Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Jumat, 18 Januari 2013

Kohiga Masaki yang Suka Nasi Goreng

Akhirnya anak itu muncul. Turun dari mobil kampus, menenteng dua tas kecil, dan sebuah koper besar. Senyumnya mengembang begitu melihat sosok saya. "Selamat sore..." Ujarnya dengan sikap tubuh setengah membungkuk. Sangat khas. Tubuh jangkungnya memaksa saya untuk menengadah saat membalas senyumnya. Anak muda yang tampan, dengan kacamata yang sangat serasi melekat di wajah bulatnya yang putih bersih.

Saya membawanya menuju mobil kecil saya yang sudah sejak sepuluh menit yang lalu saya parkir di halaman rektorat. Setelah memasukkan koper besarnya di bagasi mobil, dan dia duduk di sebelah saya yang siap mengemudi, kami melaju pelan ke arah pulang, sambil berbincang-bincang ringan, berbasa-basi. Saya tanyakan apa saja aktivitasnya hari ini, senangkah, capekkah, dan lain-lain. Dia menjawab dengan bahasa Inggrisnya yang terpatah-patah, dengan artikulasinya yang kadang tidak terlalu jelas di telinga saya. Tapi kami tetap bisa ngobrol gayeng. Tentang adik perempuannya, tentang ayahnya yang seorang banker, dan ibunya yang bukan wanita bekerja. Saya juga menceritakan tentang keluarga saya, tentang anak semata wayang saya yang kuliah di Seni Musik, dan suami saya yang mungkin sekarang sudah pulang kerja dan sedang menunggu kami di rumah.

"I want to eat nasi goreng". Tiba-tiba Masaki, begitu nama anak muda itu, nyeletuk. Saya spontan tertawa. "Nasi goreng? Ok, you'll get nasi goreng for your dinner". Tapi pikiran saya segera terbayang berbagai hidangan yang saat ini pasti sudah tertata di atas meja makan di rumah. Nasi putih, mie goreng, capjai, fuyunghai, sup sayur bakso ayam, dan perkedel. Tidak ada nasi goreng. Saya memang berencana memasak nasi goreng, tapi untuk sarapan pagi besok. Bukan untuk makan malam.

Sesampai di rumah, mas Ayik, Arga, Iyah dan Andra, menyambut kami. "Welcome, Masaki." Sambut mas Ayik pada Masaki. Seperti ketika bertemu saya tadi, Masaki mengucapkan selamat sore, dengan sikap tubuh setengah membungkuk. Dia memperkenalkan diri pada semua orang yang sedang menyambutnya itu. Senyumnya ramah dan sikapnya sangat sopan, namun nampak betapa periangnya dia.
 
Senja ini, kami mengobrol di teras, ditemani buah-buahan lokal seperti manggis, salak dan pisang. Juga rengginang lorjuk.  Juga teh manis. Di luar, hujan rintik-rintik, rapat. Udara sejuk. Tapi Masaki berkeringat. Dia katakan, di Jepang saat ini sedang winter, suhu bisa mencapai -5 derajat Celcius. Tapi dia nampak sangat menikmati suasana. Dia katakan, rumah kami sebagai a very beautiful home. Ya, tentu saja dia harus bilang begitu. Rumah ini akan menjadi rumahnya selama tiga hari ini, dan kami adalah host parents untuknya. Maka dia harus menyukai rumah kami, menyukai kami, dan memang, saya yakin semuanya menyenangkan bagi dia. Bukan hanya karena rumah kecil kami yang teduh, tapi lebih dari itu, adalah keramah tamahan dan ketulusan kami menerimanya sebagai anggota keluarga.

Malam ini Masaki mendapatkan yang diidam-idamkannya. Nasi goreng. Andra, mahasiswa saya yang juga anggota tim teknis di program SM-3T Unesa, dengan cepat menghidangkan nasi goreng itu setelah dia meluncur ke rumah makan Anda untuk mendapatkannya. Menyenangkan melihat Masaki menikmati semua yang kami hidangkan malam itu. Kata mas Ayik dan Andra, Masaki tak ada bedanya dengan Arga, anak kami. Sumego. Hehe....
   
Kohiga Masaki adalah salah satu dari tujuh mahasiswa peserta Students Exchange Program dari Aichi University of Education, Jepang. Mereka akan mempelajari banyak hal terkait dengan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia. Dari tujuh mahasiswa tersebut, dua di antaranya homestay di rumah pak Rektor, satu di rumah pak PR 3, satu di rumah pak PR 4, satu di rumah pak Roni (Kaprodi Pendidikan Bahasa Jepang), satu di rumah pak Martadi, dan satu di rumah kami. Mereka dari berbagai program studi, musik, sains, kesehatan, matematika dan sosial. Masaki sendiri adalah mahasiswa dari program studi sains. Saat ini dia, juga semua temannya, duduk di semester enam. 
Kami menghabiskan malam itu dengan berbincang-bincang ngalor ngidul. Masaki membuka ipadnya dan menunjukkan kepada kami foto-foto tentang Jepang. Dia menceritakan tentang Tokyo Sky-Tree, pagoda dan candi-candi tempat ibadah mereka, serta tempat-tempat rekreasi yang menyenangkan.

Mas Ayik bersama Masaki berlatar belakang patung Budha.
Besok pagi, Masaki akan diantar Arga ke kampus Lidah. Bersama teman-temannya, mereka akan mengikuti workshop Writing Japanese Calligraphy, dan menghadiri diskusi dengan mahasiswa FIS Unesa tentang Earthquake Education. Kemarin mereka mengunjungi SD Lab Unesa, Lapindo, Batik Sidoarjo, SMP Al Falah dan menyaksikan pertunjukan musik dari mahasiswa FBS. Berbagai aktivitas lain masih menunggu sampai hari Minggu besok, sebelum mereka bertolak ke Bali serta kembali ke Jepang.

Tentu saja, di antara aktivitasnya yang padat itu, kami sebagai host parents-nya juga sudah menyiapkan berbagai acara. Kami pastikan, Masaki akan pulang ke Jepang dengan kesan yang sangat manis tentang Indonesia, tentang keindahan alamnya, tentang budayanya yang mengagumkan, tentang makanannya yang lezat, dan tentang orang-orangnya yang ramah dan menyenangkan.

Surabaya, 17 Januari 2013

Wassalam,
LN

Kamis, 03 Januari 2013

Tentang Pelampung dan Kodikmar

Beberapa hari ini kami mencari sejumlah pelampung untuk kami kirimkan pada para peserta SM-3T yang bertugas di wilayah perairan. Ya, setelah jatuhnya dua korban meninggal dunia peserta SM-3T dari UPI, karena perahunya terbalik saat perjalanan pulang dari kegiatan di tempat lain di seberang laut tempat mereka
bertugas, kami begitu mengkhawatirkan para peserta yang bertugas di wilayah perairan. Dari sebanyak 178 peserta, ada 31 peserta yang bertugas di Maluku Barat Daya (MBD), sekitar 14 peserta di Aceh Singkil, dan 4 peserta di Pulau Selura, Sumba Timur, yang memerlukan pelampung. Untuk menuju ke desa terdekat
saja mereka harus menggunakan transportasi laut, untuk berbelanja, rapat ke kecamatan, atau mengambil beasiswa, mereka harus menyeberang laut menantang ombak. Bertaruh nyawa.

Maka kami putuskan untuk mengadakan sebanyak 70 buah pelampung. Yang kami perhitungkan tentu saja tidak hanya para peserta, namun juga para pemonev ketika nanti harus turun ke lokasi dan merambah wilayah perairan. Pelampung itu akan menjadi inventaris SM-3T Unesa, dan bukan menjadi hak milik para peserta.

Saya mencoba menghubungi seorang teman yang saya perkirakan paham masalah pelampung. Tidak perlu berlama-lama, sehari setelah saya menyampaikan maksud saya, teman saya itu datang dengan membawa contoh pelampung. Pelampung yang bagus, kuat dan tebal. Standar rafting. Ya, karena teman saya itu adalah
pengelola sebuah jasa wisata rafting, setidaknya dia punya saham di tempat wisata itu. Terjadilah negosiasi harga sampai akhirnya kami bersepakat. Harga per pelampung adalah Rp. 100.000,-. Saat itu, menurutnya, pelampung yang sudah ready ada 40 buah. Saya minta dia segera mengirimkannya ke sekretariat SM-3T di
Gedung Gema. Dia janjikan minggu depannya akan dikirim. Maka saat itu juga Andra dkk, tim teknis SM-3T, saya minta untuk menanyakan alamat pengiriman pelampung ke daerah tujuan Sumba Timur. Talaud, Aceh Singkil dan MBD. Kami pastikan pelampung bisa segera dikirim.

Tapi apa daya. Ketika perwakilan peserta SM-3T dari empat wilayah penugasan itu
telah memberikan alamat pengiriman pelampung, pelampung yang kami pesan tidak
kunjung datang. Teman saya bilang katanya stock 40 buah ternyata digunakan
sendiri oleh pengelola rafting, dan dijanjikan minggu depannya pesanan saya akan
dikirim. Minggu depan, dan minggu depannya lagi, ternyata pelampung tidak
kunjung datang. Saya mencoba menghubungi teman saya itu lewat ponselnya, tidak
diangkat. Beberapa lewat sms, tidak dibalas. Maka tanpa pikir panjang, saya
kirimkan pesan singkat, bahwa pemesanan pelampung sementara pending. Tentu saja
maksud saya batal. Tapi tidak enak juga mau bilang cancel. 'Musuh konco'. Tapi
terus-terang saya kecewa juga sih dengan cara dia melayani. 'Nggak
mrecayani...hehe.'

Sampai akhirnya saya bertemu dengan teman yang lain lagi, kebetulan juga
pengelola rafting, tapi beda tempat. Ya, memang banyak teman saya yang menjadi
pemilik dan atau pengelola rafting. Songa, Kasembon, Obech, dan lain-lain, eksis
berkat tangan-tangan dingin mereka.

Kembali ke urusan pelampung. Saya mencoba menjajagi kemungkinan untuk memesan
pelampung. Ternyata teman saya itu menyanggupi untuk memesankan sebanyak yang
kami perlukan. Pucuk dicinta ulam tiba. Namun ketika dia menyebutkan harga, saya
spontan bertanya 'gak oleh kurang tah?'. Harga Rp. 150.000,- terlalu mahal,
karena saya sudah cek pelampung yang ditunjukkannya sama persis kualitasnya
dengan pelampung yang telah saya lihat di teman saya yang pertama.

Entah kenapa, tiba-tiba mas Ayik, suami saya nyeletuk. 'Pesan ke marinir saja
lho', katanya. Marinir. Spontan saya ingat Kodikmar. Komando Pendidikan Marinir.
Sebuah kompleks di kawasan Gunungsari. Tempat para peserta SM-3T dikarantina
selama kegiatan prakondisi beberapa bulan yang lalu, menjelang pemberangkatan
ke tempat tugas masing-masing. Kawah candradimuka yang membentuk dengan cepat
kedisiplinan, ketahanan fisik dan mental, serta keteguhan hati para calon guru
pengabdi itu. Beberapa sosok berkelebat. Sosok-sosok yang tegap, tegas, namun
begitu peduli dan murah senyum. Betul. Sungguh citra marinir di mata saya
berubah drastis setelah saya mengenal para marinir di Kodikmar itu. Bukan sosok
yang angkuh dan 'kejam', sebagaimana kesan yang selama ini tersimpan di benak
saya. Ya. Setelah sekitar dua minggu berinteraksi dengan relatif intens dalam
rangka berbagi tugas untuk pembekalan para peserta SM-3T, marinir di mata kami
adalah manusia-manusia yang disiplin, tegas, sekaligus ramah namun penuh hormat.

Salah satu sosok yang baik hati itu adalah Kapten Marinir Ebri Badra. Maka tanpa
pikir panjang, saya sms beliau. Mengucapkan selamat tahun baru dan doa untuk
kesehatan dan kesuksesannya. Juga, tentu saja, menanyakan tentang pelampung. Pak
Badra langsung membalas sms saya, mengucap selamat tahun baru juga dengan doa
yang sama juga. "Mengenai pelampung, nanti saya telusuri, bu. Yang dibutuhkan
berapa buah?" Tanyanya.

Oleh karena pada saat itu masih dalam liburan natal dan tahun baru, sekitar dua
hari kemudian saya baru menerima kabar dari pak Badra. Beliau menyebutkan sebuah
harga pelampung yang jauh lebih murah dari harga yang telah saya dapatkan dari
teman-teman saya sebelumnya. Pak Badra juga mengirimkan foto pelampung. Beliau
pastikan, pelampung tersebut bagus kualitasnya dan sangat memadai untuk
kebutuhan para peserta SM-3T. Bila hari ini kita pesan, maka dua hari lagi
pelampung sudah akan dikirim ke Kodikmar, dan nanti Kodikmar yang akan
mengirimkannya ke Unesa.

Tak ayal saya pun langsung mengucap terimakasih pada pak Badra. Untuk perhatian
dan bantuannya. Ketika saya menyatakan permohonan maaf karena telah
merepotkannya, beliau cepat memotong kalimat saya, bahwa saya sama sekali tidak
merepotkan, karena 'kita kan satu tim, bu...' Katanya. "Saya hanya terbayang
perjuangan adik-adik kita di luar sana, bu. Mudah-mudahan mereka diberi
kekuatan oleh Allah SWT... Saya bandingkan, ketika kami bertugas di pulau
terluar, kami dibekali senjata. Namun adik-adik itu hanya berbekal ketulusan
hati saja untuk mengajar."

Terimakasih, pak Badra. Terimakasih, Kodikmar. Semoga Allah SWT senantiasa
memberikan perlindungan dan kekuatan pada kita semua dalam menjalankan tugas
sebaik-baiknya. Demi mencerdaskan anak bangsa. Demi menjaga keutuhan NKRI. Amin.

Surabaya, 3 Januari 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 28 Desember 2012

Outbond PPS Unesa

Akhirnya saya memutuskan mengikuti kegiatan ini. Outbound Keluarga Pascasarjana (PPS) Unesa. Tahun-tahun sebelumnya saya tidak pernah ikut. Saya lebih memilih berakhir pekan dengan keluarga di rumah. Liburan akhir pekan merupakan kesempatan yang mahal, dan menghabiskannya dengan orang-orang dekat kita tanpa keluarga, betapa tidak menyenangkan. Tapi mas Ayik mendorong saya untuk ikut. Itu kesempatan baik yang bisa saya gunakan untuk membangun keakraban dengan anggota keluarga PPS yang lain, mulai dari direktur, para asisten direktur, kaprodi dan sekprodi, tata usaha sampai dengan teman-teman di bagian kebersihan, keamanan, dan parkir.

Baiklah, akhirnya saya ikuti saran mas Ayik. Bergabung dengan teman-teman PPS. Dalam satu bus pariwisata kami berangkat dari halaman pasca. Saya bersisian dengan Prof. Siti Masitoh, asisten direktur 2. Begitu bus berangkat sekitar pukul 07.15, kami langsung terlibat obrolan tentang pentingnya acara semacam ini. Ya, tentu saja. Ketika semua dari kita berkegiatan di lapangan, saling bantu-membantu dalam berbagai aktivitas, tanpa sekat, bebas lepas, maka akan robohlah tembok-tembok pembatas. Tidak ada direktur dan tukang sapu. Tidak ada kaprodi dan tukang parkir. Ice breaking, team building, dan games lain yang menantang sekaligus menyenangkan.

Pagi ini kami sarapan pagi di rumah makan Mojorejo di Porong. Lantas melanjutkan perjalanan ke Bakti Alam, menikmati wisata alam di agrowisata ini. Bagi saya, ini kedua kalinya kunjungan saya ke Bakti Alam. Beberapa waktu yang lalu, kami sekeluarga bersama adik kami, juga bersama keluarganya, berkunjung ke Bakti Alam.

Wisata di Bakti Alam diperkirakan sampai pukul 12.00. Makan siang di Bakti Alam. Selepas dari sana, perjalanan dilanjutkan menuju hotel Grand Pujon View, di Pujon, Kota Batu. Check in, acara bebas, makan malam, dan malam keakraban. Nah, pada malam keakraban inilah dibuka dialog terbuka. Prof. Masitoh mengatakan, acara tersebut sebagai momen curhat. Brainstorming. Siapa saja boleh ngomong apa saja, boleh usul apa saja, boleh mengeluhkan apa saja. Boleh nyanyi-nyanyi juga. Tentu saja setelah acara curhat itu selesai.

Sepanjang perjalanan saya banyak berkaraoke, bergantian dengan teman-teman. Tidak peduli suara bagus atau tidak, yang penting ramai dan semua senang. Namanya juga acara suka ria....

Besok pagi, acara dimulai dengan senam pagi, tracking gunung Banyak, baru makan pagi. Setelah makan pagi, inilah acara yang ditunggu-tunggu, outbond. Selesai outbond, persiapan check out,  makan siang, dan check out. Melanjutkan perjalanan menuju Kasembon untuk kegiatan rafting. Rafting diperkirakan selesai pukul 16.00. Makan malam di Kasembon, kemudian melanjutkan perjalanan pulang ke Surabaya. Diperkirakan pukul 21.00 baru akan tiba di Surabaya. Wow, padat juga acaranya yaaa......

Pandaan, 29 Desember 2012

Wassalam,
LN

Surat dari MBD

Sore ini, ketika saya ada di ruang sekretariat SM-3T di Gedung Gema, pak Heru Siswanto datang. Beliau salah satu tim SM-3T. Tiga pucuk surat dibawanya. Satu untuk saya, satu untuk pak Yoyok, satu untuk pak Heru sendiri. Itu adalah surat dari Nanda, salah seorang peserta SM-3T yang bertugas di Maluku Barat Daya (MBD). Kebetulan rumah Nanda di Mojokerto, dekat dengan rumah pak Heru. Nanda berkirim surat kepada bapak ibunya di Mojokerto, dan menitipkan tiga pucuk surat itu untuk kami bertiga.

Seperti seorang ibu yang sudah sangat  lama menyimpan kerinduan pada anaknya, saya langsung meraih surat yang diulurkan pak Heru, meninggalkan pekerjaan saya mengecek data calon peserta PPG angkatan pertama.  Saya membuka amplop coklat itu dengan perasaan tidak sabar, dan membacanya dengan seksama. Sambil membayangkan sosok itu. Nanda Okkyanti, salah satu peserta SM-3T Unesa yang ditugaskan di Maluku Barat Daya.

Surat itu tertanggal 2 Desember 2012. Nanda menulisnya pada pukul 22.25 WIT. Menghayati kata demi kata yang ditulisnya dalam surat itu, saya tidak bisa menahan haru. Huruf-hurufnya menjadi kabur karena mata saya basah. Saya tidak tahan untuk tidak menangis. Saya bangga pada anak-anak kami yang begitu luar biasa itu. Anak-anak muda yang dengan sepenuh hati mengabdikan dirinya untuk anak-anak bangsa yang sangat membutuhkan uluran tangannya. Saya tidak menangkap keluhan atau penyesalan sedikit pun dari untaian kalimatnya, meski mereka hidup dalam situasi yang sebelumnya tak pernah terbayangkan betapa sulitnya. Sebaliknya adalah rasa syukur karena memeroleh kesempatan itu dan komitmen untuk terus mengemban tugas mulia yang ada di pundak mereka.

"Ibu Luthfi, saya Nanda Okkyanti, salah satu anggota peserta SM-3T Unesa 2012 penempatan Maluku Barat Daya. Sebelumnya kami tidak membayangkan bagaimana kondisi kami, karena memang sangat sulit mencari informasi tentang Maluku Barat Daya di internet. Yang kami tahu, MBD terdiri dari pulau-pulau kecil. Setelah kami berangkat pun, belum ada informasi yang lebih jelas. Karena saat tiba di Ambon dan ada kesempatan beberapa hari tinggal di sana untuk menunggu pemberangkatan kapal, kami mencoba bertanya-tanya pada masyarakat. Namun mereka pun belum pernah ke MBD karena jangkauan yang sulit dan membutuhkan waktu yang lama."

Itulah surat pembuka Nanda. Saya jadi ingat, ketika pemberangkatan peserta ke MBD pada pertengahan Oktober yang lalu, Dr. Nanik Indahwati, salah satu tim pendamping, dosen FIK, menelepon saya dari Ambon. Waktu itu saya sendiri sedang ada di Menado dan bersiap untuk bertolak ke Talaud, juga dalam rangka mendampingi pemberangkatan para peserta SM-3T. Dia mengatakan kalau kapal yang akan membawa para peserta ke MBD kehabisan bahan bakar, dan harus menunggu, mungkin sampai sekitar lima hari. Bu Nanik bilang mungkin akan ada banyak pengeluaran tak terduga karena yang jelas peserta harus ditanggung konsumsinya selama lima hari itu. Belum lagi kalau harus terpaksa mencari penginapan.
Saya spontan mengatakan ke bu Nanik, ambil keputusan terbaik untuk semua. Kembali ke Surabaya tidak mungkin. Kalau memang harus mencari penginapan dan menanggung konsumsi para peserta selama di Ambon, tidak masalah. Bu Nanik dan tim yang paling tahu situasinya, maka saya menyerahkan segala keputusan pada bu Nanik dan Tim. Ada bu Nanik, pak Muhajir, dan Juliar. Konsekuensi membengkaknya dana operasional yang tak bisa dihindari bukan kesalahan kita dan kami tinggal melaporkannya ke Dikti.

Kami terus berkabar untuk saling mengecek perkembangan. Ternyata setelah berunding dengan tim, seluruh peserta SM-3T, petugas kapal, dan kepala Dinas PPO MBD, maka diputuskan para peserta tidak perlu menyewa penginapan, tapi menginap di kapal itu. Para peserta juga cukup puas hanya disediakan dua kali makan sehari. Mereka harus melompat dari satu kapal ke kapal lain untuk mencapai pantai dan menjemput kiriman makanan mereka dari sebuah katering. Saya sungguh prihatin dengan kondisi mereka.

Maka saya menelepon kepala dinas PPO ketika setelah tiga hari mereka 'kampul-kampul' di atas kapal tanpa kejelasan kapan kapal diberangkatkan. Waktu saya menelepon kadis,  beliau baru saja tiba di Ambon, juga dalam rangka menjemput para peserta dan menemui bu Nanik dan tim. Beliau juga menugaskan dua orang stafnya serta petugas kesehatan untuk menjemput para guru pengabdi itu. Demi menunjukkan kesungguhannya dalam 'ngopeni' para guru yang akan bertugas di daerah 'kekuasaannya' itu, pak Kadis bermaksud melakukan negosiasi dengan manajemen kapal.

Akhirnya, sebagaimana dikatakan bu Nanik, kapal benar-benar baru berangkat setelah lima hari bersandar di Ambon. Saya sangat mengkhawatirkan kondisi teman-teman tim dan tentu saja para peserta. Tapi mereka meyakinkan saya melalui telepon dan sms, mereka semua baik-baik saja. Angin laut yang panas menyengat ketika siang dan dingin menusuk ketika malam hari memang sangat mempengaruhi kondisi fisik mereka. Tapi, tanya mereka, bukankah kami semua sudah dibekali dengan pelatihan ketahanmalangan?

Karena tidak memungkinkan tim untuk mendampingi sampai ke MBD, maka bu Nanik dan tim melepas para peserta di pelabuhan Galala Ambon. Bersama dua staf dari Dinas PPO dan seorang petugas kesehatan mereka berlayar ke MBD. Tanggal 19 Oktober sekitar pukul 00.15 mereka berangkat. Baru sekitar tiga jam setelah kapal meninggalkan pelabuhan Galala Ambon, sinyal sudah tidak ada. Hilang sama sekali. Dalam suratnya untuk pak Yoyok yang juga saya ikut membacanya, Nanda bercerita: "Sekitar tiga jam keluar dari Pelabuhan Galala Ambon kami sudah kehilangan sinyal. Dari situ sampai keesokan hari kami sampai di pulau Damer, tidak ada sinyal. Dan setelah sampai di pulau Babar, tepatnya di Tepa dan Letwurung tempat 12 teman kami bertugas, tetap tidak ada satu sinyal pun. Hingga akhirnya tanggal 22 Oktober sekitar pukul 05.00 WIT kami tiba di pulau Semarta tepatnya di desa Mahaleta, tempat saya bertugas. Sisa 19 orang dari kami turun di sini semua. Langsung saya dan teman-teman singgah di rumah salah satu guru yang sampai sekarang menjadi tempat singgah saya sebelum rumah kepala desa selesai dibangun. Sampai di situ kami mengeluarkan HP dan harapan punah, tidak ada sinyal setengah bahkan seperempat garis pun."

Saya membayangkan Sumba Timur, lalu Talaud. MBD, saya yakin, kondisinya jauh lebih parah. Kami masih bisa sesekali menanyakan kabar pada para peserta SM-3T yang ada di Sumba, Talaud, dan juga Aceh Singkil. Tapi untuk MBD, kami sama sekali tidak bisa menanyakan kabar. Yang bisa kami lakukan adalah menunggu mereka mengirim kabar, baik lewat telepon kabel yang ongkosnya sangat mahal, atau lewat surat seperti ini.

Nanda menceritakan bahwa untuk mencapai desa lain, transportasi di sana dengan menggunakan perahu motor (di sana disebut motor). Tidak ada kendaraan bermotor di darat karena belum ada akses jalan. Untuk mencapai desa sebelah, menurut Nanda, bisa menggunakan dua alternatif. Pertama melalui laut menggunakan perahu motor dengan biaya 250 ribu-an. Yang kedua melalui jalur darat dengan track berupa gunung-gunung tandus serta pesisir pantai dengan bebatuan karang yang membuat kaki sulit melangkah. Rata-rata perjalanan dari satu desa ke desa lain dapat ditempuh dengan jarak dua jam jalan kaki.

"Sebelumnya saya mewakili teman-teman mohon maaf karena sesampai di sini tidak bisa langsung memberi kabar. Karena memang tidak ada sinyal sama sekali di kecamatan Mdona Hyera tempat kami mengajar. Namun karena desa tempat saya (Mahaleta) menjadi tempat berlabuhnya kapal, sehingga ada kesempatan untuk saya menitip surat pada masyarakat yang pergi ke Kupang untuk dikirim lewat pos. Kebetulan tanggal 15 Desember esok merupakan kapal terakhir sebelum nanti akhir Desember ada musim barat yang tidak ada kapal karena gelombang besar. Baru nanti sekitar bulan April kapal kembali beroperasi. Sedikit informasi untuk tim monev yang ke MBD nanti, ibu, supaya tidak salah informasi pemberangkatan kapal."

Para guru muda itu, menurut Nanda, sekarang punya kebiasaan baru. Mengirim surat yang dititipkan pada warga yang pergi ke desa sebelah baik yang jalan kaki maupun naik perahu motor. "Surat pertama yang membuat saya menangis adalah ketika tanggal 26 Oktober 2012 tepat hari raya Idul Adha kami tidak bisa keluar desa. Kami berlebaran sendiri dengan diri kami masing-masing. Rasanya sedih sekali, apalagi saat itu baru hari keempat. Tepat sebelum maghrib ada murid kami berteriak, ada surat dari Tepa (kecamatan sebelah yang dapat ditempuh dalam waktu satu hari dengan kapal). Surat dari Risna dan Noval, isinya memberikan kabar dan memberitahu kalau di tempat mereka ada sinyal. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya di zaman modern seperti ini, saya masih bisa merasakan berkomunikasi melalui surat. Surat menjadi begitu berharga buat kami. Jadi sekarang kalau ada hal penting kami selalu mengirim surat yang dititipkan pada masyarakat. Kalau ada kesempatan pun kami saling mengirim masakan atau sayuran. Walau kedengarannya hal itu lucu dan aneh, tapi so sweeettt...".

"Bahagia itu syukur". Begitu lanjut Nanda. "Dulu kalimat itu hanya sebuah kalimat yang saya dengar atau saya baca. Tapi di sini, setelah dua bulan saya banyak mendengar, melihat dan mengalami, kalimat itu saya pahami maknanya. Bahagia itu bukan dari seberapa besar atau seberapa banyak yang kita dapat, tapi seberapa besar rasa syukur kita meski mungkin sedikit yang kita punya. Di sini, bahagia itu ketika pulang sekolah lapar dan di meja ada sukun rebus; bahagia itu ketika haus dan masih ada air masak walau masih sedikit hangat; bahagia itu ketika di kamar mandi ada air bersih, ketika mau masak ada kayu bakar, ketika di kebun ada daun singkong muda untuk dibuat sayur. Bahagia itu ketika kita lapar dan tidak ada makanan kecuali nasi putih yang dicampur garam dan kelapa (hahaha....rasanya enak sekali)."

Nanda begitu pandai menguntai kata-kata. Kalimatnya lancar, deskripsinya begitu detil, dan perasaannya begitu terlibat. Ada dua lembar suratnya untuk saya, dua lembar untuk pak heru dan berlembar-lembar untuk pak Yoyok. Nanda adalah alumnus PGSD, mahasiswa pak Yoyok, tidak heran kalau dia begitu dekat dengan pak Yoyok. Di suratnya untuk pak Yoyok dia begitu lepas bercerita, semua hal yang unik, lucu, menyenangkan, sekaligus hal-hal yang mengharu-biru dan menguras air mata. Membaca surat-surat itu, saya serasa ingin terbang saja ke MBD, memeluk hangat mereka semua, melepas kerinduan saya pada mereka. Anak-anak muda yang hebat dan membuat kami semua bangga.

Nanda juga mengirim CD berisi video dan foto-foto. Di dalam salah satu video yang dibuatnya sendiri, "bermain sampan", nanda bermain sampan di laut yang luar biasa indah dengan murid-muridnya. Dia mengayuh sampan sampai agak ke tengah laut dan anak-anak kecil berkulit hitam itu berebut menaiki sampannya. Riang sekali mereka. Foto-fotonya juga sangat bagus. Konon, Nanda memang menyukai fotografi. Laut, bukit, gunung, rumah, dapur, sekolah, jalan, semua dipotretnya. Sebuah fotonya yang membuat hati saya bergetar dan mata mbrebes mili adalah ketika dia berpose di pantai dengan tulisan" SM-3T Unesa" yang besar sekali terukir di pantai. Juga sebuah foto temannya yang mengenakan topi, dan tulisan "SM-3T Unesa" begitu jelas. 

"Semoga ibu dan semua yang ada di sana selalu baik-baik saja dan sehat. Kami tunggu kedatangan ibu dan tim monev di MBD. Saya juga mengucapkan terimakasih pada ibu dan panitia SM-3T hingga sekarang saya berada di tempat ini. Mungkin bukan hal yang mudah pada awalnya. Tapi kami berusaha sebaik mungkin untuk beradaptasi dan menjalankan hari-hari kami di sini. Banyak sekali pelajaran yang saya dapat dalam segala keterbatasan dan kesederhanaan. Mungkin di sini saya rindu Jawa dan semua yang di sana. Tapi ketika kembali ke Jawa mungkin rindu saya tentang semua yang ada di sini akan lebih besar. Mungkin dengan cara menjalani setiap waktu di sini sebaik-baiknya akan meminimalisir rasa rindu ketika selesai masa tugas kami."

"Demikian surat saya, ibu. Semoga surat ini bisa sampai ke bu Luthfi. Jika ada kesempatan lagi untuk berkirim surat atau telepon, insyaallah saya akan berkabar lagi. Mohon doanya semoga kami selalu diberi kesehatan dan kelancaran menjalankan tugas sebaik mungkin."

Itulah penutup surat Nanda. Selamat berjuang, Nanda. Selamat berjuang semua. Tentu saja doa kami akan selalu menyertai kalian. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan dan ketabahan yang berlipat-lipat agar kalian dapat menunaikan tugas mulia ini dengan baik. Salam kami semua. Salam MBMI. Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia.

Surabaya, 28 Desember 2012

Wassalam,
LN

Rabu, 26 Desember 2012

Dies Natalis Unesa 2012: Bangsa, Negara, Nasionalisme dan HAM

Pagi ini, bertempat di Gedung Serba Guna Unesa, dilaksanakan Rapat Terbuka Senat Universitas Negeri Surabaya dalam Rangka Dies Natalis ke-48. Seperti biasa, acara dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, dilanjutkan dengan mengheningkan cipta dan pembukaan Rapat Terbuka oleh Rektor Unesa, Prof. Dr. Muchlas Samani.

Selanjutnya acara dilanjutkan dengan orasi ilmiah oleh Ketua Komnas Hak Asasi Manusia (HAM). Dr. Otto Nur Abdullah, Ketua Komisi HAM, mengemukakan berbagai hal terkait dengan awal mula terbentuknya Komisi HAM, tujuan, pengertian, dan juga menjelaskan panjang lebar tentang relasi historis antara bangsa dan negara.

Inilah sekelumit tentang konsep relasi historis antara bangsa dan negara itu.

Pertama, untuk negara-negara modern yang terlebih dahulu ada seperti Perancis, Spanyol dan Inggris, maka negara yang menciptakan bangsa. Negaralah yang mendefinisikan bangsa sehingga identitas nasional merupakan proyek politik para elite.

Kedua, untuk negara-negara yang baru merdeka setelah Perang Dunia I dan II, maka bangsa lebih dahulu terbentuk daripada negara. Bangsa membentuk negara. Bangsa mendefinisikan negara. Oleh karena itu negara-negara demikian diperjuangkan oleh bangsa, bahu-membahu antar warganegara. Karena itu pula negara disebut sebagai sebuah republik, untuk menegaskan bahwa negara diperuntukkan bagi bangsa, bukan sebaliknya.

Untuk Indonesia, menurut Otto, bila kita mengacu pada sejarah politik, dengan kemunculan gerakan kebangsaan, yakni gerakan nasionalisme sessionist yang bangkit sejak awal abad 20, maka Indonesia merupakan negara yang dibentuk oleh bangsa. Bangsa Indonesia-lah yang melahirkan Republik Indonesia, sehingga peruntukan negara bagi bangsa direfleksikan dalam mukaddimah konstitusi, UUD 1945, yakni negara diciptakan dalam perspektif HAM, untuk memberikan hak-hak asasi manusia yang melekat pada setiap warganegara Republik Indonesia.

Namun dalam perjalanan politik setelah negara dibentuk, seakan-akan bangsa menjadi persembahan untuk negara. Nasionalisme menjadi proyek elite politik. Nasionalisme dikonstruksi untuk memobilisasi setiap warganegara bagi kepentingan politik elite. Nasionalisme menjadi ideologi yang memaksa. Akibatnya negara bukan berkembang menjadi inklusif terhadap bangsa, akan tetapi tumbuh menjadi ekslusif terhadap bangsa sehingga tidak mampu menampung kemajemukan atau ke-bhinneka-an warga bangsa. Padahal kemajemukan itu selalu hadir dalam interaksi politik (bernegara) dalam kehidupan sehari-hari hingga saat ini.

Otto juga mengingatkan betapa bahayanya apabila nasionalisme menjadi proyek elite politik. Negara akan menelan bangsa yang justeru telah menciptakan negara. Menurut Otto, di sinilah pentingnya kehadiran akademisi, atau kaum intelektual pada umumnya, yakni untuk menyumbangkan pemikirannya yang dapat mengingatkan asal-usul kita berbangsa dan bernegara dan, secara kritis mengoreksi pemikiran tentang nasionalisme yang telah didominasi oleh elite negara, lalu mengorientasikan ke arah yang sesungguhnya sehingga warga bangsa dapat hidup sehat.

Tentu saja masih banyak hal yanh dikemukakan oleh Otto. Termasuk beberapa lontaran pertanyaan: sudahkah negara, dalam hal ini pemerintah, melakukan penegakan HAM dengan memberikan kebenaran pada para korban pelanggaran HAM dan ahli warisnya? Apakah negara, dalam hal ini pemerintah, sudah dan sedang melakukan perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi setiap warganegara?

Menutup orasinya, Otto mengucapkan terimakasih dan penghargaan pada Unesa yang telah memberikan kesempatan pada Komnas HAM untuk berpartisipasi dalam acara peringatan berdirinya akademi ini yang ke-48. Sebuah usia yang sudah sangat matang dalam berakademi di Republik ini. 

Dirgahayu, Unesa. Semoga tetap jaya, sebagaimana yang selalu dikumandangkan dalam lagu Mars Unesa.

"Semangat berjuang mengabdi nusa bangsa
Kembangkan ilmu dan seni, membangun berdasarkan Pancasila
Siaga bela negara, tingkatkan peranan sumber daya manusia, demi Indonesia tercinta.
Wujudkan, amalkan ilmu, iman dan takwa,
UNESA TETAP JAYA....."

Gedung GSG, Kampus Unesa, 27 Desember 2012

Wassalam,
LN

Diskusi PPG Hari Ini

Pagi ini saya dijadwalkan mengisi acara Diskusi Pendidikan Profesi Guru di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Brawijaya (UB). Permintaan untuk menjadi narasumber ini sudah diluncurkan oleh bu Ulfah, salah satu dosen di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jepang, salah seorang panitia diskusi, sejak awal semester, dan baru bisa saya penuhi pada menjelang akhir semester ini.

FIB UB memiliki tiga Program Studi Pendidikan, yaitu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris, Pendidikan Bahasa dan Sastra Jepang. Prodi pendidikan ini berdiri sejak dua tahun yang lalu. Sebagian besar dosennya masih muda belia, ada beberapa yang lulusan Unesa. Beberapa sudah doktor dari luar negeri, beberapa dari mereka masih menempuh S2/S3 di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra PPs Unesa.

Diskusi yang diikuti oleh 45 dosen itu dibuka PD 1 FIB, Prof. Ir. Ratya Anindhita, MS., Ph.D. Dalam sambutannya, Prof. Dhita, begitu panggilan akrabnya, menyampaikan bahwa keinginan untuk mengadakan diskusi ini sudah lama. Begitu banyak pertanyaan dari mahasiswa yang belum terjawab menyangkut apakah mahasiswa nanti akan memiliki Akta IV mengingat mereka kuliah di prodi pendidikan; mengapa harus ikut PPG sedangkan mereka sudah menempuh perkuliahan di prodi pendidikan; apa konsekuensinya bila lulusan tidak mengikuti PPG; dan berbagai pertanyaan lain.

Maka diskusi pagi ini, mulai pukul 09.00-12.00, sangat gayeng karena begitu banyak pertanyaan dari para dosen. Peribahasa ikan sepat ikan gabus (lebih cepat lebih bagus) tidak berlaku di sini. Kalau tidak mengingat waktu, diskusi bisa-bisa kebablasan sampai seharian karena begitu banyaknya keingintahuan mereka tentang PPG. Saya menyampaikan apa itu PPG, proses rekrutmen, kurikulum, evaluasi, uji kompetensi, dan perjalanan PPG mulai dari awal sampai saat ini. Juga tentang bagaimana seharusnya kurikulum S1 dikemas agar selaras dengan kurikulum PPG. Hal-hal yang ternyata sebagian besar masih belum mereka pahami.                                                                                              
Dr. Sugeng, ketua prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris mengakui bahwa ketika UB memutuskan untuk membuka program pendidikan, itu merupakan keputusan yang berani. Sampai saat ini, izin operasional dari Dikti belum turun, borang akreditasi sudah dikirimkan ke BAN-PT dan saat ini sedang menunggu untuk divisitasi. Dua-tiga tahun lagi, prodi-prodi tersebut sudah meluluskan, namun gambaran seperti apa kelanjutan 'nasib' para lulusan nanti masih samar-samar. Namun dengan adanya diskusi hari ini, para dosen sudah memperoleh gambaran, betapa mau tidak mau, bila ingin lulusannya menjadi guru, tidak ada pilihan lain kecuali harus menempuh PPG. Empat tahun perkuliahan mereka adalah pendidikan akademik; oleh karena guru adalah sebuah profesi, maka mereka harus menempuh pendidikan profesi, dan itulah PPG. Begitulah amanah UU Sisdiknas dan UUGD.

Berkaitan dengan SM-3T yang saat ini merupakan kebijakan dalam perekrutan peserta PPG, para dosen itu nampak 'terkaget-kaget'. Betapa 'soro'nya hanya untuk bisa menjadi guru. Apa sih urgensinya itu semua? Begitulah 'gugatan' salah satu dosen dari prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris.

Tidak salah pertanyaan tersebut. Masa pengabdian setahun di daerah 3T bukanlah tugas yang ringan. Tapi misi SM-3T ini sangat sesuai untuk lebih membekali para calon guru dengan pengalaman nyata di lapangan. Selain juga untuk misi mulia turut membantu percepatan pembangunan pendidikan di daerah 3T, misi yang lain adalah untuk mengembangkan wawasan dan jiwa keindonesiaan serta turut berpartisipasi dalam menjaga keutuhan NKRI. Saya memberikan banyak ilustrasi betapa para peserta SM-3T itu harus berjuang sedemikian rupa untuk memecahkan berbagai persoalan pendidikan, di antara tajamnya perbedaan kultur dan agama. Namun mereka benar-benar mampu survive. Pada awalnya mungkin iming-iming PPG menjadi motivasi utama. Namun setelah mereka terjun ke daerah 3T, panggilan jiwa untuk menjadi bagian dari pembangunan pendidikan di pelosok Indonesia itulah yang lebih mengedepan. Ini terbukti, sebagian besar dari mereka memastikan diri untuk kembali ke daerah 3T tempat tugas mereka setelah menyelesaikan PPG.

PPG adalah 'pertaruhan terakhir' LPTK untuk menghasilkan guru yang profesional. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kompetensi guru. Sertifikasi dengan portofolio, sertifikasi dengan PLPG, belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Selain itu, mengingat jumlah LPTK yang lebih dari 300 di seluruh Indonesia, dengan mutu yang sangat beragam, mulai dari kelas 'jembret' sampai kelas unggul, PPG adalah filter untuk menghasilkan guru-guru yang profesional. Faktanya, setiap tahun dihasilkan ribuan lulusan LPTK, hal ini tidak sebanding dengan jumlah kebutuhan guru, sehingga terjadi oversupply. Maka untuk mendapatkan guru-guru yang unggul, PPG merupakan jalan keluar. Dan bila saat ini sampai beberapa tahun ke depan kebijakan PPG menyangkut inputnya adalah hanya mereka yang telah melaksanakan pengabdian melalui SM-3T, maka akhirnya hanya mereka yang memang benar-benar terpanggil untuk menjadi guru sajalah yang akan menjadi guru. 

Malang, 26 Desember 2012

Wassalam,
LN

Selasa, 25 Desember 2012

Semanggi Suroboyo

Siapa penggemar semanggi? Makanan khas Surabaya yang bahan pokoknya adalah daun semanggi yang direbus, ditaburi sejumput taoge panjang di atasnya, ditutup dengan saus kacang yang dicampur dengan lumatan ketela rambat dan sedikit petis dan cabe, serta disajikan dalam sebuah 'pincuk'? Dua buah krupuk yang lebar-lebar ditumpangkan di atas hidangan tersebut. Krupuk itu tidak hanya sebagai pelengkap semanggi, namun sekaligus juga berfungsi sebagai sendok.
Anda bisa menyendok semanggi itu sesuap demi sesuap menggunakan krupuk itu. Atau bila Anda lebih suka makan dengan sendok yang sebenarnya, tersedia juga sendok plastik untuk Anda.

Bila Anda berjalan-jalan atau bersepeda di Masjid Al-Akbar atau lebih dikenal sebagai Masjid Agung Surabaya di pagi hari, terutama pada hari Sabtu dan Minggu, Anda akan menjumpai para ibu penjual semanggi. Mereka adalah ibu-ibu yang usianya sekitar empat puluhan, semuanya berjilbab, rapi, bersih, bermake-up tipis, ramah dan selalu tersenyum melayani pelanggan. Sebuah keranjang wadah semanggi, taoge, dan sambal ada di depan mereka, juga sekantung plastik besar krupuk puli. Selembar dua lembar tikar digelar di sisinya, dengan sebotol dua botol air bersih yang disediakan untuk mencuci tangan. Beberapa gelas air mineral sebagai pelepas dahaga seusai menikmati sepincuk semanggi.

Sangat berbeda dengan kesan yang ditampilkan oleh para penjual semanggi di masa lalu. Perempuan-perempuan tua, berkebaya dan berkain panjang kusam, keranjang semanggi disunggi di atas kepalanya, dan semanggi dijual dengan berkeliling dari satu kampung ke kampung lain atau dari satu perkantoran ke perkantoran lain. Penampilan mereka yang terkesan kurang bersih jauh dari menarik. Keadaan tersebut membuat semanggi pada saat itu menjadi makanan yang tidak berkelas, bahkan dianggap bisa menurunkan 'gengsi sosial' bagi orang yang mengonsumsinya. 

Ya, seperti itulah nasib semanggi suroboyo dan beberapa jajanan tradisional pada tahun 90-an yang lalu. Data menunjukkan bahwa makanan tradisional amat sulit disandingkan dengan makanan modern, seperti makanan yang dijual di restoran cepat saji atau di waralaba. Kenyataannya memang makanan modern lebih memiliki daya pikat bagi konsumen karena lebih praktis, cepat dalam penyajian dan mengandung 'gengsi' bagi sementara golongan masyarakat. Lebih-lebih dalam pemasarannya, makanan modern ini dibarengi dengan promosi yang sangat meluas dan menggoda, baik melalui media cetak maupun media elektronik.

Namun sejak beberapa tahun belakangan ini, pamor makanan tradisional mulai terangkat. Banyak restoran yang menyajikan beberapa menu makanan tradisional di antara menu pilihan makanan modern. Pada acara-acara pesta di gedung-gedung, di hotel atau di restoran-restoran besar, hidangan tradisional seperti tahu campur, lontong kikil, soto madura, nasi krawu, dan lain-lain, menjadi hidangan yang disukai. Sejajar dengan berbagai hidangan modern seperti asparagus cream soup, fruit salad, galantine steak, fried chicken dan omelet. Bahkan ada kecenderungan, makanan tradisional yang biasanya disajikan di joglo-joglo itu lebih diserbu para tamu daripada makanan utama yang disajikan di meja-meja prasmanan yang besar dan panjang.

Meningkatnya citra makanan tradisional ini tentu saja tidak lepas dari upaya berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun akademisi. Di kalangan perguruan tinggi, dikenal ada kegiatan rutin yang namanya Widyakarya Nasional Makanan dan Gizi, Seminar Nasional Makanan Tradisional, serta berbagai event lain semacam gelar dan lomba-lomba, yang memberi porsi besar pada pengkajian dan pameran makanan tradisional dengan berbagai aspeknya (misalnya aspek ekonomi, kesehatan dan teknologinya). Pemerintah melalui Badan Ketahanan Pangan juga terus-menerus melakukan sosialisasi peningkatan mutu dan keamanan makanan tradisional melalui pelatihan, seminar, pendampingan, yang sasarannya mulai dari ibu-ibu PKK, petugas ketahanan pangan, serta para praktisi/pengusaha bidang pangan tradisional. Berbagai hasil penelitian makanan tradisional juga banyak dipublikasikan di berbagai jurnal, baik jurnal yang belum terakreditasi, terkreditasi nasional maupun beberapa jurnal internasional.

Kondisi tersebut relevan dengan apa yang dikemukakan Green (1990), bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi konsumsi, yaitu: faktor predisposisi perorangan, faktor dukungan pemerintah dan swasta, dan faktor penguat. Faktor predisposisi perorangan berkaitan dengan kebiasaan, kepercayaan, pengetahuan dan sikap seseorang terhadap makanan tertentu. Faktor dukungan pemerintah dan swasta berhubungan dengan upaya-upaya yang dapat dilakukan sehingga keberadaan makanan tradisional tersedia kapan saja dibutuhkan, terjangkau daya beli, digemari, mudah didapat, modis, penjualnya terampil dan menyenangkan, tempatnya nyaman serta tersedia informasi rujukan. Faktor penguat antara lain meliputi ajakan teman dekat, dukungan orang tua, ajakan orang panutan seperti atasan, guru, petugas kesehatan dan sebagainya yang menganjurkan untuk mengonsumsi makanan tradisional tersebut.

Bicara tentang semanggi, saya bersama seorang rekan dosen pernah melakukan penelitian yang berjudul 'Pola Konsumsi dan Nilai Sosial Makanan Tradisional Semanggi'. Penelitian tersebut kami lakukan pada tahun 2003, didanai dari DIK Unesa. Berdasarkan hasil penelitian, penjual semanggi yang ada di Surabaya hampir seluruhnya berasal dari kecamatan Benowo, khususnya dari desa Kedung, kelurahan Sememi. Bahan dasar berupa daun semanggi mereka peroleh dari para pemasok secara berlangganan. Rata-rata para penjual yang jumlahnya sekitar empat puluh orang itu membeli sebanyak 5-10 takar sehari, dengan harga Rp. 5.000 - Rp. 7.500 per takarnya. Penjual semanggi pada umumnya adalah ibu rumah tangga yang berjualan semanggi sebagai mata pencahariannya. Mereka mengolah semanggi setelah subuh, berangkat pada sekitar pukul 07.00, memasarkannya secara berkeliling dan berpindah-pindah. Mereka juga memanfaatkan angkutan umum untuk memasarkan semanggi. Daerah pemasaran mereka antara lain: Rungkut, Medokan Ayu, Rungkut Wonorejo, Semolowaru, Rungkut Kedungbaruk, dan Penjaringan Sari. Semanggi ini dipasarkan di wilayah perumahan, perkampungan, perkantoran, kampus, dan pasar. Semanggi juga ada yang dijual secara menetap di pusat jajanan, misalnya di Lantai III Jembatan Merah Plaza (JMP). Pada saat itu, harga semanggi berkisar Rp.2.500 - Rp.3.000.

Semanggi sebenarnya cukup disukai oleh berbagai kalangan, baik pria maupun wanita, remaja maupun dewasa, ibu rumah tangga maupun wanita bekerja serta mahasiswa dan pelajar. Bagi penyuka semanggi, mereka bahkan mengonsumsi semanggi 1-2 kali seminggu. Mereka mengonsumsi semanggi sebagai makanan selingan. Namun penampilan hidangan semanggi yang kadang-kadang daunnya tidak lagi hijau namun ada sebagian yang kekuningan, ditambah dengan penampilan penjualnya yang kurang bersih serta perilakunya kurang higienis, membuat hidangan semanggi kurang mendapat tempat di hati masyarakat.

Untunglah pada saat ini, dengan semakin meningkatnya kesadaran para penjual semanggi, dan begitu banyaknya tempat-tempat untuk berjualan semanggi, semanggi semakin dikenal dan ternyata juga disukai oleh masyarakat luas. Harga saat ini yang berkisar Rp. 5.000,- merupakan harga yang sangat rasional. Semanggi yang bergizi tinggi karena kandungan mineral dan vitamin serta seratnya ini sangat layak sebagai salah satu primadona makanan tradisional Jawa Timur.

Mari kita nikmati semanggi suroboyo. Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi? Tanpa upaya dari kita, maka makanan tradisional, termasuk semanggi, benar-benar akan menjadi makanan yang klasik, yang hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang ingin bernostalgia.

Surabaya, 23 Desember 2012

Wassalam,
LN