Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 15 Januari 2012

Fotoan Kunjungan SM-3T Sumba Timur

Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat
kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.
Deretan rumah khas Sumba Timur di bawah sebuah bukit. Masyarakat Sumba
Timur sangat berharap program SM-3T dapat terus berlanjut.
Tantangan terberat pendidikan di Sumba Timur adalah menaklukkan alam.
Siswa dan guru setempat harus menyebarangi beberapa sungai seperti saya ini,
saat berangkat dan pulang ke sekolah.  
Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta
SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal. 
Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai.
Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)

Jumat, 06 Januari 2012

Antara Pendidikan Karakter dan Pendidikan Kecakapan Hidup

Oleh Luthfiyah Nurlaela


Pendahuluan
                Istilah pendidikan karakter sudah banyak dikupas di berbagai kesempatan, baik secara verbal maupun tulisan, lebih-lebih sejak beberapa tahun terakhir ini. Sebagaimana diketahui, dalam rangka membangun bangsa dan negara ke depan, kementerian pendidikan nasional telah mencanangkan pendidikan karakter sejak tanggal 2 Mei tahun 2010. Selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter juga diharapkan mampu menjadi fondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Di lingkungan Kemendiknas sendiri, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di seluruh jenjang pendidikan yang dibinannya.
               
Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.  Pendidikan Karakter adalah proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya yang  berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik memiliki karakter yang baik meliputi  kejujuran, tanggung jawab, cerdas, bersih dan sehat,  peduli, dan kreatif. Karakter tersebut diharapkan menjadi  kepribadian utuh yang mencerminkan keselarasan dan keharmonisan dari olah hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa.
               
Pendidikan kecakapan hidup (life skills), tentu bukanlah istilah yang baru. Bahkan sebagian besar orang akan menganggap pendidikan kecakapan hidup adalah ‘barang lama’. Memang sudah sejak sekitar tahun 2000-an pemerintah, dalam hal ini  departemen pendidikan nasional, menggulirkan pendidikan kecakapan hidup (PKH) yang kemudian diimplemetasikan mulai dari jenjang SD sampai dengan SMA/SMK. Konsep yang sebenarnya sangat bagus tersebut setengah kandas di tengah jalan. Meskipun para pakar pendidikan terus menggaungkan PKH, namun pada taraf implementasinya, PKH mengalami banyak kendala karena berbagai alasan.
               
Tulisan ini sekedar ingin menunjukkan betapa dekatnya kaitan antara pendidikan karakter dan PKH. Artinya, kita seringkali melakukan perubahan-perubahan, yang sebenarnya perubahan tersebut hanyalah ’memoles’ barang lama menjadi barang baru, atau membungkus barang yang sama dengan bahan pembungkus yang berbeda; namun substansinya tetap sama. Munculnya wacana pendidikan karakter akhir-akhir ini sebenarnya merupakan penegasan kembali dari apa yang telah disadari oleh para founding fathers dulu. Sejak awal para Pendiri Negara sudah menyadari betapa pentingnya pembangunan karakter bangsa, sebab tanpa karakter yang baik, apa yang dicita-citakan dalam pendirian negara ini tidak akan berhasil. Dalam implementasinya, pendidikan karakter ini dinamakan pendidikan budi pekerti, etika, pendidikan kepribadian, dan sebagainya. Sedangkan PKH bila dicermati, juga berkaitan erat dengan bagaimana membangun karakter peserta didik, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk bisa hidup dan bertahan dalam segala situasi kapan dan di mana pun mereka berada. Tanpa karakter yang baik dan tangguh, kemampuan tersebut tidak akan dapat diperoleh.

Apakah Pendidikan Karakter?

Sebelum menguraikan pengertian pendidikan karakter, perlu disepakati dahulu pengertian karakter. Istilah karakter (Yunani: charakter) berarti ‘tanda-tanda abadi’. Tanda-tanda yang melekat pada diri individu, yang membedakan individu satu dari lainnya. Pengertian karakter dalam hal ini adalah karakter baik, dan membangun karakter berarti membangun sifat-sifat positif, terhormat, dan etika yang baik. Sifat-sifat yang melibatkan aturan berperilaku baik dan mengembangkan kebiasaan baik, yang hanya dapat terjadi melalui suatu praktik yang berulang.

Karakter juga dimaknai sebagai kebaikan atau eksentrisitas seseorang. Sebagian orang menganggap karakter bersifat personal, sementara yang lain memandang lebih bersifat behavioral. Karakter dimaknai sebagai seperangkat karakteristik psikologi individu yang mempengaruhi kemampuan dan menimbulkan dorongan seseorang untuk memfungsikannya secara moral. Secara sederhana karakter terdiri dari sifat-sifat tersebut yang mengarahkan seseorang untuk melakukan suatu hal secara benar atau tidak.

Berkowitz (dalam Damon, 2002) mendefinisikan karakter sebagai anatomi moral. Berkowitz meyakini bahwa fungsi moral seseorang dipengaruhi oleh karakteristik psikologisnya. Karakter sebagai anatomi moral adalah komponen psikologi yang membuat seseorang memiliki moral seutuhnya. Dalam anatomi moral tercakup tujuh bagian, yakni perilaku moral, nilai-nilai moral, kepribadian moral, emosi moral, pertimbangan atau pemikiran moral, identitas moral, dan karakteristik dasar.

Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

Secara akademis, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, atau pendidikan akhlak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Karena itu, muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour (Lickona, 1991).

Secara praktis, pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai kebaikan kepada warga sekolah atau kampus yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik dalam berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa (YME), sesama manusia, lingkungan, maupun nusa dan bangsa, sehingga menjadi manusia paripurna (insan kamil). Pendidikan karakter di sekolah dan perguruan tinggi perlu melibatkan berbagai komponen terkait yang didukung oleh proses pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan warga kampus, pengelolaan perkuliahan, pengelolaan berbagai kegiatan mahasiswa, pemberdayaan sarana dan prasarana, serta etos kerja seluruh warga kampus (Zuhdi, dkk: 2010).

Menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.

Di dalam pembelajaran di kelas, karakter juga diharapkan sebagai salah satu hasil belajar atau kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa. Sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa: “pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisah-pisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita”. Namun kenyataannya, aspek karakter di dalam pembelajaran seringkali dianaktirikan. Karakter lebih banyak dianggap sebagai efek pengiring (nurturant effects), dan bukan sebagai efek pembelajaran (instructional effect).

Dari sinilah masalah dimulai. Pengalaman menunjukkan keterampilan proses dan tujuan-tujuan yang bersifat afektif dan perilaku itu tidak muncul, walaupun siswa dinyatakan telah menguasai aspek kognitif dan psikomotoriknya. Penelitian Nur, dkk (1996) menyimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam keterampilan proses sangat rendah. Ditemukan pula pola pembelajaran di sekolah sangat berorientasi pada produk, sehingga kegiatan pembelajaran yang dimaksudkan untuk menumbuhkan keterampilan proses tidak dilaksanakan. Penelitian Blazely, dkk (1997) menemukan fenomena yang mirip, sehingga pembelajaran seakan menjadi penumpukan fakta, konsep, dan teori semata.

Berdasarkan kelemahan ini, serta juga didorong oleh kesadaran bahwa begitu pentingnya pembangunan karakter melalui pendidikan, maka dalam rangka program pembangunan karakter bangsa, aspek karakter diharapkan benar-benar menjadi tujuan pembelajaran, sebagaimana aspek lain (kognitif dan psikomotorik).

Agar aspek karakter benar-benar menjadi instructional effect, maka pembelajaran karakter harus sengaja dirancang. Berbicara tentang perancangan pembelajaran, tentu saja menyangkut bagaimana mengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berbasis karakter. Dalam RPP harus sengaja merancang: 1) karakter apa yang akan dicapai melalui pembelajaran tertentu. Karakter yang dimaksud harus dicantumkan dalam indikator dan tujuan pembelajaran; 2) untuk mencapai karakter yang telah dicantumkan di dalam indikator dan tujuan pembelajaran tersebut, diperlukan pula rancangan kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan. Pengalaman belajar apa yang akan dihayati oleh siswa, harus tergambar dalam skenario pembelajaran; dan 3) untuk mengukur apakah proses pembelajaran yang dilakukan untuk memperoleh karakter yang telah dirumuskan telah tercapai atau belum, diperlukan rancangan penilaian/asesmen yang akan digunakan.

Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan--sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat (Bashori, 2010).

Apakah Pendidikan kecakapan Hidup?

Bertumpu pada keadaan hasil pendidikan selama ini dan berbagai tuntutan, tantangan, serta kebutuhan eksternal masa kini, banyak kalangan berpendapat bahwa: (1) pendidikan harus ditujukan bagi kepentingan dan kebutuhan masyarakat luas, bukan hanya bagi kelompok masyarakat tertentu, (2) pendidikan harus berorientasi populistis, tidak boleh elistis semata, (3) pendidikan harus mampu memenuhi kebutuhan dan hajat hidup masyarakat luas, bukan sebagian kecil masyarakat, (4) pendidikan harus kontekstual dan cocok dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat yang diidamkan, (5) pembelajaran harus diarahkan untuk menyantuni pembelajar agar mampu hidup mandiri dan otonom dalam hidup dan kehidupan masing-masing, bukan hanya memiliki kepandaian akademis-intelektual, (6) sekolah harus senantiasa terlibat dalam perubahan masyarakat, dan (7) sekolah juga merupakan lembaga pembentukan kecakapan hidup, yang dibutuhkan oleh masyarakat luas dalam hidup dan kehidupan sehari-hari, bukan penerusan ilmu pengetahuan teoritis-akademis semata.

Sebagai konsekuensi dari pendapat-pendapat di atas, maka muncullah kemudian antara lain pendidikan kecakapan hidup.  Berbagai negara di dunia saat ini sedang mengembangkan pendidikan berorientasi kecakapan hidup dengan bertumpu pada masyarakat luas. Sejak tahun 2002, pemerintah Indonesia juga secara sungguh-sungguh, terprogram, dan terencana mencoba mengembangkan pendidikan kecakapan hidup dengan menggunakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat luas.

Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2002), kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Dalam pandangan Kendall dan Marzano (1997), kecakapan hidup merupakan diskripsi seperangkat kategori pengetahuan yang bersifat lintas isi atau kemampuan yang dipandang penting dan dapat digunakan untuk dunia kerja. Sedangkan Brolin (1989) mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan oleh seseorang untuk berfungsi dan bertindak secara mandiri dan otonom dalam kehidupan sehari-hari, tidak harus selalu meminta bantuan dan petunjuk pihak lain. Ini berarti bahwa bentuk kecakapan hidup berupa pengetahuan sebagai praksis dan kiat (praxis dan techne), bukan teori; pengetahuan sebagai skills of doing sekaligus skills of being.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan untuk bekerja, dan dapat dipilah menjadi lima, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri (self awarness), yang juga disebut kemampuan personal (personal skill), (2) kecakapan berpikir rasional (thinking skill), (3) kecakapan sosial (social skill), (4) kecakapan akademik (academic skill), dan (5) kecakapan vokasional (vocational skill).

Tiga kecakapan yang pertama dinamakan General Life Skill (GLS), sedangkan dua kecakapan yang terakhir disebut Specific Life Skill (SLS). Di alam kehidupan nyata, antara GLS dan SLS, antara kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial, kecakapan akdemik dan kecakapan vokasional tidak berfungsi secara terpisah-pisah, atau tidak terpisah secara eksklusif (Depdiknas, 2002; Samani, 2007; Samani, 2011). Hal yang terjadi adalah peleburan kecakapan-kecakapan tersebut, sehingga menyatu menjadi sebuah tindakan individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional dan intelektual. Derajat kualitas tindakan individu dalam banyak hal dipengaruhi oleh kualitas kematangan berbagai aspek pendukung tersebut di atas.

Tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya di masa datang. Secara khusus, pendidikan yang berorientasi kecakapan hidup bertujuan: (1) mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi, (2) memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, dan (3) mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah, dengan memberikan peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (Depdiknas, 2002).

Pendidikan kecakapan hidup bukanlah membentuk mata pelajaran-mata pelajaran baru, tetapi mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya. Ada tiga prinsip mendasar dalam pengembangan pendidikan kecakapan hidup, yaitu: (1) tidak mengubah sistem pendidikan yang berlaku saat ini, (2) tidak harus dengan mengubah kurikulum, sebab yang justru diperlukan adalah pensiasatan kurikulum untuk diorientasikan pada kecakapan hidup, dan (3) etika sosio religius bangsa dapat diintegrasikan dalam proses pendidikan. Bertolak dari ketiga prinsip tersebut, maka pengembangan kecakapan hidup tidak dalam bentuk mata pelajaran tersendiri, melainkan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang ada selama ini dengan prinsip-prinsip yang sama di atas.

Walaupun pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup dapat bervariasi disesuaikan dengan kondisi anak dan lingkungannya, namun memiliki prinsip-prinsip umum yang sama. Prinsip-prinsip umum yang khususnya terkait dengan kebijakan pendidikan di Indonesia, selain ketiga prinsip dasar di atas, juga meliputi: (1) pembelajaran menggunakan prinsip learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together, (2) pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS), (3) potensi wilayah sekitar sekolah dapat direfleksikan dalam penyelenggaraan pendidikan, sesuai dengan prinsip pendidikan kontekstual dan pendidikan berbasis luas (broad based education, (4) paradigma learning to life and school to work dapat dijadikan dasar kegiatan pendidikan, sehingga terjadi pertautan antara pendidikan dengan kebutuhan nyata peserta didik, dan (5) penyelenggaraan pendidikan senantiasa diarahkan agar peserta didik menuju hidup yang sehat dan berkualitas; mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang luas; serta memiliki akses untuk mampu memenuhi standar hidupnya secara layak (Depdiknas, 2002).

Relevan dengan pendapat di atas, prinsip umum implementasi pendidikan kecakapan hidup adalah meliputi: (1) tidak harus atau tidak perlu mengubah bangun dasar atau sistem pendidikan nasional yang sekarang  berlaku; ini mesyaratkan format dan model implementasi pendidikan kecakapan hidup yang fleksibel dan bervariasi, (2) tidak harus atau tidak perlu mengubah kurikulum formal dan ideal (normatif) yang sekarang berlaku, karena kurikulum operasional dapat disiasati sedemikian rupa guna mengimplementasikan pendidikan kecakapan hidup, (3) harus mengedepankan paradigma learning for life and school to work yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik; ini berarti membutuhkan suatu kajian kebutuhan-kebutuhan hidup dan kehidupan pada masa depan, (4) harus mengedepankan paradigma learning from the people atau kearifan masyarakat setempat yang berkenaan denbgan kehidupan mereka; ini memerlukan inventori kemampuan, kemauan, dan pengetahuan masyarakat setempat dalam mempertahankan, menjalani, dan mengembangkan hidup dan kehidupan, (5) harus mengutamakan paradigma pendidikan berbasis komunitas atau pendidikan masyarakat luas (community based learning atau broad based education).

Implementasi PKH dan Kendalanya

  
Implementasi pendidikan kecakapan hidup dapat mempertimbangkan beberapa model, antara lain adalah: (1) model integratif, (2) model komplementatif, dan (3) model diskrit (Saryono, 2002). Dalam model integratif, implemetasi pendidikan kecakapan hidup melekat dan terpadu dalam program-program kurikuler, kurikulum yang ada, dan atau mata pelajaran yang ada. Berbagai program kurikuler dan mata pelajaran yang ada seharusnya bermuatan atau berisi kecakapan hidup. Model ini memerlukan kesiapan dan kemampuan tinggi dari sekolah, kepala sekolah, dan guru mata pelajaran. Kepala sekolah dan guru harus pandai dan cekatan menyiasati dan menjabarkan kurikulum, mengelola pembelajaran, dan mengembangkan penilaian. Ini berarti, mereka harus kreatif, penuh inisiatif, dan kaya gagasan. Keuntungannya, model ini relatif murah, tidak membutuhkan ongkos mahal, dan tidak menambah beban sekolah terutama kepala sekolah, guru, dan peserta didik.
   
Dalam model komplementatif, implementasi pendidikan kecakapan hidup dimasukkan dan atau ditambahkan ke dalam program pendidikan kurikuler dan struktur kurikulum yang ada; bukan mata pelajaran. Pelaksanaannya bisa berupa menambahkan mata pelajaran kecakapan hidup dalam struktur kurikulum atau menyelenggarakan program kecakapan hidup dalam kalender pendidikan. Model ini tentu saja membutuhkan waktu tersendiri, guru tersendiri di bidang kecakapan hidup, dan ongkos yang relatif besar. Selain itu, penggunaan model ini dapat menambah beban tugas siswa dan guru selain beban finansial sekolah. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan secara optimal dan intensif untuk membentuk kecakapan hidup pada peserta didik.

Dalam model diskrit, implementasi pendidikan kecakapan hidup dipisahkan dan dilepaskan dari program-program kurikuler, kurikulum reguler, dan atau mata pelajaran (pembelajaran kurikuler). Pelaksanaannya dapat berupa pengembangan program kecakapan hidup yang dikemas dan disajikan secara khusus kepada peserta didik. Penyajiannya bisa terkait dengan program kokurikuler atau bisa juga berbentuk program ekstrakurikuler. Model ini membutuhkan persiapan yang matang, ongkos yang relatif besar, dan kesiapan sekolah yang baik. Selain itu, model ini memerlukan perencanaan yang baik agar tidak salah penerapan. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan membentuk kecakapan hidup peserta didik secara komprehensif dan leluasa.

Model manapun yang dipilih, yang penting adalah bahwa pembelajaran kecakapan hidup tersebut pada hakikatnya adalah pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai pelaku belajar. Siswa mempunyai kesempatan untuk belajar aktif, baik mental maupun fisik, dan hal ini dapat diperoleh bila lingkungan belajar dibuat menyenangkan bagi siswa.           Model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran aktif. Model pembelajaran aktif merupakan model pembelajaran yang membuat siswa melakukan perbuatan untuk beroleh pengalaman, interaksi, komunikasi, dan refleksi. Siswa akan belajar banyak melalui perbuatan beroleh pengalaman langsung. Dengan berbuat, siswa mengaktifkan lebih banyak indera daripada hanya melalui mendengarkan. Selanjutnya kecakapan interaksi akan dimiliki oleh siswa bila pelajaran berlangsung dalam suasana interaksi dengan orang lain, misalnya berdiskusi dan bertanya-jawab. Sedangkan kecakapan komunikasi merupakan kecakapan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tulisan, dan hal ini menjadi kebutuhan setiap manusia dalam rangka mengungkapkan dirinya untuk mencapai kepuasan. Kemudian bila seseorang mengungkapkan gagasannya kepada orang lain dan mendapat tanggapan maka orang itu akan merenungkan kembali gagasannya, kemudian melakukan perbaikan, sehingga memiliki gagasan yang lebih mantap. Inilah yang dimaksud refleksi. Refleksi ini dapat terjadi sebagai akibat dari interaksi dan komunikasi.

Temuan dari Tim Peneliti Universitas Negeri Malang (2002) mengenai faktor-faktor penghambat pendidikan kecakapan hidup di Jawa Timur menunjukkan bahwa faktor internal yang berasal dari guru, sistem sekolah, kurikulum, serta fasilitas yang dimiliki sekolah merupakan faktor penghambat yang utama. Faktor penghambat yang lain juga termasuk faktor eksternal yang berasal dari dukungan pemerintah, sosial/budaya, dukungan dunia usaha/industri, dan dukungan orang tua. Hasil penelitian itu juga menjelaskan bahwa menurut peringkatnya, guru menduduki peringkat pertama sebagai penghambat, disusul berturut-turut oleh sistem sekolah, kurikulum, fasilitas, dukungan pemerintah, dukungan dunia usaha/industri, orang tua, dan sosial budaya.

Faktor penghambat dari guru meliputi guru kurang mengerti pendidikan kecakapan hidup, kurang profesional dalam mengajar, tidak mempunyai keterampilan khusus, gaji rendah, motivasi untuk berkembang rendah, dan kurang tekun dalam mengembangkan diri. Faktor penghambat sistem sekolah meliputi sistem yang sering berubah-ubah, tidak mendukung pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup, kurang terpadu antar jenjang, dan kurang waktu dalam pembinaan keterampilan siswa.

Selanjutnya faktor penghambat kurikulum meliputi terlalu sarat materi, kurang sesuai dengan aset unggulan daerah, masih seragam terpusat, tidak mengarah kepada pendidikan kecakapan hidup serta mengabaikan minat dan bakat siswa. Faktor penghambat dari sisi fasilitas meliputi fasilitas kurang memadai, fasilitas yang ada kurang mendukung pendidikan kecakapan hidup, dan fasilitas tidak merata antara sekolah meskipun untuk jenjang sekolah yang sama.

Sementara itu faktor penghambat dukungan pemerintah meliputi bantuan dana tidak merata, relatif kecil, nara sumber ahli pendidikan kecakapan hidup sedikit, bantuan yang ada kurang mendukung pelaksanaan program pendidikan kecakapan hidup, pola dukungan sering berubah-ubah, dan ambivalensi antara Depdiknas dengan Departemen Agama pada pengelolaan pendidikan dasar dan menengah.

Sedangkan faktor penghambat dukungan dunia industri adalah meliputi keterbatasan jumlah serta sumber daya dunia usahja/industri di daerah, merasa tidak mempunyai ikatan, tidak ada akad kerja sama yang jelas, alokasi waktu sekolah dengan dunia usaha/industri yang tidak seiring dan tidak ada koordinasi. Kemudian mengenai faktor penghambat sosial/budaya adalah meliputi tatanan sosial/budaya yang tidak mendukung siswa sekolah bekerja, tidak memahami pendidikan kecakapan hidup, serta masih berorientasi pada perolehan gelar sesudah selesai sekolah. Penghambat dari orang tua meliputi kebanyakan berpendapatan rendah sedangkan yang berpendapatan tinggi kurang sadar, tidak mengerti pendidikan kecakapan hidup, pola pikir berorientasi pada gelar kesarjanaan, dan motivasi untuk mendorong anak memperoleh kecakapan hidup rendah.

Berangkat dari pengalaman, sebagian besar sekolah, mulai jenjang SD sampai SMA, memaknai PKH identik dengan pemberian keterampilan kepada siswa, misalnya keterampilan menjahit, elektronika, berkebun, dan sebagainya. Banyak sekolah yang tidak memahami bahwa mengembangkan kepribadian siswa adalah juga merupakan bagian dari PKH. Membimbing siswa untuk berperilaku jujur, bertanggung-jawab, mampu bekerja sama, peduli dan empati, serta mampu bekerja keras, jarang dipahami sebagai bagian dari PKH.

Penutup: Antisipasi untuk Pendidikan Karakter

Belajar dari pengalaman implementasi PKH, jelaslah bahwa banyak faktor penghambat yang dihadapi oleh sekolah dalam rangka implementasi pendidikan kecakapan hidup, baik itu faktor internal dari sekolah sendiri maupun faktor eksternal. Pendidikan karakter perlu mengantisipasi berbagai kendala yang mungkin juga tidak akan jauh berbeda.  Banyak program yang awalnya tampak begitu ideal, namun kandas di tengah jalan pada tahap implementasinya. Sebut saja Manajemen Berbasis Masyarakat Luas (yang salah satu bentuknya adalah PKH ini), Manajemen Berbasis Sekolah, dan beberapa program lain yang terkesan hanya dilaksanakan dengan ‘setengah hati’. Seringkali program yang pada awal implementasinya sudah sangat baik, tiba-tiba ‘dikebiri’ oleh adanya kebijakan-kebijakan baru yang ‘agak’ atau bahkan kontradiktif dengan kebijakan yang sedang diterapkan.

Terdapat benang merah antara PKH dan pendidikan karakter. PKH tidak hanya melulu mengajarkan keterampilan (dalam arti hard-skills) kepada siswa, namun juga mengajarkan karakter itu sendiri (soft skills). Bahkan sebagaimana pendidikan karakter, PKH juga bukan merupakan konsep yang benar-benar baru. Sejak lama kurikulum kita sudah menyebutkan bahwa tujuan pendidikan mencakup juga penumbuhkembangan sikap jujur, disiplin, saling toleransi, berpikir rasional dan kritis, bekerja keras, dan seterusnya, yang sebenarnya hal tersebut identik dengan GLS.  Dengan kata lain, seandainya konsep PKH yang sudah sangat bagus itu benar-benar diimplementasikan dengan sepenuh hati, maka karakter-karakter positif dan utama (jujur, cerdas, peduli, dan tangguh) yang saat ini diusung oleh pendidikan karakter tersebut, sudah dapat dirasakan hasilnya. Setidaknya, setelah lebih dari satu dasawarsa, implementasi konsep tersebut sudah menunjukkan ‘sedikit’ bukti keberhasilan dan memberikan manfaatnya. Namun ternyata tidaklah seperti itu yang terjadi, dan bahkan konsep PKH saat ini seolah-olah hilang tanpa bekas.

Memperhatikan kendala-kendala tersebut, maka di dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah, tahap awal yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian dan pemahaman kepada pelaksana sekolah (terutama guru dan kepala sekolah) mengenai pendidikan karakter itu sendiri. Hal ini penting karena berdasarkan uraian di atas, ternyata faktor guru merupakan salah satu penghambat utama, yang antara lain karena guru kurang mengerti pendidikan kecakapan hidup, kurang profesional dalam mengajar, tidak mempunyai keterampilan khusus, dan kurang tekun dalam mengembangkan diri.

Tentu saja bukan faktor guru saja yang kemudian menjadi fokus perhatian. Zuhdi (2010) menegaskan, pendidikan karakter di perguruan tinggi perlu melibatkan berbagai komponen terkait yang didukung oleh proses pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan warga kampus, pengelolaan perkuliahan, pengelolaan berbagai kegiatan mahasiswa, pemberdayaan sarana dan prasarana, serta etos kerja seluruh warga kampus.

Daftar Pustaka
Bashori, K. 2010. Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa. http://www.mediaindonesia.com/read/2010/03/15/129378/68/11/Menata-Ulang-Pendidikan-Karakter-Bangsa. Diakses 10 September 2010.

Berkowitz, Marvin W. 2002. “The Science of Character Education”, dalam William Damon( ed.), Bringing in a New Era in Character Education. California: Hoover Institution Press.
Blazely, Lloyd D. Et. All. 1997. Science Study. Jakarta: The Japan Grant Foundation.
Brolin, D.E. 1989. Life Centered Career Education: A Competency Based Approach. Reston VA: The Council for Exepctional  Children.
Depdiknas. 2002. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup. Buku I, II, dan III. Jakarta: Depdiknas.
Dinas Pendidikan Jawa Barat. 2002. Pendidikan Berbasis Luas Kecakapan Hidup dengan Model Pelaksanaan Pembelajaran Hidup di Sekolah. Bandung: CV Dwi Rama.
Dinas Pendidikan Jawa Timur. 2001. Profil Pendidikan Jawa Timur Tahun 2000/2001. Surabaya: Dinas Pendidikan Jawa Timur.
Kendall, John S dan Marzano, Robert J. 1997. Content Knowledge: A Compedium of Standards and Benchmarkes for K-12 Education. Aurora, Colorado, USA: Mc REL Mid – Continent Regional Educational Laboratory; Alexandria, Virginia, USA: ASCD.
Samani, Muchlas. 2007. Menggagas Pendidikan Bermakna. Surabaya: SIC.
Samani, Muchlas. 2011. “Merenungkan Kembali Arah Pendidikan.” Dalam Rekonstuksi Pendidikan. Surabaya: Unesa University Press.
Saryono, Djoko. 2002. Pendidikan Kecakapan Hidup: Konsepsi dan Implementasinya di Sekolah. Makalah dalam Workshop Pengembangan Sistem Pendidikan Dasar dan Menengah Berorientasi Kecakapan Hidup di Jawa Timur, 11 November 2002, Universitas Negeri Malang.
Tim Peneliti. 2002. Penelitian Pengembangan Pendidikan Jawa Timur. Laporan Penelitian tidak diterbitkan. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur.
Zuhdi, Darmiyati, dkk. 2010. Pendidikan Karakter dengan pendekatan Komprehensif. Yogyakarta: UNY Press.

Sabtu, 17 Desember 2011

Ke Sumba Lagi (7): Umbu Landu Paranggi, Penyair itu...

Siang ini kami semua telat makan. Medan sulit yang membuat kami terkocok-kocok di dalam mobil menyebabkan perut kami seperti penuh. Biskuit sudah habis kami bagi-bagikan ke anak-anak sekolah tadi. Hanya ada sedikit kripik pisang, stick keju, dan minuman. Tapi perut kami memang tidak terasa lapar.

Tapi demi menjaga kondisi, kami meminta Oscar mencari tempat yang nyaman untuk makan. Lagi pula nasi kotak yang kami bawa dari Waingapu juga harus segera disantap. Antara nasi dan lauk-pauknya sudah bercampur-aduk gara-gara terkocok-kocok sepanjang perjalanan.

Tepat pukul 15.00, Oscar menepi, menghentikan mobil di sebuah jembatan. Jalan agak lebar, kelihatannya memang biasa digunakan pengendara untuk tempat singgah. Di bawah jembatan adalah sungai yang airnya jernih sekali, berbatu-batu. Kami membuka bekal dan menikmatinya, duduk di sepanjang jembatan itu. Sekedar menggugurkan kewajiban. Perut saya yang 'mbesesek' membuat saya tidak mampu menghabiskan separo lebih dari makanan itu. Selesai makan, para bapak 'tengak-tengok' mencari tempat buang hajat. Tapi Oscar bilang, sebentar lagi kami bisa singgah di suatu tempat untuk buang hajat. Maka kami semua masuk ke mobil, melanjutkan perjalanan lagi, dengan menahan 'hajat'
kami masing-masing.

Hanya sekitar 15 menit kemudian, Oscar membelokkan mobilnya ke sebuah rumah berhalaman cukup luas, yang di depannya ada kuburan berbentuk rumah kecil. Di Sumba Timur, adalah hal yang biasa menjumpai kuburan di depan rumah. Meskipun ada kuburan umum, tidak sedikit masyarakat yang memilih mengubur anggota keluarganya yang meninggal, di depan rumahnya. Awalnya saya mengira batu-batu granit berbentuk segi empat yang disangga dengan empat tiang itu adalah tempat untuk kongkow-kongkow. Tidak tahunya, ternyata di bawah batu itulah anggota keluarga mereka ditanam. Bisa lebih dari satu orang yang ditanam di bawah batu itu. Untuk keluarga raja-raja, batu granitnya besar-besar. Bahkan ada yang harus diangkat dengan traktor ketika memasangnya. Tapi untuk keluarga biasa, batunya tidak terlalu besar, bahkan seringkali bukan batu yang digunakan, tapi lempengan cor-coran.

Oscar mengetuk pintu rumah untuk memintakan izin kami semua menggunakan toilet yang ada di samping rumah. Ternyata keluarga itu masih saudara Oscar. Pemiliknya adalah kepala desa. Namun kepala desa sedang tidak ada di tempat, ada di Waingapu untuk suatu keperluan.

'Ibu tahu Umbu Landu Paranggi?' Tanya Oscar kepada saya setelah keluar dari kamar mandi. 'Ya, penyair?' Jawab saya. 'Ya, betul. Ini rumahnya. Kuburan di depan itu kuburan bapaknya....'.

Saya terkejut campur takjub. Saya sedang berada di rumah Umbu Landu Paranggi, penyair itu. Tak menyangka. Sontak saya amati semua sudut di sekitar rumah itu. Bangunannya yang sederhana namun nampak menonjol karena tak bertetangga (seperti halnya rumah-rumah di pelosok Sumba Timur yang jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain sangat berjauhan, seringkali sampai puluhan kilometer), penuh tanaman pekarangan, dan bernuansa teduh. Di sinikah penyair itu berasal?

Nama Umbu sudah lama saya kenal, hanya karena saya agak suka baca-baca karya sastra (koleksi majalah Horison-ku masih setumpuk, dan tetap kusimpan dengan baik, sesekali kubaca-baca). Tapi nama itu juga sudah lama saya lupakan, karena tergerus oleh kesibukan dan urusan-urusan lain. Dia disebut sebagai raja Malioboro pada masanya (tahun 60-an atau 70-an ), berambut gondrong, dengan
garis wajah keras seperti kuda sumba. Dialah yang menumbuhkan sastrawan-sastrawan terkenal seperti Emha Ainun Najib, Linus Suryadi, Korie Layun Rampan, dan Yudistira Adi Nugraha. Konon, musisi Ebiet G Ade juga lahir karena sentuhan tangan dinginnya.

Inilah tanah kelahiran Umbu. Desa Kananggar, Kecamatan Peberiwai. Sekitar 4 jam dari Waingapu, ibu kota Sumba Timur. Dari desa sangat terpencil ini, seorang penyair Indonesia telah dilahirkan. Dia yang disebut sebagai Presiden Malioboro ini, telah membuahkan sastrawan kelas atas. Orang-orang menyebutnya sebagai 'pohon rindang' tapi dia sendiri menyebut dirinya sebagai 'pupuk' saja. Umbu memang sosok penyair yang langka dan unik. Kecintaannya pada dunia puisi seakan melebihi segalanya. 'Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan, karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan' (cuplikan dari puisi 'Melodia' oleh Umbu Wulang Landu Paranggi).

Sabtu, 10 Desember 2011
Wassalam,
LN

Jumat, 16 Desember 2011

Ke Sumba Lagi (6): Padang Sabana itu....

Pukul 08.00 kami sudah siap beraktivitas lagi. Kali ini tidak hanya berdua dengan bu Luci, tapi pasukannya tambah 3: bu Nanik, pak Nursalim, dan pak Suwarno.

Kami memulai aktivitas dengan makan pagi di warung jawa. Sementara teman-teman sarapan, saya dan bu Luci ke warnet di sebelah warung. Mas Amin, sekretaris rektor, tadi malam sms saya kalau MoU sudah diemail. Kami harus mencetaknya untuk dimintakan paraf ke sekda, asisten administrasi, kabag hukum, dan pak kadis, sebelum ditandatangani oleh bupati dan rektor pada acara serah terima nanti. Selesai mencetak MoU, saya dan bu Luci menyusul teman-teman sarapan.

Tujuan pertama kami pagi ini ke RSUD, bertemu dengan dokter Kris, direktur RSUD. Kami bertiga, saya, pak Nursalim, dan pak Warno, akan menghadap dokter Kris. Sedangkan bu Luci dan bu Nanik akan ke penginapan Cendana untuk menjemput peserta yang sakit, dibawa sekalian ke RSUD.

Kami menunggu sebentar saja di ruang tunggu RSUD, lantas disilakan masuk di ruang direktur. Dokter Kris, tinggi besar, ramah. Dokter asal Yogyakarta itu telah 16 tahun bertugas di Waingapu. Dia membagi pengalaman dan pemahamannya tentang kultur masyarakat Sumba, khususnya Sumba Timur. Banyak pengalaman heroic yang diceritakannya. Penyebaran penduduk Sumba Timur yang sangat luas, seringkali memaksanya untuk terjun ke lokasi-lokasi sangat terpencil yang hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer.

Sumba Timur menurut para tokoh dahulunya adalah masyarakat yang sering mengalami perang antar suku. Mereka banyak yang memilih hidup di tempat-tempat terpencil supaya tidak terjangkau ole musuh-musuhnya. Oleh sebab itu, sampai saat ini, mereka hidup mengelompok-mengelompok di tempat-tempat yang sangat terpencil, seringkali sangat susah dijangkau. Hanya ada 3 wilayah terpencil di Sumba Timur, Waingapu, Kambera, dan Pandawai. Selebihnya adalah wilayah yang sangat terpencil.

Menurut dokter Kris, potensi alam di Sumba Timur sebenarnya sangat luar biasa. Namun masyarakatnya sangat malas. Bila beras habis, mereka akan masuk hutan untuk mencari umbi-umbian. Padahal bila mereka mau, pekarangan bisa dimanfaatkan untuk menanam umbi-umbian itu, juga berbagai macam sayur-sayuran, sehingga mereka tidak perlu masuk-keluar hutan untuk mencari bahan makanan. Sangat beda dengan etos kerja orang Jawa atau Bali. Di Gunung Kidul, bahkan tanah keras berbatu-batu pun akan ditanami dan dimanfaatkan secara optimal. Di Sumba Timur, banyak tanah yang subur tapi dibiarkan tidak tergarap, namun mereka sering teriak kekurangan bahan pangan.

Pada prinsipnya, dokter Kris membuka diri untuk melakukan kerjasama dalam bidang jaminan kesehatan peserta SM-3T, tinggal kami yang mengajukan konsep MoU-nya seperti apa. Karena kami belum pernah melakukan MoU dalam bidang jaminan kesehatan semacam ini, dokter Kris menjanjikan akan memberikan contoh MoU-nya pada hari Senin, kalau petugas yang menanganinya sudah datang dari tugas luar kota.

Keluar dari rumah sakit, kami diantar pak Minggus kembali ke hotel. Siang ini kami akan ke kecamatan Karera, lokasi sasaran penugasan SM-3T yang terjauh. Mobil yang akan membawa kami ke Karera sudah kami pesan sejak kemarin, panther touring. Mobil kijang dinas PPO tidak laik untuk perjalanan ke Karera. Sampai di hotel, mobil beserta drivernya, namanya Oscar, pemuda asli Sumba, sudah menunggu kami.

Dan berangkatlah kami menuju Karera tepat pukul 12.00. Bekal yang kami bawa cukup meyakinkan: air mineral, nasi kotak (bu Sekdis mengingatkan kami untuk membawa bekal nasi bungkus karena sepanjang perjalanan ke Karera tidak akan menemui rumah makan), dan kletikan termasuk biskuit.

Pengalaman saya melakukan perjalanan dari Waingapu ke Waikabubak (Sumba Barat)sekitar sebulan yang lalu), ternyata tidak ada apa-apanya dibanding dengan perjalanan ke Karera. Jalan panjang yang sempit, naik turun, berkelok-kelok tajam, penuh dengan lubang-lubang besar, kubangan-kubangan yang cukup dalam, dan tanjakan-tanjakan membahayakan. Di sebelah kanan kiri jalan adalah jurang menganga, dan di seberangnya merupakan bukit-bukit yang seolah ditumpuk-tumpuk. Berselang-seling dengan lembah hijau dan padang sabana yang luas sekali. Sejauh mata memandang, adalah hamparan padang sabana itu, berlatar-belakang bukit-bukit dan pegunungan yang hijau. Sekelompok kuda sumba yang tengah merumput, tidak menghiraukan kedatangan kami yang sibuk mengambil gambar. Tetap merumput dengan begitu tenangnya. Jauh, jauh di sana, hijau menghampar, dan kuda-kuda itu, sungguh, begitu indahnya dalam kesatuan pemandangan alam yang luar biasa ini. Andai saya seorang penyair, mungkin akan saya tulis puluhan puisi untuk melukiskan keindahannya.

Saya baru kali ini mengalami perjalanan darat yang begitu menantang sekaligus mengasyikkan karena keindahan alamnya. Pengalaman melakukan survei rawan pangan di sebagian besar wilayah terpencil di Jawa Timur, Pacitan, Ngawi, Ponorogo, Banyuwangi, Madura, Probolinggo, dan lain-lain, tidak ada yang semenantang dan seindah ini. Perjalanan dari Balikpapan ke Sangata dan sebaliknya dengan melalui Kutei Kertanegara dan Tenggarong, masih jauh tantangan dan keindahan alamnya. Mungkin keindahannya bisa disejajarkan dengan perjalanan dari Medan ke Danau Toba, atau dari Padang ke Bukittinggi, namun kondisi alam Waingapu ke Karera, jauh lebih indah dan lebih menantang.

Di tengah perjalanan, kami menjumpai anak-anak sekolah yang sedang pulang menuju rumahnya. Berseragam lusuh, sebagian besar tanpa alas kaki, menenteng sebuah buku tulis dan pensil. Ada juga yang buku-bukunya dimasukkan di kantung plastik. Kami berhenti menyapa mereka, membagi biskuit (yang kami yakin pasti menjadi makanan mewah bagi mereka), dan berfoto-foto. Mereka menyambut kami dengan suka cita. Nama-nama mereka antara lain adalah: Alberto, Yohanes, Berti, Alfonso, Melki.... Wajah-wajah polos mereka begitu saya suka, namun kemiskinan yang tergambar dari penampilannya sangat menyentuh perasaan saya. Mereka berangkat sekolah pada pukul 06.00 dan sampai sekolah pukul 09.00; lantas pulang sekolah jam 12.30 dan sampai rumah sekitar pukul 15.00. Menyusuri jalan panjang, menahan lapar dan haus, dengan kaki-kaki kecil mereka yang telanjang. Saya membayangkan
bagaimana mereka belajar di sekolah dengan baik dengan tubuh letihnya, belajar di rumahnya yang kecil dan kurang penerangan. Seperti apa pula guru-gurunya? Bagaimana kondisi sekolahnya? Fasilitas dan sarana-prasarananya? Bagaimana pula anak-anak itu dipaksa harus menghadapi ujian nasional yang standarnya sama persis dengan teman-temannya di kota? Standar Nasional Pendidikan? Bahkan mereka
mau rutin datang ke sekolah saja sudah sangat bagus....

Galau hati saya memikirkan itu semua. Kondisi alam yang sangat menantang. Kemiskinan yang kental. Fasilitas yang sangat terbatas. Di tempat-tempat inilah anak-anak kami, peserta SM-3T, akan ditugaskan. Mampukah mereka? Sanggupkah mereka bertahan dalam keserbakekurangan? Kalau mereka semua bisa melaluinya dengan baik, dan berhasil menjadi agen perubahan di tempat tugas mereka, maka saya berani menjamin, merekalah guru-guru berprestasi itu, guru-guru hebat yang telah teruji oleh alam, guru-guru unggul yang harus diprioritaskan untuk menjadi motor penggerak pembangunan pendidikan di manapun di seluruh wilayah negeri ini.

Sabtu, 10 Desember 2011
Wassalam,
LN

Kamis, 15 Desember 2011

Ke Sumba Lagi (5): Pelatihan Ketahanmalangan yang Gagal?

Agenda hari ini sangat padat. Saya tinggal berdua dengan bu Luci, pak Wasis sudah pulang kemarin, ketika kami sedang rapat koordinasi dengan camat dan kepala sekolah di aula dinas PPO. Dia benar-benar melaksanakan tugasnya dengan baik, benar-benar menjadi pengantar yang baik, benar-benar hanya mengantarkan kami, terus pulang...(Piiis, pak Wasis....).

Pagi pukul 08.30, pak Minggus, driver dinas PPO yang setia mengantar kami ke mana pun, sudah menjemput kami. Tujuan pertama adalah rumah makan. Kami tidak mau pengalaman kemarin terulang lagi, kelaparan sampai kepala pusing. Gara-gara hanya mengandalkan setangkep roti dan secangkir teh yang disediakan hotel. Sepanjang rapat di ruangan yang penuh asap rokok, dengan suguhan kue-kue berasa manis yg tdk terlalu cocok di lidah, membuat saya lebih memilih menahan lapar. Akibatnya, kepala pusing sekali, hingga sore setelah makan pun pusingnya nggak kunjung hilang.

Usai makan, kami langsung menuju kantor dinas PPO. Beberapa peserta SM-3T yang dua hari lalu beserta kami dari Surabaya, sudah menunggu di halaman kantor. Memang kami jadwalkan ada pertemuan dengan mereka, untuk menyampaikan beberapa pengumuman, terutama terkait dengan tempat tugas mereka. Selain itu juga utk mempersiapkan mereka dalam acara serah terima ke bupati tanggal 12 Desember nanti.

Pertemuan dengan peserta berjalan lancar. Mereka anak-anak yang manis. Kadang-kadang lucu dan kolokan. Tapi bagaimana pun mereka, hampir semuanya siap dan tidak protes ditugaskan di mana pun. Dua orang yang merayu saya untuk bisa dipindahkan ke kecamatan yang lain, dengan berbagai alasan, akhirnya juga menerima dengan sangat manis setelah saya katakan, mereka harus bersyukur karena
ditugaskan di Sumba Timur, tanah kelahiran mereka. Saya katakan, 'di mana pun di Sumba Timur, itu adalah wilayahmu. Bandingkan dengan teman-temanmu yang lain, yang berasal dari segala penjuru, namun harus bertugas di sini, di Sumba Timur, dan mereka tidak boleh memilih, kecuali menerima saja di mana pun mereka ditugaskan di Sumba Timur ini.'

Selesai pertemuan dengan peserta, saya dan bu Luci masuk ke ruang ibu sekdis, ditemani ibu Rambu, Kabag Umum dan Kepegawaian. Bu Lusia sedang mengikuti acara peringatan ulang tahun darma wanita di gedung nasional. Sambil menyelesaikan konsep bahan untuk pidato bupati pada acara serah terima nanti, kami menunggu bu Lusia yang kabarnya sedang menuju ke kantor dinas PPO karena acara di gedung nasional sudah selesai. Tak berapa lama, bu Lusia, sekdis itu, datang. Beliau berbusana warna blewah, warna khas seragam darma wanita. Di mata saya, bu Lusia adalah tipikal perempuan Sumba yang cantik, trengginas, dan cerdas, namun tetap sederhana.

Seharian ini kami habiskan waktu bersama bu Lusia dan pak Minggus. Kami didampingi menuju dinas kesehatan untuk menjajagi kemungkinan kerjasama dalam hal urusan asuransi kesehatan bagi peserta SM-3T. Ternyata kerjasama tersebut bisa langsung dengan RSUD. Maka dibantu sekretaris dinas kesehatan, kami bisa mendapatkan kontak direktur RSUD dan merencanakan pertemuan besok pagi jam 09.00 di RSUD.

Keluar dari Dinas Kesehatan, kami menuju kantor bupati. Bertemu dengan bagian protokoler. Memastilkan susunan acara, konsumsi, petugas, spanduk, kursi-kursi. Bu Luci mengeluarkan sejumlah dana untuk memenuhi semua keperluan tersebut.

Usai dari kantor bupati, kami meluncur ke penginapan cendana, penginapan yang akan ditempati peserta SM-3T yang bukan dari Sumba Timur, penampungan sementara bagi mereka sebelum serah terima dari rektor ke bupati. Hari ini akan datang 99 orang peserta dengan penerbangan batavia, dan kami harus memastikan, kamar-kamar mereka, atau setidaknya tempat bernaung mereka, sudah siap, begitu juga konsumsinya.

Penginapan cendana letaknya di jalan Sabu, 5 km dari kota Waingapu. Penginapan yang masih setengah jadi. Kamar-kamar di lantai satu baru sebagian yang siap, hanya cukup menampung sekitar 70-80 orang, itu pun satu kamar diisi 5-7 orang. Di lantai 2, ada hall yang cukup besar, dan sebanyak 21 kasur dibeber di dalamnya (mengingatkan saya pada tempat pengungsian korban merapi di Maguwoharjo, bedanya, yang dibeber di sini adalah spring bed); untuk menampung sekitar 70-80 orang juga. Padahal jumlah peserta yang akan kami inapkan seluruhnya adalah 200 orang, lantas diinapkan ke mana yang 40-60 orang lagi? Ternyata pemilik penginapan sudah menyiapkan lantai 2 rumahnya yang besar, untuk menerima mereka yang tidak tertampung di penginapan cendana. Masalah terpecahkan.

Yang menarik di penginapan cendana ini adalah, dia berada di atas ketinggian. Dengan view yang luar biasa indah. Lembah dan padang rumput yang menghampar luas. Perbukitan hijau yang dihiasi jalan setapak panjang yang terlihat meliuk-liuk dari kejauhan. Saya menikmati keasriannnya meski hanya sekejap. Mengagumi keindahan dua kuda sumba yang sedang merumput di padang sabana nun jauh di bawah sana (jadi ingat puisi mbak sirikit). Benar-benar indah. Benar-benar mendamaikan.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 13.00. Perut sudah mulai lapar. Maka kami mengajak bu Lusia dan pak Minggus untuk mampir di rumah makan jawa. Saya makan mie goreng dan telur ceplok. Bu Luci dan pak Minggus makan ikan baronang bakar besar. Bu Lusia makan nasi pecel dan bakwan jagung. Beliau mengurangi makan daging, selain karena tidak terlalu suka, juga karena dia memiliki masalah kolesterol.

Setelah menyelesaikan makan siang, kami menuju bandara. Bila tepat waktu, pesawat akan mendarat pada pukul 14.00. Tapi di perjalanan menuju bandara, pak Suwarno, salah satu teman dosen pendamping, menelpon saya bahwa sebentar lagi pesawat akan lepas landas dari Kupang menuju Waingapu. Wah, berarti masih 40 menit lagi. Tidak masalah. Kami bisa menunggu mereka di bandara.

Di bandara Waingapu, tempat tunggu para penjemput berada di teras yang tidak terlalu luas (mungkin lebih tepat disebut emperan). Disediakan kursi-kursi kayu panjang. Pada pukul 14-an, matahari tepat di depan kita bila kita duduk di kursi-kursi itu. Sangat panas dan menyilaukan. Suhu di Sumba Timur lebih panas daripada di Surabaya. Karena tidak tahan dengan panasnya yang luar biasa dan menyilaukan, saya mengajak bu Luci, bu Lusia, dan pak Minggus, masuk ke kafe Jawa, letaknya di samping bandara. Kafe yang lebih tepat disebut warung itu. Yang harga makanannya mahal sampai menurutku tidak rasional itu. Tidak ada pilihan. Saya tidak mungkin membiarkan kami semua tersiksa di luar.

Kami menunggu beberapa saat di kafe. Minum es jeruk dan makan kletikan. Ketemu pak Erwin (kabid TK/SD) dan pak Alfons Moy (kabag Pemuda dan Olahraga). Semua dengan tujuan yang sama, menjemput peserta SM-3T. Komitmen semua komponen dinas PPO ini memang luar biasa. Tidak peduli sekdis, kabag, kabid, apalagi tingkat pelaksana, semuanya turun gunung untuk memastikan program berjalan lancar.

Dan tibalah waktu yang kami tunggu-tunggu itu. Batavia mendarat. Kami keluar dari kafe, bergerak ke arah pagar pembatas lapangan terbang. Kami ingin melihat mereka semua ketika keluar dari pintu pesawat. Dan benar, pemandangan yang saya lihat seperti bayangan saya. Batavia berkapasitas 140-an orang itu penuh dengan mereka yang berkostum hitam. Jaket SM-3T. Pak Suwarno, pak Nursalim, dan bu Nanik, kami lihat keluar lebih dulu. Diikuti dengan para peserta, yang tidak langsung berjalan menuju gedung terminal, tetapi berfoto-foto dulu. Dasar anak-anak. Tangan mereka melambai-lambai ke kami yang ada di luar pagar.

Panas begitu menyengat. Peserta satu per satu keluar dari terminal dengan bagasi mereka. Luar biasa. Bagasinya....'nggegilani'. Benar-benar nggegilani. Tidak cukup hanya koper-koper besar, tapi juga karung-karung plastik yang diselotip penuh. Subhanallah. Apa saja yang mereka bawa? Apa tidak melebihi timbangan?

Saya bertanya pada seorang peserta perempuan, apa saja yang ada dalam karung plastik besar yang dibawanya. Rice cooker, kompor, sprei, dan bahan makanan. Dia harus nambah 300 rb untuk kelebihan muatannya. Saya tanya, 'apa 'bekakas' yang ada di karungmu itu nilainya ada 300 rb?' Jawabnya, 'tidak, bu, tapi nggak papa, bu, kan untuk setahun....'

Anak-anak itu sepertinya takut tidak bisa makan di Sumba Timur. Seperti tidak siap lapar, apa pun dibawa, sambal pecel, kering tempe, sambal bajak, abon, kecap, garam, gula, teh, kopi, rambutan, bahkan ada juga yang membawa boneka besarnya. Oh Tuhan. Saya ngeres melihat pemandangan itu. Pelatihan ketahanmalangan tidak berhasilkah?

Sore itu kami semua jadi manol di bandara. Bergotong-royong memindahkan bagasi peserta dari depan pintu terminal menuju ke dua buah bus yang akan mereka tumpangi menuju penginapan. Dan benar saja, dua bus itu tidak cukup. Bagasi mereka saja melebihi satu bus. Ditumpuk-tumpuk di atas atap bus pemda pun masih tidak cukup. Bus harus 'ngunjal' separo dari mereka dulu ke penginapan, balik lagi untuk mengambil separonya. Saya dan bu Luci menunggui mereka di halaman bandara sampai mereka dijemput bus. Sekitar satu jam kemudian baru kelar.

Kami bersama pak Minggus menuju penginapan Cendana. Lega karena semua peserta dan bagasinya telah terangkut. Tapi pikiran saya bercabang-cabang. Anak-anak manja tadi terus menyita pikiran saya. Siapkah mereka hidup di tengah-tengah belantara masyarakat Sumba Timur yang mungkin tantangannya tak pernah mereka bayangkan? Saya ingin meyakinkan diri saya sendiri mereka akan sanggup menjalaninya. Mereka akan tertempa oleh alam, oleh keadaan, oleh tuntutan dan tantangan.

Jumat, 9 Desember 2011
Wassalam,
LN

Ke Sumba Lagi (4): Pertemuan yang Bermakna

Pagi jam 08.30 kami bertiga, saya, pak Wasis dan Bu Luci, sudah berada di kantor Dinas PPO. Kami diantar masuk ke ruang ibu sekdis. Perempuan itu menyapa kami dengan pertanyaan apakah kami nyenyak tidur semalam. Kami jawab, begitu kami masuk kamar semalam, kami langsung 'hilang', lelap sampai pagi.

Bersama ibu sekdis, kami memasuki ruang bapak kadis. Bertemulah kembali saya dengan laki-laki tinggi besar yang ramah itu. Di dalam ruangannya yang ber-AC, tapi penuh dengan asap rokok. Saya melaporkan bahwa kemarin kami membawa 46 peserta SM-3T yang berasal dari Sumba Timur, pulang dari Surabaya, setelah mengikuti tahap prakondisi. Saya juga menyampaikan salam pak Rektor, dan keinginan beliau utk suatu saat bisa melakukan kunjungan ke daerah sasaran yang terluar. Kami juga meminta supaya pengawas dilibatkan utk bisa memastikan para peserta melaksanakan tugas pengabdiannya dengan sebaik-baiknya, di bawah bimbingan dan arahan para pengawas.

Pukul 09.00 kami keluar dari ruang pak Kadis, menuju ke aula. Di sana sudah menunggu 21 camat dan 103 kepala sekolah, mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA, dan SMK. Pagi ini kami akan rapat koordinasi dengan semua camat dan kepala sekolah yang menjadi sasaran kegiatan SM-3T Unesa. Rapat dipimpin langsung oleh Asisten Administrasi Pemkab Sumba Timur.

Konsumsi pertemuan adalah berbagai macam kue yang semuanya berasa manis: bolu kukus yang ujungnya berwarna hijau sekali, kue cuncum yang vlanya berwarna pink, dan kue karamel yang coklat tua. Kue-kue itu diletakkan di piring-piring, dua piring dibiarkan di meja depan di tempat pak kadis, pak asisten, saya, dan bu sekdis. Piring-piring yang lain disorongkan dari satu orang ke orang lain, untuk mereka ambil salah satunya. Tidak ada snack box dengan macam-macam kue yang legit, gurih, harum, dan berkesan mahal seperti yang biasa kita temui pada rapat-rapat di Surabaya. Hemat, simpel.

Saya diminta pak Asisten utk menjelaskan apa itu SM-3T kepada peserta rapat. Sebagian besar mereka mungkin sdh pernah mendengar tentang SM-3T. Namun apa sebenarnya SM-3T, mungkin mereka belum memahami secara utuh. Tugas saya adalah menjelaskan kepada mereka terkait dengan program Dikti itu, tujuannya, ruang lingkupnya, dan tindak lanjut setelah program. Secara tulus saya sampaikan ucapan terimakasih kepada Bupati dan Kepala Dinas PPO Sumba Timur beserta jajarannya, camat, kepala desa dan seluruh masyarakat Sumba Timur. Mereka semua telah menyambut program ini dengan sangat proaktif, mulai dari tahap sosialisasi sampai saat ini. Komitmen mereka utk mensukseskan program ini begitu luar biasa.

Saya juga menyampaikan bahwa kami menitipkan seluruh peserta SM-3T Unesa di bawah bimbingan dan arahan beliau-beliau. Mereka menyambutnya dengan sangat baik. Bisa saya lihat dari sorot mata dan pancaran wajah mereka. Ketulusan dan keterbukaan. Juga dari kalimat-kalimat yang terlontar dalam sesi tanya jawab. Penuh dengan rasa syukur dan ucapan terima kasih, karena program ini bagi mereka adalah bukti nyata kepedulian pemerintah pusat pada pemerintah daerah, khususnya di daerah 3T, dan khususnya lagi pada bidang pendidikan.

Pak Asisten juga sempat menceritakan bahwa pada beberapa waktu yang lalu, salah satu pulau terluar di Sumba Timur, yaitu Pulau Selura, melakukan gerakan melepaskan diri dari NKRI. Mereka merasa tidak ada untungnya menjadi bagian dari NKRI, karena tidak ada perhatian sama sekali dari pemerintah pusat atas nasib mereka. Saat ini, di Pulau Selura yang hanya memiliki 1 SD, akan didirikan SMP satu atap sebagai respon pemerintah atas teriakan mereka. Ketika pak Asisten menjelaskan hal tersebut, pak camat Selura manggut-manggut tanda setuju. Pulau Selura bisa dicapai dengan waktu sekitar 5-6 jam dari Waingapu dengan mobil, dan sekitar setengah jam menyeberang laut. Namun bila musim barat seperti ini, bahkan bapak kabid pun tidak sanggup untuk mengantar sampai ke sana. Pak Rektor mungkin berminat utk mengunjungi pulau ini dalam kegiatan supervisi nanti.

Rapat koordinasi siang itu menjadi rapat yang benar-benar bermakna. Selain mencerahkan bagi para camat dan kepala sekolah tentang apa itu SM-3T, juga menjadi ajang curhat bagi para camat. Curhat yang penuh dengan harapan agar pertemuan seperti ini lebih sering diadakan, dan agar pemda serta dinas PPO lebih memahami berbagai kendala yang mereka hadapi di lapangan. Bagi kami, tim SM-3T Unesa, pertemuan ini sangat membantu kami dalam mendekatkan program pada masyarakat, khususnya perangkat kecamatan dan kepala sekolah, sehingga mereka merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab atas suksesnya program. Sayangnya, seperti pada pertemuan-pertemuan yang lain, pertemuan ini pun dipenuhi dengan asap rokok. Mengepul-ngepul memenuhi ruangan yang panas. Mulek, membuat dada ampek.....

Kamis, 8 Des 2011
Wassalam,
LN

Rabu, 14 Desember 2011

Ke Sumba Lagi (3): Jumpa Waingapu Lagi

Akhirnya mendaratlah kami di Umbu Mehang Kunda Airport. Pukul 16.30 waktu Waingapu. Begitu memasuki ruang pengambilan bagasi, kami langsung disambut oleh perempuan hitam tinggi besar, rambut ikal yang diikat ke belakang, mata tajam dan berkaca mata. Khas perempuan Sumba. 'Selamat datang, bu Prof', sambutnya, menyalami saya, dan kami berpelukan akrab. Dialah ibu Lusia M. Kitu, sekretaris Dinas PPO Sumba Timur. Beliau yang tempo hari menjadi narasumber di tahap prakondisi, untuk materi kondisi pendidikan di Sumba Timur. Perempuan paling cerdas yang saya temui di Sumba Timur.

Saya kenalkan bu Luci dan pak Wasis kepada bu Lusia. Peserta SM-3T juga menyalami beliau. Berbondong-bondong dengan muka cerah. Di luar, sanak saudara mereka telah menunggu. Seperti orang yang habis pulang umroh, mereka seperti tidak sabar utk segera bertemu.

Udara panas sekali dan pengap di ruang pengambilan bagasi yang sempit. Ada 2 kipas angin, satu tidak berfungsi. Keadaan yang sama ini saya alami ketika saya pertama kali datang ke sini sekitar sebulan yg lalu. Panas, pengap, penuh asap rokok.

Tiba-tiba seseorang menyapa saya. Aryanto, driver yang pernah mengantar kami, saya dan pak Pramukantoro, mengambil data dewan pendidikan ke Waikabubak dulu. Dengan penampilan yang sama. Kaus putih, kalung salib, dan gelang monel besar melingkari tangannya.

Setelah bagasi keluar dan berada di tangan kami masing-masing, pak Wasis mengambil tempat tepat di depan pintu keluar. Setiap peserta yang keluar diminta boarding pass-nya. Tidak boleh kelewatan, atau kami akan kesulitan meng-spj-kan transpor mereka.

Bu Lusia ternyata dengan pak Dominggus, driver dinas PPO yang juga menjemput kami ketika pertama kali datang ke Waingapu dulu. Dan, seperti juga yang lalu, kami mampir di rumah makan Mr Cafe. Perut lapar kami membuat kami mampu melahap sup buntut sampai nyaris habis tandas.

Kami diantar ke hotel Merlin. Hotel yang cukup terkenal (tidak berarti paling bagus) di Sumba Timur. Dibanding dengan hotel Alvin tempat kami dulu menginap, hotel Merlin memang lebih ramai. Di depannya ada tanah lapang, yang setiap sore orang duduk-duduk bersantai sambil makan jagung bakar dan aneka jajanan yang lain. Di seberang kanannya, ada pasar tradisional yang menjual berbagai macam
kebutuhan, bahan kering, bahan basah, kain-kain khas Sumba, dan juga souveneer yang lain.

Ketika mengantar kami masuk kamar, seseorang menyapa bu Lusia. 'Mama, kenapa mama antar sendiri tamu ke hotel?'. Jawab bu Lusia: 'Ya, karena ketika saya ke Surabaya, bu Prof juga antar saya ke hotel.' O o....saya baru menyadari, sebulan yang lalu, ketika tiba di bandara Waingapu, saya hanya dijemput driver, tanpa siapa-siapa. Tapi ketika bu Lusia ke Surabaya, saya dan bu Asri, bendahara SM-3T, menjemput bu Lusia dari bandara, menemaninya makan malam, dan mengantarnya sampai ke lobi hotel. Tentu saja dengan diantar driver dan mobil kampus. Hal itu ternyata menjadi catatan khusus baginya, sehingga sore ini beliau merasa harus menjemput sendiri kami dari bandara.

Kami rasan-rasan dengan pak Wasis dan bu Luci: ya....beliau pejabat, layak kita jemput. Lha kita ini? ....dijemput driver pun sudah bagus.....

Rabu, 7 Desember 2011
Wassalam,
LN