Pages

Selasa, 21 Agustus 2012

Di Ujung Ramadhan

Pagi masih gelap dan dingin.
udara sejuk menembus kulit menemani kami pulang dari Masjid Nurul Huda, masjid dekat rumah kami. Hampir setiap pagi selepas sahur, kami mengikuti jamaah sholat shubuh di masjid tersebut.

Ini adalah shubuh terakhir pada Ramadhan ini. Ada perasaan syahdu yang melingkupi hati ketika kaki-kaki kami menapaki jalan-jalan yang sepi. Perasaan syahdu yang jauh lebih syahdu dibanding hari-hari biasa. Rasanya waktu untuk kehilangan itu semakin dekat. Ada di pelupuk mata. Kehilangan Ramadhan. Saat yang di setiap detiknya serasa seperti mengandung berkah. Kedamaian yang luar biasa di setiap helaan nafas.

Tadi malam, imam sholat tarawih di mushola sebelah rumah, tempat kami mengikuti jamaah tarawih setiap malam Ramadhan, sudah menangis sejak pada rakaat pertama. Suaranya terputus-putus melafalkan ayat-ayat suci Al-Quran. Kadang kami harus menunggu suaranya terdengar lagi setelah berhenti beberapa detik. Kami semua lebih banyak terpekur dalam kebisuan. Dengan hati yang berdzikir. Dengan sudut mata yang basah. Dengan tangis yang tertahan dan menyesakkan dada. Bahkan ketika memberikan kultumnya, imam kami itu hanya menyampaikan dua-tiga kalimat. Memohon maaf kepada para jamaah, menyampaikan rasa kehilangannya pada Ramadhan, dan berdoa supaya Allah memanjangkan usia kita semua agar bertemu dengan Ramadhan yang akan datang. Selebihnya, adalah isak tangis. Sehingga seseorang harus menggantikannya untuk membacakan doa menjelang sholat witir. Sungguh, betapa terasa berat hati ini untuk berpisah dengan Ramadhan yang indah.

Bagi kami, Ramadhan tahun ini terasa sangat berbeda. Pada tahun-tahun yang lalu, kami mengisi Ramadhan dengan bisnis kue kecil. Bertahun-tahun kami menjalankan bisnis itu, sejak tahun 96-an. Langganan kami sudah lumayan banyak, sampai ke kota Ponorogo, Madiun, Malang, Probolinggo, Pasuruan, Blitar, Bojonegoro, Babat, Tuban, dan sebagainya. Kami punya banyak kenalan supir dan kondektur bus yang setiap tahun kami minta tolong untuk 'kirim barang' ke berbagai tempat tujuan tersebut. Di terminal tempat tujuan, pelanggan kami sudah menunggu barang kiriman kami. Praktis, hemat, dan menguntungkan. Ada juga pelanggan yang langsung datang ke rumah dengan membawa mobilnya  untuk mengangkut barang berupa kue-kue itu. Tetangga kiri-kanan juga sudah menjadi langganan kami. Di awal Ramadhan, mereka sudah pesan berbagai macam kue, dan pesanan itu akan mereka ambil menjelang akhir Ramadhan, untuk dibawa sebagai oleh-oleh bagi sanak keluarga ketika mudik. Begitu juga teman-teman di kampus. Dari cleaning service, karyawan, dosen-dosen muda sampai guru besar, telah menjadi langganan kami bertahun-tahun. Beberapa mahasiswa juga kulakan barang ke kami untuk dijualnya lagi di berbagai tempat. Bisnis yang sangat menyenangkan. 

Tapi pada Ramadhan tahun ini, kami sudah berniat untuk tidak jualan. Ada beberapa alasan. Pertama, kontinyuitas barang yang tidak stabil dari pabriknya. Oya, kami mengambil barang berupa macam-macam kue itu dari PT. Jacob Biscuit, perusahaan roti tempat mas Ayik bekerja. Ketidakstabilan stok barang itu sudah mulai kami rasakan sejak setahun dua tahun yang lalu. Produksi tidak kontinyu, itu pun jumlahnya terbatas. Sementara kami sudah terlanjur menerima banyak pesanan dari para pelanggan. Akibatnya, banyak pesanan yang tidak bisa kami penuhi. Tentu saja, banyak pelanggan yang kecewa. Alasan kedua, mungkin kami sudah mulai capek. Beberapa minggu sebelum Ramadhan tiba, kami selalu sudah mulai kulakan barang. Ratusan dus memenuhi rumah kami yang kecil itu. Waktu Arga masih kecil, dia suka main perang-perangan dengan teman-temannya, dengan menjadikan tumpukan dus kue itu sebagai markas atau benteng pertahanannya. Ketika Arga sudah mulai remaja, dia membantu mengangkut dan menata dus-dus itu di dalam mobil para pelanggan yang datang, atau di dalam mobil kami untuk dibawa ke terminal atau diantarkan langsung ke pelanggan. Dia mengantongi sejumlah uang sebagai 'upah kerja'nya dengan cara seperti itu. Aktivitas itu bisa kami lakukan kapan saja. Selepas sahur sampai menjelang shubuh, selepas buka puasa sambil menunggu waktu tarawih, dan selepas tarawih sampai menjelang tengah malam atau bahkan menjelang sahur. Ibadah rasanya jadi tidak 'jenak'. Tadarus hanya sebagai syarat saja, selembar-dua lembar cukuplah. Shubuh di masjid jarang bisa kami lakukan karena harus buru-buru ke terminal mengantarkan barang. Sepulang dari terminal seringkali sudah ditunggu para pelanggan yang akan mengambil barang dagangannya. Waktu seperti tidak pernah cukup. Bahkan sepulang dari umroh tahun lalu pun, kami masih sempat menjalankan bisnis itu pada dua tiga minggu menjelang lebaran. Rasanya 'eman-eman' membuang kesempatan.  Rejeki memang mengalir deras, tapi kami merasa ada banyak hal yang hilang. Hal inilah yang menjadi alasan ketiga kenapa kami memilih tidak jualan lagi tahun ini. Kami ingin punya lebih banyak waktu untuk beribadah, melaksanakan puasa Ramadhan dengan segala keutamaannya.

Ternyata memang Allah SWT sudah mengatur semuanya dengan sangat rapi. Pilihan kami untuk tidak jualan membawa hikmah. Bapak jatuh sakit. Sempat beberapa hari opname di rumah sakit. Keluar dari rumah sakit, bapak harus menjalani terapi. Kami dengan adik-adik bergantian menunggui dan mengantarkan bapak melakukan terapi. Ibu yang juga sudah sepuh dan menderita osteoporosis sudah tidak mungkin lagi melakukan semuanya sendiri. Bahkan ibu juga sempat jatuh sakit di saat-saat bapak harus menjalani terapi. Pernah beberapa kali, kami mengantarkan bapak terapi, bersamaan dengan ibu yang juga harus menjalani terapi.

Dalam situasi seperti itu, saya dan mas Ayik merasa sangat bersyukur karena memutuskan untuk tidak jualan pada ramadhan ini. Bayangkan kalau kami tetap jualan, betapa banyak waktu yang harus tersita untuk melayani pelanggan. Sebaliknya, betapa kami jadi tidak punya banyak waktu untuk mendampingi bapak ibu. Dalam kondisi seperti ini, kehadiran dan dukungan kami benar-benar menjadi sangat penting untuk membantu kesembuhan dan pemulihan kesehatan bapak ibu.

Maka di antara hari-hari selama Ramadhan ini, di sela-sela tarawih dan tadarus kami, kami menghabiskan waktu bersama bapak ibu. Bergantian dengan adik-adik. Ketika bapak masih opname, kadang-kadang kami melakukan buka puasa dan makan sahur di rumah sakit. Sering juga saya buka dan makan sahur sendirian karena mas Ayik harus menemani Bapak Ibu, sementara saya menunggui Arga yang mungkin swaktu-waktu pulang dari tempat kost-nya. Bila adik-adik yang menunggu bapak dan ibu, kami bisa menjalankan aktivitas buka puasa, tarawih, tadarus, sahur, dan berjamaah sholat shubuh ke masjid, bersama-sama.

Seperti saat ini. Dedi, adik bungsu kami, dari kemarin menunggu bapak ibu di rumah Tanggulangin. Kami bisa bersama-sama berbuka puasa, tarawih, makan sahur dan pergi ke masjid untuk sholat shubuh berjamaah. Buka puasa, tarawih, sahur, dan shubuh terakhir di ujung ramadhan ini.

Sakit yang dianugerahkan Allah kepada bapak membuat kami semua merasa lebih menghargai waktu. Keikhlasan dalam mendampingi bapak ibu insyaallah akan menjadi bonus istimewa untuk menambah kualitas ibadah kami. Sakit bapak juga membuat kami menjadi lebih kompak, bahu-membahu untuk mendukung bapak ibu secara lahir dan batin. Menghayati detik demi detik yang kami lalui menjadi lebih berarti dan tidak sia-sia.

Tak ayal, saat-saat di mana Ramadhan jelas-jelas akan pergi dari hadapan kami, begitu menyedihkan hati kami. Mas Ayik pulang dari tarawih tadi malam dengan mata sembab. Selepas shubuh pun dia menangis dan memeluk saya erat dengan dada berguncang menahan isak. Entah kenapa, pada situasi-siatuasi tertentu, mas Ayik menjadi begitu cengeng. Lebih cengeng dari perkiraan saya. Saya berusaha memahami situasi batinnya. Beban pikiran karena sakit bapak, sekaligus kesedihan karena akan segera ditinggalkan oleh Ramadhan, membuat hatinya pilu. Saya menghiburnya sembari mengingatkan dia untuk segera bersiap-siap. Pagi ini adalah giliran kami untuk mengantarkan bapak dan ibu menjalani terapi. Dedi pasti sedang memandikan bapak dan mengganti pakaiannya. Ketika kami datang nanti, bapak dan ibu pasti sudah siap untuk bersama kami ke tempat terapi.

Maka meluncurlah kami di atas jalan tol yang masih lengang. Menuju Tanggulangin. Udara sejuk sesejuk hati kami. Sebongkah rasa syukur menyelinap. Atas semua nikmat dan anugerah. Atas semua kemurahan dan kasih sayang-Nya. Di ujung Ramadhan ini. Semoga sampai di ujung ramadhan-ramadhan yang akan menjelang. Amin.

Sabtu, 18 Agustus 2012

Wassalam,
LN

1 komentar

Kotak Makanan 19 Juni 2014 pukul 20.44

Bentar lagi ramadhan nih..
Jika berkenan kunjungan baliknya ke Dus Makanan

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...