Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 07 Oktober 2012

Sebuah Tempat Bernama Sekolah

Karya: Luthfiyah Nurlaela

Aku pernah mendengar
Adalah sekumpulan anak kecil Berwajah lusuh
Selusuh baju-baju yang membalut tubuh kurus mereka
Penuh peluh berbaur debu
Dengan seonggok kayu hutan di atas kepala
Atau sejerigen air membebani pundak ringkihnya
Dan serombongan kuda, kerbau, sapi, atau babi yang lekat dijaga 
Di sanalah mereka berada

Aku pernah membaca
Adalah anak-anak yang berbaris menembus dinginnya  pagi 
Bertelanjang kaki, 
Berseragam sekolah tapi tidak seragam
Berbekal sehelai buku dan sebatang pensil,
Hanya satu-satunya buku dan satu-satunya pensil,
Perut mereka lapar
Kaki-kaki kecil mereka hitam Penuh bekas luka, 
Tegores bebatuan tajam dan rumput-rumput liar
Tapi mereka melangkah dengan cepat,
Melintasi hutan, menaiki, menuruni bukit terjal, dan melanggar sungai yang deras
Demi mencapai sebuah tempat impian

Tempat dimana ada banyak kawan untuk berbagi cerita
Tempat dimana ada banyak ilmu untuk memuaskan dahaga
Tempat dimana seseorang selalu menjanjikan suka cita
Menjadikan hari-hari menjadi penuh makna 
Membangkitkan harapan baru demi meraih cita-cita
Tempat dimana ada pak guru dan bu guru
Sebuah tempat, 
bernama sekolah....

Aku ingin, aku tidak hanya mendengar dan membaca
Aku ingin ada di sana
Di antara wajah-wajah polos mereka
Di antara suka cita dan sedu sedan
Di antara ketakutan dan kehampaan
Di antara kemiskinan dan kesepian
Yang seolah tak pernah lekang dari kehidupan mereka

Aku ingin,
Menjadi sosok yang dirindukan
Dengan sekeping asa yang siap untuk dibagikan
Dan sebongkah hati
Yang akan selalu menjadi tumpuan harapan
Bagi mereka, 
Anak-anak bangsa itu
Di mana pun mereka berada
Di titik mana pun mereka ingin menebarkan asa

Inilah aku, anak-anakku sayang
Inilah aku, Wahai Indonesiaku
Dengan sepenuh jiwa dan raga
Dengan semangat juang yang aku punya
Biarkan aku memberi warna
Izinkan aku mengobati luka
Terimalah aku
Menjadi bagian tak terpisahkan
Dalam pembangunan pendidikan
Di pelosok mana pun di Bumi Pertiwi ini 
Setulus tekad untuk mengabdi
Bersama anak negeri
Meraih cita-cita sejati:
Mari maju bersama
Mencerdaskan Indonesia

  
Surabaya, 5 Oktober 2012

*) Puisi ini dibaca pada malam penutupan parokondisi SM-3T dan Pelepasan.

Jumat, 14 September 2012

Traveling Lagi...(2)

Minggu, 9 September 
21.00


Pesawat yang kami tumpangi mendarat di Bandara Supadio Pontianak. Setelah tadi malam bekerja sampai larut malam, berkendara sepanjang siang, dan 'kleleran' di Soekarno Hatta lebih dari tiga jam ketika transit, rasa lelah mulai saya rasakan. BB saya pada status SOS. Tidak ada jaringan untuk Axis, atau mungkin jaringan terlalu lemah, sehingga tidak 'ngangkat'. 

Ibu Fuadiyah, staf bagian umum Dinas Dikbud Kota Pontianak, menyampaikan via sms kalau dia sudah menunggu di depan pintu keluar kedatangan. Berkerudung hitam dan berjaket hitam. Andra masih menunggu bagasinya yang  penuh berisi berkas instrumen pengumpulan data dewan pendidikan dan komite sekolah. Ya, kedatangan kami ke Pontianak ini memang untuk tugas tersebut. Seperti tahun kemarin, tahun ini kami dipercaya lagi oleh Direktorat Pendidikan Menengah (Dikmen) untuk menyusun naskah kajian pemberdayaan dewan pendidikan dan komite sekolah. Ada lima PT yang lain, yaitu ITS, UM, Unsoed, UNM, dan UNS. Wilayah pengumpulan data kami ada sebanyak 26 provinsi, tapi kami berbagi. Setiap PT mendapatkan empat atau lima provinsi, tapi instrumen dari semua PT harus dibawa. Pola itu jugalah yang kami gunakan tahun yang lalu, dan sangat efektif ditinjau dari keterwakilan populasi dan keterbatasan biaya.

Bu Diyah (panggilan dari ibu Fuadiyah) datang menjemput kami bersama temannya sekantor, namanya pak Joko. Kami menggeleng ketika ditawari makan malam. Tubuh lelah kami saat ini rasanya sudah tidak memerlukan apa-apa lagi kecuali mandi dan tidur. Lagi pula, ada beberapa biji lumpia Semarang dan sekotak kue sus 'beard papa's' yang tadi dibeli Andra di Soekarno Hatta. Lebih dari cukup untuk persediaan logistik kami semalam. 

Senin, 10 September 2012
09.05


Kami dijemput oleh bu Diyah dan pak Joko di hotel tempat kami menginap, yaitu Hotel Kini. Hotel yang berada di kawasan pertokoan di jalan Nusa Indah. Segepok instrumen untuk diisi responden sudah dibawa Andra dalam tas khusus. Segepok uang di dalam amplop-amplop untuk transport dan honorarium responden dan petugas dari Dinas Pendidikan juga sudah disiapkan.  

Sebanyak 25 responden sudah berkumpul di ruang sidang kantor dinas pendidikan kota Pontianak. Mereka terdiri dari pengurus Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat, Pengurus Dewan Pendidkan Kota Pontianak, pengurus komite sekolah, beberapa kepala sekolah, dan beberapa guru. Bapak Dwi Suryanto, Kabid Dikmen, mengantarkan diskusi tentang seputar dewan pendidikan dan komite sekolah, serta pengisian instrumen ini.

Diskusi pagi ini bagaikan ajang curhat. Saya memang pada posisi menggali berbagai permasalahan yang terjadi di lapangan terkait dengan dewan pendidikan dan komite sekolah. Hasil penggalian data tersebut akan diolah bersama-sama dengan data yang kami peroleh melalui angket. 

Salah satu hal yang dikeluhkan oleh para responden adalah kurang adanya sinergi antara dewan pendidikan provinsi, dewan pendidikan kota/kabupaten, dan komite sekolah. Tidak ada pedoman yang dapat digunakan untuk memandu pelaksanaan program mereka secara terpadu. Program antara ketiga institusi yang seharusnya terintegrasi ini masih lepas-lepas. Para responden juga mengeluhkan betapa kebijakan pemberian BOS begitu mengebiri peranserta komite sekolah sebagai representasi masyarakat dan orang tua. Seluruh biaya operasional sekolah tidak mungkin bisa seluruhnya teratasi dengan dana BOS. Namun bila ada elemen masyarakat yang dengan inisiatifnya sendiri memberikan kontribusinya pada sekolah, misalnya dalam bentuk bantuan finansial, bangunan fisik atau alat-alat laboratorium, maka kepala sekolah yang bersangkutan akan menjadi sorotan. Para 'oknum' dari LSM (Lembaga Salah Melulu, plesetan singkatan LSM) mengobok-obok sekolah dan menekan dinas pendidikan, dan seringkali membawa-bawa wartawan, agar mengekspose pemberitaan bahwa kepala sekolah tersebut melakukan pungutan dari masyarakat. Sangat tragis dan dilematis. Kampanye sekolah gratis menjadi penjara bagi sekolah-sekolah-khususnya sekolah negeri-yang ingin maju.

Keluhan lain disampaikan oleh seorang kepala sekolah. Tugas kepala sekolah hanyalah sebagai tugas tambahan. Tugas utamanya adalah sama dengan guru, yaitu melaksanakan pembelajaran.  Namun ternyata sebagian besar waktu dan tenaga kepala sekolah justeru habis untuk mengurus masalah-masalah nonkependidikan. Bahkan kepala sekolah seringkali tidak bisa melaksanakan tugasnya melakukan supervisi. Dalam kaitan ini, kepala sekolah berharap, tugas-tugas non-dik seharusnya tidak selalu menjadi tugas kepala sekolah, namun bisa dilakukan oleh unsur lain di sekolah, misalnya komite sekolah. 

Setelah para responden itu puas menyampaikan uneg-unegnya, kami mulai sesi pengisian instrumen. Saya hanya perlu memberikan pengarahan seperlunya terkait dengan instrumen. Responden cukup cerdas memahami isi isntrumen dan bagaimana mengisinya. Selama sekitar dua jam suasana di ruangan itu hening seperti ruang ujian. Saya bersyukur dinas pendidikan telah memfasilitasi kegiatan ini dengan sangat baik, termasuk mengumpulkan semua responden yang kami perlukan, dan mereka semua serius dalam melakukan pengisian instrumen.

13.30
Kegiatan ditutup dengan makan siang nasi kotak. Menunya nasi uduk, ayam goreng, sambal dan lalapan. Sepertinya enak, tapi saya dan Andra tidak makan. Bukan karena tidak berselera, tapi karena saya ingin makan bubur padas siang ini. Salah satu makanan khas Pontianak yang berasal dari suku Sambas. 

Selanjutnya kami berkunjung di SMK 4 Pontianak. Berdiskusi lebih fokus dengan kepala sekolah dan komite sekolah. Bapak Mawardi, kasek SMK 4 Pontianak mengutarakan banyak hal. SMK 4 sudah bersertifikat ISO sejak tahun 2012 ini. Berstatus RSB1 sejak 2009. Sekolah ini memiliki 12 kompetensi keahlian. Guru PNS sebanyak 111 orang, dan guru honorer ada 21 orang. Siswanya yang berjumlah 1413 itu terbagi dalam 49 rombel; jumlah yang dirasakan terlalu berat. Ada 9 guru lulusan S2, dan saat ini ada 9 guru yang sedang menempuh S2 dengan bantuan beasiswa dari dana Hibah ADB. Business center yang ada di SMK 4 adalah teknik mesin otomotif, pengelasan, perkayuan, batu beton, elektronika, dan PKJ.

14.30
Bu Diyah dan pak Joko mengantar kami ke rumah makan sederhana di pinggir jalan. Namanya rumah makan 'Pa' Ngah'.  Menu utama tertulis bubbor paddas. Saya belum tahu seperti apa makanan khas Pontianak itu, justeru itu saya ingin memesannya. Menurut pak Joko dan bu Diyah, bubur padas dibuat dari beras yang disangrai, ditumbuk, dimasak dengan berbagai macam sayuran yang dipotong-potong. Sayuran yang khas, yang memberikan aroma tajam dan harum, namanya daun kesum. Sayang sekali kami tidak bisa melihat bentuk utuh daun kesum karena semua dedaunan itu telah dipotong-potong. Campuran yang lain, bisa diminta sesuai pesanan, adalah daging, tulang, kikil, ayam, dan sebagainya.

Bubur padas rasanya gurih. Juga bergizi. Dalam satu mangkuk, semua sumber gizi yang dibutuhkan ada. Ada juga kacang goreng dan ikan teri sebagai pelengkap. Konsistensinya menyerupai bubur ayam tapi sedikit lebih encer. Meski warnanya kurang menarik karena putih kehitaman bercampur kehijauan, namun rasanya yang enak membuat kami tidak menyisakan sedikit pun di mangkuk. Bubur yang penuh sayuran dan kaya rasa itu menenangkan perut kami yang memang sedang lapar.

Kami selanjutnya dibawa menuju jalur ke luar kota, arah ke kabupaten Singkawang, Sambas, dan kabupaten yang lain. Menyeberangi jembatan di atas sungai Kapuas di wilayah Kecamatan Pontianak Timur. Itulah jembatan pertama yang kami seberangi. Sedangkan jembatan kedua melintang di atas anak sungai Kapuas yang namanya sungai Landak, berada di wilayah kecamatan Pontianak Utara. 

Sepanjang perjalanan, saya melihat ada banyak vihara/pagoda (di Pontianak disebut pekong). Kalau di Lombok dikatakan pulau dengan seribu masjid, di Sumatra Utara dengan seribu gereja, maka di Pontianak ini bolehlah disebut kota dengan seribu pekong. Kami juga melewati kawasan kasultanan. Sebuah gapura di kiri jalan bertuliskan: "Awak dateng kame sambo, Kraton Kadriah Kasultanan Pontianak". 
Pak Joko dan bu Diyah ternyata ingin kami melihat tugu khatulistiwa. Tugu yang menjadi ikon kota Pontianak. Saya sama sekali tidak mengira kami akan ada waktu untuk berwisata di Pontianak ini. Berdasarkan pengalaman kami sebelumnya di Sumba Timur dan Sumba Barat setahun yang lalu, pengumpulan data bisa memakan waktu berjam-jam. Ya, karena respondennya datang sangat terlambat, itu pun satu per satu, dan kami juga harus memandu pengisian instrumen karena kebanyakan dari mereka tidak memahami isi instrumen. Ternyata di Pontianak ini berbeda. Respondennya cerdas, cepat menangkap apa yang saya maksud dan yang tertulis di instrumen, sehingga pengisian instrumen tidak memerlukan waktu panjang. 

Selepas ashar, kami sampai di Tugu Khatulistiwa (monument of equator). Sebuah bangunan yang berbentuk heksagonal yang di puncaknya berdiri tugu berbentuk dua lingkaran yang saling silang. Kami memasuki bangunan tersebut, dan nampaklah tugu ekuator yang asli. Ukurannya tentu saja lebih kecil daripada yang ada di luar. Di dalam bangunan tersebut berbagai foto peristiwa dari masa ke masa seputar tugu ekuator itu terpasang.
Termasuk foto-foto ketika matahari berada pada titik kulminasi, di mana semua benda tidak memiliki bayangan. Menurut pak Joko, peristiwa seperti itu hanya terjadi dua kali setahun, yaitu pada bulan Maret dan Oktober.  
Puas melihat tugu khatulistiwa, kami menyempatkan diri menunaikan sholat ashar di musholla di dekat monumen. Selepas sholat, kami dibawa menuju home industry pengolahan lidah buaya. Daun lidah buaya yang besar-besar berjajar di atas lapak-lapak para penjual di sepanjang jalan, bergabung dengan tumpukan rambutan Pontianak yang ranum-ranum. Kami menikmati es lidah buaya yang rasanya manis dan teksturnya lembut. Lebih lembut dan lunak dari kolang-kaling atau nata de coco. Selain lembut, aloe vera berbentuk dadu tapi agak pipih itu juga sedikit renyah. Dipadu dengan sirup gula putih dan pecahan es batu, es lidah buaya itu benar-benar segar.

Lepas dari es lidah buaya, kami melanjutkan perjalanan menuju kota. Maghrib sudah turun. Lapar mulai terasa. Semangkuk bubur padas yang kami makan siang tadi sudah tak berbekas. Masih ada dua nasi kotak jatah makan siang kami tadi, yang memang sengaja dibawa Andra, karena nasi uduk dan ayam gorengnya pasti enak. Makan malam aman. Maka tawaran 'pesta durian' dari pak Joko dan bu Diyah untuk mengakhiri wisata kuliner sore ini langsung kami terima. Pucuk dicinta ulam tiba. Pontianak sedang musim durian, dan melewatkan durian yang terkenal lezat itu sungguh rugi.

Maka duduklah kami mengitari sebuah meja, di salah satu pusat penjualan durian, di jalan Gajah Mada. Sebutir demi sebutir durian masak pohon itu kami lahap dengan nikmat. Benar kata orang, durian Pontianak memang mantap. Dagingnya tebal, punel, dan sangat legit. Andaikata tidak ingat kesehatan, rasanya kami kuat melahap berapa butir pun. Untuk saat ini, enam butir cukuplah bagi kami yang kebanyakan sudah berkepala empat ini.

Malam ini kami pulang ke hotel dengan tubuh lelah dan perut kenyang, tapi hati senang. Sebaiknya kami segera membersihkan diri, dan tidur. Masih ada pekerjaan yang harus kami lakukan besuk pagi, sebelum kami bertolak ke Kupang pada siang harinya. Tentu saja, membeli lempok durian. Dodol khas Pontianak ini saya perlukan untuk oleh-oleh teman-teman di jurusan yang sudah 'wanti-wanti': jangan balik ke jurusan tanpa lempok.....  
    
Pontianak, 11 September 2012

Wassalam,
LN

Minggu, 09 September 2012

Travelling lagi....

Sabtu, 8 September 2012.
11.20.

Matahari sedang bermurah hati siang ini. Mungkin seperti siang-siang sebelumnya. Sinarnya yang melimpah membuat kota Semarang terasa hangat. Kehangatan itulah yang menyambut kami bertiga ketika mendarat di Bandara Internasional Ahmad Yani. Saya, mas Eddy Sutadji (alumni IKIP Surabaya angkatan 83, dosen Teknik Mesin UM), dan pak Wayan Warpala (dosen Undhiksa), secara kebetulan bertemu di Bandara Juanda tadi, dan terbang bersama-sama dengan Wings ke Semarang. Kami bertiga adalah koordinator SM-3T di universitas kami masing-masing, dan sore nanti diundang untuk menghadiri rapat koordinasi persiapan tes wawancara dan prakondisi peserta SM-3T angkatan kedua.  

16.00
Rapat koordinasi dimulai. Acara pertama sebenarnya sambutan dari Direktur Ditendik, namun karena beliau masih ada acara, sambutan akan diberikan nanti selepas maghrib. Maka Prof. Ana Suhaenah yang sedianya mengisi acara yang kedua, memberikan pengarahannya terkait dengan pelaksanaan SM-3T angkatan kedua untuk memanfaatkan kesempatan tersebut.

Pendaftar SM-3T angkatan kedua di seluruh Indonesia melalui 17 LPTK sebanyak 7070. Yang lulus seleksi administrasi dan tes online sebanyak 2990 orang. Kuota nasional adalah 2950, maka 40 di antaranya lulus sebagai cadangan. Di Unesa, yang lulus tes online tahap 1 dan 2 sebanyak 197. Namun yang memilih PPG di Unesa sebanyak 228. Sedikit melebihi kuota PPG Unesa yang sebenarnya 200.

Dari seluruh pendaftar yang lulus, 82,87 persen adalah lulusan PTN, sedangkan sisanya yaitu 18,13 persen adalah lulusan PTS.

19.30
Acara sore ini dimulai dengan pengarahan dari direktur Ditendik, Prof. Supriadi Rustad. Beliau menyampaikan berbagai hal terkait dengan persiapan tes wawancara dan prakondisi. Belajar dari pengalaman tahun yang lalu, banyak hal yang perlu diantisipasi, misalnya peserta yang sakit, peserta yang tidak tahan mental dan mengundurkan diri, dan sebagainya.  

Sesi malam ini diakhiri dengan kerja kelompok. Kami wakil dari 17 LPTK penyelenggara SM-3T dipandu  tim Dikti membagi diri menjadi dua kelompok. Satu kelompok menyiapkan draf jadwal prakondisi, dan satu kelompok lagi menyiapkan pembagian wilayah. Kami bekerja sampai lepas pukul 23.00.

Tes wawancara akan dilaksanakan pada 14-16 September 2012 di masing-masing LPTK, sedangkan prakondisi akan dilaksanakan pada 24 September-5 Oktober 2012. Kalau tahun 2011 yang lalu Unesa ditugasi untuk Sumba Timur, tahun ini wilayahnya ditambah, yaitu meliputi: Sumba Timur, Maluku Barat Daya, Talaud, dan Aceh Singkil.  

Malam ini juga saya langsung berkoordinasi dengan Dr. Sulaiman, dosen Matematika yang menjadi sekretaris saya di PPG. Sosialisasi dan koordinasi harus segera dilakukan, mengingat waktu persiapan tes wawancara dan prakondisi yang cukup mendesak.

Minggu, 9 September 2012
05.30

Semarang mendung. Gerimis kecil jatuh membasahi jalan dan pepohonan. Kabut tipis menyelimuti kota. Saya dan Prof. Tjutju (koordinator SM-3T UPI) berkendara dengan Dr. Isti Hidayah (koordinator SM-3T Unnes) sebagai drivernya. Oleh karena kegiatan ini diselenggarakan di Semarang, maka 'kewajiban' bu Isti sebagai nyonya rumah untuk 'melayani' kami berkeliling kota.  

Di tengah perjalanan 'kota-kota' itu, saya menyapa teman-teman yang rumahnya di Semarang. Beberapa dari mereka adalah teman ketika di S2 IKIP Yogyakarta, beberapa lagi teman di kegiatan-kegiatan Dikti dan direktorat yang lain. Saya sms mereka semua: 'Selamat pagi, Semarang. Semoga cerah dan semua sehat, meski gerimis kecil dan kabut tipis menyelimuti kota....'.

Bu Isti membawa kami melintasi Monumen Tugu Muda, Lawang Sewu, dan Simpang Lima. Di tempat yang namanya Simpang Lima itu, dia memarkir mobilnya. Kami bertiga turun dan berjalan-jalan di area yang sepagi ini sudah ramai. Para pesepeda dan pejalan kaki menumpuk. Ya, karena kawasan ini merupakan kawasan yang bebas kendaraan bermotor (car free day) pada setiap minggu pagi.

Kami tidak lama berjalan-jalan di Simpang Lima, hanya sekitar 15 menit. Cukuplah untuk melemaskan otot kaki dan cuci mata melihat keceriaan orang-orang yang sedang mengisi Minggu paginya itu. Mobil kami meluncur ke arah jalan Gajah Mada. Ada yang menarik di sana, lumpia Semarang. Seorang teman mengabarkan, di sana ada lumpia yang namanya lumpia express, yang rasanya enak sekali. 

Hanya dalam waktu beberapa menit saja, kami sudah duduk mengelilingi meja makan di Lumpia Express. Tiga buah lumpia basah dan minuman hangat kami pesan. Benar, lumpianya enak sekali. Ada yang isinya kepiting, ada yang isi ayam dan udang. Andaikata saya hari ini langsung balik ke Surabaya, pasti akan saya bawakan untuk mas Ayik, Arga, dan teman-teman di Surabaya. Tapi sayang, saya harus langsung menuju Pontianak siang ini. Maka cukuplah 6 buah lumpia yang saya bawa. Sekedar bekal di perjalanan nanti.

Kami juga melintasi jalan Pandanaran, pusat oleh-oleh kota Semarang. Ada lumpia, tahu baso, bandeng presto, dan wingko babat. Tapi untuk kali ini, cukuplah lumpia saja.

Selama kami 'kota-kota', teman-teman yang tadi saya sms menelepon saya. Salah satu dari mereka, bu Urip Wahyuningsih (saya memanggilnya mbak Ning), dosen Tata Busana Unnes, meminta saya untuk mampir ke rumahnya. Dia akan menjemput saya di hotel, bersepeda motor, dan setelah itu saya akan dibawanya ke mana pun saya mau. He he. Kebeneran. Saya ingin memanfaatkan sedikit waktu ini untuk bertemu beberapa teman penting. 

Maka meluncurlah saya dan mbak Ning di atas jalanan kota Semarang. Helm yang saya pakai meminjam dari satpam hotel. Saya ingin mengunjungi pak Bagio, teman saya di S2 IKIP Yogyakarta, satu kost juga. Pak Bagio terkena stroke sejak dua belas tahun ini. Setiap kali saya ke Semarang, saya selalu berusaha untuk mengunjunginya. Saya tidak yakin apakah beliau masih mengingat saya, tapi kondisi beliau dan keluarganya seperti memanggil saya untuk datang. Justeru istri pak Bagio yang masih mengingat saya, dan dengan penuh kekaguman saya melihat ketabahannya. Perempuan bertubuh kecil itu begitu ikhlas melayani pak Bagio dan tetap mensyukuri hidupnya yang penuh dengan cobaan.

Saya juga mengunjungi pak Seno. Sama, beliau juga teman semasa sekolah di IKIP Yogyakarta. Beberapa waktu yang lalu, beliau 'kagungan kerso mantu', dan saya tidak bisa datang. Sebuah kado pernikahan untuk putrinya kubawa demi menebus ketidakhadiran saya pada waktu itu.

Lantas sampailah kami di rumah mbak Ning. Rumah yang letaknya seperti di atas bukit itu sudah banyak berubah. Ketika saya datang beberapa tahun yang silam, rumah ini masih asli sebagaimana rumah tipe 36. Yang unik adalah tangga menuju rumah. Mbak Ning dan keluarganya tidak perlu repot-repot mencari waktu berolahraga karena keluar masuk rumahnya yang harus naik turun sebanyak 25-an anak tangga itu sudah merupakan olahraga rutin. Di depan rumahnya yang di atas tanah menjulang itu terhampar bukit-bukit dan kebun yang penuh pepohonan. 

Saya ngobrol dengan anak-anak Mbak Ning. Anak pertamanya sedang di sekolah karena mengikuti kegiatan Pramuka. Anak keduanya, sangat pendiam, hanya sepatah-dua patah kata yang keluar dari mulutnya. Selebihnya adalah waktu untuk laptop-nya. Si kecil, satu-satunya perempuan, masih kelas 4 SD, ramah dan ceria. 

Karena waktunya tidak banyak, saya segera meminum teh manis yang disediakan oleh Mak Jas, pembantu mbak Ning. Sebelum pulang, kuselipkan beberapa lembar uang ratusan ke tangan anak-anak mbak Ning. Ketiga anak itu telah yatim. Bapaknya, mas Joko, teman kami, dosen Unnes Juga, telah meninggal setahun yang lalu karena sakit. Orang baik itu meninggalkan istrinya yang tabah dan ketiga anak-anaknya.     

Kami bergegas berkendara lagi di atas jalanan kota Semarang yang diselimuti mendung. Meski mengejar waktu, sepanjang jalan kami mengobrol. Kadang-kadang dengan setengah berteriak mengimbangi deru kendaraan yang berseliweran di sepanjang jalan yang kami lalui. Siang ini saya akan terbang ke Pontianak. Tentu saja transit di Jakarta. Andra, tim teknis kami, siang ini juga terbang dari Surabaya menuju Jakarta. Kami akan bertemu, dan bersama-sama menuju Pontianak. 

Bersambung....

Wassalam,
LN

Rabu, 29 Agustus 2012

JALAN PANJANG BERLIKU PENDIDIKAN PROFESI GURU

Oleh Luthfiyah Nurlaela, Ketua PPG Unesa

            Pada saat ini, Pendidikan Profesi Guru (PPG) sedang menjadi perdebatan. Kebijakan Mendikbud itu dianggap ‘ngawur’ oleh banyak kalangan, terutama para pemerhati bidang pendidikan, guru-guru, dan juga mahasiswa dan masyarakat. Tidak heran, karena dalam kebijakan tersebut, tersurat bahwa profesi guru terbuka bagi semua lulusan program studi (prodi), kependidikan maupun non kependidikan, asal yang bersangkutan lulus PPG. Aturan ini dinilai sangat tidak adil bagi lulusan LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). Empat tahun proses yang mereka lalui selama pendidikan di LPTK, seperti tidak ada artinya, karena disandingkan dengan lulusan non-LPTK yang juga memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti PPG. Baik dari lulusan LPTK maupun non-LPTK, sama-sama harus menempuh PPG selama 1 atau 2 semester (bergantung prodi PPG yang menjadi pilihanya), bila mereka ingin menjadi guru.
            Guru profesional merupakan guru yang dalam melaksanakan tugasnya mampu menunjukkan kemampuannya yang ditandai dengan penguasaan kompetensi akademik kependidikan dan kompetensi substansi dan/atau bidang studi sesuai bidang ilmunya. Calon guru harus disiapkan menjadi guru profesional melalui pendidikan profesi guru. Menurut Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Sesuai pasal 1 ayat 2 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 8 Tahun  2009 tentang Pendidikan Profesi Guru disebutkan bahwa program Pendidikan Profesi Guru Prajabatan (PPG Prajab) adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan S-1 kependidikan dan S-1/D-IV nonkependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar menguasai kompetensi guru secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan, sehingga dapat memperoleh sertifikat pendidik profesional pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
            PPG sendiri sebenarnya sudah disiapkan sejak lama. Paling tidak sejak tahun 2008/2009, tim PPG Pusat dari Dikti sudah melakukan berbagai kegiatan, mulai menyusun naskah akademik, buku panduan, dan merancang kurikulum. Pada saat itu, fokus persiapan selain untuk PPG Prajab, juga untuk PPG dalam Jabatan (PPG Daljab). PPG Daljab direncanakan untuk segera dilaksanakan dengan salah satu misi mempercepat penuntasan sertifikasi guru. Mempertimbangkan jumlah guru yang belum tersertifikasi dan target penuntasan sertifikasi guru pada tahun 2015, diprediksi target tersebut tidak akan tercapai bila hanya mengandalkan jalur portofolio dan PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru).
Maka pada tahun yang sama, dipaculah LPTK negeri maupun swasta untuk menyusun proposal penyelenggaraaan PPG. Berbagai komponen yang harus ada dalam proposal antara lain adalah izin penyelenggaraan prodi yang dikeluarkan oleh Dikti, bukti akreditasi prodi (minimal harus terakreditasi B), rancangan kurikulum PPG yang diusulkan,  SDM (minimal 2 doktor dan 4 magister), rasio jumlah dosen dan mahasiswa, dan sebagainya, termasuk sarana prasarana dan keberadaan Unit PPL serta jaringan kemitraan dengan sekolah. Visitasi dalam rangka verifikasi lapangan pada semua prodi yang mengajukan proposal dilakukan pada menjelang akhir tahun 2009, dengan melibatkan asesor dosen-dosen LPTK yang dinilai berkompeten dan memang sudah terlibat sejak awal penyiapan program PPG. Serangkaian workshop penyusunan Buku Pedoman PPG, Kurikulum PPG, dan Perangkat Workshop dan Asesmen, juga dilaksanakan, baik secara lokal oleh masing-masing LPTK maupun secara nasional dengan Dikti sebagai penyelenggaranya.
            Berdasarkan hasil penilaian proposal dan visitasi, maka diterbitkanlah Keputusan Menteri Pendidikan Nasional (Kepmendiknas) Nomer 126/P/2010 tentang LPTK Penyelenggara PPG dalam Jabatan. Ada sebanyak 56 LPTK negeri dan swasta di seluruh Indonesia yang dinilai layak sebagai penyelenggara PPG Daljab. Dalam kepmendiknas tersebut juga sudah ada penetapan kuota untuk peserta PPG tahun 2010, 2011, dan 2012, yaitu sejumlah 13020 peserta/tahun.
            Menanggapi kepmendiknas tersebut, maka semua LPTK yang telah ditetapkan sebagai penyelenggara PPG berbenah. Dikti juga mengucurkan sejumlah dana pada LPTK untuk revitalisasi PPG. Dana tersebut dialokasikan untuk penyiapan kurikulum, perangkat pembelajaran, pengadaan buku-buku referensi,  dan sistem penjaminan mutu PPG. Setiap prodi juga menyusun Buku Pedoman PPG Daljab dengan memanfaatkan dana tersebut. Sosialisasi PPG Daljab dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media dan forum, baik melalui website masing-masing LPTK, mengirimkan pemberitahuan kepada dinas pendidikan kabupaten/kota dan bahkan langsung ke sekolah-sekolah, juga mengundang kepala dinas dan guru-guru khusus dalam rangka sosialisasi PPG, dan sebagainya.
            Pada saat itu, Dikti mengalokasikan juga sejumlah dana untuk membantu biaya pendidikan peserta, yang jumlah nominalnya telah dihitung dan disepakati bersama-sama dengan LPTK Penyelenggara PPG.  Namun kepastian tentang dana tersebut tidak kunjung datang sampai akhir tahun 2010. Maka berbagai kegiatan persiapan yang telah dilakukan LPTK seperti tak berarti, meskipun optimisme tetap ada, bahwa PPG akan dilaksanakan tahun 2011. Puluhan pertanyaan seputar kapan pendaftaran PPG, apa persyaratannya, kapan dilaksanakan, dan seterusnya terlontar dari berbagai pihak, terutama guru-guru. Namun yang bisa dijawab oleh LPTK adalah bahwa PPG yang sedianya akan dilaksanakan pada tahun 2010 itu ditunda, mungkin dimulai tahun 2011.
            Pada tahun 2011, terbitlah Kepmendiknas Nomer 052/P/2011 tentang Perubahan atas Kepmendiknas Nomer 126/P/2010 tentang LPTK Penyelenggaran PPG Dalam Jabatan. Tidak ada yang berbeda dari kepmen tersebut, kecuali tahun untuk kuota PPG Daljab, yaitu untuk tahun 2011, 2012, dan 2013. Jumlah LPTK Penyelenggara PPG daljab dan jumlah kuota peserta sama dengan kepmen sebelumnya.
            Dengan semangat baru, LPTK kembali melakukan berbagai kegiatan persiapan dan sosialisasi. Pada saat itu diinformasikan bahwa PPG Daljab mungkin akan dilaksanakan pada Maret 2011.Ternyata sampai pada akhir Maret, belum juga ada kepastian, begitu juga pada bulan-bulan selanjutnya. Hingga pada minggu kedua Agustus, Dikti mengumumkan adanya perekrutan PPG Daljab, yang pendaftarannya secara online melalui SIM-PPG pada laman http://ksg.dikti.go.id/ppg. Bahkan pada saat itu pun, kepastian tentang beasiswa PPG belum ada kejelasan, namun LPTK didorong untuk membuka pendaftaran. Beberapa LPTK menyambut himbauan itu dengan bersemangat, mereka gencar melakukan sosialisasi agar banyak guru yang mendaftarkan diri. Sebagian LPTK menanggapi dengan setengah hati, melakukan sosialisasi dan rekrutmen dengan semangat yang biasa-biasa saja. Pendaftaran itu dibuka sampai minggu kedua November, dan seleksi administrasi serta seleksi akademik dilaksanakan pada minggu-minggu berikutnya. Pelaksanaan PPG Daljab direncanakan pada minggu pertama Desember 2011.
            Pada saat itu, Dikti juga meluncurkan program yang lain, yaitu SM-3T (Sarjana mendidik di Daerah Terdepan, tertinggal, dan Terluar), program S1 KKT (S1 Kependidikan dengan Kewenangan Tambahan), program PPGT (Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi), dan beberapa program yang lain. Program yang diluncurkan menjelang penghujung tahun. Konon, karena dana yang digunakan adalah dana APBN-P, sehingga kepastian cairnya selalu menjelang tahun anggaran tutup. Maka hampir semua LPTK yang ‘ketiban sampur’ untuk melaksanakan program itu benar-benar ‘kepontal-pontal’. Hanya beberapa LPTK yang akhirnya bisa melaksanakan PPG Daljab, dengan menarik lebih dulu biaya pendidikan dari peserta PPG, dan biaya itu dijanjikan akan dikembalikan bila beasiswa dari Dikti telah cair.
            Tahun 2012 memberi harapan baru untuk penyelenggaraan PPG Daljab. Kabar terbaru menginformasikan bahwa dana PPG di-DIPA-kan ke LPMP melalui Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDM-PMP), artinya tidak lagi melalui Dikti seperti tahun-tahun sebelumnya. Maka LPTK-pun kembali berbenah dengan semangat tinggi. Di Jawa Timur, LPTK Penyelenggaran PPG sebanyak 8 perguruan tinggi (Unesa, UM, Unej, Unipa, Unmuh Malang, Unisma Malang , IKIP PGRI Madiun, dan Universitas Nusantara PGRI Kediri). Kedelapan perguruan tinggi tersebut menghimpun diri, berunding di bawah koordinasi LPMP Jawa Timur, dan membentuk Forum Pelaksana PPG Jawa Timur. Berbagai kesepakatan diperoleh dalam pertemuan pada pertengahan Januari 2012 tersebut, termasuk penetapan beasiswa untuk setiap peserta PPG. Direncakan pendaftaran PPG akan dimulai pada Februari-Maret 2012.
            Namun, setelah menunggu dengan penuh harapan, tiba-tiba Kepala LPMP menginformasikan bahwa dana yang sedianya untuk penyelenggaraan PPG Daljab dialihkan untuk pelaksanaan UKA (Uji Kompetensi Awal). Padahal, sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya, semua LPTK telah melakukan persiapan dan sosialisasi sedemikian rupa, dengan memberikan keyakinan bahwa PPG Daljab akan segera dilaksanakan. Apa boleh buat. Maka untuk yang kesekian kalinya, LPTK, lagi-lagi, harus menjawab puluhan bahkan ratusan pertanyaan tentang penyelenggaraan PPG dengan satu kata kunci: ditunda. Sampai kapan? Tidak ada yang bisa memastikan. Berkaca pada pengalaman-pengalaman sebelumnya, memang sebaiknya, tidak perlu memberi kepastian.
            Sejak tahun 2011, Dikti meluncurkan program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia , salah satunya adalah program SM-3T. Program SM-3T ditujukan kepada para Sarjana Pendidikan yang belum bertugas sebagai guru, untuk ditugaskan selama satu tahun pada daerah 3T. Program SM-3T dimaksudkan untuk membantu mengatasi kekurangan guru, sekaligus mempersiapkan calon guru profesional yang tangguh, mandiri, dan memiliki sikap peduli terhadap sesama, serta memiliki jiwa untuk mencerdaskan anak bangsa. Program ini merupakan Program Pengabdian Sarjana Pendidikan untuk berpartisipasi dalam percepatan pembangunan pendidikan di daerah 3T selama satu tahun sebagai penyiapan pendidik profesional yang akan dilanjutkan dengan Program Pendidikan Profesi Guru.
            SM-3T seperti mengobati luka kecewa karena ‘gagal’nya PPG Daljab yang sudah ‘digadang-gadang’ bertahun-tahun. Lepas dari apakah ini merupakan program tiruan dari ‘Indonesia Mengajar’-nya Anis Baswedan, harus diakui bahwa program SM-3T memberi kemanfaatan yang luar biasa, tidak hanya bagi pemerintah daerah 3T yang memang kondisi pendidikannya sangat memprihatinkan; namun juga bagi para sarjana pengabdi tersebut.  Berbagai tantangan dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan yang harus dihadapi oleh para sarjana, dalam segala keterbatasan sarana prasarana, daya dukung masyarakat dan sekolah yang sangat rendah, di antara perbedaan latar belakang kultur dan agama; menjadikan mata mereka terbuka lebar, kepedulian dan ketangkasan terasah, dan kemampuan memecahkan masalah semakin terbangun. Bekal sebagai guru profesional benar-benar mereka peroleh secara langsung, nyata, seringkali harus ‘berdarah-darah’, dan semuanya mereka hayati sebagai bagian dari proses menuju cita-cita sebagai guru yang profesional.
            Melihat begitu besar manfaat SM-3T dalam rangka mengembangkan guru yang profesional, maka sejak tahun 2012 ini, Dikti mengeluarkan kebijakan bahwa perekrutan peserta PPG Prajab adalah melalui SM-3T. Program ini hanya untuk lulusan prodi pendidikan dengan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain IPK; lulus tes administrasi, tes akademik, dan tes wawancara; dan berbagai persyaratan lain, termasuk pengalaman keorganisasian selama menjadi mahasiswa.
            Kebijakan ini tentu saja menjaga ‘kredibilitas’ LPTK. Bahwa profesi sebagai guru seharusnyalah diemban oleh mereka yang memang dari awal sudah dipersiapkan sebagai guru. Sebagaimana profesi-profesi yang lain; dokter, pengacara, notaris, akuntan, dan sebagainya, yang tidak setiap orang bisa memasukinya. Bahwa PPG merupakan upaya pemerintah untuk ‘memuliakan’ profesi guru. Bahwa pendidikan yang ditempuh selama empat tahun masa kuliah adalah pendidikan akademik, dan untuk menjadi guru, seseorang harus menempuh pendidikan profesi (PPG). Sama halnya sarjana akuntansi yang tidak bisa secara otomatis menjadi akuntan, sarjana hukum yang tidak bisa secara langsung disebut pengacara, notaris, dan sebagainya; melainkan mereka harus menempuh pendidikan profesi lebih dulu.
            Namun di sisi lain, kebijakan yang memungkinkan peserta PPG bisa berasal dari sarjana nonpendidikan, seolah bertentangan dengan upaya ‘pemuliaan’ guru itu sendiri. Memang ada perbedaan persyaratan antara sarjana pendidikan dan nonpendidikan dalam mengikuti PPG Prajab. Sarjana nonpendidikan harus menempuh matrikulasi bidang kependidikan sebelum mengikuti PPG, sedangkan sarjana pendidikan tidak dikenakan persyaratan tersebut. Selebihnya sama. Kurikulum, masa pendidikan, proses pendidikan, dan sebagainya, tidak ada perbedaan.
            Pertanyaannya: bagaimana mungkin proses panjang selama sekitar delapan semester menempuh pendidikan disejajarkan hanya dengan paling lama  satu semester kegiatan matrikulasi? Bukankah proses membentuk kompetensi guru yang profesional itu memerlukan waktu yang panjang, dan oleh sebab itu sudah harus dimulai sejak awal semester dalam delapan semester tersebut? Tidak sekedar lulus beberapa matakuliah matrikulasi dan bisa melakukan praktek mengajar secara instan?  Lantas apa gunanya LPTK bila pada akhirnya siapa pun bisa menjadi guru, hanya dengan menempuh pendidikan profesi selama satu atau dua semester?
            Dalam Naskah Akademik PPG sendiri dinyatakan, kompetensi guru merupakan sesuatu yang utuh, sehingga proses pembentukannya tidak bisa dilakukan secara instan, karena guru merupakan profesi yang akan menghadapi individu-individu, yakni pribadi unik yang mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang. Tuntutan untuk menghasilkan guru yang profesional mengharuskan LPTK penyelenggara memiliki visi yang jelas dengan dilandasi prinsip good governance dan memiliki kapasitas yang menjamin keprofesionalan lulusannya. Dengan demikian, kualitas input menjadi sangat penting untuk menegakkan prinsip good governance, selain kualitas SDM, sarana prasarana, dan sebagainya. Namun dengan kebijakan terkait dengan input PPG seperti saat ini, mungkinkah?
            Di sisi lain, kita harus menyadari bahwa saat ini di Indonesia terdapat lebih 200 LPTK negeri dan swasta dalam berbagai bentuk dan tersebar di seluruh Indonesia , yang pemetaannya belum sepenuhnya dilakukan secara detil. Terjadi disparitas kualitas, rentangan kualitas LPTK-LPTK tersebut sangat lebar, ditambah lagi sebarannya yang tidak merata. PPG merupakan salah satu jalan keluar untuk mengendalikan mutu guru yang dihasilkan dari semua LPTK tersebut.
Lebih jauh, perkembangan bidang-bidang pengetahuan dan keahlian yang cukup pesat juga menuntut tersedianya tenaga guru yang kompeten pada bidangnya. Masih banyak bidang-bidang di mana guru-gurunya belum dihasilkan oleh LPTK. Beberapa contohnya adalah pada bidang kejuruan, misalnya pertanian, peternakan, perkapalan, perhotelan dan pariwisata, dan sebagainya; sampai saat ini belum ada satu pun LPTK yang menghasilkan guru-guru dalam bidang tersebut. Maka PPG menjadi salah satu jalan keluar, di mana sarjana pada bidang-bidang tersebut dimungkinkan untuk menjadi guru, mengisi kebutuhan dalam bidang-bidang yang relevan, dengan lebih dulu menempuh PPG.
LPTK perlu didorong untuk membuka program studi baru sesuai dengan tuntutan perkembangan pendidikan di lapangan. Mengingat ada cukup banyak persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengajukan usulan pendirian program studi baru, salah satunya adalah ketersediaan SDM dosen yang memiliki latar belakang pendidikan yang linier dengan prodi yang akan diusulkan (tentu saja untuk bidang-bidang yang dicontohkan di atas, persyaratan ini tidak mudah dipenuhi), maka perlu strategi khusus dalam pengembangan SDM perguruan tinggi.  Selain itu, kerjasama dengan praktisi dalam bidang-bidang yang akan dikembangkan, juga menjadi tuntutan mutlak. Dengan demikian diharapkan, ke depan, bidang apa pun ada LPTK-nya. Guru bidang perkapalan dihasilkan oleh Prodi Pendidikan Teknik Perkapalan, bidang perhotelan dihasilkan oleh Prodi Pendidikan Perhotelan, dan sebagainya. Selama bidang-bidang tersebut tidak ada LPTK-nya, maka PPG mungkin akan tetap menjadi jalan keluar terbaik.

Surabaya, 29 Agustus 2012

Minggu, 26 Agustus 2012

Reuni IKASMADA Tuban

Foto bersama sahabat lama.
Rabu, 22 Agustus 2012

Reuni dan halal bi halal Smada Tuban. Diawali dengan senam aerobik pada sekitar pukul 06.00. Lanjut jalan sehat. Selesai sekitar 08.00.

Reuni ini diikuti oleh  angkatan 1982-2012. Tiga puluh tahun. Angkatan tertua sampai angkatan termuda terwakili. Berkostum kaus berwarna ungu. Bergembira ria bersama. Ada panggung hiburan yang diisi acara bebas untuk setiap angkatan. Hampir semua angkatan menampilkan lagu-lagu. Dangdut, pop, campursari. Ada juga hiburan pantomim yang lucu dan asyik. Puluhan door prize ikut melengkapi kemeriahan acara.

Konsep acara dibuat cukup unik. Nyaris tidak ada acara ceremonial. Hanya ada panggung di tengah halaman SMA 2 yang cukup luas itu, yang dipayungi dengan tenda kecil. Tidak banyak kursi-kursi yang dipasang. Sebagai gantinya adalah tikar-tikar plastik, termasuk bekas spanduk, digelar di sudut-sudut taman. SMA 2 memang merupakan salah satu sekolah yang menerima penghargaan nasional sebagai sekolah adiwiyata tahun 2012, maka tidak heran kalau halaman sekolah dan lingkungannya penuh dengan taman-taman dan pepohonan yang rimbun. Di bawah rerimbunan pohon-pohon itulah para alumni duduk bergerombol, sesuai dengan angkatannya masing-masing. 

Di sekeliling halaman, sejak pintu masuk sampai di ujung halaman, terhampar meja-meja yang memamerkan berbagai produk dari setiap angkatan. Ada yang menampilkan makanan khas Tuban, batik Tuban, kerajinan,  es siwalan, es tebu, kaus dan berbagai busana yang lain. Di salah satu sudut aula juga dipamerkan berbagai karya fotografi dari alumni. Di sudut yang lain lagi, banner-banner yang memberikan informasi tentang berbagai kegiatan yang sudah dilakukan IKASMADA, terpasang rapi dan menarik.

Dua orang pembawa acara, cowok dan cewek, 'berkicau' sejak pagi untuk mencairkan suasana. Mereka masih muda, mungkin belum lulus SMA, tapi kelihatannya sudah sangat berepengalaman membawakan acara. Pembawaanya rileks, lucu, dan seperti tidak pernah kehabisan ide untuk membuat suasana senantiasa cair dan ramai.

Foto narsis deh. Hehehe...
Satu-satunya acara yang agak ceremonial adalah ketika mas Agus Maimun, ketua IKASMADA, alumnus 1992, memberikan sambutan. Itu pun dia meminta saya mendampingi dia. Mungkin karena saya sebagai anggota dewan penasehat di organisasi IKASMADA, atau karena saya dianggap pantas untuk mewakili angkatan tertua (angkatan 85, angkatan saya, adalah lulusan pertama SMADA), atau karena saya guru besar (kelihatannya gelar profesor ini merupakan daya tarik tersendiri, meskipun sebenarnya itu bukan sesuatu yang terlalu istimewa); atau karena ketiga-tiganya. Ketika memberi sambutan pun, mas Agus membawakannya dengan sangat santai, jauh dari kesan formal; dengan sesekali meminta saya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pembawa acara. Jadi sambutan itu lebih seperti talk show. Bagus, bagus sekali kemasannya.

Di antara berbagai macam acara itu, digelar juga kegiatan donor darah. Ratusan alumni bergantian menyediakan dirinya untuk diambil darahnya oleh para petugas PMI. Benar-benar acara yang komplit.

Saya sendiri sangat menyukai acara-acara reuni seperti ini. Bertemu dengan teman-teman lama yang sekarang sudah banyak yang berubah bentuk tubuh dan wajahnya. Ada yang dulu rambutnya tebal, sekarang jadi botak. Ada yang dulu posturnya kecil dan pendek, tahu-tahu sekarang jadi tinggi besar. Ada yang dulu putih bersih, cakep, menjadi idola banyak cewek, sekarang jadi hitam dan perutnya buncit. Ada yang dulu imut-imut, sekarang amit-amit karena 'bemper'nya berubah jadi besar (termasuk saya....hehe).


Lesehan bareng di halaman sekolah.
Menjelang acara usai, kami juga sempat mengunjungi teman seangkatan kami yang sakit. Namanya Sarno. Seorang tamtama ABRI yang sudah sekitar tiga tahun tidak bertugas karena stroke. Mengharukan sekali pertemuan kami dengan Sarno. Seorang teman kami, Kasuri, berpangkat kolonel (saat ini sedang promosi bintang satu), menjabatnya dan memompa semangat Sarno dengan gaya khas perwira. Sangat khas, sangat memotivasi. Mengharukan melihat Sarno yang hormat dengan tangan kirinya, dan direspon dengan sangat simpatik oleh Kasuri. Kami pulang setelah menyerahkan sejumlah dana yang diambil dari kas alumni angkatan 85, untuk membantu pengobatan Sarno. Kasuri juga memberikan beberapa lembar ratusan ribu rupiah, dan menggenggamkan uang itu ke tangan Sarno. 

Foto bareng teman lama.

Kami kembali ke SMA 2, karena beberapa mobil kami masih parkir di halamannya. Bertemu lagi dengan panitia yang sedang berkemas dibantu oleh teman-teman yang lain. Dua teman seangkatan kami yang menjadi tim sibuk, adalah Esa dan Suryadi, sedang mengemasi barang-barang.  Kami berfoto-foto lagi sebentar, dan berpisah dengan perasaan senang dan lega. Bahagia sekali bisa sejenak bersama-sama dengan teman-teman lama....

Wassalam,
LN

Selasa, 21 Agustus 2012

Di Ujung Ramadhan

Pagi masih gelap dan dingin.
udara sejuk menembus kulit menemani kami pulang dari Masjid Nurul Huda, masjid dekat rumah kami. Hampir setiap pagi selepas sahur, kami mengikuti jamaah sholat shubuh di masjid tersebut.

Ini adalah shubuh terakhir pada Ramadhan ini. Ada perasaan syahdu yang melingkupi hati ketika kaki-kaki kami menapaki jalan-jalan yang sepi. Perasaan syahdu yang jauh lebih syahdu dibanding hari-hari biasa. Rasanya waktu untuk kehilangan itu semakin dekat. Ada di pelupuk mata. Kehilangan Ramadhan. Saat yang di setiap detiknya serasa seperti mengandung berkah. Kedamaian yang luar biasa di setiap helaan nafas.

Tadi malam, imam sholat tarawih di mushola sebelah rumah, tempat kami mengikuti jamaah tarawih setiap malam Ramadhan, sudah menangis sejak pada rakaat pertama. Suaranya terputus-putus melafalkan ayat-ayat suci Al-Quran. Kadang kami harus menunggu suaranya terdengar lagi setelah berhenti beberapa detik. Kami semua lebih banyak terpekur dalam kebisuan. Dengan hati yang berdzikir. Dengan sudut mata yang basah. Dengan tangis yang tertahan dan menyesakkan dada. Bahkan ketika memberikan kultumnya, imam kami itu hanya menyampaikan dua-tiga kalimat. Memohon maaf kepada para jamaah, menyampaikan rasa kehilangannya pada Ramadhan, dan berdoa supaya Allah memanjangkan usia kita semua agar bertemu dengan Ramadhan yang akan datang. Selebihnya, adalah isak tangis. Sehingga seseorang harus menggantikannya untuk membacakan doa menjelang sholat witir. Sungguh, betapa terasa berat hati ini untuk berpisah dengan Ramadhan yang indah.

Bagi kami, Ramadhan tahun ini terasa sangat berbeda. Pada tahun-tahun yang lalu, kami mengisi Ramadhan dengan bisnis kue kecil. Bertahun-tahun kami menjalankan bisnis itu, sejak tahun 96-an. Langganan kami sudah lumayan banyak, sampai ke kota Ponorogo, Madiun, Malang, Probolinggo, Pasuruan, Blitar, Bojonegoro, Babat, Tuban, dan sebagainya. Kami punya banyak kenalan supir dan kondektur bus yang setiap tahun kami minta tolong untuk 'kirim barang' ke berbagai tempat tujuan tersebut. Di terminal tempat tujuan, pelanggan kami sudah menunggu barang kiriman kami. Praktis, hemat, dan menguntungkan. Ada juga pelanggan yang langsung datang ke rumah dengan membawa mobilnya  untuk mengangkut barang berupa kue-kue itu. Tetangga kiri-kanan juga sudah menjadi langganan kami. Di awal Ramadhan, mereka sudah pesan berbagai macam kue, dan pesanan itu akan mereka ambil menjelang akhir Ramadhan, untuk dibawa sebagai oleh-oleh bagi sanak keluarga ketika mudik. Begitu juga teman-teman di kampus. Dari cleaning service, karyawan, dosen-dosen muda sampai guru besar, telah menjadi langganan kami bertahun-tahun. Beberapa mahasiswa juga kulakan barang ke kami untuk dijualnya lagi di berbagai tempat. Bisnis yang sangat menyenangkan. 

Tapi pada Ramadhan tahun ini, kami sudah berniat untuk tidak jualan. Ada beberapa alasan. Pertama, kontinyuitas barang yang tidak stabil dari pabriknya. Oya, kami mengambil barang berupa macam-macam kue itu dari PT. Jacob Biscuit, perusahaan roti tempat mas Ayik bekerja. Ketidakstabilan stok barang itu sudah mulai kami rasakan sejak setahun dua tahun yang lalu. Produksi tidak kontinyu, itu pun jumlahnya terbatas. Sementara kami sudah terlanjur menerima banyak pesanan dari para pelanggan. Akibatnya, banyak pesanan yang tidak bisa kami penuhi. Tentu saja, banyak pelanggan yang kecewa. Alasan kedua, mungkin kami sudah mulai capek. Beberapa minggu sebelum Ramadhan tiba, kami selalu sudah mulai kulakan barang. Ratusan dus memenuhi rumah kami yang kecil itu. Waktu Arga masih kecil, dia suka main perang-perangan dengan teman-temannya, dengan menjadikan tumpukan dus kue itu sebagai markas atau benteng pertahanannya. Ketika Arga sudah mulai remaja, dia membantu mengangkut dan menata dus-dus itu di dalam mobil para pelanggan yang datang, atau di dalam mobil kami untuk dibawa ke terminal atau diantarkan langsung ke pelanggan. Dia mengantongi sejumlah uang sebagai 'upah kerja'nya dengan cara seperti itu. Aktivitas itu bisa kami lakukan kapan saja. Selepas sahur sampai menjelang shubuh, selepas buka puasa sambil menunggu waktu tarawih, dan selepas tarawih sampai menjelang tengah malam atau bahkan menjelang sahur. Ibadah rasanya jadi tidak 'jenak'. Tadarus hanya sebagai syarat saja, selembar-dua lembar cukuplah. Shubuh di masjid jarang bisa kami lakukan karena harus buru-buru ke terminal mengantarkan barang. Sepulang dari terminal seringkali sudah ditunggu para pelanggan yang akan mengambil barang dagangannya. Waktu seperti tidak pernah cukup. Bahkan sepulang dari umroh tahun lalu pun, kami masih sempat menjalankan bisnis itu pada dua tiga minggu menjelang lebaran. Rasanya 'eman-eman' membuang kesempatan.  Rejeki memang mengalir deras, tapi kami merasa ada banyak hal yang hilang. Hal inilah yang menjadi alasan ketiga kenapa kami memilih tidak jualan lagi tahun ini. Kami ingin punya lebih banyak waktu untuk beribadah, melaksanakan puasa Ramadhan dengan segala keutamaannya.

Ternyata memang Allah SWT sudah mengatur semuanya dengan sangat rapi. Pilihan kami untuk tidak jualan membawa hikmah. Bapak jatuh sakit. Sempat beberapa hari opname di rumah sakit. Keluar dari rumah sakit, bapak harus menjalani terapi. Kami dengan adik-adik bergantian menunggui dan mengantarkan bapak melakukan terapi. Ibu yang juga sudah sepuh dan menderita osteoporosis sudah tidak mungkin lagi melakukan semuanya sendiri. Bahkan ibu juga sempat jatuh sakit di saat-saat bapak harus menjalani terapi. Pernah beberapa kali, kami mengantarkan bapak terapi, bersamaan dengan ibu yang juga harus menjalani terapi.

Dalam situasi seperti itu, saya dan mas Ayik merasa sangat bersyukur karena memutuskan untuk tidak jualan pada ramadhan ini. Bayangkan kalau kami tetap jualan, betapa banyak waktu yang harus tersita untuk melayani pelanggan. Sebaliknya, betapa kami jadi tidak punya banyak waktu untuk mendampingi bapak ibu. Dalam kondisi seperti ini, kehadiran dan dukungan kami benar-benar menjadi sangat penting untuk membantu kesembuhan dan pemulihan kesehatan bapak ibu.

Maka di antara hari-hari selama Ramadhan ini, di sela-sela tarawih dan tadarus kami, kami menghabiskan waktu bersama bapak ibu. Bergantian dengan adik-adik. Ketika bapak masih opname, kadang-kadang kami melakukan buka puasa dan makan sahur di rumah sakit. Sering juga saya buka dan makan sahur sendirian karena mas Ayik harus menemani Bapak Ibu, sementara saya menunggui Arga yang mungkin swaktu-waktu pulang dari tempat kost-nya. Bila adik-adik yang menunggu bapak dan ibu, kami bisa menjalankan aktivitas buka puasa, tarawih, tadarus, sahur, dan berjamaah sholat shubuh ke masjid, bersama-sama.

Seperti saat ini. Dedi, adik bungsu kami, dari kemarin menunggu bapak ibu di rumah Tanggulangin. Kami bisa bersama-sama berbuka puasa, tarawih, makan sahur dan pergi ke masjid untuk sholat shubuh berjamaah. Buka puasa, tarawih, sahur, dan shubuh terakhir di ujung ramadhan ini.

Sakit yang dianugerahkan Allah kepada bapak membuat kami semua merasa lebih menghargai waktu. Keikhlasan dalam mendampingi bapak ibu insyaallah akan menjadi bonus istimewa untuk menambah kualitas ibadah kami. Sakit bapak juga membuat kami menjadi lebih kompak, bahu-membahu untuk mendukung bapak ibu secara lahir dan batin. Menghayati detik demi detik yang kami lalui menjadi lebih berarti dan tidak sia-sia.

Tak ayal, saat-saat di mana Ramadhan jelas-jelas akan pergi dari hadapan kami, begitu menyedihkan hati kami. Mas Ayik pulang dari tarawih tadi malam dengan mata sembab. Selepas shubuh pun dia menangis dan memeluk saya erat dengan dada berguncang menahan isak. Entah kenapa, pada situasi-siatuasi tertentu, mas Ayik menjadi begitu cengeng. Lebih cengeng dari perkiraan saya. Saya berusaha memahami situasi batinnya. Beban pikiran karena sakit bapak, sekaligus kesedihan karena akan segera ditinggalkan oleh Ramadhan, membuat hatinya pilu. Saya menghiburnya sembari mengingatkan dia untuk segera bersiap-siap. Pagi ini adalah giliran kami untuk mengantarkan bapak dan ibu menjalani terapi. Dedi pasti sedang memandikan bapak dan mengganti pakaiannya. Ketika kami datang nanti, bapak dan ibu pasti sudah siap untuk bersama kami ke tempat terapi.

Maka meluncurlah kami di atas jalan tol yang masih lengang. Menuju Tanggulangin. Udara sejuk sesejuk hati kami. Sebongkah rasa syukur menyelinap. Atas semua nikmat dan anugerah. Atas semua kemurahan dan kasih sayang-Nya. Di ujung Ramadhan ini. Semoga sampai di ujung ramadhan-ramadhan yang akan menjelang. Amin.

Sabtu, 18 Agustus 2012

Wassalam,
LN

Sabtu, 18 Agustus 2012

Episode Baru bagi Bapak

Menyuapi bapak makan bubur.
Siang ini, setelah delapan hari opname di RSUD Sidoarjo, bapak diperbolehkan pulang. Sesuai janji dokter yang merawat beliau, kalau bapak sudah bisa duduk, bapak boleh pulang. Kemarin bapak sudah mulai latihan duduk, dan berhasil, tentu saja tetap dengan bantuan. Kaki dan tangan kanan beliau yang lemah-lunglai karena terkena stroke, sangat sulit digerakkan, belum memungkinkan beliau untuk menggerakkan tubuh dari posisi berbaring ke posisi duduk.

Bapak saat ini berusia 78 tahun. Beliau tipe orang yang sangat sabar dan 'nriman'. Pensiunan pegawai BRI ini memiliki falsafah hidup 'urip iku kudu jujur.' Meskipun 'orang bank', Bapak anti hutang. Hutang hanya akan membuat hidup susah. Karena prinsipnya itu, keluarga bapak menjadi 'kontraktor' bertahun-tahun, dan baru memiliki rumah sendiri setelah anak-anak besar.

Tiga anak Bapak semua laki-laki. Anak pertama, Baskoro Adjie (mas Ayik), adalah suami saya. Anak kedua, Santanu Bayu Adjie (Iwuk), tinggal di Perum Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) 2, satu blok dengan tempat tinggal Bapak dan Ibu. Putra ketiga, Dimas Prono Adjie (Dedi), bekerja di Balikpapan, sementara istri dan seorang anak laki-lakinya tinggal di Perum Griya Permata Gedangan.

Sebenarnya Bapak dan Ibu asli dari Ponorogo. Tapi karena sudah sepuh, dan semua anak-anak ada di Surabaya dan sekitarnya, Bapak dan Ibu kami boyong ke perum TAS Tanggulangin. Sebuah rumah kecil yang cukup asri yang letaknya di ujung blok, kami beli tahun 2007. Pada saat membeli rumah itu, kami hanya berpikir untuk investasi. Tapi belakangan, rumah itulah yang menjadi tempat tinggal Bapak Ibu di masa senjanya. Tentu saja setelah sekitar setahun kami, anak-anaknya, membujuk-bujuk beliau untuk bersedia diboyong. Alhamdulilah, dengan izin Allah SWT, pada Februari 2008, beliau berdua berkenan untuk diboyong, tapi tetap ingin menempati rumah sendiri, namun dekat dengan anak-anak.

Setahun setelah Bapak Ibu pindah di Tanggulangin, yaitu pada tahun 2009, Allah berkenan memanggil kami berempat ke Tanah Suci. Tentu saja hal ini merupakan kebahagiaan yang luar biasa, beribadah haji bersama orang tua. Ujian kesabaran yang tidak ringan juga, mengingat Bapak dan Ibu yang sudah sepuh dan harus banyak dilayani; namun alhamdulilah, semua berjalan dengan lancar dan mudah. Pada usia Bapak yang sudah 75 tahun, dan Ibu 67 tahun, semua 'prosesi' ibadah haji dilakukan lengkap oleh beliau berdua, tanpa bantuan kursi roda, atau harus diwakilkan. Thawaf, sa'i, melempar jumroh, dan sebagainya, semua dilakukan sendiri oleh Bapak dan Ibu dengan baik dan lancar.

Bapak penyuka musik. Dalam usianya yang sudah uzur itu, Bapak masih main gitar, meniup flute dan kadang-kadang memainkan saxophone. Giginya yang sudah habis membuat tiupannya menjadi 'ngeses'. Pada waktu-waktu tertentu, kalau ada adik-adik Bapak yang juga penyuka musik datang berkunjung ke rumah, Bapak bersama mereka bermain musik. Adik suami saya, Iwuk, ikut bergabung. Selain suaranya yang lumayan bagus, juga karena dia bisa memainkan macam-macam alat musik. Istri Bayu, namanya Diah, juga ikut menyanyi. Suaranya bagus dan dia sepertinya bisa menyanyikan lagu apa pun.  Pada kesempatan itu juga, kadang kami mendatangkan grup musik langganan kami. Maka mengalunlah musik keroncong, campursari, pop, jazz, dan juga musik dangdut, di rumah kami. Tetangga-tetangga dan teman-teman dekat juga datang untuk 'ngguyubi'. Saya dan ibu sibuk menyiapkan makanan untuk melengkapi acara suka ria itu.

Begitu senangnya Bapak pada musik, membuat kebanggaannya pada cucu pertamanya, Arga, yang kuliah di Seni Musik, begitu luar biasa. Kami seringkali merasakan, kebanggaan Bapak kadang terlalu berlebihan. Kebanggaan seorang kakek pada cucunya, yang 'digadang-gadang' bisa meneruskan 'profesi'nya di bidang musik. Kami sebagai orang tua Arga seringkali merasakan, kebanggaan Bapak pada cucunya bahkan melebihi kebanggaan kami sebagai orang tua kepada anaknya.

Sebelum serangan stroke pada Ramadhan ini, bapak termasuk orang yang jarang sakit. Paling-paling hanya flu atau pusing. Memang waktu masih usia 40-an dulu, Bapak pernah sakit liver. Waktu itu saya belum menjadi anggota keluarga Bapak, mengenal mas Ayik saja belum. Konon sakit Bapak cukup parah, sempat opname selama sebulanan di rumah sakit, namun alhamdulilah bisa sembuh total. Pernah juga Bapak terkena TBC, beberapa tahun setelah pensiun, namun dengan pengobatan yang intensif, Bapak dinyatakan sembuh. Bapak terkena TBC bukan karena Bapak perokok, tapi karena hobi fotografinya. Beliau sering berada berlama-lama di kamar gelap untuk melakukan proses afdruk foto. Bahan kimia untuk pencucian foto itulah yang meracuni paru-parunya. Sakit bapak selebihnya adalah flu dan pilek. Itu pun jarang sekali.

Bapak suka beraktivitas, terutama membersihkan rumah dan halaman. Rumput-rumput dan tanaman di sekitar rumah menjadi sasaran untuk mengisi aktivitas bapak pagi dan sore. Bapak juga rajin sholat malam, hampir setiap malam beliau bangun dan bersujud. Bapak juga berjamaah sholat shubuh di masjid dekat rumah. Setiap bulan sekali, Bapak dan Ibu juga mengikuti pertemuan Pensiunan BRI. Sementara setiap tiga bulan sekali, bersama kami, Bapak dan Ibu menghadiri pertemuan arisan teman-teman rombongan haji. Karena aktivitasnya itu, Bapak dan Ibu memiliki banyak teman. Belum lagi tetangga kiri-kanan yang juga sangat baik serta menghormati beliau berdua, yang mereka anggap sebagai salah satu sesepuh di lingkungan perumahan itu.

Selera makan Bapak sangat baik. Pada usianya yang sudah sepuh, Bapak tidak rewel dalam urusan makan. Apa pun yang dimasak Ibu, dimakannya dengan 'nrimo'. Yang penting dimasak sampai empuk. Maka Ibu hampir selalu menggunakan pressure cooker untuk memasak daging dan ayam. Juga bubur kacang hijau. Bubur kacang hijau bikinan Ibu sangat enak. Kadang-kadang dicampur dengan ketan hitam. Disajikan dengan kuah santan kental yang gurih dan wangi pandan. 
Pada November 2012 nanti, pernikahan Bapak Ibu memasuki usia ke-50. Orang bilang, mencapai pernikahan emas. Kami semua berencana memperingatinya bersama teman-teman rombongan haji, pada acara arisan bulan November nanti. Sekedar berbagi rasa syukur dan kebahagiaan, karena Allah SWT telah memberikan kesempatan pada Bapak dan Ibu bersama-sama mengayuh bahtera rumah tangga sampai kaken-kaken dan ninen-ninen. Ibu bahkan sudah menyiapkan baju seragam untuk kami semua, untuk dikenakan pada saat acara nanti. Sesuatu yang menurut kami sangat wajar. Pencapaian 50 tahun adalah 'prestasi' yang sangat layak untuk disyukuri. Berbagai kebahagiaan dengan sanak saudara dan teman-teman adalah salah satu bentuk rasa syukur itu.

Namun, saat ini, Bapak sedang dianugerahi sakit. Stroke menyerangnya tiba-tiba pada siang di Ramadhan hari ke-10. Pada saat itu, Bapak sedang dalam keadaan puasa. Ibu dan adik kami, Iwuk, yang rumahnya satu blok di Perum TAS itu, langsung membawa Bapak ke RSUD Sidoarjo. Saat itu juga Bapak dinyatakan terkena stroke dan harus langsung opname.

Delapan hari Bapak di rumah sakit. Sepanjang siang dan malam ibu menunggui Bapak. Kami bergantian menemani ibu. Bapak diinfus, dipasang kateter, disuntik dan diobati secara teratur. Bapak juga menjalani CT-scan. Tensinya yang cenderung tinggi dipantau terus secara periodik. Dokter bilang, stroke Bapak tidak berat. Meskipun tidak berat, Bapak harus diterapi secara teratur, agar Bapak kembali bisa berjalan. Tentu saja, hal itu memerlukan waktu, mungkin waktu yang tidak singkat. Oleh sebab itu, Bapak harus sabar, begitu juga Ibu dan kami semua yang merawatnya. 

Sejak saat ini, Bapak menjadi orang yang hampir semuanya harus dilayani. Kembali menjadi anak kecil. Bapak yang biasanya mandiri, harus dipapah ketika ke kamar kecil untuk buang air dan mandi, harus disuapi ketika makan, dan harus dibantu duduk dan berdiri, tidur dan bangun, dan mengganti pakaian. Bapak harus ditemani ketika tidur, karena sewaktu-waktu, Bapak perlu minum, atau minta diantar ke kamar kecil. Bicara Bapak juga menjadi tidak jelas, jadi kami harus mendekat sangat dekat bila beliau berbicara. Bapak juga menjadi sangat sensitif. Selama ini kami belum pernah melihat Bapak menangis, tapi sejak sakit ini, beliau sangat sering menangis, untuk hal yang biasa-biasa saja, misalnya ketika mengingat teman-teman masa kecilnya, atau karena perhatian-perhatian kecil dari kami.

Ya. Bapak memasuki episode baru dalam kehidupannya. Episode di mana Bapak harus mengalami sakit yang membuatnya tidak berdaya. Kami selalu menghibur Bapak supaya beliau ikhlas menerima sakitnya dan tetap banyak bersyukur. Ada ibu dan anak-anak yang selalu mendampingi. Ada cucu-cucu yang selalu menghibur. Ada rumah untuk berteduh. Ada makanan dan obat kapan pun dibutuhkan. Ada kasih sayang, cinta keluarga dan sanak saudara yang selalu siap sedia. Allah mencintai hamba-Nya dengan berbagai cara. Bila Bapak ihlas menerima sakitnya, maka hal itu akan mengurangi dosa-dosanya. Kuncinya, ikhlas dan sabar.

Tidak hanya Bapak yang memasuki episode baru dalam kehidupannya. Juga kami, terutama ibu dan anak-anaknya. Kami harus menyediakan ekstra kesabaran dan energi untuk mendampingi Bapak dan menguatkan hati ibu. Harus menyediakan jauh lebih banyak waktu untuk selalu berada di sisi beliau berdua. Sebagai anak tertua, kami seringkali mengingatkan adik-adik untuk selalu ikhlas. Allah SWT menyediakan ladang pahala dan kesempatan seluas-luasnya demi meraih ridho-Nya. Dengan melayani Bapak dan Ibu. Mendampingi beliau sebagai salah satu bukti bakti kita kepada orang tua. Sekali lagi, kuncinya, adalah sabar dan ikhlas.

Terimakasih, Ya Allah. Telah Kau tunjukkan jalan bagi kami semua untuk selalu mengingat-Mu....


Surabaya, Jumat, 10 Agustus 2012

Wassalam,
LN