Pages

Sabtu, 18 Agustus 2012

Episode Baru bagi Bapak

Menyuapi bapak makan bubur.
Siang ini, setelah delapan hari opname di RSUD Sidoarjo, bapak diperbolehkan pulang. Sesuai janji dokter yang merawat beliau, kalau bapak sudah bisa duduk, bapak boleh pulang. Kemarin bapak sudah mulai latihan duduk, dan berhasil, tentu saja tetap dengan bantuan. Kaki dan tangan kanan beliau yang lemah-lunglai karena terkena stroke, sangat sulit digerakkan, belum memungkinkan beliau untuk menggerakkan tubuh dari posisi berbaring ke posisi duduk.

Bapak saat ini berusia 78 tahun. Beliau tipe orang yang sangat sabar dan 'nriman'. Pensiunan pegawai BRI ini memiliki falsafah hidup 'urip iku kudu jujur.' Meskipun 'orang bank', Bapak anti hutang. Hutang hanya akan membuat hidup susah. Karena prinsipnya itu, keluarga bapak menjadi 'kontraktor' bertahun-tahun, dan baru memiliki rumah sendiri setelah anak-anak besar.

Tiga anak Bapak semua laki-laki. Anak pertama, Baskoro Adjie (mas Ayik), adalah suami saya. Anak kedua, Santanu Bayu Adjie (Iwuk), tinggal di Perum Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) 2, satu blok dengan tempat tinggal Bapak dan Ibu. Putra ketiga, Dimas Prono Adjie (Dedi), bekerja di Balikpapan, sementara istri dan seorang anak laki-lakinya tinggal di Perum Griya Permata Gedangan.

Sebenarnya Bapak dan Ibu asli dari Ponorogo. Tapi karena sudah sepuh, dan semua anak-anak ada di Surabaya dan sekitarnya, Bapak dan Ibu kami boyong ke perum TAS Tanggulangin. Sebuah rumah kecil yang cukup asri yang letaknya di ujung blok, kami beli tahun 2007. Pada saat membeli rumah itu, kami hanya berpikir untuk investasi. Tapi belakangan, rumah itulah yang menjadi tempat tinggal Bapak Ibu di masa senjanya. Tentu saja setelah sekitar setahun kami, anak-anaknya, membujuk-bujuk beliau untuk bersedia diboyong. Alhamdulilah, dengan izin Allah SWT, pada Februari 2008, beliau berdua berkenan untuk diboyong, tapi tetap ingin menempati rumah sendiri, namun dekat dengan anak-anak.

Setahun setelah Bapak Ibu pindah di Tanggulangin, yaitu pada tahun 2009, Allah berkenan memanggil kami berempat ke Tanah Suci. Tentu saja hal ini merupakan kebahagiaan yang luar biasa, beribadah haji bersama orang tua. Ujian kesabaran yang tidak ringan juga, mengingat Bapak dan Ibu yang sudah sepuh dan harus banyak dilayani; namun alhamdulilah, semua berjalan dengan lancar dan mudah. Pada usia Bapak yang sudah 75 tahun, dan Ibu 67 tahun, semua 'prosesi' ibadah haji dilakukan lengkap oleh beliau berdua, tanpa bantuan kursi roda, atau harus diwakilkan. Thawaf, sa'i, melempar jumroh, dan sebagainya, semua dilakukan sendiri oleh Bapak dan Ibu dengan baik dan lancar.

Bapak penyuka musik. Dalam usianya yang sudah uzur itu, Bapak masih main gitar, meniup flute dan kadang-kadang memainkan saxophone. Giginya yang sudah habis membuat tiupannya menjadi 'ngeses'. Pada waktu-waktu tertentu, kalau ada adik-adik Bapak yang juga penyuka musik datang berkunjung ke rumah, Bapak bersama mereka bermain musik. Adik suami saya, Iwuk, ikut bergabung. Selain suaranya yang lumayan bagus, juga karena dia bisa memainkan macam-macam alat musik. Istri Bayu, namanya Diah, juga ikut menyanyi. Suaranya bagus dan dia sepertinya bisa menyanyikan lagu apa pun.  Pada kesempatan itu juga, kadang kami mendatangkan grup musik langganan kami. Maka mengalunlah musik keroncong, campursari, pop, jazz, dan juga musik dangdut, di rumah kami. Tetangga-tetangga dan teman-teman dekat juga datang untuk 'ngguyubi'. Saya dan ibu sibuk menyiapkan makanan untuk melengkapi acara suka ria itu.

Begitu senangnya Bapak pada musik, membuat kebanggaannya pada cucu pertamanya, Arga, yang kuliah di Seni Musik, begitu luar biasa. Kami seringkali merasakan, kebanggaan Bapak kadang terlalu berlebihan. Kebanggaan seorang kakek pada cucunya, yang 'digadang-gadang' bisa meneruskan 'profesi'nya di bidang musik. Kami sebagai orang tua Arga seringkali merasakan, kebanggaan Bapak pada cucunya bahkan melebihi kebanggaan kami sebagai orang tua kepada anaknya.

Sebelum serangan stroke pada Ramadhan ini, bapak termasuk orang yang jarang sakit. Paling-paling hanya flu atau pusing. Memang waktu masih usia 40-an dulu, Bapak pernah sakit liver. Waktu itu saya belum menjadi anggota keluarga Bapak, mengenal mas Ayik saja belum. Konon sakit Bapak cukup parah, sempat opname selama sebulanan di rumah sakit, namun alhamdulilah bisa sembuh total. Pernah juga Bapak terkena TBC, beberapa tahun setelah pensiun, namun dengan pengobatan yang intensif, Bapak dinyatakan sembuh. Bapak terkena TBC bukan karena Bapak perokok, tapi karena hobi fotografinya. Beliau sering berada berlama-lama di kamar gelap untuk melakukan proses afdruk foto. Bahan kimia untuk pencucian foto itulah yang meracuni paru-parunya. Sakit bapak selebihnya adalah flu dan pilek. Itu pun jarang sekali.

Bapak suka beraktivitas, terutama membersihkan rumah dan halaman. Rumput-rumput dan tanaman di sekitar rumah menjadi sasaran untuk mengisi aktivitas bapak pagi dan sore. Bapak juga rajin sholat malam, hampir setiap malam beliau bangun dan bersujud. Bapak juga berjamaah sholat shubuh di masjid dekat rumah. Setiap bulan sekali, Bapak dan Ibu juga mengikuti pertemuan Pensiunan BRI. Sementara setiap tiga bulan sekali, bersama kami, Bapak dan Ibu menghadiri pertemuan arisan teman-teman rombongan haji. Karena aktivitasnya itu, Bapak dan Ibu memiliki banyak teman. Belum lagi tetangga kiri-kanan yang juga sangat baik serta menghormati beliau berdua, yang mereka anggap sebagai salah satu sesepuh di lingkungan perumahan itu.

Selera makan Bapak sangat baik. Pada usianya yang sudah sepuh, Bapak tidak rewel dalam urusan makan. Apa pun yang dimasak Ibu, dimakannya dengan 'nrimo'. Yang penting dimasak sampai empuk. Maka Ibu hampir selalu menggunakan pressure cooker untuk memasak daging dan ayam. Juga bubur kacang hijau. Bubur kacang hijau bikinan Ibu sangat enak. Kadang-kadang dicampur dengan ketan hitam. Disajikan dengan kuah santan kental yang gurih dan wangi pandan. 
Pada November 2012 nanti, pernikahan Bapak Ibu memasuki usia ke-50. Orang bilang, mencapai pernikahan emas. Kami semua berencana memperingatinya bersama teman-teman rombongan haji, pada acara arisan bulan November nanti. Sekedar berbagi rasa syukur dan kebahagiaan, karena Allah SWT telah memberikan kesempatan pada Bapak dan Ibu bersama-sama mengayuh bahtera rumah tangga sampai kaken-kaken dan ninen-ninen. Ibu bahkan sudah menyiapkan baju seragam untuk kami semua, untuk dikenakan pada saat acara nanti. Sesuatu yang menurut kami sangat wajar. Pencapaian 50 tahun adalah 'prestasi' yang sangat layak untuk disyukuri. Berbagai kebahagiaan dengan sanak saudara dan teman-teman adalah salah satu bentuk rasa syukur itu.

Namun, saat ini, Bapak sedang dianugerahi sakit. Stroke menyerangnya tiba-tiba pada siang di Ramadhan hari ke-10. Pada saat itu, Bapak sedang dalam keadaan puasa. Ibu dan adik kami, Iwuk, yang rumahnya satu blok di Perum TAS itu, langsung membawa Bapak ke RSUD Sidoarjo. Saat itu juga Bapak dinyatakan terkena stroke dan harus langsung opname.

Delapan hari Bapak di rumah sakit. Sepanjang siang dan malam ibu menunggui Bapak. Kami bergantian menemani ibu. Bapak diinfus, dipasang kateter, disuntik dan diobati secara teratur. Bapak juga menjalani CT-scan. Tensinya yang cenderung tinggi dipantau terus secara periodik. Dokter bilang, stroke Bapak tidak berat. Meskipun tidak berat, Bapak harus diterapi secara teratur, agar Bapak kembali bisa berjalan. Tentu saja, hal itu memerlukan waktu, mungkin waktu yang tidak singkat. Oleh sebab itu, Bapak harus sabar, begitu juga Ibu dan kami semua yang merawatnya. 

Sejak saat ini, Bapak menjadi orang yang hampir semuanya harus dilayani. Kembali menjadi anak kecil. Bapak yang biasanya mandiri, harus dipapah ketika ke kamar kecil untuk buang air dan mandi, harus disuapi ketika makan, dan harus dibantu duduk dan berdiri, tidur dan bangun, dan mengganti pakaian. Bapak harus ditemani ketika tidur, karena sewaktu-waktu, Bapak perlu minum, atau minta diantar ke kamar kecil. Bicara Bapak juga menjadi tidak jelas, jadi kami harus mendekat sangat dekat bila beliau berbicara. Bapak juga menjadi sangat sensitif. Selama ini kami belum pernah melihat Bapak menangis, tapi sejak sakit ini, beliau sangat sering menangis, untuk hal yang biasa-biasa saja, misalnya ketika mengingat teman-teman masa kecilnya, atau karena perhatian-perhatian kecil dari kami.

Ya. Bapak memasuki episode baru dalam kehidupannya. Episode di mana Bapak harus mengalami sakit yang membuatnya tidak berdaya. Kami selalu menghibur Bapak supaya beliau ikhlas menerima sakitnya dan tetap banyak bersyukur. Ada ibu dan anak-anak yang selalu mendampingi. Ada cucu-cucu yang selalu menghibur. Ada rumah untuk berteduh. Ada makanan dan obat kapan pun dibutuhkan. Ada kasih sayang, cinta keluarga dan sanak saudara yang selalu siap sedia. Allah mencintai hamba-Nya dengan berbagai cara. Bila Bapak ihlas menerima sakitnya, maka hal itu akan mengurangi dosa-dosanya. Kuncinya, ikhlas dan sabar.

Tidak hanya Bapak yang memasuki episode baru dalam kehidupannya. Juga kami, terutama ibu dan anak-anaknya. Kami harus menyediakan ekstra kesabaran dan energi untuk mendampingi Bapak dan menguatkan hati ibu. Harus menyediakan jauh lebih banyak waktu untuk selalu berada di sisi beliau berdua. Sebagai anak tertua, kami seringkali mengingatkan adik-adik untuk selalu ikhlas. Allah SWT menyediakan ladang pahala dan kesempatan seluas-luasnya demi meraih ridho-Nya. Dengan melayani Bapak dan Ibu. Mendampingi beliau sebagai salah satu bukti bakti kita kepada orang tua. Sekali lagi, kuncinya, adalah sabar dan ikhlas.

Terimakasih, Ya Allah. Telah Kau tunjukkan jalan bagi kami semua untuk selalu mengingat-Mu....


Surabaya, Jumat, 10 Agustus 2012

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...