
SM-3T: Kerinduan
"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan
"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja
"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam
"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga
"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."
Kamis, 09 Mei 2013
HARI-HARI BERBUNGA
Oleh: Lutfi Az
(Catatan:
Cerpen ini telah dimuat sebagai Cerita Utama di majalah remaja ’Anita
Cemerlang’ No. 272. Tgl. 18 s.d. 27 Juli 1988)
Panas yang menyengat seolah
menikam muka bumi. Kemarau rasanya telah begitu panjang, namun Tuhan tak jnga
mengirimkan hujan anugerah-Nya. Kutatapi guguran daun-daun kering yang
berserakan di mana-mana. Di seputar halaman Workshop Teknik Mesin, di dekat
pintu halaman parkir, di sepanjang pinggiran koridor
“He!”
Aku menoleh dengan kaget. "Ngelamun?"
Asih,
gadis itu, duduk di sebelahku, setelah meletakkan bakinya yang penuh makanan
dan minuman di atas meja. Siapa pun yang melihatnya pasti akan langsung tahu
kalau dia tengah kelaparan. Sekilas kulayangkan mataku ke seluruh ruangan kafe
yang pikuk. Uh, aku jadi ingat kalau ini sudah waktunya makan siang. Penjaga
kafe yang cukup banyak itu selalu kerepotan melayani tamu pada jam-jam begini.
"Nggak
makan, Ra?" Asih bertanya sambil menuangkan saus ke dalam mangkuk
baksonya. Isi mangkuk itu berubah merah sekali. Dan dia melahapnya dengan
nikmat.
"Heh,
kok bengong?"
Aku
segera tersenyum. Kutengadahkan gelas esku yang sudah kosong. Aku bersiap-siap
pergi.
"Selamat
makan siang, Sih. Aku pulang dulu!" Kugantungkan tas kuliahku di pundak.
Asih hanya mengangguk karena mulutnya penuh makanan. Tapi pada saat hampir
mencapai pintu keluar, kudengar suaranya memanggilku.
"Kau
sendirian? Tumben?"
Aku
tersenyum saja sambil mengusir sesuatu yang tiba-tiba menggigit hatiku. Andri
dan Yan tadi juga berkomentar begitu ketika kami bertemu di Gelanggang
Mahasiswa. Komentar yang wajar. Bahkan amat wajar. Selama ini aku hampir tak
pernah mereka lihat sendirian kemana pun, karena seorang Sentanu selalu berada
di sisiku. Ah! Masa lalu.
Kulangkahkan
kakiku menyusuri jalan-jalan kampus. Daun-daun kering yang berserakan di
sana-sini berisik ketika kakiku menapakinya. Kupikir ini adalah siang yang
paling terik sepanjang kemarau tahun ini. Begitu panas, begitu menyengat. Jika
besok masih ada siang yang lebih terik lagi, aku tak bisa membayangkan
bagaimana pula panasnya. Sementara itu angin yang juga berhembus keras
membangunkan debu-debu kering dan menerbangkannya ke mana-mana.
"Rara,
ikut yuk!"
Kugelengkan
kepalaku ke arah Rudi yang sudah menghentikan motornya di sisiku. Anak manis
itu semakin baik hati saja belakangan ini.
"Aku
dijemput," tangkisku.
"Mana?"
"Di
dekat pintu gerbang."
"Ya
sudahlah, kuantar sampai di sana!"
"Thanks,
Rud."
Aku menggeleng lagi, sambil tersenyum agar dia tidak, terlalu kecewa. "Aku
lagi pingin jalan
kaki."
Dan
Rudi pun mau mengerti. Dia berlalu setelah menatapku sekilas. Begitu apik dia
simpan kecewanya.
Aku
tentu saja tahu betul kalau berjalan kaki di siang yang sepanas ini, dengan
angin keras yang menerbangkan debu-debu kering, sama sekali tidak enak. Tetapi
seolah ada sesuatu yang lain yang tengah kususuri setiap kali aku berjalan
seorang diri seperti ini. Aku tidak tahu persis apa itu. Namun hampir sepanjang
jalan ini pernah kulalui bersama Sentanu. Dan jejak masa lalu itukah yang kini
tengah kuhimpun lagi?
Sentanu.
Nyatanya nama itu tak pernah - dan aku yakin pasti - tak akan pernah lekang
dari batinku. Aku tak bisa mengibaratkan dengan sesuatu yang lain, betapa
seorang Sentanu telah begitu melekat erat dalam kehidupanku. Dia tertanam di
hatiku, jauh lebih kokoh ketimbang karang di tengah laut. Jauh lebih dalam dan
lebih kuat ketimbang pohon besar yang tertancap di bumi. Dan keadaan seperti
ini, sungguh -sungguh tak bisa berubah, betapa pun dia kini ....
Sampai
di pintu gerbang kampus, aku mengedarkan mataku. Aku tak melihat siapa-siapa
yang biasa menjemputku. Pak Amir, supir kami, tak kulihat. Bagas, adikku, juga tak
kulihat. Ayah apalagi. Sesiang ini beliau pasti masih berkutet di kantornya.
"Rara…
!”
Sebuah
suara, meski pelan, begitu mengejutkanku. Dan aku lebih. terkejut
lagi ketika tahu siapa lelaki setengah baya yang berdiri di depanku itu.
"Bapak ada di sini?" tanyaku senang sekali. Beliau tertawa dan
merangkul bahuku. Dibukanya pintu sedan biru langitnya, dan aku duduk di
sebelahnya tanpa canggung sedikit pun. "Tadi Bapak ketemu Bagas, lantas
Bapak usir dia!" Beliau tertawa lagi, lepas sekali. Ada kerinduan yang
sangat yang tak mampu dia sembunyikan. Perasaanku sendiri mulai berkecamuk.
Masa lalu yang kelewat manis selalu tak mampu kutolak dengan dinding hatiku
yang memang rapuh, setiap kali dia hadir seperti ini. "Bapak kangen,"
Beliau bersuara lagi. "Dua bulan kita tak pernah bertemu dan berbincang,
begitu lama rasanya. Kau sungguh-sungguh tak sudi ke rumah lagi?"
Ditatapnya aku sekilas, namun begitu tajam. Begitu menikam. "Tidak untuk Nunu, Rara. Tapi untuk
Bapak, Ibu, Iwuk dan Dedy. Mereka semua kangen. Mereka semua menanyakanmu. Dan
kau bisa bayangkan betapa bingungnya Nunu setiap kali menghadapi pertanyaan
mereka tentang kau!"
Mobil
yang semula berjalan lurus kini berbelok. Panas di luar tak lagi kuhiraukan
kini. Sebab ada yang jauh lebih membara dan menggelegak di dalam sini. Oh,
kerinduan ini ternyata tidak hanya pada Sentanu seorang. Tetapi juga pada
seluruh keluarganya. Dan kalau begini, aku tak tahu apakah aku harus menyesal
dengan keputusan yang telah kuambil. Semakin kusadari betapa sebenarnya aku
amat takut menghadapi sesuatu yang bernama kehilangan!
"Kita
makan dulu. Setuju?"
"Tapi.
. . . "
"Kau
ditunggu di rumah? Baiklah. Lain kali tak apa. Jadi langsung pulang?"
Aku
mengangguk. Haru. Beliau tak pernah memaksaku. Juga Sentanu. Itulah. Sentanu
memang terbaik buatku. Dalam segala hal. Sayang dia hanya manusia biasa, yang
tak akan pernah lepas dari salah. Dan dia telah melakukannya,
begitu fatal. Dan hatiku begitu sulit untuk memaafkannya. Dan aku kehilangan!
***
Siang itu panas cukup
terik, tapi hatiku sejuk saat turun dari bus yang membawa kami kembali ke
kampus, setelah tiga bulan melaksanakan KKN. Aku telah melihat
Sentanu sejak bus memasuki pintu gerbang tadi, dan betapa waktu yang tidak
terlalu lama ini telah diam-diam menyiksa kami. Mengendapkan kerinduan dan
memutuskan sementara sebuah kebersamaan.
"Apa
kabarmu, Rara?" Sentanu menjabat tanganku erat, erat sekali, dengan
kerinduan yang begitu sarat di matanya. Andaikata tidak banyak orang, rasanya
ingin sekali aku menghambur ke dalam pelukannya. Supaya dia tahu bahwa aku pun
telah begitu lama mengharapkan pertemuan seperti ini.
Dan
seharian itu, tanpa mempedulikan sisa-sisa lelahku sehabis KKN, kuhabiskan
bersama Sentanu. Aku ingat betul besok hari ulang tahunnya. Sebuah kipas
cendana bertuliskan 'Rara-Sentanu', yang kupesan khusus dari temanku di Bali,
telah kusiapkan dengan bungkusnya yang manis sekali sejak seminggu yang lalu,
pada saat aku masih di lokasi KKN. Aku ingin dia tahu betapa aku tak pernah
bisa sedetik pun untuk tidak mengenangnya.
Tapi
justru pagi di hari ulang tahunnya itulah awal badai yang memporak-porandakan
hubungan kami. Sentanu menerima kiriman bunga, lengkap dengan kartu ucapan
berbentuk jantung hati berwarna merah sekali. Selamat ultah, Nunu. Dariku yang
selalu mencintaimu. Indriana.
"Siapa
dia, Nunu?" Aku tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Kalau aku
curiga, itu sungguh beralasan. Seorang cewek, siapa pun dia, tak akan seberani
ini mengungkapkan perasaannya, kalau Sentanu tak lebih dulu masuk dalam
kehidupannya.
"Aku
kesepian, Rara. . . !" Lama sekali suara itu baru keluar dari bibir
Sentanu. Meski begitu pelan dia mengucapkannya, namun gelegarnya melebihi
petir di siang bolong sekali pun! Aku amat terpukul. Amat terluka. Dan Sentanu
seketika berubah jadi orang yang amat asing bagiku.
PPL
dan KKN kalau dijumlahkan menghabiskan waktu kurang lebih lima bulan. Aku telah
melampauinya dengan baik sekali. Sepenuhnya melebur dengan masyarakat, jauh
dari keluarga, jauh dari orang-orang tercinta dan kampung halaman, sungguh
bukan cobaan yang ringan bagiku. Aku seringkali mengalami kesepian yang paling
sepi, begitu menjemukan, namun aku selalu berusaha membuatnya menjadi ramai.
Dan aku bisa. Telah kubuktikan bahwa, Rudi yang selama PPL dan KKN tak pernah
sejengkal pun mundur dari usahanya untuk menarik perhatianku, ternyata tak
pernah mampu menembus benteng pertahananku. Padahal, sungguh tak ada alasan
untuk menolaknya. Dia amat baik, penuh pengertian, cerdas. Dia juga amat
simpatik. Dan Sentanu tak melebihi dia, dalam segala hal, kecuali bahwa aku
begitu mencintainya!
Karena
itu aku tak bisa menerima alasan 'kesepian' yang dikemukakan Sentanu. Sepi
bisa dibuat ramai kalau dia mau. Tapi dia justru membiarkan sepi menjadi
semakin sepi, sehingga kehadiran Indriana, teman KKN-nya, tak mampu ditolaknya.
"Tapi
akhirnya aku berterus-terang kalau ada kau, Ra." Sentanu mengajukan pembelaannya
pada sehari berikutnya. "Aku mengaku khilaf. Aku telah melukainya, juga
melukaimu. Tapi aku sungguh tidak ingin kehilangan kau!"
Waktu
itu aku hanya diam. Entah kenapa aku semakin suka berdiam diri, kendati
batinku berteriak-teriak. Sentanu tak sekadar melukaiku. Tapi lebih dalam dan
lebih sakit dari hanya sekadar luka!
Dulu sekali aku sudah
pernah berkata padanya bahwa, adalah hal yang amat mudah untuk mengkhianatiku. Aku tak
pernah menuntutnya apa pun karena aku begitu percaya dia setia.
"Denganku,
menyeleweng, berkhianat, adalah hal yang amat mudah, Nu. Tapi tolong jangan
lakukan itu!" kataku suatu hari. Dan Sentanu mengangguk mengerti.
"Apa
aku perlu janji?" tanyanya kemudian.
Aku
cepat menggeleng. Sebab aku memang tak begitu suka dengan janji. Bagiku - dan
aku yakin juga bagi yang lain - bukti adalah jauh lebih penting dan berarti
daripada sekedar janji.
Waktu
itu musim tidaklah kemarau seperti ini. Bahkan hujan hampir setiap hari
mengguyur wajah bumi. Hari-hariku hampir tak ada yang tak kulalui bersama
Sentanu. Kami saling menjaga, kami saling mengerti. Kami saling memberi arti.
Mengenangkan hari-hari yang cerah berbunga seperti itu, betapa memeriahkan. Akankah ia kembali?
“Rara…
!”
Aku
segera menata perasaanku dan menariknya dari dunia lamunan. Aku tahu sebentar
lagi pemilik suara itu, Bagas, akan duduk di sampingku, dan kami bisa
berbincang sampai jauh malam. Tak ada teman yang lebih baik dari dia sementara
ini.
"Bagaimana
dengan ayah Nanu? Kau diantarnya
tadi?" Bagas duduk di sebelahku.
Aku
meagangguk.
“Dia
kelihatannya rindu sekali padamu!”
“Ya.”
“Apalagi Nunu!”
Aku
tersenyum tanpa makna. Perih. Nunu - Sentanu - kusadari kalau nama itu suka
membuatku sinting sejak dulu.
"Dia
tak pernah menemuimu lagi?"
"Kelihatannya
bagaimana?" Aku balik bertanya.
"Di
rumah sih tidak. Mungkin di kampus?"
Kugelengkan
kepala. Seminggu setelah ulang tahunnya, adalah pertemuan kami yang terakhir.
Kukatakan bahwa semuanya telah sia-sia. Bangunan cinta yang telah kami dirikan
dengan susah payah, ambruk dengan
percuma. Dia harus pergi dari hatiku. Dan kupaksa supaya menutup segalanya yang
pernah kami alami bersama sebagai kenangan masa silam. Sentanu pun berlalu,
namun betapa terluka ia. Sementara setelah itu, aku sendiri ibarat kelana yang
ke mana pun pergi membawa cinta!
"Kau
tidak menyesal dangan keputusan ini, Rara?"
"Berapa kali kau tanyakan itu,
dan berapa kali kujawab dengan kata tidak?"
Bagas tersenyum meski dia tahu aku
mulai marah.
"Kupikir kau memang terlalu
angkuh. Kau terlalu tinggi hati untuk mengakui bahwa kau sebenarnya amat
membutuhkan Nunu. Kau mesti jujur, Ra, bahwa kau menyesal dengan sikap seperti
ini!"
Kutatap mata adikku dalam-dalam. Aku
kakaknya, dan kalimat seperti itu terlalu lancang untuk dia lontarkan. Tapi aku
mencoba menyabarkan diri. Selama ini kami saling mengasihi. Apa pun yang kami
lakukan, bagaimanapun sikap yang kami perlihatkan, semata-mata demi kebaikan
kami. Mungkin kali ini pun Bagas berusaha melakukan yang terbaik; dia tengah
mencoba membuka mata batinku yang telah cukup lama diselubungi sakit hati.
Sayang aku belum mengizinkannya...!
***
Lelaki
setengah baya itu, ayah Sentanu, menjemputku lagi. Senyumnya terasa jauh lebih
sejuk di siang yang panas seperti ini.
"Bapak
mengusir Bagas lagi?" tanyaku begitu aku telah duduk di sebelahnya, di
dalam sedan biru langitnya.
"Tidak.
Pak Amir. Dan Bapak telah katakan juga kalau kita akan makan siang bersama hari
ini. Begitu, kan?" Aku tersenyum kecut. Ringan sekali bicaranya. Seolah
rencana seperti ini telah kami sepakati bersama sebelumnya. Padahal aku lebih
merasa ditodong daripada diajak baik-baik.
"Kau
merasa ditodong?" Beliau seperti tahu jalan pikiranku.
"Ya.
Seperti ini, apalagi namanya kalau tidak ditodong?" Aku tertawa.
"Iya,
kan? Bapak memang sengaja menodong saya, kan?"
Beliau
tergelak. Suaranya lunak sekali, dan aku begitu menyukainya. Sentanu juga
menyenangkan seperti itu kalau lagi tertawa.
"Tidak.
Kau boleh menolak kalau tidak setuju."
Kugelengkan
kepala dan tersenyum.
"Saya
toh tidak bilang tidak setuju, Pak!"
Dan
mobil pun berjalan terus. Sesekali pelan karena lalu lintas pada jam-jam begini
begitu ramai. Aku tahu ke mana orang ini akan membawaku; Bioskop Aurora. Di
depannya ada warung sederhana yang hanya bersekat kain, tapi bakso dan es telernya
enak sekali. Kami - aku dan Sentanu sekeluarga - sering sekali ke sana, dulu.
Biasanya Sentanu akan protes kalau aku
lebih suka duduk di sisi ayahnya daripada di sisinya. Oh, masa-masa manis
seperti itu, kapan terulang lagi?
Aurora
tidak begitu penuh ternyata. Padahal pada jam-jam makan seperti ini, biasanya
sangat padat. Kami memilih tempat duduk di sudut, tempat yang dulunya telah
amat akrab.
"Bakso?
Es Teler?"
"Dua-duanya!"
Aku cepat menyahut ketika ayah Sentanu menawariku. Beliau tergelak dan langsung
memesan masing-masing dua pada pelayan. Hal-hal seperti ini telah amat biasa
kami lakukan bersama. Bahkan aku merasa lebih sering melakukannya bersama ayah
Santanu daripada dengan ayahku
sendiri.
Kami menyantap hidangan yang
datang dengan nikmat. Tapi kurasakan ada sesuatu yang kurang. Kutatap ayah
Sentanu dengan ekor mataku. Perasaanku berubah sedih dengan begitu saja.
Adakah dia merasakan perasaan yang sama? Bahwa suasana akan jauh lebih
menyenangkan jika saja Sentanu, Iwuk, Dedy serta Ibu juga berada di
tengah-tengah kami?
"Apa kabar dengan Ibu,
Bapak?" Aku memecah kesepian yang beberapa saat menguasai.
"Baik. Oya, Ibu selalu
ingat kau setiap kali bikin sirup jeruk, sirup kesukaanmu. He, kau tidak
kangen dengan orange juice segar bikinannya?"
Aku tersenyum tanpa tahu mesti
berucap apa. Kalau ditanya soal kangen, rasanya jika kutuangkan tak akan cukup
berapa pun tempatnya. Kangen ini kelewat besar. Pada semuanya. Pada Sentanu.
Pada Ibu, Iwuk serta Dedy. Pada kehangatan yang tak pernah lekang melingkupi
keluarga mereka.
"Rara, kau benar-benar
tidak sudi lagi ke rumah?" Ayah Sentanu bertanya tanpa menatapku.
Kutata perasaanku sebelum
menjawab. "Saya tidak pernah berkata begitu, kan, Pak?
"Tapi nyatanya kau tak
pernah datang. Apa bedanya?"
“Saya...!”
"Bapak mengerti kau
sangat terluka. Wajar. Memang tak selayaknya Nunu memperlakukan kau seperti ini
Kau lembut hati, amat sensitif, Bapak tahu betul itu. Tapi kau juga keras
kepala, terlalu tinggi hati untuk memaafkan kalau disakiti...!"
"Saya telah memaafkan
Nunu!"
"Hatimu tak pernah bisa
memaafkannya!"
Aku
menggigit. bibir. Kuaduk es telerku tanpa gelera. Berapa orang
sudah yang menuduhku angkuh? Dan betapa aku tak pernah bisa menolak. Sebab hati
kecilku sendiri tak pernah bisa mengelak.
"Nunu
teramat mencintaimu, Rara. Kau juga amat mencintainya, kan?" Bapak
memandangku lembut. Tatapan itu, terasa bagai sembilu menikam jantungku.
Begitu jugalah cara Sentanu menatapku. Segera kusembunyikan mataku, takut
kalau kerawanan di segenap hati dan perasaanku saat ini terbaca olehnya.
"Selama
ini tak ada apa pun yang mengikat kami, Bapak. Selain cinta dan saling percaya. Bila salah satu dari kami
sudah tak bisa lagi memegang kepercayaan itu, apalagi yang saya harapkan?"
"Tapi
Nunu bukanlah malaikat atau nabi, Rara. Nunu manusia biasa. Dia tak mungkin
bisa lepas dari khilaf, kau pasti tahu itu. Sepandai-pandai tupai melompat,
dia akan jatuh juga sekali waktu. Sepandai-pandai ular merambat, satu saat dia
akan terpeleset juga. Dan Nunu memang bukan tupai, bukan ular. Tapi, sekali
lagi, dia manusia biasa!"
Aku
tersenyum begitu saja setelah laki-laki arif itu mengakhiri kalimatnya.
"Hm,
saya diajak ke sini tidak untuk mendengarkan pidato kan, Pak?" selorohku.
Beliau tersenyum mengerti..
"Maaf.
Maaf kalau Bapak terlalu menggebu-gebu. Itu karena kami semua sudah terlanjur
amat menyayangimu. Tidak hanya Nunu yang takut kehilanganmu, Rara. Tapi juga
Bapak, Ibu, bahkan Iwuk dan Dedy. Kau mengerti, kan?"
Aku
mengangguk. "Saya mengerti."
"Sekadar
mengerti?"
"Maksud
Bapak?"
“Datanglah
ke rumah. Kau mau?”
Mata
tua itu begitu mengharap. Dan aku kebingungan.
"Kapan,
Bapak?"
"Nanti
sore Bapak dan Ibu akan merayakan kawin perak. Kau mau datang?" Aku
bingung lagi.
"Atau
perlu dijemput?"
"Oh,
tidak!" Cepat kugelengkan kepala. Aku tahu. pada akhirnya nanti Sentanulah
yang akan menjemputku. Dan tiba-tiba saja sebuah kecurigaan muncul di kepalaku.
"Bapak
betul-betul ingin saya dan Nunu bisa kembali seperti dulu?"
Lelaki
itu memandangku tajam sebelum kepalanya mengangguk. "Tentu."
"Karena
itu jugakah Bapak begitu mengharapkan saya datang?"
Bibirnya
langsung mengulas senyum. "Rupanya kau mulai curiga lagi. Rara, meskipun
kami semua ingin kau dan Nunu bisa kembali seperti dulu, tapi kami tak akan
pernah ikut campur dalam masalah kalian. Kau sudah dewasa, Nunu juga. Dan kami
semua yakin, apa pun masalah yang kalian hadapi, akan kalian selesaikan secara
dewasa juga. Ayolah, jangan berprasangka yang tidak-tidak. Tak ada misi
terselubung dalam undangan Bapak ini!"
Aku
tersenyum, dan diam-diam merasa berdosa. Orang ini selalu bijaksana dalam menanggapi
sikapku.
"Bagaimana
kalau sekarang juga saya ikut Bapak ke rumah?"
"Oya?"
Jelas sekali kalau dia amat terkejut. "Oh, Bapak akan senang sekali.
Ayo!"
Sedan
biru langit yang kami tumpangi meluncur lagi di jalan raya. Tak ada kata-kata
yang kami ucapkan. Lelaki setengah baya di sebelahku itu seperti sedang
berusaha menahan perasaanya. Wajahnya yang bersih begitu berseri, ibarat
pahlawan menang perang. Semakin kusadari betapa aku amat berarti bagi mereka.
Aku
seperti pengembara yang pulang kampung waktu sampai di rumah. Ada perasaan yang
begitu karib sekaligus amat asing. Namun sambutan Ibu, Iwuk dan Dedy segera
menetralkan hatiku. Kebahagiaan mereka dengan kehadiranku begitu tak
disembunyikan. Tapi mereka segera pergi ketika Sentanu rnuncul.
Dan
sedemikian tertegunnya aku saat kupandang Sentanu. Dia jauh lebih kurus
ketimbang dua-tiga bulan yang lalu. Begitu cepatnya waktu dan situasi
mengubahnya. Aku tahu, bibirnya yang bergetar saat memanggilku, adalah luapan
kerinduan yang telah sekian lama diendapkannya.
"Akhirnya
kau datang juga, Rara!" Katanya, masih dengan nada penuh dosa, seperti
pesakitan. Oh, betapa aku telah menyiksanya selama ini. Mestinya aku tahu ini
sejak dulu.
"Kau
akan berkata bahwa aku telah kalah?"
"Tidak!"
Sentanu menggeleng. "Kau justru telah menang!"
Kutatap
dia tak mengerti Dia tersenyum, amat hati-hati, seperti takut senyumnya akan
salah.
"Kau
justru telah menang." Dia ulangi kalimatnya. "Sebab kau telah
berhasil menaklukkan keangkuhanmu sendiri, yang orang lain tak pernah bisa
melakukannya, termasuk aku. Kau tahu maksudku?"
Tentu
saja aku amat mengerti. Sentanu masih saja
amat menarik kalau bicara. Dan bagiku dia akan selalu menarik. Selalu kucinta.
Itu artinya aku. harus bisa memaafkannya, menerimanya lengkap dengan segala
kelebihan dan kekurangannya. Aku ingin belajar banyak dari semua ini…!
***
Pertengahan
September ini, hujan belum juga turun. Rupa-rupanya dia sangat terlambat
datang, hingga kemarau rasanya jadi kian panjang. Tapi pagi tadi sempat
kulihat flamboyan mulai berbunga di sepanjang jalan-jalan kampus. Sebentar lagi
dia pasti akan semakin semarak.
"Rara!"
Aku
menoleh ke arah suara itu. Rudi yang baru keluar hari halaman parkir, menghampiriku
bersama motornya.
"Ayo
kuantar."
Aku
mendesahkan napas panjang. Dia adalah rajawali paling tangkas di jurusanku.
Siapa pun mengenalnya. Dan sungguh amat tidak pantas bila sepasang matanya
yang tajam bisa berubah sesendu itu, hanya karena seorang Rara. Aku.
"Lihat,
langit sebelah selatan mendung. Sebentar lagi hujan akan turun!” ajak Rudi
lagi dengan suara lunak.
Aku
mengikuti pandangan Rudi. Ya, ada kulihat mendung di langit selatan. Tak begitu
gelap memang. Tapi aku yakin, pasti hujan sebentar lagi turun. Oh. Tuhan telah
mengirimkan anugerah-Nya.
Dan
aku tetap menggeleng. "Pergilah duluan!"
Rudi
menatapku putus asa. Begitu lama, sebelum akhirnya berlalu. Kali ini dia tak
cukup lihai menyernbunyikan lukanya. Lewat matanya, aku bisa melihatnya dengan
jelas.
Gerimis
itu akhirnya turun juga. Gerimis pertama sejak kemarau panjang tahun ini.
Bagai sejuta karunia dia mengguyur hatiku. Begitu sejuk. Berkali-kali kuhirup
udara yang bercampur dengan bau tanah basah. Segar sekali.
"Rara,
ayo cepat. Hujan deras sekali!" Aku segera bangkit dan berlari mendapatkan
Sentanu yang telah kuyup. Dialah yang sejak tadi kutunggu. Baru kusadari kalau
gerimis telah berubah jadi hujan yang deras. Tapi kami tetap duduk tenang di
atas motor, pulang. Hujan seperti ini telah amat lama kurindukan. Sederas apa
pun dia, tatap kuanggap sebagai karunia Tuhan.
Dan
bunga-bunga flamboyan yang terangguk-angguk di sepanjang jalan yang kami lalui,
adalah bunga-bunga di hatiku. Aku tahu, jika musimnya telah tiba, dia akan
gugur. Namun hari-hari kami akan tetap cerah penuh bunga: bunga cinta.
(Buat
Baskoro Adjie: happy birthday).
Senja
Senja jatuh
Tanpa warna jingga
Gunung dan bukit hanya siluet
Pepohonan diam membeku
Kemana dikau desau angin
Semesta seperti tak bernyawa...
Namun tetap kureguk keindahannya....
Otw Malang to Surabaya, 9 Mei 3013
Wassalam,
LN
Tanpa warna jingga
Gunung dan bukit hanya siluet
Pepohonan diam membeku
Kemana dikau desau angin
Semesta seperti tak bernyawa...
Namun tetap kureguk keindahannya....
Otw Malang to Surabaya, 9 Mei 3013
Wassalam,
LN
Rabu, 08 Mei 2013
PRAS
Laki-laki itu tentu saja sudah banyak berubah. Tubuhnya agak membulat,
rambutnya—meski ada topi yang menutupi kepalanya—sepintas kulihat, telah rata
memutih. Gurat-gurat di wajahnya menunjukkan betapa berbagai pengalaman hidup
telah dilakoninya. Senyumnya yang mengembang, meskipun terkesan ragu,
mengekspresikan kematangannya. Duapuluh tahun. Waktu yang tidak singkat untuk
sebuah perpisahan.
Dia berdiri menyambutku, mengulurkan
tangan. Dan entahlah, aku
merasakan ada nyeri di dada ketika tangan kami berjabatan.
Kami duduk di sebuah sofa, di lobi hotel itu. Dia—Prasetya—laki-laki itu, duduk di sudut sana
dan aku di sudut satunya. Beberapa saat hanya diam. Aku sendiri agak jengah, dan
sedang berusaha menguasai keadaan. Sejenak kemudian kami saling bersapa dan menanyakan kabar, berbasa-basi. Tentu
tidak terlalu nyaman duduk dengan posisi saling menyamping seperti ini. Di lobi
hotel yang lagi ramai lagi. Tapi inilah tempat terbaik yang bisa kami dapatkan.
Semua kursi dan sofa penuh. Orang ramai lalu-lalang di depan kami. Belasan
temanku bahkan masih belum mendapatkan kamar, dan sedang menunggu untuk check-in.
Laki-laki itu, adalah masa laluku. Kami memang berjanji untuk saling ketemu sore ini. Tepatnya, aku yang
memintanya untuk menemuiku. Setelah sekian kali kuminta, yaitu sejak beberapa
bulan kudapatkan nomer ponselnya dari seorang teman. Setiap ada tugas ke
Jakarta, aku hampir selalu menghubunginya, setidaknya sekedar say hello. Dan berharap dia berinisiatif
untuk menemuiku. Tapi inisiatif itu tak kunjung datang. Selalu saja ada alasan yang dia katakan untuk
tidak menemuiku. Setidaknya seperti itulah kesanku. Entah karena dia merasa
tidak punya nyali untuk menemuiku…entah karena dia merasa itu tidak penting….
Sebenarnya aku juga tidak menganggap terlalu
penting pertemuan itu. Kalaupun tidak bisa bertemu, yang sudah-sudah, aku juga
tidak terlalu kecewa. Mungkin aku hanya penasaran saja, seperti
apa dia kini. Masalah perasaan, rasanya semuanya sudah lewat. Duapuluh tahun
yang lalu kami bepisah. Aku memang sempat sakit ketika itu. Lebih-lebih dengan
caranya memutuskanku. Tapi semuanya bisa kulalui dengan baik. Meski itu
kejadian putus cinta yang pertama dalam hidupku, aku tidak terlalu lama jatuh. Atau setidaknya, aku berusaha untuk tidak
berlama-lama. Aku segera bangkit dan melupakan Pras.
Detik ini dia di hadapanku.
Menceriterakan bagaimana perjalanan hidupnya. Mulai dari ketika dia masih
sebagai mahasiswa miskin yang kuliah di departemen teater IKJ. Bagaimana
perjuangannya sebagai anak desa yang hidup di Jakarta yang keras. Masa sulit yang penuh tantangan. Hidup di
antara keinginan kuat untuk menjadi seniman dan pesimisme untuk mewujudkan
keinginan itu. Tangannya sesekali bergerak-gerak sepanjang ceritanya, mengisyaratkan
kesungguhan hati untuk menaklukkan hidup seperti yang diinginkannya. Matanya
kadang-kadang menerawang jauh ke depan mengingat-ingat masa-masa sulit yang
telah dilaluinya. Wajahnya
kadang-kadang mengeras. Suaranya –meskipun tidak keras—tegas dan bersemangat.
Dan aku menikmati pemandangan di
depanku itu. Laki-laki yang
—katanya—dulu, pernah mencintaiku. Laki-laki yang membuatku belajar setia, menjaga cinta, tanpa reserve.
Laki-laki yang membuatku merasa berdosa besar saat sedetik saja aku sempat
berpaling darinya. Laki-laki yang sepanjang hubungan kami lebih banyak berkeluh-kesah
daripada mengumbar rayuan. Laki-laki yang selalu gelisah—yang seringkali tak
bisa kupahami kegelisahannya. Kegelisahan yang bagiku terlalu berlebihan. Hidup
di matanya seolah begitu sulit. Begitu tidak bersahabat. Sementara dalam
falsafah hidupku, “nrimo” adalah kewajiban . Menghayati setiap yang terjadi
dengan ikhlas adalah keniscayaan. Berkeluh-kesah adalah wujud dari
ketidaksyukuran. Dan selalu kutanyakan padanya, dalam surat-surat balasanku,
kenapa selalu mengeluh dan mengeluh. Bukankah semua yang terjadi adalah
keinginannya? Bukankah sudah menjadi tekadnya untuk hidup berkesenian? Dan
dengan segala konsekuensi atas pilihan itu, bukankah itu sebuah proses yang
harus dilaluinya?
Tapi yang ada di depanku saat
ini adalah sosok Prasetya yang lain. Sangat lain. Bukan laki-laki pemalu yang
menyerahkan surat cintanya malam-malam di rumah tetangga sebelah, karena tidak
berani datang ke rumah. Bukan laki-laki remaja berseragam putih abu-abu yang
setia menemaniku menunggu angkutan sepulang sekolah. Bukan laki-laki yang
beraninya main ke rumah kalau beramai-ramai. Bukan laki-laki yang suka
berkeluh-kesah. Prasetya telah menjadi sosok lain. Gurat-gurat di wajahnya menggambarkan
kekuatan hatinya. Kata-katanya yang berjejalan mempresentasikan kekayaan
batinnya. Caranya menceriterakan keluarganya—seorang istri dengan enam, ya,
enam orang anak—menunjukkan betapa dia menikmati semua itu.
Istrinya
orang Magelang. Dia katakan, semuanya berjalan begitu saja. Lulus dari IKJ—dia
kuliah selama tujuh tahun—dia khawatir dengan statusnya, mahasiswa tidak,
bekerja tidak, berkeluarga tidak. Maka diputuskannyalah untuk menikah, karena
itu yang paling mungkin untuk memperjelas statusnya. Maka dinikahinyalah Siti
Handayani, tanpa berlama-lama pacaran, perempuan adik temannya yang sudah agak
lama dikenalnya. Lantas mereka hidup sebagai ‘kontraktor’, tinggal di rumah
kontrakan selama bertahun-tahun. Menulis skenario, menulis naskah drama,
menjadi sutradara, dilakoninya sebagai mata pencahariannya. Sampai akhirnya dia
bisa membeli sebuah rumah di pinggiran Jakarta .
Pras juga mendirikan teater yang dinamainya ‘Teater Lukisan’, dan puluhan
naskah teater telah dihasilkannya. Salah satu naskahnya bahkan menjadi wakil Indonesia
dalam Festival Seni Enam Negara. Bersama “Teater Lukisan”-nya, Pras juga telah
berhasil meraih penghargaan sebagai sutradara terbaik, penulis naskah
terbaik, dan grup teater terbaik dalam
Festival Teater di Jakarta. Lebih
dari seratus naskah skenario telah ditulisnya dan ditayangkan di beberapa
stasiun TV seperti RCTI, Lativi, Trans TV dan TPI. Terakhir, prestasi yang termasuk prestisius,
adalah menjadi casting director
sebuah film Indonesa yang sangat terkenal. Film yang diangkat dari sebuah novel
bernuansa religi.
Sepanjang ceritanya, sesekali perih menusuk-nusuk
hatiku. Heran. Aku sudah
membuang Pras jauh-jauh. Menghempaskannya dalam kubangan lumpur masa lalu,
berserak dengan semua kenangan tentang dia. Tapi berlama-lama dengannya seperti
ini, semuanya seperti berdesak-desakan di dada.
Teringat ketika saat pertama kali dia menyatakan cinta. Teringat ketika
aku menerimanya dengan setengah hati karena cinta belum bisa kuhayati
sepenuhnya saat itu. Aku baru kelas tiga SMP waktu dia mengatakan, “Iffah, aku
cinta kamu”. Dia bukan orang pertama yang menyatakan cinta. Tapi dialah orang
pertama yang kuberi harapan. Orang pertama yang membuatku belajar mencintai. Kupupuk
terus dengan sepenuh hati. Kujaga rapat-rapat sampai tak tertembus oleh cinta
yang lain.
Setahun, dua tahun, tiga tahun, kujalani hubungan jarak jauh itu dengan
segunung harapan. Prasetya di Jakarta mengejar impiannya, dan aku di kota
kecilku menyelesaikan SMA-ku. Bagiku, Pras sangat luar biasa. Tekadnya
untuk hidup di Jakarta
sebagai seniman, adalah sebuah cita-cita yang ‘tidak umum’ bagi lingkungan kami
pada saat itu. Seorang remaja desa
yang cinta mati pada teater dan betekad menjadikan bidang yang sangat tidak
jelas jenjang karir dan masa depannya itu sebagai pilihan hidup. Saat sebagian
besar teman-temannya pergi tersebar mengejar cita-cita untuk menjadi dokter,
insinyur, arsitek, ahli hukum, guru….Pras tanpa bisa dicegah oleh siapapun
pergi ke Jakarta untuk menekuni teater. Hanya berbekal tekad membara. Menjadikan
seni sebagai hidupnya.
Sepanjang hubungan kami, bertemu bagi kami adalah hal yang sangat langka.
Kalaupun bisa bertemu saat Pras pulang kampung, kami sudah terpuaskan hanya
dengan ngobrol beramai-ramai dengan teman-teman yang lain. Tidak ada sentuhan, kecuali jabat tangan.
Itulah pacaran versi kami. Betul-betul menjaga tetap di koridor. Pergi atau
jalan berdua tak pernah sekalipun kami lakukan, selalu beramai-ramai. Ngobrol
berdua, hanya bisa kami lakukan mungkin dua-tiga kali, ketika aku sudah kuliah
di Malang. Itupun di ruang tamu rumah kos, yang setiap saat teman-teman kos
berlalu-lalang. Dudukpun tidak pernah berdekatan. Seperti itulah. Hanya seperti itu!
Hanya seperti itu, namun Pras telah mengisi ruang hatiku selama
bertahun-tahun. Telah membuatku tidak mau berpikir sosok lain. Telah menyita
penuh-penuh perhatian dan kesetiaan. Dan menyediakan diriku untuk menjadi
tumpuan segala keluh kesah dan kegelisahannya menghadapi kerasnya hidup di
Jakarta. Tanpa pamrih—kecuali hanya demi cinta—menunggunya menjadi seperti apa
yang dia inginkan…tanpa tahu entah mau jadi apa dia…
Sampai suatu ketika kuterima suratnya. “Surat-surat telah membuat kita jadi
pintar berbohong, Iffah.” Awalnya tak kupahami apa makna kata-kata itu. Hingga
beberapa hari setelah itu dia datang menemuiku, dan menyatakan, semua yang terjadi
selama ini hanyalah cinta monyet. Oleh sebab itu, simpan semuanya, masukkan
laci, tutup rapat, kunci, dan buang kuncinya jauh-jauh. Kalimatnya mengalir
dari mulutnya tanpa gejolak, datar, sangat tenang….namun aku dibuatnya terkejut-kejut.
Terbengong-bengong seperti
orang baru terbangun dari mimpi buruk. Mencari-cari nada bercanda dalam
kata-katanya.
Tapi tidak, Pras serius. Hebatnya lagi, dia katakan itu semua nyaris tanpa
beban. Aku terdiam seperti anak kecil yang dinasehati saudara tuanya. Tak berkata
sepatah pun. Tak bisa merasakan apa pun. Cinta yang kujaga bertahun-tahun
hancur berkeping. Kesetiaan yang kupupuk kandas tak berbekas. Di matanya,
ternyata selama ini aku hanya anak kecil yang sedang mengalami cinta monyet.
Bukan gadis remaja yang dengan setia menjaga cinta untuk laki-laki yang
dikasihi dan diharapkan.
Dan sore ini, ketika maghrib mulai merangkak, entah kenapa, aku
menyampaikan perasaan hatiku yang sudah lama terpendam itu, begitu saja. Rasa
sakit dan kecewa yang sudah lama kukubur. Menyeruak pelan-pelan mengalir dari
mulutku. Aku agak terbata mengatakannya. Mengimbangi kecamuk di dadaku. Pras
tidak pernah tahu, aku sempat sakit setelah dia mengambil keputusan berpisah
itu. Bahkan ibuku menanyakan,
kenapa aku kurus, apa karena memikirkan Pras? Pras tidak pernah tahu, ibuku—yang
tidak siap mempunyai menantu seorang seniman—mungkin sempat merasa bersalah
telah melarangku berhubungan dengannya. Pras tidak tahu bahwa kujaga cinta dan
kesetiaan untuknya lewat pintu belakang; tanpa restu orang tua, tanpa dukungan
saudara-saudaraku, bahkan tanpa dukungan sahabat-sahabatku. Semuanya mempertanyakan, apa yang kucari
dengan menunggu seorang seniman yang sangat tidak jelas masa depannya?
Ketika semuanya sudah bisa kukendalikan, hatiku yang hancur sudah tertata
rapi, harapan demi harapan telah mampu kubangun kembali, kusadari kemudian,
cinta dan kesetiaan yang selama itu kujaga…hanyalah sebuah kekonyolan. Hal
terbodoh dalam hidupku. Sedikitpun aku tak salahkan Pras atas semua yang
terjadi. Tak pernah kubebani dia dengan rasa berdosa karena telah meninggalkanku.
Yang salah adalah diriku sendiri…. sok setia, sok menjaga cinta….sok
dewasa…padahal sesungguhnya aku hanyalah gadis kecil belasan tahun yang tidak
paham apa itu cinta….
Namun sore ini, Pras akhirnya tahu semua itu. Kuceritakan apa yang terjadi
setelah dia pergi. Dan dia terpana. Termangu-mangu seperti tak percaya.
Berkali-kali beristighfar sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tersenyum-senyum
tanpa kupahami apa makna senyumnya, antara menyesal, mengejek, atau berbangga
karena dicintai.
”Di mana aku ketika kamu sakit itu?” tanyanya, dengan suara agak parau.
Matanya mendadak layu. ”maafkan aku...maafkan aku....”
”Soal maaf, kamu bisa ambil sendiri. Sebanyak yang kamu mau....” Aku
tersenyum masam. ”Kamu tahu di mana tempatnya kan?”
Pras menjelaskan betapa Ibu Kota
telah membuatnya menjadi berubah, sehingga mungkin itulah yang menyebabkannya mengambil
keputusan untuk hubungan kami, tanpa mempertimbangkan perasaanku. Dia jelaskan, mungkin saat itu dia hanya
memperhitungkan segi kepraktisan. Jakarta dan Malang betapa jauhnya. Dia tidak
mampu membiayai hubungan jarak jauh itu.
”Pertimbangan kepraktisan. Begitukah?” Aku bertanya dengan hati penuh luka.
Tragis betul. Ini urusan perasaan apa urusan menata perabot rumah tangga? Biar
dia tidak terbebani untuk mengunjungi aku di Malang, maka lebih baik akhiri
semuanya. Begitu? Dan tidak mampu membiayai? Biaya apa? Bukankah selama ini hanya surat-surat saja
yang mewakili hubungan ini? Bukankah aku tak pernah menuntut untuk bertemu
dengannya, kecuali atas inisiatifnya sendiri? Bukankah selama ini aku memposisikan
diri hanya menunggu dia datang… dan tak pernah sekalipun memintanya untuk datang
kepadaku, sebesar apapun kerinduanku padanya? Apakah semahal itu harga satu-dua
buah perangko sehingga dia tak mampu membelinya untuk “membiayai” cinta kami?
Semakin kusadari, Pras tak pernah serius mencintaiku. Aku hanya kelinci
percobaan yang dia perlukan untuk laboratorium cinta pertamanya. Perjuangannya
selama ini hanya untuk hidup sebagai seniman, tapi tidak untuk memenangkan
cinta kami. Cinta monyet yang dia tuduhkan kepadaku, sesungguhnya cerminan
cintanya sendiri. Pras hanya butuh seseorang yang bisa lebih membuatnya kaya
inspirasi. Hanya butuh media untuk menumpahkan segala keluh kesah dan
kegelisahannya. Hanya perlu
seseorang yang mau mendengar kegalauannya kapanpun dia butuhkan. Dan saat itu, akulah orangnya. Entah
setelah itu siapa dan siapa….
Tapi semua sudah berlalu. Aku sudah
mendapatkan kesimpulan itu dua puluh tahun yang lalu. Dan aku sudah berjalan
sedemikian jauh. Memiliki seorang suami dan seorang anak yang mencintaiku
sepenuh hati. Memberiku ruang gerak yang leluasa berlandaskan keyakinan dan
kepercayaan. Tak kan
kutukar dengan apapun.
Dan Pras….biarlah tetap menjadi bagian dari masalaluku . Setidaknya telah
pernah kureguk keindahan bersamanya. Dan tetaplah menjadi kenangan indah….
Hanya serpihan nostalgi
Larut bersama gurat wajah
Dan manis senyuman….
Jakarta,
12 Februari 2010
Surabaya,
7 Mei 2013
Selasa, 07 Mei 2013
JEJAK MASA LALU
Mendung tebal menggayut di
langit. Angin berhembus kencang, suaranya mendesis-desis. Batang dan ranting
pohon sonokembang bergoyang-goyang, sebagian daunnya berguguran. Sebentar saja
halaman gedung rektorat telah basah. Suasana yang sejenak tadi sejuk, berubah menjadi
agak menakutkan. Hujan di bulan Desember. Berangin, penuh dengan kilat dan
petir. Menyambar-nyambar di langit yang gelap.
Lula memarkir mobilnya dengan
tergesa. Meraih tas laptopnya, payung, dan membuka pintu mobil, menghambur ke
teras gedung. Uff. Payungnya tersenggol sesuatu—tepatnya—seseorang.
“Maaf.” Kata pertama yang spontan
meluncur dari mulutnya. “Maaf, tidak sengaja.” Dia anggukkan kepala pada
laki-laki di depannya, dan tersenyum. Tapi senyumnya begitu saja menggantung.
Senyum laki-laki di depannya juga.
“Dik Lula?” Sapa laki-laki itu.
Desiran halus begitu saja mengalir
di dada Lula. Sejenak. Karena dia harus cepat
menguasai perasaan. Dia segera meraih tangan yang mengulur di depannya. Menyalaminya,
masih dengan perasaan berkecamuk yang dia coba untuk menenangkan.. “Mas Gilang? Kok ada di sini, Mas?”
“Ya. Ada rapat. Diundang Rektor.
“Oya? Rapat apa?”
“Pembentukan panitia Forum Ilmiah
Ikatan Alumni”.
“O, begitu.” Lula manggut-manggut.
Mengusapkan tisu di mukanya yang sedikit basah karena air hujan. Laki-laki itu,
Gilang Susanto, memandanginya dengan perasaan yang sama berkecamuk. Dua puluh
tahun. Tak disangka bertemu lagi. Dan perempuan itu, Lula Amanda, tidak banyak
berubah. Masih saja manis. Meski ada yang berbeda. Rambut hitam dan ikalnya
yang dulu terurai, sekarang tertutup rapat dengan kerudung merah hati. Senada
dengan busana kerja yang membungkus tubuhnya yang ramping. Masih seperti dulu.
“Saya duluan ya, Mas. Ditunggu rapat
di PR 3”.
“O ya, ya.” Gilang terjaga. Tetap
dengan pandangan yang belum lepas dari wajah Lula, yang bergegas pergi. Rasanya
dia ingin menahan perempuan itu, mengajaknya ngobrol, sejenak saja, untuk
melepaskan perasaan yang tiba-tiba menggumpal di benaknya. Tapi dia tidak mempunyai
keberanian. Karena dia sendiri tidak memahami perasaan itu. Rasa yang begitu
lama tidak pernah menghinggapinya, sejak dua puluh tahun. Saat ini, ketika
usianya menjelang empat puluh lima tahun, mendadak rasa itu mengusiknya.
Lula menaiki tangga. Ruang PR 3 ada
di lantai dua. Dia sedang ditunggu untuk acara technical meeting Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa. Dia harus ikut memberikan
pengarahan untuk acara yang dua hari lagi akan digelar itu. Setumpuk karya
tulis sudah menunggu untuk dibacanya.
Tapi pertemuan satu dua menit
tadi, lebih mendominasi pikirannya.
Gilang—meski hanya sebentar pernah
mengisi hatinya, dulu—tak urung sempat membuat jantungnya berdesir halus. Tidak
pernah dia bayangkan bisa bertemu lagi. Meski sebenarnya Gilang bekerja di kota
yang sama, namun seolah laki-laki itu tenggelam ditelan waktu. Sesekali pernah
terbersit Lula ingin bertemu, hanya untuk tahu keadaannya, atau sekedar
bertegur sapa. Kalau dia mau, tentu tidak sulit melakukannya. Teman-temannya
banyak yang mengajar di perguruan tinggi yang sama dengan Gilang. Sekedar untuk
mengetahui nomer telepon genggam Gilang, bukanlah hal yang sulit. Tapi Lula
merasa tidak pantas, merasa tidak perlu. Bukan karena takut membangkitkan
perasaan yang pernah ada, namun lebih karena dia ingin menghormati suaminya. Dengan
alasan itu jugalah dia menolak tawaran temannya untuk membantu mengajar di
perguruan tinggi itu. Dia tidak ingin Anggoro, suaminya, merasa tidak nyaman
karena dia bekerja di satu institusi dengan Gilang.
Kabar
terakhir yang didengarnya dari seorang teman, Gilang merupakan kandidat Guru Besar
yang pertama di jurusannya. Hebat. Dari dulu, Gilang memang hebat. Gilang yang angkatannya
setahun di atas Lula itu adalah fungsionaris mahasiswa yang aktif di dalam
lingkungan institut maupun di luar institut. Agamis dan idealis. Juga cerdas. Penampilannya
lugu, bicaranya lugas. Gilang sangat menonjol dalam forum-forum ilmiah
mahasiswa. Dan sebagai pemimpin redaksi media mahasiswa, kecerdasannya juga
nampak dari tulisan-tulisannya. Meskipun begitu lugu, Gilang
bisa menjadi sangat mengagumkan karena kecerdasannya.
“Selamat siang, Bu Lula.”
“Oh, siang.” Lula agak terkejut,
terjaga dari lamunannya. Pak Hardi, staf PR 3, menyapanya ramah. “Saya tidak
terlambat kan, pak?”
“Tidak, Bu. Silahkan makan siang
dulu, sudah disiapkan.”
Lula mengambil tempat duduk.
Menyalami pak Fuad dan bu Merry yang sudah lebih dulu duduk. Meraih nasi kotak
di depannya. Hm, ayam goreng lalap. Cocok untuk perutnya yang lagi lapar.
*
Lula tertegun membaca surat Gilang,
meski sebenarnya dia sudah menduga hal itu akan terjadi: Gilang menyatakan
cintanya. Sikap Gilang yang belakangan agak lain, dapat ia rasakan bahwa Gilang
memiliki perasaan khusus. Meski Gilang tidak pintar mengungkapkannya, Lula tahu
laki-laki itu jatuh hati padanya.
Dan Lula bertanya pada diri sendiri,
cinta jugakah aku pada Gilang? Lula tidak tahu. Yang jelas, dia sangat mengagumi
Gilang. Sebagai seorang gadis dua puluh tahun, dia sudah memiliki gambaran tentang
laki-laki ideal untuk pendamping hidupnya kelak: agamis dan cerdas. Soal
penampilan tidak terlalu penting, asal lebih tinggi dari dia yang tingginya 162
centi meter. Dan Gilang memenuhi semua kriteria pria idaman yang diangankannya.
Oleh sebab itu, rasanya tidak akan sulit mencintai Gilang. Maka ketika Gilang
meminta jawabannya, meski tidak yakin, Lula memberanikan diri mengatakan: “Okelah,
mas Gilang, kita coba jalan. Saya tidak yakin dengan perasaan saya, tapi saya
akan belajar mencintai.”
Belakangan, jawaban itu
menyelamatkan Lula ketika dia harus memutuskan meninggalkan Gilang, dan
berpaling kepada Anggoro. Tiga bulan. Hanya tiga bulan Lula bertahan dengan
usahanya untuk belajar mencintai Gilang. Usaha yang ternyata sia-sia. Anggoro
sedikitpun tidak memberinya kesempatan untuk itu. Dengan segala daya upaya,
Anggoro berusaha keras merebut hati Lula. Menyita hampir seluruh waktunya untuk
membuat Lula tidak berpikir yang lain kecuali memikirkannya. Tidak peduli
Gilang yang seolah berdiri di atas bara panas.
“Beri kesempatan aku untuk belajar
mencintai mas Gilang, mas. Tolonglah. Jangan datang-datang lagi. Aku sudah
berjanji, aku akan belajar mencintainya.” Pinta Lula pada Anggoro, di suatu
sore, ketika untuk kesekian kalinya, Anggoro menyatakan cintanya.
Tapi Anggoro hanya menggeleng, tak
peduli. “Tidak. Aku tidak bisa.” Dia menggelengkan kepala lagi. “Aku terlanjur
sangat, sangat mencintaimu.” Matanya menatap Lula tajam untuk meyakinkan.
Dan Anggoro terus mengunjungi Lula.
Melimpahinya dengan perhatian dan kelembutan. Memenuhi buku catatan kuliahnya
dengan puisi-puisi cinta. Membawakannya sekantong melati yang harumnya semerbak
menyebar di segala penjuru ruang kamarnya. Menemaninya di perpustakaan.
Menghadiahinya dengan buku-buku Kahlil Gibran yang sangat dikagumi Lula.
Nama Gilang semakin terkikis dari
hati Lula. Semakin ia ingin menjangkau, semakin jauh saja rasanya. Gilang yang
idealis, meminta Lula untuk meninggalkan aktivitasnya di Mapala. Menuntutnya untuk
tidak mendaki gunung, caving, rock
climbing, dan segala aktivitas yang menurut Gilang tidak pantas dilakukan
oleh seorang wanita. Memintanya untuk membatasi pergaulan dengan teman-teman
yang di mata Gilang akan memberi pengaruh tidak baik. Mengharuskannya untuk
mengerti bahwa dia tidak bisa setiap saat bersama Lula, karena dia punya banyak
kesibukan di berbagai organisasi.
Lula akhirnya harus memilih. Dan
pilihan itu jatuh pada Anggoro. Orang yang tidak punya kelebihan apapun dibanding
Gilang, kecuali bahwa Lula lebih mencintainya. Gilang yang cerdas dan idealis
adalah sosok yang sangat dingin baginya. Sosok yang tidak mampu memberinya rasa
aman ketika sedang berjalan bersama. Sosok yang tidak pernah bisa membuat hati Lula tersentuh oleh
kata-katanya, oleh perhatiannya. Sekeras apapun Lula berusaha mencintai,
ternyata tidak berhasil. Baru disadarinya, sebagai perempuan, dia tidak hanya
butuh laki-laki yang agamis dan cerdas. Lebih dari itu, dia membutuhkan
perhatian, perlindungan, dan rasa aman. Dan semua itu ada pada Anggoro.
Gilang pun terluka. Sangat. Lula
sendiri sungguh tidak menduga Gilang akan seterluka itu. Sosoknya yang selalu tegar
dan cenderung angkuh mendadak luruh hanya dengan beberapa kalimat Lula: “Maafkan
aku, mas Gilang. Aku tidak bisa. Aku tidak berhasil belajar mencintai mas.
Maafkan aku. Kita jalan sendiri-sendiri.”
Gilang seperti tidak percaya, meski
sebenarnya dia lamat-lamat bisa merasakan, Lula tak penah serius belajar
mencintainya. Lula terlalu sibuk dengan perhatian orang lain, yaitu Anggoro. Setiap
kali Gilang datang mengunjungi Lula di sela-sela kesibukannya, Anggoro hampir
selalu ada bersama Lula. Meski Gilang tahu Anggoro adalah senior Lula di
Mapala, tapi dia juga tahu mereka bertemu tidak untuk urusan organisasi. Maka bagai
harimau yang terluka parah, Gilang bertanya:. “Apa karena ada orang ketiga?”
Lula terkejut, tidak menyangka
Gilang akan bertanya seperti itu. Dia menatap Gilang. Mata laki-laki itu berembun.
Oh, batu karang itu menangis. Lula telah mencabik-cabik hatinya. Membuatnya
jatuh tersungkur dari ketinggian yang tak pernah dibayangkannya. Terpuruk,
sakitnya luar biasa. Lula juga ingin
menangis merasakan darah yang mengucur deras dari luka hati Gilang. Tapi dia
harus berkata jujur. “Mas Anggorokah maksud mas?” Tanyanya. Dan dia menguatkan
hati. “Ya.”
Sejak itu, Gilang seperti terbawa
angin. Hilang ditelan bumi. Pergi membawa cintanya ke tempat di mana dia bisa
menyibukkan diri. Membunuh waktu untuk bisa melupakan Lula. Andai bisa, dia
ingin mencuci otaknya. Agar kenangan tentang Lula terbuang sama sekali dari
benaknya. Sampai suatu saat dia akan menemukan tambatan hati yang lain.
Tiga tahun bersama, akhirnya Lula
pun disunting Anggoro. Saat itu, Lula bahkan sama sekali tidak teringat Gilang.
Cara Anggoro mencintainya tak membuka peluang sedikitpun bagi Lula untuk
memikirkan orang lain. Anggoro telah merebut hatinya. Utuh-utuh. Dan menutupnya
rapat-rapat untuk hadirnya cinta yang lain. Sekarang,
setelah hampir dua puluh tahun pernikahan itu, dengan seorang anak semata
wayang hasil buah kasih, perhatian Anggoro nyaris tidak berubah. Sikapnya yang
melindungi, penuh perhatian, semakin sarat sejalan dengan usianya yang semakin
matang. Anggoro yang romantis selalu memenuhi hari-harinya dengan ungkapan
sayang, penuh perhatian bahkan untuk hal-hal kecil, tak pernah lupa memberinya
bingkisan dan kado—meski hanya sebuah puisi—untuk hari-hari istimewa. Membuat
Lula merasa menjadi perempuan yang sangat dibutuhkan dan berarti.
Meski begitu, pertemuan dengan
Gilang tadi siang ternyata mampu mengusik hati Lula. Wajah Gilang yang lugas
dan cerdas, dengan penampilan yang semakin matang, masih memenuhi benaknya. Mata
tajamnya yang menatap Lula lekat-lekat masih terbayang jelas. Entah kenapa,
Lula merasa senang dengan pertemuan tadi. Rasanya,
kekaguman ini belum sirna, pikir Lula. Meski bukan cinta, namun pertemuan dengan
orang yang pernah dikaguminya itu, ternyata membuat perasaannya agak berbeda. Mungkin
karena setelah sekian lama tidak pernah bertemu. Dan bagaimana pun, Gilang
pernah dekat, meski tidak sangat dekat.
*
Lula tertegun. Ada SMS berupa sebuah
puisi. Dari Gilang. Dibacanya puisi itu: “Terkadang terang, terkadang gelap, semua
dilalui. Ketika bertemu masa lalu, terasa menjadi muda kembali. Digapai-gapai
kedamaian, diam didapat. Ketika hanya pandangan dilakukan, justru bergerak
seluruh jiwa ini. Ah, bidadari itu terbang lagi ke singgasana. Apa yang terjadi
nanti, bila raga hanya dapat bersandar di kursi? Akankah masa lalu itu, dan
bayangan mendatang, disatukan dalam periuk jiwa muda? Ah. Bayang-bayang semakin
lenyap bersama lenyapnya angan. Hanya senyum tersisa, mendengkur, menyongsong
hidup baru esok hari.”
Padahal jam telah menunjukkan hampir
pukul dua belas tengah malam. Lula memang masih terjaga karena dia harus
membaca karya ilmiah yang akan dinilainya lusa. Dan Gilang, apa yang
dilakukannya pada malam selarut ini? Melamunkan dirinya? Begitukah? Tapi bila
tidak, kenapa mengirim SMS seperti ini? Malam-malam lagi. Tidakkah dia terlalu
berani mengambil risiko? Bagaimana kalau Anggoro tahu?
Lula membaca puisi itu lagi.
Diresapinya setiap kata, satu per satu. Dan hatinya berdesir. Desiran halus
seperti ketika bertemu Gilang tadi siang. Ada perasaan bahagia menyusupi relung
hatinya. Sejenak Lula linglung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia
ingin membalas, namun ditahannya. Tapi akhirnya jari-jarinya menekan telepon
genggamnya. “Mas, tidur, dah malam.
Jangan melamun, daripada ngelantur. Ok?” Akhirnya SMS itupun terkirim.
Sejak itu, puisi-puisi Gilang dan
kata-kata lembutnya mengalir deras lewat SMS. Lula selalu menyimpannya.
Membacanya dengan cermat. Meresapinya diam-diam. Dan membiarkan hatinya
berbunga-bunga. Dia tidak pernah mendapatkan satu puisi pun dari Gilang, dulu.
Dia tidak pernah melihat sisi romantis Gilang, kecuali sosoknya yang dingin dan
pengatur. Ketika sekarang, setelah dua puluh tahun berlalu, tiba-tiba dia
menemukan sosok Gilang yang lain. Maka dia bertanya pada Gilang lewat SMS: “Setahuku,
dulu mas Gilang tidak bisa membuat puisi. Dari mana mas belajar?”
“Dari orang yang saat ini sedang
membaca SMS-ku. Andai dari dulu aku tahu harus lakukan ini, mungkin aku tidak
harus kehilangan.....”
Hari-hari pun terus berlanjut.
Puisi-puisi Gilang dan kata-kata lembutnya terus mengalir. Lula menikmatinya. Bahkan
selalu menunggu-nunggu. Andai saja dari dulu Gilang selembut dan seromantis ini.
Andai saja dia tidak terlalu dingin dan keras hati.... Lula mulai
berandai-andai. Sosok Gilang yang cerdas selalu membuatnya kagum. Dan kekaguman
itu semakin lengkap ketika dia temukan sisi lembutnya. Sisi yang tak pernah dirasakannya
ketika itu.
Tapi tiba-tiba Lula tersadar ketika Gilang
bertanya: “Apakah dik Lula sekarang sudah berhasil belajar mencintai saya?”
Oh, tidak. Aku tidak mau terjebak. Lula
betul-betul seperti baru tersadar. Pintu selingkuh terbuka lebar di depan
matanya. Ponsel memberinya kemudahan untuk itu. Anggoro yang mempercayainya membuat
jalan menjadi serba aman. Aktivitasnya sebagai wanita bekerja di luar rumah memungkinkannya
untuk bisa mengambil kesempatan. Mengendalikan waktu dengan leluasa untuk
sekedar mencari selingan.
Tapi Lula sudah memiliki Anggoro dan
Raga yang mencintainya. Tak akan dia menukarnya dengan apapun untuk kedua
belahan jiwanya itu. Tidak juga dengan kesenangan yang mungkin akan membuat
hidupnya lebih berwarna. Lula merasa, semuanya harus diakhiri. Sebelum pintu
itu semakin terbuka lebar, dan menjebaknya dalam hidup yang pasti tidak akan pernah
sama lagi. Hidup yang sudah ternoda dengan pengkhianatan.
“Aku rasa, sekarang sudah bukan
waktunya lagi belajar untuk itu, mas Gilang.” Jawabnya. Lega. Karena dia telah
mengambil keputusan yang paling tepat. Menghapus jejak masa lalunya yang
tiba-tiba datang menawarkan manisnya madu sekaligus pahitnya racun kebahagiaan
sesaat.
Lama Lula menunggu balasan Gilang. Dua
jam lebih. Dan dia sudah mulai tidak peduli ketika tiba-tiba ponselnya
berbunyi. SMS dari Gilang.
“Ya, sudah tidak waktunya. Sudah
kadaluarsa.” Tulis Gilang. “Namun telah kupetik keindahannya....” *
Surabaya,
akhir tahun 2006
Surabaya, 7 Mei 2013