Pagi masih gelap dan dingin.
udara sejuk menembus kulit menemani
kami pulang dari Masjid Nurul Huda, masjid dekat rumah kami. Hampir
setiap pagi selepas sahur, kami mengikuti jamaah sholat shubuh di masjid
tersebut.
Ini adalah shubuh terakhir pada Ramadhan ini. Ada
perasaan syahdu yang melingkupi hati ketika kaki-kaki kami menapaki
jalan-jalan yang sepi. Perasaan syahdu yang jauh lebih syahdu dibanding
hari-hari biasa. Rasanya waktu untuk kehilangan itu semakin dekat. Ada
di pelupuk mata. Kehilangan Ramadhan. Saat yang di setiap detiknya
serasa seperti mengandung berkah. Kedamaian yang luar biasa di setiap
helaan nafas.
Tadi malam, imam sholat tarawih di mushola sebelah
rumah, tempat kami mengikuti jamaah tarawih setiap malam Ramadhan,
sudah menangis sejak pada rakaat pertama. Suaranya terputus-putus
melafalkan ayat-ayat suci Al-Quran. Kadang kami harus menunggu suaranya
terdengar lagi setelah berhenti beberapa detik. Kami semua lebih banyak
terpekur dalam kebisuan. Dengan hati yang berdzikir. Dengan sudut mata
yang basah. Dengan tangis yang tertahan dan menyesakkan dada. Bahkan
ketika memberikan kultumnya, imam kami itu hanya menyampaikan dua-tiga
kalimat. Memohon maaf kepada para jamaah, menyampaikan rasa
kehilangannya pada Ramadhan, dan berdoa supaya Allah memanjangkan usia
kita semua agar bertemu dengan Ramadhan yang akan datang. Selebihnya,
adalah isak tangis. Sehingga seseorang harus menggantikannya untuk
membacakan doa menjelang sholat witir. Sungguh, betapa terasa berat hati
ini untuk berpisah dengan Ramadhan yang indah.
Bagi kami,
Ramadhan tahun ini terasa sangat berbeda. Pada tahun-tahun yang lalu,
kami mengisi Ramadhan dengan bisnis kue kecil. Bertahun-tahun kami
menjalankan bisnis itu, sejak tahun 96-an. Langganan kami sudah lumayan
banyak, sampai ke kota Ponorogo, Madiun, Malang, Probolinggo, Pasuruan,
Blitar, Bojonegoro, Babat, Tuban, dan sebagainya. Kami punya banyak
kenalan supir dan kondektur bus yang setiap tahun kami minta tolong
untuk 'kirim barang' ke berbagai tempat tujuan tersebut. Di terminal
tempat tujuan, pelanggan kami sudah menunggu barang kiriman kami.
Praktis, hemat, dan menguntungkan. Ada juga pelanggan yang langsung
datang ke rumah dengan membawa mobilnya untuk mengangkut barang berupa
kue-kue itu. Tetangga kiri-kanan juga sudah menjadi langganan kami. Di
awal Ramadhan, mereka sudah pesan berbagai macam kue, dan pesanan itu
akan mereka ambil menjelang akhir Ramadhan, untuk dibawa sebagai
oleh-oleh bagi sanak keluarga ketika mudik. Begitu juga teman-teman di
kampus. Dari cleaning service, karyawan, dosen-dosen muda sampai guru
besar, telah menjadi langganan kami bertahun-tahun. Beberapa mahasiswa
juga kulakan barang ke kami untuk dijualnya lagi di berbagai tempat.
Bisnis yang sangat menyenangkan.
Tapi pada Ramadhan tahun ini,
kami sudah berniat untuk tidak jualan. Ada beberapa alasan. Pertama,
kontinyuitas barang yang tidak stabil dari pabriknya. Oya, kami
mengambil barang berupa macam-macam kue itu dari PT. Jacob Biscuit,
perusahaan roti tempat mas Ayik bekerja. Ketidakstabilan stok barang itu
sudah mulai kami rasakan sejak setahun dua tahun yang lalu. Produksi
tidak kontinyu, itu pun jumlahnya terbatas. Sementara kami sudah
terlanjur menerima banyak pesanan dari para pelanggan. Akibatnya, banyak
pesanan yang tidak bisa kami penuhi. Tentu saja, banyak pelanggan yang
kecewa. Alasan kedua, mungkin kami sudah mulai capek. Beberapa minggu
sebelum Ramadhan tiba, kami selalu sudah mulai kulakan barang. Ratusan
dus memenuhi rumah kami yang kecil itu. Waktu Arga masih kecil, dia suka
main perang-perangan dengan teman-temannya, dengan menjadikan tumpukan
dus kue itu sebagai markas atau benteng pertahanannya. Ketika Arga sudah
mulai remaja, dia membantu mengangkut dan menata dus-dus itu di dalam
mobil para pelanggan yang datang, atau di dalam mobil kami untuk dibawa
ke terminal atau diantarkan langsung ke pelanggan. Dia mengantongi
sejumlah uang sebagai 'upah kerja'nya dengan cara seperti itu. Aktivitas
itu bisa kami lakukan kapan saja. Selepas sahur sampai menjelang
shubuh, selepas buka puasa sambil menunggu waktu tarawih, dan selepas
tarawih sampai menjelang tengah malam atau bahkan menjelang sahur.
Ibadah rasanya jadi tidak 'jenak'. Tadarus hanya sebagai syarat saja,
selembar-dua lembar cukuplah. Shubuh di masjid jarang bisa kami lakukan
karena harus buru-buru ke terminal mengantarkan barang. Sepulang dari
terminal seringkali sudah ditunggu para pelanggan yang akan mengambil
barang dagangannya. Waktu seperti tidak pernah cukup. Bahkan sepulang
dari umroh tahun lalu pun, kami masih sempat menjalankan bisnis itu pada
dua tiga minggu menjelang lebaran. Rasanya 'eman-eman' membuang
kesempatan. Rejeki memang mengalir deras, tapi kami merasa ada banyak
hal yang hilang. Hal inilah yang menjadi alasan ketiga kenapa kami
memilih tidak jualan lagi tahun ini. Kami ingin punya lebih banyak waktu
untuk beribadah, melaksanakan puasa Ramadhan dengan segala
keutamaannya.
Ternyata memang Allah SWT sudah mengatur semuanya
dengan sangat rapi. Pilihan kami untuk tidak jualan membawa hikmah.
Bapak jatuh sakit. Sempat beberapa hari opname di rumah sakit. Keluar
dari rumah sakit, bapak harus menjalani terapi. Kami dengan adik-adik
bergantian menunggui dan mengantarkan bapak melakukan terapi. Ibu yang
juga sudah sepuh dan menderita osteoporosis sudah tidak mungkin lagi
melakukan semuanya sendiri. Bahkan ibu juga sempat jatuh sakit di
saat-saat bapak harus menjalani terapi. Pernah beberapa kali, kami
mengantarkan bapak terapi, bersamaan dengan ibu yang juga harus
menjalani terapi.
Dalam situasi seperti itu, saya dan mas Ayik
merasa sangat bersyukur karena memutuskan untuk tidak jualan pada
ramadhan ini. Bayangkan kalau kami tetap jualan, betapa banyak waktu
yang harus tersita untuk melayani pelanggan. Sebaliknya, betapa kami
jadi tidak punya banyak waktu untuk mendampingi bapak ibu. Dalam kondisi
seperti ini, kehadiran dan dukungan kami benar-benar menjadi sangat
penting untuk membantu kesembuhan dan pemulihan kesehatan bapak ibu.
Maka
di antara hari-hari selama Ramadhan ini, di sela-sela tarawih dan
tadarus kami, kami menghabiskan waktu bersama bapak ibu. Bergantian
dengan adik-adik. Ketika bapak masih opname, kadang-kadang kami
melakukan buka puasa dan makan sahur di rumah sakit. Sering juga saya
buka dan makan sahur sendirian karena mas Ayik harus menemani Bapak Ibu,
sementara saya menunggui Arga yang mungkin swaktu-waktu pulang dari
tempat kost-nya. Bila adik-adik yang menunggu bapak dan ibu, kami bisa
menjalankan aktivitas buka puasa, tarawih, tadarus, sahur, dan berjamaah
sholat shubuh ke masjid, bersama-sama.
Seperti saat ini. Dedi,
adik bungsu kami, dari kemarin menunggu bapak ibu di rumah Tanggulangin.
Kami bisa bersama-sama berbuka puasa, tarawih, makan sahur dan pergi ke
masjid untuk sholat shubuh berjamaah. Buka puasa, tarawih, sahur, dan
shubuh terakhir di ujung ramadhan ini.
Sakit yang dianugerahkan
Allah kepada bapak membuat kami semua merasa lebih menghargai waktu.
Keikhlasan dalam mendampingi bapak ibu insyaallah akan menjadi bonus
istimewa untuk menambah kualitas ibadah kami. Sakit bapak juga membuat
kami menjadi lebih kompak, bahu-membahu untuk mendukung bapak ibu secara
lahir dan batin. Menghayati detik demi detik yang kami lalui menjadi
lebih berarti dan tidak sia-sia.
Tak ayal, saat-saat di mana
Ramadhan jelas-jelas akan pergi dari hadapan kami, begitu menyedihkan
hati kami. Mas Ayik pulang dari tarawih tadi malam dengan mata sembab.
Selepas shubuh pun dia menangis dan memeluk saya erat dengan dada
berguncang menahan isak. Entah kenapa, pada situasi-siatuasi tertentu,
mas Ayik menjadi begitu cengeng. Lebih cengeng dari perkiraan saya. Saya
berusaha memahami situasi batinnya. Beban pikiran karena sakit bapak,
sekaligus kesedihan karena akan segera ditinggalkan oleh Ramadhan,
membuat hatinya pilu. Saya menghiburnya sembari mengingatkan dia untuk
segera bersiap-siap. Pagi ini adalah giliran kami untuk mengantarkan
bapak dan ibu menjalani terapi. Dedi pasti sedang memandikan bapak dan
mengganti pakaiannya. Ketika kami datang nanti, bapak dan ibu pasti
sudah siap untuk bersama kami ke tempat terapi.
Maka meluncurlah
kami di atas jalan tol yang masih lengang. Menuju Tanggulangin. Udara
sejuk sesejuk hati kami. Sebongkah rasa syukur menyelinap. Atas semua
nikmat dan anugerah. Atas semua kemurahan dan kasih sayang-Nya. Di ujung
Ramadhan ini. Semoga sampai di ujung ramadhan-ramadhan yang akan
menjelang. Amin.
Sabtu, 18 Agustus 2012
Wassalam,
LN
1 komentar
Bentar lagi ramadhan nih..
Jika berkenan kunjungan baliknya ke Dus Makanan
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...