
SM-3T: Kerinduan
"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan
"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja
"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam
"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga
"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."
Jumat, 10 Mei 2013
PERJALANAN WAKTU
Oleh: Lutfi Az.
(Catatan:
Cerpen ini telah dimuat di Majalah Remaja ’Anita Cemerlang’ No. 288. 2-11
Januari 1989)
Mendung yang sejak pagi tadi
hanya menggantung saja di langit, kini telah berubah jadi hujan deras. Aku
urung melangkah ke halaman parkir, berbalik dan setengah berlari kembali ke
teras Gelanggang Mahasiswa. Sambil mengeluh dalam hati, kusibakkan rok bagian
bawahku yang basah. Mestinya aku sudah sampai di rumah beberapa menit yang
lalu, jika saja aku tak tergoda untuk melihat pameran lukisan ini.
Kulihat
jam di tanganku. Satu tiga puluh lima. Aku mulai gelisah. Kudekap map kuningku
erat-erat, sambil menahan dingin yang tiba-tiba menyergap. Sepuluh menit lagi,
biarpun hujan belum reda, kupikir aku akan nekat pulang. Ibu selalu merasa
lebih tenang kalau aku ada di rumah secepatnya, meskipun untuk itu aku mesti
kehujanan. Tapi... uh! Aku memaki diam-diam sambil mengusap bahuku yang
tiba-tiba basah. Seseorang dengan tubuh dan pakaian hampir kuyup, yang baru
saja datang, telah menyenggolku.
"Oh, sori...."
"Tak
apa." Aku mencoba tersenyum, dan sedikit menggeser tubuhku, memberinya
tempat. Orang itu menatapku saja, dan aku pura-pura tak melihatnya.
"Tera...?"
Kuangkat
kepalaku setengah terkejut, dan... oh Tuhan! Aku benar-benar terkejut kini.
Tidak! Aku sungguh tidak menghendaki pertemuan ini.
"Andre...!"
Kami berjabat tangan, amat erat setelah sama-sama lepas dari ketertegunan.
Andaikata mungkin, betapa inginnya aku menghambur ke pelukannya, dan
menghempaskan segenap kerinduanku. Oh! Segera kusadarkan diri bahwa itu
sebuah pikiran gila.
"Apa
kabar'?" Tanya Andre. Dia selalu bisa lebih dulu menguasai perasaan.
"Baik."
"Kau...."
Matanya menelitiku dengan seksama. "Kau kelihatan agak kurus
sekarang."
"Ah,
tidak!" Aku menghindari tatapan Andre. "Ini sudah jauh lebih gemuk.
"
Andre
tak menjawab. Sekali lagi ditatapnya aku, lembut, tapi sarat dengan luka.
Selalu begitu. Dan hatiku teriris. Luka batin ini ternyata tak juga berhenti
mengucurkan darahnya....
"Bagaimana
kau bisa basah kuyup seperti ini, An?" Kuulurkan sapu tangan handukku,
dan dia mengusap wajahnya serta sebagian rambutnya. Aku memandangnya dengan
seribu perasaan yang berbaur jadi satu. Kemeja dan celananya basah di bagian
depan, dan dia pasti kedinginan. Dalam keadaan seperti itu, sebenarnya aku
amat ingin membantu mengeringkannya, seperti dulu. Tapi nyatanya, untuk
sekadar mengusap lengannya yang basah pun, aku tak bisa melakukannya!
"Kapan
datang?" tanyaku, sambil menerima kembali sapu tanganku yang telah
menjadi basah.
"Sudah
lama, dua minggu."
"Oya?"
Aku menelan ludah. Dadaku perih tiba-tiba. Dua minggu, dan selama ini dia tak
menemuiku. Oh, tidak. Aku tidak boleh menyesalinya. Bukankah ini telah kami
sepakati bersama?
"Ada
lomba teater di Balai Pemuda. Dan aku bersama beberapa teman mewakili
IKJ." Andre menjelaskan tanpa kuminta. "Aku tahu di sini ada pameran
lukisan dari radio."
Kami
lalu berdiam diri. Aku sendiri sibuk menetralkan perasaanku. Sebenarnya aku
ingin mengajak Andre ke kafetaria. Dia perlu minuman hangat. Tapi dalam
keadaan hujan seperti ini, rasanya tidak mungkin, kecuali bila kami nekat
berbasah-basah.
Oh.
Aku menghela napas dengan letih. Ternyata aku tidak bisa untuk tidak
memikirkannya. Andre, Andre! Nama ini kembali bergaung keras di segenap relung
kalbuku. Bertalu-talu, mengiringi lagu cinta lama yang mendayu-dayu. Dan
telinga batinku mendengarkan dengan pedihnya.
Hujan
mulai agak reda tanpa kusadari. Map kuningku kudekap semakin erat di dadaku.
Rasanya ingin kuendapkan segala cinta dan kerinduan ini di dalamnya. Aku
mesti bisa menguasai perasaanku, sebagaimana Andre. Aku mesti bisa melarikan
cinta dan kerinduanku pada keramahan dan senyum seorang teman, seorang
sahabat, dan bukan kekasih. Tuhan, betapa sulit!
"Tera.... "
Aku
menoleh. Kutatap Andre sekilas, dan aku kembali memalingkan muka. Tatapannya
begitu mengharu biru perasaanku. Aku yakin, sorot serupa itu jugalah yang dia
tangkap dari mataku: penuh cinta.
"Tera,
kau baik-baik saja selama ini?"
Aku
tersenyum. "Itu sudah kau tanyakan tadi, An."
“Kuliahmu
bagaimana?”
“Juga
baik.”
“Masih
aktif di pers fakultas?”
“Ya.”
“Masih
suka memberi les privat?”
“Masih.”
“Tera...!”
Aku
terkejut. Suara Andre lebih menyerupai erangan. Dan benar. Cowok itu menatapku
dengan luka yang menyeruak lebar dari matanya.
"Aku
rindu!" Dia mendesis.
Kugigit
bibirku keras-keras. Kutatap Andre dengan perasaan berkecamuk. Kupalingkan
wajah ketika kidung cinta lama itu kembali mengalun, lebih lembut namun
semakin memporakporandakan hatiku. Tidak, Andre, tidak. Empat bulan kita
berjuang mengendapkan rindu, dan berhasil. Haruskah kini gagal hanya karena
pertemuan ini?
“Andre......”
“Kau
berubah pendiam kini. Kenapa?”
Aku
menggeleng. “Rasanya tidak!”
“Kau
berbicara sedikit sekali.”
“Andre....”
Aku memotong kata-katanya dan menegarkan hati. “Kau kapan kembali ke Jakarta?”
Cowok
itu menghela napas panjang dan menghempaskannya dengan kesal. Aku tahu dia amat
kecewa dengan sikapku. Dia menatapku bagai harimau luka.
"Lusa."
Jawabnya pendek.
Aku
menelan ludah merasakan dinginnya suara Andre. Bagaimana aku mesti
menghadapinya? Cinta dan kerinduan yang telah sekian lama kuendapkan di dasar
hatiku, kini meluap-luap bagai banjir. Andre yang kucintai, oh, kenapa kita
mesti bertemu?
"Kupikir
hujan akan segera reda, An." Aku berkata demi melarikan kegelisahanku.
"Ibu pasti sudah resah di rumah menungguku." Aku mencoba mengulas
senyum. "Aku pulang."
Andre
tak menjawab, meski aku tahu, sebenarnya banyak yang ingin dia ucapkan.
Tiba-tiba aku merasa begitu bersalah. Dia pasti berpikir, betapa tak
berperasaannya aku kini. Itu jauh lebih baik, daripada dia mengetahui hal
yang sebenarnya: betapa hancur luluhnya hatiku!
"Tera...."
Aku
mennghentikan langkah di depan tangga. Kutunggu ucapan Andre. "Apakah
masih pantas jika aku mengharapkan kita bertemu lagi, sebelum aku kembali ke
Jakarta?"
Aku
diam dengan mata terpejam. Entah perasaan apa yang kini mengguyur kalbuku.
Permintaan Andre yang begitu mengharap, diam-diam menyejukkan batinku. Tapi
kenapa kebahagiaan ini senantiasa berkabut?
“Te...”
“Bukan
masalah pantas atau tidak pantas, An.” Kutatap Andre dengan ketegaran yang
masih tersisa. Betapa inginnya aku mengulurkan tangan, dan mengusap matanya
yang senantiasa berawan itu. “Kenapa kita musti melukai perasaan kita
sendiri?”
Andre
tak menyahut, kecuali hanya memandangku. Kalau dia merasa amat hancur, seperti
itu jugalah aku. Tatapannya yang menyapu wajahku dengan putus asa, kini
nampak begitu pasrah. Aku memalingkan muka dengan mata kabur. Sesungguhnyalah
hatiku telah menangis semenjak tadi.
Dan
kulintasi halaman Gelanggang Mahasiswa di bawah guyuran gerimis, menuju tempat
parkir. Aku telah benar-benar terisak kini. Tapi air hujan yang mengguyur
wajahku, membantuku untuk tidak memperlihatkan tangis pada siapa pun. Juga
pada Andre….
***
Langit
putih bersih - benar-benar putih - tanpa noda. Pemandangan seperti itu rasanya
telah begitu lama tak kunikmati, semenjak musim penghujan tahun ini. Sisa air
yang menetes dari ujung-ujung daun, bau tanah basah dan udara segar....
"Heh!"
Sialan!
Aku mengumpat dalam hati saat Amazora memukul punggungku. Tapi dia berlagak tak
bersalah dan terus saja melangkah sambil mendekap diktat-diktatnya. Oh,
ternyata kuliah Statistik telah usai tanpa kusadari. Aku segera menyambar tas
kuliahku, melangkah keluar menyusul teman-teman.
“Zo!”
Aku terengah mengejar Amazora. Gadis itu menghentikan langkah.
“Kau
tidak boleh langsung pulang. Kita membenahi kantor redaksi, kau ingat?”
"Ya.
Tapi aku lapar. Perutku protes terus sejak tadi. Si Jambul itu makan waktu
kita sampai lima belas menit.”
”Tapi
ini baru sembilan empat puluh....”
“Dan
aku belum sarapanl”
“Kita
ke kafe saja, yuk!” Aku membujuknya. “Makan dulu, habis itu ke kantor
redaksi. Mau?”
Amazora
menggeleng dan tersenyum. “Kita pulang saja yuk.” Dia malah balik membujukku.
“Acaranya ditunda saja besok.”
“Kau
selalu egois!” Aku jengkel. “Kita kan sudah sepakat tempo hari.”
Amazora terus saja melenggang tak peduli.
“Zo!”
Aku masih mencoba membujuknya. “Bram menunggu kita di kantor redaksi!”
Gadis
itu tiba-tiba tersenyum dan menghentikan langkah. "Bukan kita."
Matanya mengerdip, menggoda. “Cuma kau yang dia tunggu.”
“Kamu
selalu begitu!”
Amazora
mengibaskan tangannya dan tergelak. “Memang harus begitu!” Dia terus saja
melangkah. “Yok, aku duluan....”
Aku
tak menyahut dan tak lagi membujuk Amazora. Percuma. Kepala batunya tak akan
berubah jadi cair.
“Mana
Amazora?” Sambut Bram bagitu aku muncul di depannya. Cowok itu nampaknya
tengah memeriksa naskah-naskah yang masuk.
“Pulang.”
Kuedarkan mataku ke seluruh ruangan. Semuanya nampak rapi dan kelihatannya
baru saja diatur. Padahal kemarin kulihat masih berantakan seperti kapal
pecah.
”Hendra
dan Yan ke sini tadi, dan membereskan semuanya.” Bram menjelaskan tanpa
kuminta. “Aku sendiri baru datang ketika mereka hampir selesai.”
“Oya?
Sekarang di mana mereka?”
“Kuliah
Kewiraan di lantai dua.” Aku manghampiri Bram dan duduk di depannya.
“Tinggal
ini yang belum beres.” Katanya lagi. “Naskah-naskah untuk edisi mendatang.”
“Dan
itu bagianmu.”
Bram
tersenyum.
“Aku
pulang saja ya?” Kataku meminta. Berdua saja dengan Bram, tanpa siapa-siapa
seperti ini, selalu membuatku gelisah. Tapi Bram menatapku, seperti tak rela.
“Tera....”
Panggilnya lembut. Dihentikannya kesibukannya, dan dia memandangku. “Tidak
bisa menungguku sebentar saja?” Pintanya.
Aku
tersenyum dengan hati gelisah. “Berapa menit?”
Tapi
Bram terus memandangku. "Kelihatannya kau selalu berusaha menghindariku
belakangan ini.”
“Aku....”
Aku semakin gelisah. “Aku musti menyelesaikan tugas resume untuk besok.”
“Aku
tahu itu cuma alasan yang kau cari-cari!”
“Bram!”
“Aku
tak peduli kau marah atau tidak!” Bram tak mengacuhkan kecemasanku. Tapi
suaranya masih tetap lembut. “Kenapa kau bersikap seperti itu? Supaya kau bisa
menciptakan jarak sejauh mungkin denganku? Supaya aku bisa melupakanmu?”
Aku
tersekat. Kutekan kepedihan yang tiba-tiba menyergap dadaku. Cintaku kurasakan
telah memucat sejak aku kehilangan Andre. Dan kehadiran Bram dengan seluruh
harapannya, begitu menggelisahkanku. Bram teramat baik, penuh perhatian, dan
selalu melindungi. Tapi bagaimana mungkin aku menerimanya, sementara nama
Andre masih saja melekat? Aku begitu kecewa ketika kusadari, Bram masih saja
mengharapkan aku kendati aku telah menolaknya.
“Tera....”
Aku
masih saja diam tanpa mengangkat kepala. Tiba-tiba saja aku merasa sangat
letih.
“Tera,
kau belum menjawab pertanyaanku!”
“Itu
bukan pertanyaan yang musti kujawab, Bram!” Aku bangkit, meraih tas kuliahku.
“Kau datang pada saat yang sangat tidak tepat.” Kutatap Bram dengan kesedihan
yang sarat. Matanya masih saja sejuk, masih saja menawarkan keteduhan. Kadang
aku begitu ingin mereguk kesejukannya dan bernaung di dalamnya dengan tentram.
Ah!
“Boleh
aku pulang?”
Bram
tersenyum hambar. “Kalau aku berhak menghalangimu, aku akan berkata jangan.”
Aku
ikut tersenyum. “Sampai ketemu besok!” ujarku dan berlalu.
***
Aku
baru saja memasang kertas di mesin tik ketika Arum memasuki kamarku. Rambutnya
yang masih basah menyebarkan aroma harum yang semerbak. Dia berdiri di sisiku
dan memperhatikan aku melanjutkan bekerja.
“Bikin
apa, Kak?” tanyanya beberapa saat.
“Paper,
Nona Kecil !” jawabku pendek.
“Masih
lama?”
Aku
menghentikan tanganku dan menatapnya. “Memangnya kenapa!”
“Mas
Andre menunggu di ruang, tamu.”
Kutatap
Arum lekat-lekat. Anak kelas dua es-em-a itu terlalu sering menggodaku.
“Benar, Arum?”
Kepala
mungil itu mengangguk. “Mas Eng yang menyuruhnya menunggu Kak Tera.”
Aku
menghela napas. Dadaku sesak tiba-tiba. Luka cinta ini begitu dalam, begitu
parah. Dan Andre? Oh, kenapa kau mesti mengoreknya lagi?
Aku
melangkah keluar kamar mendahului Arum. Apapun yang terjadi, aku mesti
menemuinya. Kuenyahkan seberkas kebahagiaan yang sempat menyusupi batinku.
Kehadiran Andre, tak bisa kupungkiri, kadangkala kuharapkan, dan membahagiakan.
Tapi apalah artinya, bila prahara lain yang lebih besar senantiasa
membayang-bayangi?
“Selamat
sore, Te.” Andre bangkit dari duduknya. Tangannya terulur kepadaku. Dan aku
menggenggamnya. Dingin dan gemetar. Rasanya seluruh rinduku mengalir di sana.
"Mestinya
kau sudah kembali ke Jakarta dua hari yang lalu." Kataku pelan.
Andre
tak segera menjawab. Dia nampak begitu gelisah. Aku yakin ada sesuatu yang
ingin dia katakan.
“Andre....”
Aku memanggilnya lembut. “Ada apa?”
“Aku
kalut.”
Aku
menunduk. Sedemikian ibanya aku melihat mendung yang menyelubungi wajah Andre.
Dulu, akulah yang mengeluh di depannya. Tentang segala resah dan kekalutan. Dan
Andre hampir selalu bisa membuatku melepaskan semua galau. Dan kini, pada saat
segalanya telah usai, apa yang bisa kulakukan untuk menghiburnya?
“Apa
sesungguhnya yang terjadi, Andre?”
Cowok
itu memandangku sekejap, lalu melemparkan matanya keluar. Suaranya mengambang
ketika berkata. “Kau tidak tersiksa dengan perpisahan ini, Te”
Aku
kembali menunduk, menghindari tatapan Andre. Sejuta kegalauan menyerbuku tanpa
ampun. Empat bulan yang lalu kami memutuskan untuk berpisah, tapi rasanya baru
kemarin semuanya terjadi. Sebesar apapun cinta kasih kami, ternyata itu tak
pernah bisa memadukan prinsip kami, yang amat berbeda. Mestinya kami menyadari
itu sejak awal, dan tidak membiarkan benang-benang merah terajut. Tapi kenyataannya
tidaklah begitu. Dua tahun, ya, dua tahun aku dan Andre membiarkan cinta
tumbuh dengan suburnya, dengan satu keyakinan, bahwa cinta dapat mengatasi
segalanya. Dan bagai terbangun dari mimpi yang amat buruk ketika aku dan Andre
sama-sama menyadari, cinta ternyata tak akan pernah bisa mengubah kenyataan!
“Aku
tak bisa melupakanmu, Te. Tak bisa.” Andre menatapku sendu. “Aku tak bisa
menggantikan kau dengan siapa pun. Aku tersiksa. Tera....” Suaranya begitu
putus asa. “Kenapa kau hanya diam saja?”
Kugigit
bibirku keras-keras. Dadaku sesak menahan tangis. Ingin sekali aku menghambur
ke pelukan Andre, dan menangis sepuas-puasnya di dadanya, seperti yang dulu
sering kulakukan. Aku yakin, tanpa kukatakan sepatahpun, dia sudah bisa meraba
perasaanku. Luka di hati ini tak berbeda sedikit pun dengan luka yang
dideritanya.
“Te....”
“Apa
yang musti kukatakan, Andre? Bukankah semuanya sudah jelas?” Suaraku tersekat
di tenggorokan. “Kita tak mungkin bersatu selama jalan yang kita tempuh
berlainan. Kita telah sama-sama menyadari itu. Kalaupun bisa, keyakinan yang
kita anut sama-sama tidak membenarkan. Andre, apalah artinya kebahagiaan
kalau untuk itu kita musti mengingkari hati nurani!”
“Tapi
kita tersiksa….“
Ya,
tapi kita tersiksa. Aku mengeluh dalam hati. Betapa tidak. Beberapa waktu yang
lalu kami masih selalu bersama merajut cinta dan harapan. Tempat Andre yang
jauh di Jakarta sana, bukanlah alasan untuk memutuskan sebuah kebersamaan.
Surat-surat kami yang terus mengalir senantiasa mengabarkan rindu dan
kesetiaan. Dua tahun! ya, begitu lamanya kami terlena dalam madu asmara.
Berdua meniti jembatan bahagia, berdua menyingkirkan setiap aral yang
melintang... baru kemudian sadar, bahwa kebersamaan tak mungkin selamanya bisa
kami nikmati. Padahal cinta telah sedemikian kokohnya. Aku amat terpukul
menerima kenyataan itu, juga Andre. Itulah satu-satunya kendala yang tak pernah
bisa kami singkirkan, sampai kini!
“Andre....”
Aku memanggil Andre dengan suara kering. “Barangkali kita belum cukup berusaha.
An, percayalah, sepanjang niat kita baik, Tuhan akan selalu menunjukkan jalan
terang bagi kita....”
“Aku
ingin kita kembali, Te.” Potong Andre penuh harap. “Lihatlah, banyak sekali
orang yang berbeda keyakinan, tetapi tetap bisa bersama. Mereka menikah, punya
anak, dan hidup bahagia. Dengan cinta, kita pun bisa, Te...”
“Tidak…!”
Andre
terkejut. Aku sendiri segera menutup mulutku, demi kusadari, aku tidak sekadar
berkata, tapi berteriak sambil meratap. Aku mulai terisak. Kusesali kalimat
Andre barusan. Demi Allah, aku lebih bahagia bila dia tetap tegak pada
prinsipnya. Sejak perpisahan kami empat bulan yang lalu, mata hatiku semakin
terbuka, bahwa cinta bukanlah segalanya. Cinta bukanlah satu-satunya titian
menuju kebahagiaan. Dan demi cinta, orang tidaklah musti mengorbankan
segala-galanya. Apalagi mengorbankan
keyakinan yang telah dianutnya sepanjang hidup!
“Kita
tidak salah mengambil keputusan, An. Sama sekali tidak salah.” Suaraku tersendat-sendat menahan tangis. Aku
tahu, aku menderita setelah kehilangan Andre. Dia orang pertama yang kucintai dengan sepenuh hati. Tapi aku
juga tahu, tak mungkin aku mengingkari kenyataan. Mustahil aku mendustai hati
nurani. Karena matahari selamanya tak akan bisa berjalan bersama bulan. Bila
itu terjadi akan berarti sebuah bencana. Oh, kenapa tidak sedari dulu kusadari
hal ini?
Aku
menatap Andre. Dengan susah payah, kubangun sebuah ketegaran. ”Pulanglah,
Andre....” Suaraku menggantung. “Cinta bukan segala-galanya dalam hidup ini. Cinta
tidak harus mengendalikan kita, tetapi sebaliknya, kitalah yang harus
mengendalikannya.”
Andre
menghela napas. Panjang dan berat. Aku seperti ikut hanyut dalam keletihan di
matanya.
“Kau
tidak akan mengubah keputusan, Te?” Suaranya masih penuh harapan.
Aku
menggeleng. Tidak hanya Andre yang merasa putus asa. Aku pun semakin sadar,
segalanya kini telah kandas. Perahuku tak pernah akan mencapai pantai harapan.
“Kalau
saat ini kau masih belum mengerti, An, nanti kau pasti akan mengerti.” Kataku
amat yakin.
Senja
yang temaram semakin menurunkan gelapnya ke bumi. Aku melepas Andre, dan kami
berpisah dengan luka hati
yang sama. Esok, masih ada pagi, masih ada hari. Namun kenapa begitu cepatnya
cinta berlalu...?
***
Aku
memaki dalam hati. Hujan lagi-lagi
memperlambat perjalananku. Tapi tak ada alasan untuk nekad. Bram bahkan
menggamit lenganku, dan kami kembali berada di
teras percetakan kampus. Beberapa menit yang lalu kami baru saja memasukkan
naskah-naskah untuk buletin edisi mendatang, serta membuat layout-nya.
Dan
kini, hujan menghalangiku untuk segera pulang.
“Kau
kedinginan?”
Aku
menoleh pada Bram dan tersenyum. Kubiarkan dia melepaskan jaketnya dan
mengenakannya di tubuhku. Perhatiannya itu, oh, aku mengeluh diam-diam.
Kularikan kesedihan yang mendadak menyergapku pada sosok lain. Andre. Pagi
tadi, tiba-tiba saja dia muncul lagi di rumah. Lengkap dengan jaket dan hand-bag-nya.
Matanya
masih saja nampak lelah dan luka, seperti kemarin-kemarin.
“Aku
akan kembali ke Jakarta, Te....” Suaranya pelan tapi nampak tegar. “Keputusanmu
kemarin, sepenuhnya kuhargai. Kau benar. Selain cinta, masih ada banyak hal
yang musti kita pikirkan dan kita lakukan dalam hidup....”
Dan
kami berjabatan tangan. Lama dan erat. Susah payah kutahan hatiku untuk tidak
terbawa perasaan. Aku harus kelihatan tetap tegar. Namun begitu Andre berlalu,
kutangisi dia sepuas-puasnya. Aku mencintai Andre. Aku sadar, selama ini aku
hanya berlari-lari dalam asa yang tak kutahu di mana tepinya.
“Te....”
Aku
terkejut. Suara Bram yang lunak begitu dekat di telingaku.
“Kau
melamun?”
Aku
menggeleng.
“Tidak.”
“Katakan
ya. Kenapa berdusta?” Aku menatap Bram. Dia tersenyum. Tidak ada nada mengejek
dalam senyumnya. Aku tiba-tiba menyesal telah membohonginya.
“Kau
selalu bisa menebak isi hati orang....” Ujarku akhirnya.
Hujan
tak juga reda, dan kegelisahan lagi-lagi menyergapku. Aku melepaskan pandangan
ke arah barisan flamboyan di sepanjang jalan kampus. Bunganya begitu semarak,
begitu bagus. Dahan-dahannya bergoyang-goyang tanpa henti karena hujan
terus-terusan menerpanya. Namun begitu, hatiku yang rawan tak juga terhibur.
Dan
Andre, di manakah kau kini? Batinku mulai merintih lagi dengan perihnya. Pagi
tadi dia langsung berangkat ke Jakarta setelah menemuiku. Dulu, aku selalu
melepasnya dengan kebahagiaan yang tulus setiap kali dia berpamitan. Andre
benar-benar menemukan dunianya di Departemen Teater yang diambilnya. Andre
bahagia, dan betapa aku bisa merasakan itu semua.
Oh!
Aku mengeluh diam-diam. Kenapa seorang Andre yang selalu saja mengusikku?
Kenapa aku tidak bisa berhenti mengenangnya? Kenapa?
Aku
sungguh tidak tahu persis, sejak kapan sebenarnya benang-benang merah ini
mulai terajut. Kami telah akrab semenjak es-em-a. Di sekolah, di kelompok
belajar, di OSIS, hampir selalu bersama. Sampai akhirnya, tanpa kusadari,
perasaan lain muncul dalam hati. Perasaan yang begitu menyentuh sampai dasar
kalbu, yang lantas kami sadari, itulah cinta.
Begitu
lamanya aku dan Andre terlena, dan tak mau melihat kenyataan, bahwa
sesungguhnya ada jurang pemisah yang tak mungkin terjembatani, di antara kami.
Tidak. Kami sungguh tidak rela bila kebersamaan yang amat indah itu terenggut.
Kami sungguh tidak rela bila pohon-pohon cinta kami tarcerabut. Ya. Masa remaja
membuat aku dan Andre tak mempedulikan perbedaan prinsip kami, karena itu
hanya menyakitkan. Baru kemudian, pada saat kami mulai mengerti dan dewasa, pada
saat mata hati mulai terbuka, kami seolah baru terjaga dari tidur yang
panjang. Kami samasama sadar bahwa tak mungkin jurang pemisah itu kami
singkirkan. Ya, kesadaran yang datangnya begitu terlambat!
“Tera....”
Lagi-lagi
suara Bram mengejutkanku. “Kau melamun terus sejak tadi. Ada apa, hm?”
Aku
menggeleng. “Tak ada apa-apa, Bram.”
“Kau
tak percaya padaku?” Tanya Bram. “Bicaralah, Te. Bukankah kita berteman sejak
dulu?” Suaranya begitu menyejukkanku. “Kau tak bisa membohongiku dengan
mengatakan, bahwa kau tidak sedang mempunyai masalah.”
Aku
menelan ludah. Ragu.
“Tentang
Andre?” Lanjut Bram, tetap tenang. Seperti yakin bahwa dia tak akan salah ucap.
“Tadi
pagi, kami bertemu lagi, Bram…,” ujarku lirih. “Aku sedih, kenapa kami harus
berbeda keyakinan.” Suaraku keluar begitu saja.
Bram
tiba-tiba menggenggam lunak jemariku. Aku sendiri seperti mendapatkan kekuatan
yang mengalir dari sana.
“Bram,
aku mencintainya, tapi kenapa aku mesti kehilangan dia….” Aku mengeluh dan
tersendat-sendat. Tiba-tiba saja aku ingin bercerita banyak-banyak, supaya
beban batinku berkurang. Tiba-tiba saja aku merasa mendapat teman, dan tidak
lagi berjalan seorang diri, seperti yang kurasakan akhir-akhir ini. “Bram, kau
bisa merasakan apa yang kurasakan?”
“Ya,
aku mengerti, Tera.” Bram mempererat genggamannya. “Kehilangan orang yang
dicintai, selamanya menyakitkan.Tapi bukankah kau yakin, bahwa kau tak salah
mengambil keputusan?" Aku mengangguk setelah diam
“Kau
yakin?” Ulang Bram, sambil menatapku lurus-lurus. Matanya tenang, bagai telaga
yang tanpa gelombang. Tiba-tiba aku membayangkan diriku jadi ikan. Betapa
nyaman berenang di dalamnya. Aku tersenyum sendiri tanpa kusadari.
“Heh,
kenapa?”
Aku
menggeleng dan tersipu. “Bram.” Kualihkan pertanyaannya. “Bagiku, teman hidup
haruslah orang yang sejalan. Itu prinsip!”
“Nah!
Tetaplah tegak pada prinsip itu kalau kau yakini kebenarannya. Jangan meratapi
nasib, kau harus tetap tegar!” Bram berhenti sebentar. “Te....” Suaranya
melembut. "Kalau kau percaya, biarkan aku
menemanimu...!”
Aku
tercenung dan tak tahu mesti berkata apa. Aku tak tahu perasaan apa yang
merayapi batinku. Aku membayangkan hujan yang tiba-tiba turun pada saat
kemarau telah berlalu demikian panjang. Oh, betapa segar. Dan kegersangan hati
ini...?
“Bram,
aku ingin pulang....”
Bram
menatapku penuh tanda tanya. Tapi akhirnya mengangguk. “Masih hujan begini?
Kau yakin tak akan sakit? Ayolah....”
Berdua
kami menerobos hujan. Bram melingkarkan lengannya di bahuku, dan perasaan aman
mendadak mengakrabiku. Betapa tentramnya berada di sisi Bram. Tapi perjalanan
masih amat panjang, masih amat panjang. Aku tidak ingin tergesa-gesa. Kalau
saat ini aku belum bisa menerima kehadiran Bram, aku yakin, itu hanya soal
waktu. Ya. Hanya soal waktu!
***
Kamis, 09 Mei 2013
HARI-HARI BERBUNGA
Oleh: Lutfi Az
(Catatan:
Cerpen ini telah dimuat sebagai Cerita Utama di majalah remaja ’Anita
Cemerlang’ No. 272. Tgl. 18 s.d. 27 Juli 1988)
Panas yang menyengat seolah
menikam muka bumi. Kemarau rasanya telah begitu panjang, namun Tuhan tak jnga
mengirimkan hujan anugerah-Nya. Kutatapi guguran daun-daun kering yang
berserakan di mana-mana. Di seputar halaman Workshop Teknik Mesin, di dekat
pintu halaman parkir, di sepanjang pinggiran koridor
“He!”
Aku menoleh dengan kaget. "Ngelamun?"
Asih,
gadis itu, duduk di sebelahku, setelah meletakkan bakinya yang penuh makanan
dan minuman di atas meja. Siapa pun yang melihatnya pasti akan langsung tahu
kalau dia tengah kelaparan. Sekilas kulayangkan mataku ke seluruh ruangan kafe
yang pikuk. Uh, aku jadi ingat kalau ini sudah waktunya makan siang. Penjaga
kafe yang cukup banyak itu selalu kerepotan melayani tamu pada jam-jam begini.
"Nggak
makan, Ra?" Asih bertanya sambil menuangkan saus ke dalam mangkuk
baksonya. Isi mangkuk itu berubah merah sekali. Dan dia melahapnya dengan
nikmat.
"Heh,
kok bengong?"
Aku
segera tersenyum. Kutengadahkan gelas esku yang sudah kosong. Aku bersiap-siap
pergi.
"Selamat
makan siang, Sih. Aku pulang dulu!" Kugantungkan tas kuliahku di pundak.
Asih hanya mengangguk karena mulutnya penuh makanan. Tapi pada saat hampir
mencapai pintu keluar, kudengar suaranya memanggilku.
"Kau
sendirian? Tumben?"
Aku
tersenyum saja sambil mengusir sesuatu yang tiba-tiba menggigit hatiku. Andri
dan Yan tadi juga berkomentar begitu ketika kami bertemu di Gelanggang
Mahasiswa. Komentar yang wajar. Bahkan amat wajar. Selama ini aku hampir tak
pernah mereka lihat sendirian kemana pun, karena seorang Sentanu selalu berada
di sisiku. Ah! Masa lalu.
Kulangkahkan
kakiku menyusuri jalan-jalan kampus. Daun-daun kering yang berserakan di
sana-sini berisik ketika kakiku menapakinya. Kupikir ini adalah siang yang
paling terik sepanjang kemarau tahun ini. Begitu panas, begitu menyengat. Jika
besok masih ada siang yang lebih terik lagi, aku tak bisa membayangkan
bagaimana pula panasnya. Sementara itu angin yang juga berhembus keras
membangunkan debu-debu kering dan menerbangkannya ke mana-mana.
"Rara,
ikut yuk!"
Kugelengkan
kepalaku ke arah Rudi yang sudah menghentikan motornya di sisiku. Anak manis
itu semakin baik hati saja belakangan ini.
"Aku
dijemput," tangkisku.
"Mana?"
"Di
dekat pintu gerbang."
"Ya
sudahlah, kuantar sampai di sana!"
"Thanks,
Rud."
Aku menggeleng lagi, sambil tersenyum agar dia tidak, terlalu kecewa. "Aku
lagi pingin jalan
kaki."
Dan
Rudi pun mau mengerti. Dia berlalu setelah menatapku sekilas. Begitu apik dia
simpan kecewanya.
Aku
tentu saja tahu betul kalau berjalan kaki di siang yang sepanas ini, dengan
angin keras yang menerbangkan debu-debu kering, sama sekali tidak enak. Tetapi
seolah ada sesuatu yang lain yang tengah kususuri setiap kali aku berjalan
seorang diri seperti ini. Aku tidak tahu persis apa itu. Namun hampir sepanjang
jalan ini pernah kulalui bersama Sentanu. Dan jejak masa lalu itukah yang kini
tengah kuhimpun lagi?
Sentanu.
Nyatanya nama itu tak pernah - dan aku yakin pasti - tak akan pernah lekang
dari batinku. Aku tak bisa mengibaratkan dengan sesuatu yang lain, betapa
seorang Sentanu telah begitu melekat erat dalam kehidupanku. Dia tertanam di
hatiku, jauh lebih kokoh ketimbang karang di tengah laut. Jauh lebih dalam dan
lebih kuat ketimbang pohon besar yang tertancap di bumi. Dan keadaan seperti
ini, sungguh -sungguh tak bisa berubah, betapa pun dia kini ....
Sampai
di pintu gerbang kampus, aku mengedarkan mataku. Aku tak melihat siapa-siapa
yang biasa menjemputku. Pak Amir, supir kami, tak kulihat. Bagas, adikku, juga tak
kulihat. Ayah apalagi. Sesiang ini beliau pasti masih berkutet di kantornya.
"Rara…
!”
Sebuah
suara, meski pelan, begitu mengejutkanku. Dan aku lebih. terkejut
lagi ketika tahu siapa lelaki setengah baya yang berdiri di depanku itu.
"Bapak ada di sini?" tanyaku senang sekali. Beliau tertawa dan
merangkul bahuku. Dibukanya pintu sedan biru langitnya, dan aku duduk di
sebelahnya tanpa canggung sedikit pun. "Tadi Bapak ketemu Bagas, lantas
Bapak usir dia!" Beliau tertawa lagi, lepas sekali. Ada kerinduan yang
sangat yang tak mampu dia sembunyikan. Perasaanku sendiri mulai berkecamuk.
Masa lalu yang kelewat manis selalu tak mampu kutolak dengan dinding hatiku
yang memang rapuh, setiap kali dia hadir seperti ini. "Bapak kangen,"
Beliau bersuara lagi. "Dua bulan kita tak pernah bertemu dan berbincang,
begitu lama rasanya. Kau sungguh-sungguh tak sudi ke rumah lagi?"
Ditatapnya aku sekilas, namun begitu tajam. Begitu menikam. "Tidak untuk Nunu, Rara. Tapi untuk
Bapak, Ibu, Iwuk dan Dedy. Mereka semua kangen. Mereka semua menanyakanmu. Dan
kau bisa bayangkan betapa bingungnya Nunu setiap kali menghadapi pertanyaan
mereka tentang kau!"
Mobil
yang semula berjalan lurus kini berbelok. Panas di luar tak lagi kuhiraukan
kini. Sebab ada yang jauh lebih membara dan menggelegak di dalam sini. Oh,
kerinduan ini ternyata tidak hanya pada Sentanu seorang. Tetapi juga pada
seluruh keluarganya. Dan kalau begini, aku tak tahu apakah aku harus menyesal
dengan keputusan yang telah kuambil. Semakin kusadari betapa sebenarnya aku
amat takut menghadapi sesuatu yang bernama kehilangan!
"Kita
makan dulu. Setuju?"
"Tapi.
. . . "
"Kau
ditunggu di rumah? Baiklah. Lain kali tak apa. Jadi langsung pulang?"
Aku
mengangguk. Haru. Beliau tak pernah memaksaku. Juga Sentanu. Itulah. Sentanu
memang terbaik buatku. Dalam segala hal. Sayang dia hanya manusia biasa, yang
tak akan pernah lepas dari salah. Dan dia telah melakukannya,
begitu fatal. Dan hatiku begitu sulit untuk memaafkannya. Dan aku kehilangan!
***
Siang itu panas cukup
terik, tapi hatiku sejuk saat turun dari bus yang membawa kami kembali ke
kampus, setelah tiga bulan melaksanakan KKN. Aku telah melihat
Sentanu sejak bus memasuki pintu gerbang tadi, dan betapa waktu yang tidak
terlalu lama ini telah diam-diam menyiksa kami. Mengendapkan kerinduan dan
memutuskan sementara sebuah kebersamaan.
"Apa
kabarmu, Rara?" Sentanu menjabat tanganku erat, erat sekali, dengan
kerinduan yang begitu sarat di matanya. Andaikata tidak banyak orang, rasanya
ingin sekali aku menghambur ke dalam pelukannya. Supaya dia tahu bahwa aku pun
telah begitu lama mengharapkan pertemuan seperti ini.
Dan
seharian itu, tanpa mempedulikan sisa-sisa lelahku sehabis KKN, kuhabiskan
bersama Sentanu. Aku ingat betul besok hari ulang tahunnya. Sebuah kipas
cendana bertuliskan 'Rara-Sentanu', yang kupesan khusus dari temanku di Bali,
telah kusiapkan dengan bungkusnya yang manis sekali sejak seminggu yang lalu,
pada saat aku masih di lokasi KKN. Aku ingin dia tahu betapa aku tak pernah
bisa sedetik pun untuk tidak mengenangnya.
Tapi
justru pagi di hari ulang tahunnya itulah awal badai yang memporak-porandakan
hubungan kami. Sentanu menerima kiriman bunga, lengkap dengan kartu ucapan
berbentuk jantung hati berwarna merah sekali. Selamat ultah, Nunu. Dariku yang
selalu mencintaimu. Indriana.
"Siapa
dia, Nunu?" Aku tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Kalau aku
curiga, itu sungguh beralasan. Seorang cewek, siapa pun dia, tak akan seberani
ini mengungkapkan perasaannya, kalau Sentanu tak lebih dulu masuk dalam
kehidupannya.
"Aku
kesepian, Rara. . . !" Lama sekali suara itu baru keluar dari bibir
Sentanu. Meski begitu pelan dia mengucapkannya, namun gelegarnya melebihi
petir di siang bolong sekali pun! Aku amat terpukul. Amat terluka. Dan Sentanu
seketika berubah jadi orang yang amat asing bagiku.
PPL
dan KKN kalau dijumlahkan menghabiskan waktu kurang lebih lima bulan. Aku telah
melampauinya dengan baik sekali. Sepenuhnya melebur dengan masyarakat, jauh
dari keluarga, jauh dari orang-orang tercinta dan kampung halaman, sungguh
bukan cobaan yang ringan bagiku. Aku seringkali mengalami kesepian yang paling
sepi, begitu menjemukan, namun aku selalu berusaha membuatnya menjadi ramai.
Dan aku bisa. Telah kubuktikan bahwa, Rudi yang selama PPL dan KKN tak pernah
sejengkal pun mundur dari usahanya untuk menarik perhatianku, ternyata tak
pernah mampu menembus benteng pertahananku. Padahal, sungguh tak ada alasan
untuk menolaknya. Dia amat baik, penuh pengertian, cerdas. Dia juga amat
simpatik. Dan Sentanu tak melebihi dia, dalam segala hal, kecuali bahwa aku
begitu mencintainya!
Karena
itu aku tak bisa menerima alasan 'kesepian' yang dikemukakan Sentanu. Sepi
bisa dibuat ramai kalau dia mau. Tapi dia justru membiarkan sepi menjadi
semakin sepi, sehingga kehadiran Indriana, teman KKN-nya, tak mampu ditolaknya.
"Tapi
akhirnya aku berterus-terang kalau ada kau, Ra." Sentanu mengajukan pembelaannya
pada sehari berikutnya. "Aku mengaku khilaf. Aku telah melukainya, juga
melukaimu. Tapi aku sungguh tidak ingin kehilangan kau!"
Waktu
itu aku hanya diam. Entah kenapa aku semakin suka berdiam diri, kendati
batinku berteriak-teriak. Sentanu tak sekadar melukaiku. Tapi lebih dalam dan
lebih sakit dari hanya sekadar luka!
Dulu sekali aku sudah
pernah berkata padanya bahwa, adalah hal yang amat mudah untuk mengkhianatiku. Aku tak
pernah menuntutnya apa pun karena aku begitu percaya dia setia.
"Denganku,
menyeleweng, berkhianat, adalah hal yang amat mudah, Nu. Tapi tolong jangan
lakukan itu!" kataku suatu hari. Dan Sentanu mengangguk mengerti.
"Apa
aku perlu janji?" tanyanya kemudian.
Aku
cepat menggeleng. Sebab aku memang tak begitu suka dengan janji. Bagiku - dan
aku yakin juga bagi yang lain - bukti adalah jauh lebih penting dan berarti
daripada sekedar janji.
Waktu
itu musim tidaklah kemarau seperti ini. Bahkan hujan hampir setiap hari
mengguyur wajah bumi. Hari-hariku hampir tak ada yang tak kulalui bersama
Sentanu. Kami saling menjaga, kami saling mengerti. Kami saling memberi arti.
Mengenangkan hari-hari yang cerah berbunga seperti itu, betapa memeriahkan. Akankah ia kembali?
“Rara…
!”
Aku
segera menata perasaanku dan menariknya dari dunia lamunan. Aku tahu sebentar
lagi pemilik suara itu, Bagas, akan duduk di sampingku, dan kami bisa
berbincang sampai jauh malam. Tak ada teman yang lebih baik dari dia sementara
ini.
"Bagaimana
dengan ayah Nanu? Kau diantarnya
tadi?" Bagas duduk di sebelahku.
Aku
meagangguk.
“Dia
kelihatannya rindu sekali padamu!”
“Ya.”
“Apalagi Nunu!”
Aku
tersenyum tanpa makna. Perih. Nunu - Sentanu - kusadari kalau nama itu suka
membuatku sinting sejak dulu.
"Dia
tak pernah menemuimu lagi?"
"Kelihatannya
bagaimana?" Aku balik bertanya.
"Di
rumah sih tidak. Mungkin di kampus?"
Kugelengkan
kepala. Seminggu setelah ulang tahunnya, adalah pertemuan kami yang terakhir.
Kukatakan bahwa semuanya telah sia-sia. Bangunan cinta yang telah kami dirikan
dengan susah payah, ambruk dengan
percuma. Dia harus pergi dari hatiku. Dan kupaksa supaya menutup segalanya yang
pernah kami alami bersama sebagai kenangan masa silam. Sentanu pun berlalu,
namun betapa terluka ia. Sementara setelah itu, aku sendiri ibarat kelana yang
ke mana pun pergi membawa cinta!
"Kau
tidak menyesal dangan keputusan ini, Rara?"
"Berapa kali kau tanyakan itu,
dan berapa kali kujawab dengan kata tidak?"
Bagas tersenyum meski dia tahu aku
mulai marah.
"Kupikir kau memang terlalu
angkuh. Kau terlalu tinggi hati untuk mengakui bahwa kau sebenarnya amat
membutuhkan Nunu. Kau mesti jujur, Ra, bahwa kau menyesal dengan sikap seperti
ini!"
Kutatap mata adikku dalam-dalam. Aku
kakaknya, dan kalimat seperti itu terlalu lancang untuk dia lontarkan. Tapi aku
mencoba menyabarkan diri. Selama ini kami saling mengasihi. Apa pun yang kami
lakukan, bagaimanapun sikap yang kami perlihatkan, semata-mata demi kebaikan
kami. Mungkin kali ini pun Bagas berusaha melakukan yang terbaik; dia tengah
mencoba membuka mata batinku yang telah cukup lama diselubungi sakit hati.
Sayang aku belum mengizinkannya...!
***
Lelaki
setengah baya itu, ayah Sentanu, menjemputku lagi. Senyumnya terasa jauh lebih
sejuk di siang yang panas seperti ini.
"Bapak
mengusir Bagas lagi?" tanyaku begitu aku telah duduk di sebelahnya, di
dalam sedan biru langitnya.
"Tidak.
Pak Amir. Dan Bapak telah katakan juga kalau kita akan makan siang bersama hari
ini. Begitu, kan?" Aku tersenyum kecut. Ringan sekali bicaranya. Seolah
rencana seperti ini telah kami sepakati bersama sebelumnya. Padahal aku lebih
merasa ditodong daripada diajak baik-baik.
"Kau
merasa ditodong?" Beliau seperti tahu jalan pikiranku.
"Ya.
Seperti ini, apalagi namanya kalau tidak ditodong?" Aku tertawa.
"Iya,
kan? Bapak memang sengaja menodong saya, kan?"
Beliau
tergelak. Suaranya lunak sekali, dan aku begitu menyukainya. Sentanu juga
menyenangkan seperti itu kalau lagi tertawa.
"Tidak.
Kau boleh menolak kalau tidak setuju."
Kugelengkan
kepala dan tersenyum.
"Saya
toh tidak bilang tidak setuju, Pak!"
Dan
mobil pun berjalan terus. Sesekali pelan karena lalu lintas pada jam-jam begini
begitu ramai. Aku tahu ke mana orang ini akan membawaku; Bioskop Aurora. Di
depannya ada warung sederhana yang hanya bersekat kain, tapi bakso dan es telernya
enak sekali. Kami - aku dan Sentanu sekeluarga - sering sekali ke sana, dulu.
Biasanya Sentanu akan protes kalau aku
lebih suka duduk di sisi ayahnya daripada di sisinya. Oh, masa-masa manis
seperti itu, kapan terulang lagi?
Aurora
tidak begitu penuh ternyata. Padahal pada jam-jam makan seperti ini, biasanya
sangat padat. Kami memilih tempat duduk di sudut, tempat yang dulunya telah
amat akrab.
"Bakso?
Es Teler?"
"Dua-duanya!"
Aku cepat menyahut ketika ayah Sentanu menawariku. Beliau tergelak dan langsung
memesan masing-masing dua pada pelayan. Hal-hal seperti ini telah amat biasa
kami lakukan bersama. Bahkan aku merasa lebih sering melakukannya bersama ayah
Santanu daripada dengan ayahku
sendiri.
Kami menyantap hidangan yang
datang dengan nikmat. Tapi kurasakan ada sesuatu yang kurang. Kutatap ayah
Sentanu dengan ekor mataku. Perasaanku berubah sedih dengan begitu saja.
Adakah dia merasakan perasaan yang sama? Bahwa suasana akan jauh lebih
menyenangkan jika saja Sentanu, Iwuk, Dedy serta Ibu juga berada di
tengah-tengah kami?
"Apa kabar dengan Ibu,
Bapak?" Aku memecah kesepian yang beberapa saat menguasai.
"Baik. Oya, Ibu selalu
ingat kau setiap kali bikin sirup jeruk, sirup kesukaanmu. He, kau tidak
kangen dengan orange juice segar bikinannya?"
Aku tersenyum tanpa tahu mesti
berucap apa. Kalau ditanya soal kangen, rasanya jika kutuangkan tak akan cukup
berapa pun tempatnya. Kangen ini kelewat besar. Pada semuanya. Pada Sentanu.
Pada Ibu, Iwuk serta Dedy. Pada kehangatan yang tak pernah lekang melingkupi
keluarga mereka.
"Rara, kau benar-benar
tidak sudi lagi ke rumah?" Ayah Sentanu bertanya tanpa menatapku.
Kutata perasaanku sebelum
menjawab. "Saya tidak pernah berkata begitu, kan, Pak?
"Tapi nyatanya kau tak
pernah datang. Apa bedanya?"
“Saya...!”
"Bapak mengerti kau
sangat terluka. Wajar. Memang tak selayaknya Nunu memperlakukan kau seperti ini
Kau lembut hati, amat sensitif, Bapak tahu betul itu. Tapi kau juga keras
kepala, terlalu tinggi hati untuk memaafkan kalau disakiti...!"
"Saya telah memaafkan
Nunu!"
"Hatimu tak pernah bisa
memaafkannya!"
Aku
menggigit. bibir. Kuaduk es telerku tanpa gelera. Berapa orang
sudah yang menuduhku angkuh? Dan betapa aku tak pernah bisa menolak. Sebab hati
kecilku sendiri tak pernah bisa mengelak.
"Nunu
teramat mencintaimu, Rara. Kau juga amat mencintainya, kan?" Bapak
memandangku lembut. Tatapan itu, terasa bagai sembilu menikam jantungku.
Begitu jugalah cara Sentanu menatapku. Segera kusembunyikan mataku, takut
kalau kerawanan di segenap hati dan perasaanku saat ini terbaca olehnya.
"Selama
ini tak ada apa pun yang mengikat kami, Bapak. Selain cinta dan saling percaya. Bila salah satu dari kami
sudah tak bisa lagi memegang kepercayaan itu, apalagi yang saya harapkan?"
"Tapi
Nunu bukanlah malaikat atau nabi, Rara. Nunu manusia biasa. Dia tak mungkin
bisa lepas dari khilaf, kau pasti tahu itu. Sepandai-pandai tupai melompat,
dia akan jatuh juga sekali waktu. Sepandai-pandai ular merambat, satu saat dia
akan terpeleset juga. Dan Nunu memang bukan tupai, bukan ular. Tapi, sekali
lagi, dia manusia biasa!"
Aku
tersenyum begitu saja setelah laki-laki arif itu mengakhiri kalimatnya.
"Hm,
saya diajak ke sini tidak untuk mendengarkan pidato kan, Pak?" selorohku.
Beliau tersenyum mengerti..
"Maaf.
Maaf kalau Bapak terlalu menggebu-gebu. Itu karena kami semua sudah terlanjur
amat menyayangimu. Tidak hanya Nunu yang takut kehilanganmu, Rara. Tapi juga
Bapak, Ibu, bahkan Iwuk dan Dedy. Kau mengerti, kan?"
Aku
mengangguk. "Saya mengerti."
"Sekadar
mengerti?"
"Maksud
Bapak?"
“Datanglah
ke rumah. Kau mau?”
Mata
tua itu begitu mengharap. Dan aku kebingungan.
"Kapan,
Bapak?"
"Nanti
sore Bapak dan Ibu akan merayakan kawin perak. Kau mau datang?" Aku
bingung lagi.
"Atau
perlu dijemput?"
"Oh,
tidak!" Cepat kugelengkan kepala. Aku tahu. pada akhirnya nanti Sentanulah
yang akan menjemputku. Dan tiba-tiba saja sebuah kecurigaan muncul di kepalaku.
"Bapak
betul-betul ingin saya dan Nunu bisa kembali seperti dulu?"
Lelaki
itu memandangku tajam sebelum kepalanya mengangguk. "Tentu."
"Karena
itu jugakah Bapak begitu mengharapkan saya datang?"
Bibirnya
langsung mengulas senyum. "Rupanya kau mulai curiga lagi. Rara, meskipun
kami semua ingin kau dan Nunu bisa kembali seperti dulu, tapi kami tak akan
pernah ikut campur dalam masalah kalian. Kau sudah dewasa, Nunu juga. Dan kami
semua yakin, apa pun masalah yang kalian hadapi, akan kalian selesaikan secara
dewasa juga. Ayolah, jangan berprasangka yang tidak-tidak. Tak ada misi
terselubung dalam undangan Bapak ini!"
Aku
tersenyum, dan diam-diam merasa berdosa. Orang ini selalu bijaksana dalam menanggapi
sikapku.
"Bagaimana
kalau sekarang juga saya ikut Bapak ke rumah?"
"Oya?"
Jelas sekali kalau dia amat terkejut. "Oh, Bapak akan senang sekali.
Ayo!"
Sedan
biru langit yang kami tumpangi meluncur lagi di jalan raya. Tak ada kata-kata
yang kami ucapkan. Lelaki setengah baya di sebelahku itu seperti sedang
berusaha menahan perasaanya. Wajahnya yang bersih begitu berseri, ibarat
pahlawan menang perang. Semakin kusadari betapa aku amat berarti bagi mereka.
Aku
seperti pengembara yang pulang kampung waktu sampai di rumah. Ada perasaan yang
begitu karib sekaligus amat asing. Namun sambutan Ibu, Iwuk dan Dedy segera
menetralkan hatiku. Kebahagiaan mereka dengan kehadiranku begitu tak
disembunyikan. Tapi mereka segera pergi ketika Sentanu rnuncul.
Dan
sedemikian tertegunnya aku saat kupandang Sentanu. Dia jauh lebih kurus
ketimbang dua-tiga bulan yang lalu. Begitu cepatnya waktu dan situasi
mengubahnya. Aku tahu, bibirnya yang bergetar saat memanggilku, adalah luapan
kerinduan yang telah sekian lama diendapkannya.
"Akhirnya
kau datang juga, Rara!" Katanya, masih dengan nada penuh dosa, seperti
pesakitan. Oh, betapa aku telah menyiksanya selama ini. Mestinya aku tahu ini
sejak dulu.
"Kau
akan berkata bahwa aku telah kalah?"
"Tidak!"
Sentanu menggeleng. "Kau justru telah menang!"
Kutatap
dia tak mengerti Dia tersenyum, amat hati-hati, seperti takut senyumnya akan
salah.
"Kau
justru telah menang." Dia ulangi kalimatnya. "Sebab kau telah
berhasil menaklukkan keangkuhanmu sendiri, yang orang lain tak pernah bisa
melakukannya, termasuk aku. Kau tahu maksudku?"
Tentu
saja aku amat mengerti. Sentanu masih saja
amat menarik kalau bicara. Dan bagiku dia akan selalu menarik. Selalu kucinta.
Itu artinya aku. harus bisa memaafkannya, menerimanya lengkap dengan segala
kelebihan dan kekurangannya. Aku ingin belajar banyak dari semua ini…!
***
Pertengahan
September ini, hujan belum juga turun. Rupa-rupanya dia sangat terlambat
datang, hingga kemarau rasanya jadi kian panjang. Tapi pagi tadi sempat
kulihat flamboyan mulai berbunga di sepanjang jalan-jalan kampus. Sebentar lagi
dia pasti akan semakin semarak.
"Rara!"
Aku
menoleh ke arah suara itu. Rudi yang baru keluar hari halaman parkir, menghampiriku
bersama motornya.
"Ayo
kuantar."
Aku
mendesahkan napas panjang. Dia adalah rajawali paling tangkas di jurusanku.
Siapa pun mengenalnya. Dan sungguh amat tidak pantas bila sepasang matanya
yang tajam bisa berubah sesendu itu, hanya karena seorang Rara. Aku.
"Lihat,
langit sebelah selatan mendung. Sebentar lagi hujan akan turun!” ajak Rudi
lagi dengan suara lunak.
Aku
mengikuti pandangan Rudi. Ya, ada kulihat mendung di langit selatan. Tak begitu
gelap memang. Tapi aku yakin, pasti hujan sebentar lagi turun. Oh. Tuhan telah
mengirimkan anugerah-Nya.
Dan
aku tetap menggeleng. "Pergilah duluan!"
Rudi
menatapku putus asa. Begitu lama, sebelum akhirnya berlalu. Kali ini dia tak
cukup lihai menyernbunyikan lukanya. Lewat matanya, aku bisa melihatnya dengan
jelas.
Gerimis
itu akhirnya turun juga. Gerimis pertama sejak kemarau panjang tahun ini.
Bagai sejuta karunia dia mengguyur hatiku. Begitu sejuk. Berkali-kali kuhirup
udara yang bercampur dengan bau tanah basah. Segar sekali.
"Rara,
ayo cepat. Hujan deras sekali!" Aku segera bangkit dan berlari mendapatkan
Sentanu yang telah kuyup. Dialah yang sejak tadi kutunggu. Baru kusadari kalau
gerimis telah berubah jadi hujan yang deras. Tapi kami tetap duduk tenang di
atas motor, pulang. Hujan seperti ini telah amat lama kurindukan. Sederas apa
pun dia, tatap kuanggap sebagai karunia Tuhan.
Dan
bunga-bunga flamboyan yang terangguk-angguk di sepanjang jalan yang kami lalui,
adalah bunga-bunga di hatiku. Aku tahu, jika musimnya telah tiba, dia akan
gugur. Namun hari-hari kami akan tetap cerah penuh bunga: bunga cinta.
(Buat
Baskoro Adjie: happy birthday).
Senja
Senja jatuh
Tanpa warna jingga
Gunung dan bukit hanya siluet
Pepohonan diam membeku
Kemana dikau desau angin
Semesta seperti tak bernyawa...
Namun tetap kureguk keindahannya....
Otw Malang to Surabaya, 9 Mei 3013
Wassalam,
LN
Tanpa warna jingga
Gunung dan bukit hanya siluet
Pepohonan diam membeku
Kemana dikau desau angin
Semesta seperti tak bernyawa...
Namun tetap kureguk keindahannya....
Otw Malang to Surabaya, 9 Mei 3013
Wassalam,
LN
Rabu, 08 Mei 2013
PRAS
Laki-laki itu tentu saja sudah banyak berubah. Tubuhnya agak membulat,
rambutnya—meski ada topi yang menutupi kepalanya—sepintas kulihat, telah rata
memutih. Gurat-gurat di wajahnya menunjukkan betapa berbagai pengalaman hidup
telah dilakoninya. Senyumnya yang mengembang, meskipun terkesan ragu,
mengekspresikan kematangannya. Duapuluh tahun. Waktu yang tidak singkat untuk
sebuah perpisahan.
Dia berdiri menyambutku, mengulurkan
tangan. Dan entahlah, aku
merasakan ada nyeri di dada ketika tangan kami berjabatan.
Kami duduk di sebuah sofa, di lobi hotel itu. Dia—Prasetya—laki-laki itu, duduk di sudut sana
dan aku di sudut satunya. Beberapa saat hanya diam. Aku sendiri agak jengah, dan
sedang berusaha menguasai keadaan. Sejenak kemudian kami saling bersapa dan menanyakan kabar, berbasa-basi. Tentu
tidak terlalu nyaman duduk dengan posisi saling menyamping seperti ini. Di lobi
hotel yang lagi ramai lagi. Tapi inilah tempat terbaik yang bisa kami dapatkan.
Semua kursi dan sofa penuh. Orang ramai lalu-lalang di depan kami. Belasan
temanku bahkan masih belum mendapatkan kamar, dan sedang menunggu untuk check-in.
Laki-laki itu, adalah masa laluku. Kami memang berjanji untuk saling ketemu sore ini. Tepatnya, aku yang
memintanya untuk menemuiku. Setelah sekian kali kuminta, yaitu sejak beberapa
bulan kudapatkan nomer ponselnya dari seorang teman. Setiap ada tugas ke
Jakarta, aku hampir selalu menghubunginya, setidaknya sekedar say hello. Dan berharap dia berinisiatif
untuk menemuiku. Tapi inisiatif itu tak kunjung datang. Selalu saja ada alasan yang dia katakan untuk
tidak menemuiku. Setidaknya seperti itulah kesanku. Entah karena dia merasa
tidak punya nyali untuk menemuiku…entah karena dia merasa itu tidak penting….
Sebenarnya aku juga tidak menganggap terlalu
penting pertemuan itu. Kalaupun tidak bisa bertemu, yang sudah-sudah, aku juga
tidak terlalu kecewa. Mungkin aku hanya penasaran saja, seperti
apa dia kini. Masalah perasaan, rasanya semuanya sudah lewat. Duapuluh tahun
yang lalu kami bepisah. Aku memang sempat sakit ketika itu. Lebih-lebih dengan
caranya memutuskanku. Tapi semuanya bisa kulalui dengan baik. Meski itu
kejadian putus cinta yang pertama dalam hidupku, aku tidak terlalu lama jatuh. Atau setidaknya, aku berusaha untuk tidak
berlama-lama. Aku segera bangkit dan melupakan Pras.
Detik ini dia di hadapanku.
Menceriterakan bagaimana perjalanan hidupnya. Mulai dari ketika dia masih
sebagai mahasiswa miskin yang kuliah di departemen teater IKJ. Bagaimana
perjuangannya sebagai anak desa yang hidup di Jakarta yang keras. Masa sulit yang penuh tantangan. Hidup di
antara keinginan kuat untuk menjadi seniman dan pesimisme untuk mewujudkan
keinginan itu. Tangannya sesekali bergerak-gerak sepanjang ceritanya, mengisyaratkan
kesungguhan hati untuk menaklukkan hidup seperti yang diinginkannya. Matanya
kadang-kadang menerawang jauh ke depan mengingat-ingat masa-masa sulit yang
telah dilaluinya. Wajahnya
kadang-kadang mengeras. Suaranya –meskipun tidak keras—tegas dan bersemangat.
Dan aku menikmati pemandangan di
depanku itu. Laki-laki yang
—katanya—dulu, pernah mencintaiku. Laki-laki yang membuatku belajar setia, menjaga cinta, tanpa reserve.
Laki-laki yang membuatku merasa berdosa besar saat sedetik saja aku sempat
berpaling darinya. Laki-laki yang sepanjang hubungan kami lebih banyak berkeluh-kesah
daripada mengumbar rayuan. Laki-laki yang selalu gelisah—yang seringkali tak
bisa kupahami kegelisahannya. Kegelisahan yang bagiku terlalu berlebihan. Hidup
di matanya seolah begitu sulit. Begitu tidak bersahabat. Sementara dalam
falsafah hidupku, “nrimo” adalah kewajiban . Menghayati setiap yang terjadi
dengan ikhlas adalah keniscayaan. Berkeluh-kesah adalah wujud dari
ketidaksyukuran. Dan selalu kutanyakan padanya, dalam surat-surat balasanku,
kenapa selalu mengeluh dan mengeluh. Bukankah semua yang terjadi adalah
keinginannya? Bukankah sudah menjadi tekadnya untuk hidup berkesenian? Dan
dengan segala konsekuensi atas pilihan itu, bukankah itu sebuah proses yang
harus dilaluinya?
Tapi yang ada di depanku saat
ini adalah sosok Prasetya yang lain. Sangat lain. Bukan laki-laki pemalu yang
menyerahkan surat cintanya malam-malam di rumah tetangga sebelah, karena tidak
berani datang ke rumah. Bukan laki-laki remaja berseragam putih abu-abu yang
setia menemaniku menunggu angkutan sepulang sekolah. Bukan laki-laki yang
beraninya main ke rumah kalau beramai-ramai. Bukan laki-laki yang suka
berkeluh-kesah. Prasetya telah menjadi sosok lain. Gurat-gurat di wajahnya menggambarkan
kekuatan hatinya. Kata-katanya yang berjejalan mempresentasikan kekayaan
batinnya. Caranya menceriterakan keluarganya—seorang istri dengan enam, ya,
enam orang anak—menunjukkan betapa dia menikmati semua itu.
Istrinya
orang Magelang. Dia katakan, semuanya berjalan begitu saja. Lulus dari IKJ—dia
kuliah selama tujuh tahun—dia khawatir dengan statusnya, mahasiswa tidak,
bekerja tidak, berkeluarga tidak. Maka diputuskannyalah untuk menikah, karena
itu yang paling mungkin untuk memperjelas statusnya. Maka dinikahinyalah Siti
Handayani, tanpa berlama-lama pacaran, perempuan adik temannya yang sudah agak
lama dikenalnya. Lantas mereka hidup sebagai ‘kontraktor’, tinggal di rumah
kontrakan selama bertahun-tahun. Menulis skenario, menulis naskah drama,
menjadi sutradara, dilakoninya sebagai mata pencahariannya. Sampai akhirnya dia
bisa membeli sebuah rumah di pinggiran Jakarta .
Pras juga mendirikan teater yang dinamainya ‘Teater Lukisan’, dan puluhan
naskah teater telah dihasilkannya. Salah satu naskahnya bahkan menjadi wakil Indonesia
dalam Festival Seni Enam Negara. Bersama “Teater Lukisan”-nya, Pras juga telah
berhasil meraih penghargaan sebagai sutradara terbaik, penulis naskah
terbaik, dan grup teater terbaik dalam
Festival Teater di Jakarta. Lebih
dari seratus naskah skenario telah ditulisnya dan ditayangkan di beberapa
stasiun TV seperti RCTI, Lativi, Trans TV dan TPI. Terakhir, prestasi yang termasuk prestisius,
adalah menjadi casting director
sebuah film Indonesa yang sangat terkenal. Film yang diangkat dari sebuah novel
bernuansa religi.
Sepanjang ceritanya, sesekali perih menusuk-nusuk
hatiku. Heran. Aku sudah
membuang Pras jauh-jauh. Menghempaskannya dalam kubangan lumpur masa lalu,
berserak dengan semua kenangan tentang dia. Tapi berlama-lama dengannya seperti
ini, semuanya seperti berdesak-desakan di dada.
Teringat ketika saat pertama kali dia menyatakan cinta. Teringat ketika
aku menerimanya dengan setengah hati karena cinta belum bisa kuhayati
sepenuhnya saat itu. Aku baru kelas tiga SMP waktu dia mengatakan, “Iffah, aku
cinta kamu”. Dia bukan orang pertama yang menyatakan cinta. Tapi dialah orang
pertama yang kuberi harapan. Orang pertama yang membuatku belajar mencintai. Kupupuk
terus dengan sepenuh hati. Kujaga rapat-rapat sampai tak tertembus oleh cinta
yang lain.
Setahun, dua tahun, tiga tahun, kujalani hubungan jarak jauh itu dengan
segunung harapan. Prasetya di Jakarta mengejar impiannya, dan aku di kota
kecilku menyelesaikan SMA-ku. Bagiku, Pras sangat luar biasa. Tekadnya
untuk hidup di Jakarta
sebagai seniman, adalah sebuah cita-cita yang ‘tidak umum’ bagi lingkungan kami
pada saat itu. Seorang remaja desa
yang cinta mati pada teater dan betekad menjadikan bidang yang sangat tidak
jelas jenjang karir dan masa depannya itu sebagai pilihan hidup. Saat sebagian
besar teman-temannya pergi tersebar mengejar cita-cita untuk menjadi dokter,
insinyur, arsitek, ahli hukum, guru….Pras tanpa bisa dicegah oleh siapapun
pergi ke Jakarta untuk menekuni teater. Hanya berbekal tekad membara. Menjadikan
seni sebagai hidupnya.
Sepanjang hubungan kami, bertemu bagi kami adalah hal yang sangat langka.
Kalaupun bisa bertemu saat Pras pulang kampung, kami sudah terpuaskan hanya
dengan ngobrol beramai-ramai dengan teman-teman yang lain. Tidak ada sentuhan, kecuali jabat tangan.
Itulah pacaran versi kami. Betul-betul menjaga tetap di koridor. Pergi atau
jalan berdua tak pernah sekalipun kami lakukan, selalu beramai-ramai. Ngobrol
berdua, hanya bisa kami lakukan mungkin dua-tiga kali, ketika aku sudah kuliah
di Malang. Itupun di ruang tamu rumah kos, yang setiap saat teman-teman kos
berlalu-lalang. Dudukpun tidak pernah berdekatan. Seperti itulah. Hanya seperti itu!
Hanya seperti itu, namun Pras telah mengisi ruang hatiku selama
bertahun-tahun. Telah membuatku tidak mau berpikir sosok lain. Telah menyita
penuh-penuh perhatian dan kesetiaan. Dan menyediakan diriku untuk menjadi
tumpuan segala keluh kesah dan kegelisahannya menghadapi kerasnya hidup di
Jakarta. Tanpa pamrih—kecuali hanya demi cinta—menunggunya menjadi seperti apa
yang dia inginkan…tanpa tahu entah mau jadi apa dia…
Sampai suatu ketika kuterima suratnya. “Surat-surat telah membuat kita jadi
pintar berbohong, Iffah.” Awalnya tak kupahami apa makna kata-kata itu. Hingga
beberapa hari setelah itu dia datang menemuiku, dan menyatakan, semua yang terjadi
selama ini hanyalah cinta monyet. Oleh sebab itu, simpan semuanya, masukkan
laci, tutup rapat, kunci, dan buang kuncinya jauh-jauh. Kalimatnya mengalir
dari mulutnya tanpa gejolak, datar, sangat tenang….namun aku dibuatnya terkejut-kejut.
Terbengong-bengong seperti
orang baru terbangun dari mimpi buruk. Mencari-cari nada bercanda dalam
kata-katanya.
Tapi tidak, Pras serius. Hebatnya lagi, dia katakan itu semua nyaris tanpa
beban. Aku terdiam seperti anak kecil yang dinasehati saudara tuanya. Tak berkata
sepatah pun. Tak bisa merasakan apa pun. Cinta yang kujaga bertahun-tahun
hancur berkeping. Kesetiaan yang kupupuk kandas tak berbekas. Di matanya,
ternyata selama ini aku hanya anak kecil yang sedang mengalami cinta monyet.
Bukan gadis remaja yang dengan setia menjaga cinta untuk laki-laki yang
dikasihi dan diharapkan.
Dan sore ini, ketika maghrib mulai merangkak, entah kenapa, aku
menyampaikan perasaan hatiku yang sudah lama terpendam itu, begitu saja. Rasa
sakit dan kecewa yang sudah lama kukubur. Menyeruak pelan-pelan mengalir dari
mulutku. Aku agak terbata mengatakannya. Mengimbangi kecamuk di dadaku. Pras
tidak pernah tahu, aku sempat sakit setelah dia mengambil keputusan berpisah
itu. Bahkan ibuku menanyakan,
kenapa aku kurus, apa karena memikirkan Pras? Pras tidak pernah tahu, ibuku—yang
tidak siap mempunyai menantu seorang seniman—mungkin sempat merasa bersalah
telah melarangku berhubungan dengannya. Pras tidak tahu bahwa kujaga cinta dan
kesetiaan untuknya lewat pintu belakang; tanpa restu orang tua, tanpa dukungan
saudara-saudaraku, bahkan tanpa dukungan sahabat-sahabatku. Semuanya mempertanyakan, apa yang kucari
dengan menunggu seorang seniman yang sangat tidak jelas masa depannya?
Ketika semuanya sudah bisa kukendalikan, hatiku yang hancur sudah tertata
rapi, harapan demi harapan telah mampu kubangun kembali, kusadari kemudian,
cinta dan kesetiaan yang selama itu kujaga…hanyalah sebuah kekonyolan. Hal
terbodoh dalam hidupku. Sedikitpun aku tak salahkan Pras atas semua yang
terjadi. Tak pernah kubebani dia dengan rasa berdosa karena telah meninggalkanku.
Yang salah adalah diriku sendiri…. sok setia, sok menjaga cinta….sok
dewasa…padahal sesungguhnya aku hanyalah gadis kecil belasan tahun yang tidak
paham apa itu cinta….
Namun sore ini, Pras akhirnya tahu semua itu. Kuceritakan apa yang terjadi
setelah dia pergi. Dan dia terpana. Termangu-mangu seperti tak percaya.
Berkali-kali beristighfar sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tersenyum-senyum
tanpa kupahami apa makna senyumnya, antara menyesal, mengejek, atau berbangga
karena dicintai.
”Di mana aku ketika kamu sakit itu?” tanyanya, dengan suara agak parau.
Matanya mendadak layu. ”maafkan aku...maafkan aku....”
”Soal maaf, kamu bisa ambil sendiri. Sebanyak yang kamu mau....” Aku
tersenyum masam. ”Kamu tahu di mana tempatnya kan?”
Pras menjelaskan betapa Ibu Kota
telah membuatnya menjadi berubah, sehingga mungkin itulah yang menyebabkannya mengambil
keputusan untuk hubungan kami, tanpa mempertimbangkan perasaanku. Dia jelaskan, mungkin saat itu dia hanya
memperhitungkan segi kepraktisan. Jakarta dan Malang betapa jauhnya. Dia tidak
mampu membiayai hubungan jarak jauh itu.
”Pertimbangan kepraktisan. Begitukah?” Aku bertanya dengan hati penuh luka.
Tragis betul. Ini urusan perasaan apa urusan menata perabot rumah tangga? Biar
dia tidak terbebani untuk mengunjungi aku di Malang, maka lebih baik akhiri
semuanya. Begitu? Dan tidak mampu membiayai? Biaya apa? Bukankah selama ini hanya surat-surat saja
yang mewakili hubungan ini? Bukankah aku tak pernah menuntut untuk bertemu
dengannya, kecuali atas inisiatifnya sendiri? Bukankah selama ini aku memposisikan
diri hanya menunggu dia datang… dan tak pernah sekalipun memintanya untuk datang
kepadaku, sebesar apapun kerinduanku padanya? Apakah semahal itu harga satu-dua
buah perangko sehingga dia tak mampu membelinya untuk “membiayai” cinta kami?
Semakin kusadari, Pras tak pernah serius mencintaiku. Aku hanya kelinci
percobaan yang dia perlukan untuk laboratorium cinta pertamanya. Perjuangannya
selama ini hanya untuk hidup sebagai seniman, tapi tidak untuk memenangkan
cinta kami. Cinta monyet yang dia tuduhkan kepadaku, sesungguhnya cerminan
cintanya sendiri. Pras hanya butuh seseorang yang bisa lebih membuatnya kaya
inspirasi. Hanya butuh media untuk menumpahkan segala keluh kesah dan
kegelisahannya. Hanya perlu
seseorang yang mau mendengar kegalauannya kapanpun dia butuhkan. Dan saat itu, akulah orangnya. Entah
setelah itu siapa dan siapa….
Tapi semua sudah berlalu. Aku sudah
mendapatkan kesimpulan itu dua puluh tahun yang lalu. Dan aku sudah berjalan
sedemikian jauh. Memiliki seorang suami dan seorang anak yang mencintaiku
sepenuh hati. Memberiku ruang gerak yang leluasa berlandaskan keyakinan dan
kepercayaan. Tak kan
kutukar dengan apapun.
Dan Pras….biarlah tetap menjadi bagian dari masalaluku . Setidaknya telah
pernah kureguk keindahan bersamanya. Dan tetaplah menjadi kenangan indah….
Hanya serpihan nostalgi
Larut bersama gurat wajah
Dan manis senyuman….
Jakarta,
12 Februari 2010
Surabaya,
7 Mei 2013