadapan kami. Live music yang melantunkan lagu-lagu religi, anak-anak kecil bersama ayah bundanya yang sedang menikmati macam-macam makanan yang dijual di bazar, para remaja masjid yang sedang membagikan door prize, dan para orang tua yang sedang bersuka cita. Suasana kampung yang guyub rukun dan tentram. Meski hidup di Surabaya, kami masih sangat menghargai hal-hal kecil yang menjadi kultur kehidupan kampung. Saling berbagi oleh-oleh atau hasil panen, saling mengunjungi bila ada yang sakit, saling membantu bila ada yang kesusahan atau 'punya gawe', dan saling menyapa ramah setiap kali berpapasan. Menyenangkan sekali menyadari betapa hal-hal manis itu tidak tergerus oleh kemajuan zaman yang sangat materialistis seperti sekarang ini.

Anak-anak beraksi di panggung musik sederhana.
Di antara acara musik dan pembagian door prize, kuis juga dilemparkan oleh panitia. Siapa pun yang bisa menjawab akan diberi hadiah. Kuisnya sederhana-sederhana saja. Misalnya, siapa nama bapak RW, siapa yang punya warung di lapangan voli, siapa yang bisa membaca salawat badriyah, siapa yang bisa membaca doa sebelum makan, dan sebagainya. Yang lucu, ketika ada kuis, siapa ketua TPA, seorang anak kecil maju ke depan dan dengan lantang dia menjawab: 'Cak Mat'. Maka meledaklah tawa kami semua. Cak Mat, adalah penjaga dan tukang bersih-bersih TPA. Mungkin karena setiap hari anak itu melihat Cak Matlah yang membuka pintu TPA, membersihkan, menutupnya kembali, dan juga tidur di situ, maka pikiran polosnya melihat Cak Mat jugalah yang jadi Ketua TPA.

Acara suka ria itu bahkan belum rampung juga saat ini (pukul 09.13 WIB). Acara pemberian door prize jeda sejenak, musik bermain lagi. Para ibu-ibu masih mengelilingi tempat bazar. Para remaja bersenda gurau di beberapa titik. Anak-anak duduk di depan pemain band mini itu karena mereka ikut bernyanyi bersama penyanyinya. 

Anak-anak dan lucu bersama ibunya.
Semoga perayaan 1 Muharram ini tidak membuat kita kehilangan esensinya. Mampu melakukan instropeksi diri dan selalu berusaha menjadi insan-insan yang lebih baik di tahun-tahun mendatang. Sebagaimana harapan dalam doa awal tahun yang kita panjatkan usai salat maghrib tadi malam.

وَصَلَّى الله ُعَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ ، اللَّهُمَّ أَنْتَ اْلأَبَدِيُّ الْقَدِيْمُ اْلأَوَّلُ، وَعَلَى فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ وَجُوْدِكَ الْمُعَوَّلِ، وَهَذَا عَامٌ جَدِيْدٌ قَدْ أَقْبَلَ نَسْئَلُكَ الْعِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَوْلِيَآئِهِ وَجُنُوْدِهِ، وَالْعَوْنَ عَلَى هَذِهِ النَّفْسِ اْلأَمَّـارَةُ بِالسُّوْءِ وَاْلإِسْتِغَالَ بِمَا يُقَرِّبُنِيْ إِلَيْكَ زُلْفَى، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَ اْلإِكْرَامِ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. وَصَلَّى الله ُعَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصَحْابِهِ وسلّم. 

Selamat tahun baru Hijriyah, semoga ridho Allah SWT senantiasa mengiringi setiap langkah kita.

آمِيّنْيْ..

Bibis Karah Sawah, Jambangan, Surabaya
Kamis, 15 November 2012

Wassalam,
LN

Rabu, 24 Oktober 2012

Buku untuk Bapak-Ibu

Akhir bulan ini insyaallah akan terbit buku saya, buku yang saya tulis sebagai hadiah pernikahan emas untuk bapak dan ibu. Inilah pengantar untuk buku sederhana itu.


'Catatan Perjalanan
Jejak-jejak Penuh Kesan'

Buku ini saya tulis nyaris tanpa persiapan. Sebagai sebuah buku yang ingin saya hadiahkan kepada Bapak dan Ibu pada peringatan 50 tahun pernikahan beliau, saya tidak menulisnya secara khusus. Suatu hari, saya masih ingat tanggalnya, di suatu sore pada 19 September 2012, tiba-tiba saja keinginan itu muncul. Keinginan untuk memberikan sesuatu kepada Bapak dan Ibu untuk menandai peringatan pernikahan emas beliau.

Spontan, saya mengutarakan keinginan itu pada mas Rohman, sahabat saya. Kenapa pada dia? Ya, karena selama ini, mas Rohman merupakan salah satu kawan yang gigih mendorong saya untuk membuat blog, dan menyediakan diri untuk 'ngopeni' blog saya. Tidak hanya itu. Mas Rohman juga yang membantu saya membuat buku tentang Makanan Khas Jawa Timur, mulai dari konsep awal sampai jadi. Dia yang alumni Pendidikan Bahasa Indonesia IKIP Surabaya itu, dan sudah bertahun-tahun menjadi redaksi sebuah tabloid kuliner, tentu saja punya segudang pengalaman, sehingga tanpa saya minta dia menjadi penyunting, fotografer, dan bahkan mengurus layout buku dan lain-lainnya.

Saya sendiri sebenarnya telah memiliki blog sejak tahun 2007, namun blog itu tidak 'kopen'. Alhasil, saya hanya sempat mengunggah beberapa tulisan saya pada saat awal-awal saja. Seterusnya, bahkan password pun saya lupa. 

Cerita dulu tentang blog. Suatu ketika, saya mengirimkan tulisan ke milis keluarga unesa, sebuah mailing-list yang anggotanya adalah siapa pun keluarga Unesa/IKIP Surabaya, bisa dosen, mahasiswa, karyawan, dan alumni. Sebuah tulisan tentang Rizki Sugiarto, seorang sarjana pendidikan peserta SM-3T yang ditugaskan di daerah sangat terpencil, di pelosok Sumba Timur. Tulisan itu, menurut banyak teman, sangat menyentuh (tulisan tersebut ada di dalam buku ini juga). Maka teman-teman yang awalnya memang sudah mendorong saya untuk mengumpulkan tulisan-tulisan saya yang berceceran di milis tersebut, semakin kuat dorongannya. Salah satunya adalah mbak Sirikit Syah, dialah penulis, mantan wartawan, dosen, dan perempuan dengan seabreg prestasi itu. Dia bahkan menyediakan dirinya untuk menjadi penyunting bagi tulisan-tulisan saya jika dibukukan. Juga sahabat saya yang lain, mas Satria Darma, Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Pusat, yang juga sering 'merongrong' saya supaya saya membukukan tulisan-tulisan saya. Satu lagi sahabat saya yang akhirnya 'sukses' memaksa saya, adalah mas Mohammad Ihsan, sekjen IGI. Dengan jurusnya yang ampuh, maka berhasillah dia 'merayu' saya. Sms-nya masih saya simpan sampai saat ini. Bunyinya begini:  'Mbak Ella, tulisan sampeyan sangat luar biasa. Sayang kalau tidak dihimpun. Bagaimana kalau saya siapkan domain khusus untuk sampeyan? Tidak bayar. Boloan wae.....'. 

Maka muncullah domain dengan nama www.luthfiyah.com. Mas Ihsan menghadiahkan domain itu untuk saya, dan mas Rohman yang 'ngopeni'. Dengan setia mas Rohman mengunggah tulisan-tulisan saya yang saya post di milis, atau yang langsung saya kirim ke dia via email. Tak ada serupiah pun yang saya keluarkan untuk itu, karena mas Rohman tidak berkenan menerima. Bahkan ketika saya katakan, saya 'nitip duit es' untuk anak-anak yang diminta membantunya, dia bilang, anak-anak tidak ada yang minum es. He he... Saya benar-benar terharu dengan persahatan kami yang sederhana tapi sangat berarti ini.

Maka website itu pun jadi lumayan hidup, tidak seperti blog saya yang mati suri dan tidak bangun-bangun. Meski saya tidak terlalu rajin menulis (bukan karena sibuk, semata-mata karena saya tidak terlalu rajin menulis). Mas Rohman secara konsisten mengunggah tulisan saya yang tidak banyak itu, memberi gambar-gambar dan foto-foto, membuat website tersebut cukup menarik banyak orang untuk membaca. Beberapa teman sudah memberikan apresiasinya untuk tulisan-tulisan di web tersebut.

Lantas suatu hari, entah ketika sedang ngobrol apa, saya keceplosan bilang ke bu Kisyani, sahabat saya yang saat ini menjabat PR1 Unesa, tentang rencana pernikahan emas bapak ibu. Bu Kis bercerita tentang hadiah sebuah buku yang ditulisnya sendiri sebagai hadiah pernikahan emas bapak dan ibunya. Beliau bahkan mengirimkannya ke saya contoh buku itu, dengan catatan, contoh buku itu harus saya kembalikan, karena itu tinggal satu-satunya. Buku itu sangat manis, baik isi maupun penampilannya. Tapi saya merasa 'menyerah', merasa tidak sanggup menulis buku sebagus itu. Semata-mata karena waktu. Saat-saat itu bersamaan dengan kegiatan rekrutmen peserta program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM-3T), dan saya ditugasi sebagai koordinatornya. Waktu saya begitu banyak tersita untuk persiapan dan pelaksanaan tes administrasi, tes online, tes wawancara, prakondisi, dengan semua ikutannya. Saat ini pun, adalah hari keenam masa prakondisi, dan masih seminggu lagi kegiatan ini selesai. Setiap hari kami tim panitia harus datang pagi-pagi sekali dan pulang malam, seringkali pulang larut malam, bahkan beberapa dari kami harus menginap di Kodikmar, tempat para peserta dikarantina. Selama berminggu-minggu kami tidak memiliki hari Minggu, yang ada adalah hari Senin semua. Setelah prakondisi selesai, mereka akan diberangkatkan ke empat kabupaten 3T, yaitu ke Sumba Timur, Talaud, Aceh Singkil, dan Maluku Barat Daya. Tentu saja begitu banyak persiapan yang harus kami lakukan, termasuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat. 
Maka saya pun memendam dalam-dalam keinginan saya untuk membuat buku khusus sebagai hadiah bapak ibu. Sampai suatu ketika di sore hari (seperti yang saya sampaikan di awal tulisan ini), tiba-tiba saya ingat saya punya website, dan di situlah terhimpun tulisan-tulisan saya. Tulisan-tulisan yang berisi laporan perjalanan ketika saya dalam tugas atau ketika bersama keluarga dan teman-teman, juga catatan-catan kecil semacam buku harian, juga pikiran-pikiran saya tentang berbagai hal, khususnya dalam bidang pendidikan. 

Ketika saya kemukakan kepada mas Rohman keinginan saya untuk membuat buku yang ingin saya hadiahkan kepada bapak ibu di ulang tahun pernikahan emas beliau itu, jawaban mas Rohman membesarkan hati saya. 'Bisa, bu, kenapa tidak? Tentu saja kita pilih tulisan-tulisan yang bernuansa keluarga, juga tulisan-tulisan lain yang bernuansa humanis...'

Dan jadilah buku ini. Sebuah buku yang amat sederhana. Dari tulisan-tulisan yang juga sederhana. Dari keinginan hati yang sederhana. Sekedar sebagai tanda bahwa saya sekeluarga selalu mengingat bapak dan ibu. Dengan segala kelebihan dan kekurangan bapak ibu. Dengan segala keterbatasan kami. Dengan segala kenaifan kami. Dengan segala keikhlasan kami. 

Teriring cinta yang tulus, jiwa yang penuh kasih, hati yang selalu bersyukur, buku sederhana ini kami persembahkan kepada Bapak Ibu. Berharap engkau berdua senantiasa berbahagia dalam mengarungi sisa hidup. Tetap teguh dalam ikatan kasih yang terjalin kuat dan tak lekang oleh waktu. Tegar senantiasa meniti hari-harimu dengan penuh rasa syukur yang tak pernah putus sedetik pun. Juga dengan sepenuh doa restumu yang terus mengiringi langkah-langkah kecil kami.

Karena engkau, kami ada. Karena engkau, kami memiliki arti. Dan karena engkau, kami 'menjadi'. 

Selamat ulang tahun, Bapak Ibu......
Ridho Allah SWT selalu menyertaimu....

Kami yang mencintai,

Luthfiyah Baskoro Adjie dan Keluarga

Minggu, 26 Agustus 2012

Reuni IKASMADA Tuban

Foto bersama sahabat lama.
Rabu, 22 Agustus 2012

Reuni dan halal bi halal Smada Tuban. Diawali dengan senam aerobik pada sekitar pukul 06.00. Lanjut jalan sehat. Selesai sekitar 08.00.

Reuni ini diikuti oleh  angkatan 1982-2012. Tiga puluh tahun. Angkatan tertua sampai angkatan termuda terwakili. Berkostum kaus berwarna ungu. Bergembira ria bersama. Ada panggung hiburan yang diisi acara bebas untuk setiap angkatan. Hampir semua angkatan menampilkan lagu-lagu. Dangdut, pop, campursari. Ada juga hiburan pantomim yang lucu dan asyik. Puluhan door prize ikut melengkapi kemeriahan acara.

Konsep acara dibuat cukup unik. Nyaris tidak ada acara ceremonial. Hanya ada panggung di tengah halaman SMA 2 yang cukup luas itu, yang dipayungi dengan tenda kecil. Tidak banyak kursi-kursi yang dipasang. Sebagai gantinya adalah tikar-tikar plastik, termasuk bekas spanduk, digelar di sudut-sudut taman. SMA 2 memang merupakan salah satu sekolah yang menerima penghargaan nasional sebagai sekolah adiwiyata tahun 2012, maka tidak heran kalau halaman sekolah dan lingkungannya penuh dengan taman-taman dan pepohonan yang rimbun. Di bawah rerimbunan pohon-pohon itulah para alumni duduk bergerombol, sesuai dengan angkatannya masing-masing. 

Di sekeliling halaman, sejak pintu masuk sampai di ujung halaman, terhampar meja-meja yang memamerkan berbagai produk dari setiap angkatan. Ada yang menampilkan makanan khas Tuban, batik Tuban, kerajinan,  es siwalan, es tebu, kaus dan berbagai busana yang lain. Di salah satu sudut aula juga dipamerkan berbagai karya fotografi dari alumni. Di sudut yang lain lagi, banner-banner yang memberikan informasi tentang berbagai kegiatan yang sudah dilakukan IKASMADA, terpasang rapi dan menarik.

Dua orang pembawa acara, cowok dan cewek, 'berkicau' sejak pagi untuk mencairkan suasana. Mereka masih muda, mungkin belum lulus SMA, tapi kelihatannya sudah sangat berepengalaman membawakan acara. Pembawaanya rileks, lucu, dan seperti tidak pernah kehabisan ide untuk membuat suasana senantiasa cair dan ramai.

Foto narsis deh. Hehehe...
Satu-satunya acara yang agak ceremonial adalah ketika mas Agus Maimun, ketua IKASMADA, alumnus 1992, memberikan sambutan. Itu pun dia meminta saya mendampingi dia. Mungkin karena saya sebagai anggota dewan penasehat di organisasi IKASMADA, atau karena saya dianggap pantas untuk mewakili angkatan tertua (angkatan 85, angkatan saya, adalah lulusan pertama SMADA), atau karena saya guru besar (kelihatannya gelar profesor ini merupakan daya tarik tersendiri, meskipun sebenarnya itu bukan sesuatu yang terlalu istimewa); atau karena ketiga-tiganya. Ketika memberi sambutan pun, mas Agus membawakannya dengan sangat santai, jauh dari kesan formal; dengan sesekali meminta saya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pembawa acara. Jadi sambutan itu lebih seperti talk show. Bagus, bagus sekali kemasannya.

Di antara berbagai macam acara itu, digelar juga kegiatan donor darah. Ratusan alumni bergantian menyediakan dirinya untuk diambil darahnya oleh para petugas PMI. Benar-benar acara yang komplit.

Saya sendiri sangat menyukai acara-acara reuni seperti ini. Bertemu dengan teman-teman lama yang sekarang sudah banyak yang berubah bentuk tubuh dan wajahnya. Ada yang dulu rambutnya tebal, sekarang jadi botak. Ada yang dulu posturnya kecil dan pendek, tahu-tahu sekarang jadi tinggi besar. Ada yang dulu putih bersih, cakep, menjadi idola banyak cewek, sekarang jadi hitam dan perutnya buncit. Ada yang dulu imut-imut, sekarang amit-amit karena 'bemper'nya berubah jadi besar (termasuk saya....hehe).


Lesehan bareng di halaman sekolah.
Menjelang acara usai, kami juga sempat mengunjungi teman seangkatan kami yang sakit. Namanya Sarno. Seorang tamtama ABRI yang sudah sekitar tiga tahun tidak bertugas karena stroke. Mengharukan sekali pertemuan kami dengan Sarno. Seorang teman kami, Kasuri, berpangkat kolonel (saat ini sedang promosi bintang satu), menjabatnya dan memompa semangat Sarno dengan gaya khas perwira. Sangat khas, sangat memotivasi. Mengharukan melihat Sarno yang hormat dengan tangan kirinya, dan direspon dengan sangat simpatik oleh Kasuri. Kami pulang setelah menyerahkan sejumlah dana yang diambil dari kas alumni angkatan 85, untuk membantu pengobatan Sarno. Kasuri juga memberikan beberapa lembar ratusan ribu rupiah, dan menggenggamkan uang itu ke tangan Sarno. 

Foto bareng teman lama.

Kami kembali ke SMA 2, karena beberapa mobil kami masih parkir di halamannya. Bertemu lagi dengan panitia yang sedang berkemas dibantu oleh teman-teman yang lain. Dua teman seangkatan kami yang menjadi tim sibuk, adalah Esa dan Suryadi, sedang mengemasi barang-barang.  Kami berfoto-foto lagi sebentar, dan berpisah dengan perasaan senang dan lega. Bahagia sekali bisa sejenak bersama-sama dengan teman-teman lama....

Wassalam,
LN