Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Rabu, 06 Maret 2013

DEVELOPMENT MODEL OF PATISSERIE PROJECT-BASED LEARNING


The study aims to find a model of patisserie project-based learning with production approach that can improve effectiveness of patisserie learning. Delphi Technique, Cohen's Kappa and percentages of agreements were used to assess model of patisserie project based learning. Data collection techniques employed in the study were questionnaire, check list worksheet, observation, and interview sheets. The results shows that model of patisserie project based learning with production approach can be used in patisserie learning, with a fairly high level of agreement, which is 0.78 average Cohen's Kappa coefficient. The model was implemented very well, as shown by 94.77% average implementation. Thus, model of patisserie project based learning with production approach can be used to improve the quality of patisserie learning. The results shows that model of patisserie project based learning with production approach can be used in patisserie learning with a fairly high level of agreement in 0.78 average Cohen's Kappa coefficient. The model was implemented very well, as shown by 94.77% average implementation. Thus, model of patisserie project based learning with production approach can be used to improve the quality of patisserie learning. Subjects were 13 lectures of expertise food and nutrition and 91 students of Food and Nutrition Program from UPI, UNY, UNESA and UM.

Keyword: Patisserie, Patisserie Project-Based Learning Model

Untuk membacanya lebih lengkap silakan KLIK DI SINI

Rabu, 27 Februari 2013

Pembukaan PPG-SM3T Unesa

Pagi tadi telah dilaksanakan acara Pembukaan PPG-SM3T Unesa dan Program Pengenalan Akademik (PPA). Sebagai gambaran sekilas tentang apa, siapa, bagaimana, di mana dan mengapa program PPG-SM3T itu, berikut saya sertakan laporan saya selaku koordinator PPG Unesa kepada Rektor Unesa pada acara pembukaan tersebut.

"Laporan Koordinator PPG Unesa kepada Rektor"




Assalamualaikum wr. wb.

Yth.
- Rektor
- Pembantu Rektor 1
- Para Dekan
- Para Pembantu Dekan 1
- Kepala Biro, UPT, dan lembaga
- Para ketua program studi penyelenggara PPG-SM3T
- Tim PPG-SM3T
- Serta para peserta PPG SM3T Unesa yang berbahagia,

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena pada pagi hari ini, Kamis, 28 Februari 2013, kita semua dapat bertemu di Ruang Sidang FIP ini, dalam rangka melaksanakan kegiatan Pembukaan dan Program Pengenalan Akademik (PPA) PPG-SM3T Unesa; dalam keadaan sehat dan sejahtera.

Terimakasih atas kehadiran bapak Rektor, ibu Pembantu Rektor, dan seluruh undangan, karena sudah berkenan meluangkan waktu untuk bersama-sama mengikuti acara penting ini. Acara ini penting, karena sejak saat ini, Unesa secara resmi telah menjadi LPTK Penyelenggara PPG, satu di antara 12 LPTK yang diberi kepercayaan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. PPG itu sendiri begitu pentingnya, karena inilah pertaruhan terakhir LPTK sebagai lembaga pencetak tenaga pendidikan yang profesional.

Bapak Rektor dan para undangan yang saya hormati,
PPG ini diikuti oleh alumni peserta SM3T, oleh sebab itu disebut PPG-SM3T. Sebuah program yang disiapkan oleh pemerintah sebagai 'reward' bagi para guru pengabdi yang telah mendedikasikan diri mereka berjuang di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), selama satu tahun (November-Oktober 2011). Mereka telah memperoleh cukup banyak pengalaman berharga selama mengemban tugas mulia mereka, sebagai 'agent of change', baik dalam bidang pendidikan, maupun dalam bidang sosial-kemasyarakatan. Mereka telah membuktikan diri 'mampu bertahan' menghadapi berbagai tantangan dan persoalan di tempat pengabdian mereka, di antara tajamnya perbedaan kultur dan agama. Mereka adalah calon guru profesional yang telah ditempa oleh alam, dan layak untuk menjadi tumpuan harapan kita semua akan hadirnya sosok-sosok guru yang andal di masa depan. Mereka jugalah yang akan menentukan seperti apa generasi pada era Indonesia emas yang akan datang, karena bersama mereka, dari tangan-tangan mereka, akan lahir putra-putri yang akan menjadi penerus bangsa. Sebagaimana yang dikatakan BJ. Habibie, terkait dengan generasi 2045 (generasi emas Indonesia), Habibie menekankan betapa pentingnya memikirkan berbagai persoalan saat ini, termasuk menyiapkan guru-guru yang profesional. Karena bila tidak, maka apa yang akan terjadi pada tahun 2045 nanti, bisa jadi tanpa kita. Bukan tanpa kita sebagai manusia, tetapi tanpa kita sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bapak Rektor dan para undangan yang saya hormati,
PPG-SM3T Unesa diikuti oleh 278 peserta. Terdiri dari peserta laki-laki sebanyak 108, dan peserta perempuan sebanyak 170. Para peserta tidak hanya berasal dari peserta SM3T Unesa, tapi juga dari beberapa LPTK yang lain, yaitu: Unimed, UNP, UNY, Unnes, UM, Unima, UNG dan Undiksha. Mereka akan mengikuti PPG pada 12 program studi, yaitu: BK (15 orang), PG-PAUD (21 orang), PGSD (32 orang), Pendidikan Bahasa Indonesia (24 orang), Pendidikan Bahasa Inggris (24 orang), Pendidikan Bahasa Jepang (26 orang), Pendidikan Biologi (10 orang), Pendidikan Matematika (42 orang), Pendidikan Kewarganegaraan (19 orang), Pendidikan Sejarah (20 orang), Pendidikan Ekonomi (20 orang), dan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi (25 orang).

Seluruh peserta akan menempuh PPG selama 1 semester (untuk PG-PAUD dan PGSD) dan 2 semester (untuk program studi yang lain). Selama menempuh PPG, semua peserta diasramakan, dengan demikian kegiatan pengembangan kepribadian dan kompetensi tidak hanya di dalam kampus dan di sekolah mitra, tetapi juga dirancang sedemikian rupa, termasuk kehidupan di asrama. Bahkan kehidupan di asrama ini juga turut menentukan kelulusan peserta dalam mengikuti PPG. Perlu kami sampaikan juga, terkait dengan asrama, peserta laki-laki menempati Asrama PGSD (yang saat ini masih dalam proses renovasi, sehingga sedikit banyak para peserta akan terganggu dengan kegiatan renovasi ini); dan karena asrama tidak cukup, sebagian kecil peserta (24 orang) menempati sebuah rumah kontrakan di Jalan Lidah Wetan gang 4. Peserta perempuan menempati Rusunawa Unesa. Meskipun para peserta tinggal di tiga lokal, namun dipastikan mereka semua akan sepenuhnya mengikuti setiap kegiatan asrama.

Kegiatan workshop PPG dilaksanakan di Gedung PPG, yang saat ini juga masih dalam proses pembangunan. Lebih lanjut, kegiatan Praktek Pengenalan Lapangan (PPL) dan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) akan dilaksanakan di sekolah mitra. Dengan demikian, selain para dosen yang akan menjadi instruktur di kegiatan workshop nanti, para guru pamong juga akan terlibat secara cukup intens. 

Bapak Rektor dan para undangan yang berbahagia,
Kegiatan Program Pengenalan Akademik (PPA) ini akan berlangsung selama dua hari, mulai 28 Februari sampai 1 Maret besok. Hari pertama ini, setelah pembukaan, akan diawali dengan Kuliah Umum oleh Rektor, dilanjutkan dengan materi-materi: Orientasi Umum PPG-SM3T; Sistem pembelajaran, PPL, Evaluasi; dan Kehidupan Berasrama. Selanjutnya hari kedua besok akan diisi materi: Kebijakan dan SOTK Tatakelola Pendidikan Pusat dan Daerah (Dr. Salamun, Kepala LPMP Jawa Timur); Etika dan Estetika Guru (Prof. Dr. Kisyani, PR 1 Unesa): serta Motivasi dan Dinamika Kelompok (Dr. Suyatno, Kepala Humas Unesa). Di ujung kegiatan PPA besok, para peserta akan dipandu melihat-lihat gedung PPG di mana ruang-ruang kelas untuk worksop dan ruang-ruang yang lain berada.

Workshop PPG sendiri akan dimulai pada tanggal 4 Maret. Pada saat ini, jadwal, dosen dan perangkat sudah disiapkan oleh kaprodi dan tim PPG Prodi. Ruang-ruang workshop dan perlengkapannya sudah disiapkan oleh teman-teman perlengkapan. Perangkat administrasi (termasuk data peserta, daftar hadir, jurnal kegiatan dsb) telah disiapkan oleh BAAK-PSI dan Puskom, serta tim PPG-SM3T. Kegiatan asrama sudah disiapkan dan akan terus didiskusikan oleh para pengelola asrama dan tim prodi. Mudah-mudahan segala sesuatunya dapat berjalan lancar sesuai dengan harapan kita semua, dan diridhoi Allah SWT. Amin YRA.

Bapak Rektor dan Bapak Ibu yang saya banggakan, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terimakasih yang setinggi-tingginya pada semua pihak yang telah dengan sepenuh hati mengupayakan supaya program ini dapat berjalan dengan optimal. Terimakasih kepada bapak ibu pimpinan Unesa, para Dekan, para PD1, para Kaprodi, Kepala BAAK-PSI, Kapuskom, Kepala BAUK, Para Pengelola Asrama PGSD dan Rusunawa, Humas Unesa, tim PPG-SM3T, dan semua pihak yang saya tidak mungkin sebutkan semuanya. Khusus kepada bapak Dekan FIP beserta seluruh jajarannya, terimakasih sudah menyediakan tempat untuk acara Pembukaan dan PPA ini, juga semua bantuan tenaga, fasilitas dan dukungannya. Juga, tentu saja, terimakasih pada para peserta PPG-SM3T yang sangat kooperatif, tertib, dan bisa dengan sabar dan penuh pengertian menerima kondisi yang bagaimana pun, termasuk kondisi asrama yang masih dalam perbaikan. Kesabaran, ketabahan dan ketahanmalangan yang telah tertempa dengan baik selama di tempat pengabdian. Saudara telah melalui banyak hal yang jauh lebih berat di Daerah 3T, sehingga kondisi seperti apa pun tidak akan membuat Saudara mudah mengeluh dan patah arang.

Pagi ini, di tengah perjalanan menuju Kampus Lidah tadi, secara kebetulan, saya membaca sebuah tulisan dari seorang teman di milis keluarga unesa. Dia menulis tentang perbedaan antara kesuksesan dan kegagalan. Sebuah pepatah mengatakan Roma tidak dibangun dalam sehari. Demikian juga kesuksesan tidak dibangun secara instan.  Apalagi jika itu adalah sebuah kesuksesan jangka panjang. Untuk mencapai sebuah tujuan
diperlukan kesabaran. Kesabaran adalah kunci dan fondasi untuk membangun kesuksesan. Oleh sebab itu, jika Anda merasa sudah cukup bersabar, maka tambahkan lagi dosis kesabaran Anda.
Perbedaan antara kesuksesan dan kegagalan adalah pada kesabaran dan ketekunan.

Bapak Rektor, demikian laporan saya. Selanjutnya saya mohon Bapak berkenan membuka secara resmi acara Pembukaan dan Program Pengenalan Akademik (PPA) bagi para peserta PPG-SM3T Unesa ini.

Mohon maaf bila ada kekhilafan. Semoga taufik dan hidayah Allah selalu menyertai kita semua.

Wassalam,

LN

Selasa, 19 Februari 2013

Orasi Ilmiah dalam Rangka Upacara Dies Natalis ke-37 dan Wisuda Universitas Nusantara PGRI Kediri

Assalamualaikum wr.
wb.

Yang saya hormati:
- Walikota atau yang mewakili
- Kopertis wilayah 7
- Muspika Kota Kediri
- PB PGRI Provinsi
- Pembina YPLP-PT PGRI Kediri
- Ketua YPLP-PT PGRI Kediri, Prof. Dr. Sugiyono
- Rektor UNP Kediri, Drs. H. Samari, SE. MM
- Anggota senat UNP dan segenap undangan, serta para wisudawan yang berbahagia.

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan karunia dan hidayah-Nya, sehingga kita semua dapat bertemu pada Upacara Dies Natalis ke-37 dan Wisuda UNP Kediri ini, dalam keadaan sehat wal afiat dan selalu dalam lindungan-Nya. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah pada junjungan kita Rasulullah SAW.

Bapak ibu dan hadirin yang saya hormati, saya berdiri di sini dalam rangka mewakili Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Prof. Dr. Muchlas Samani, yang saat ini tengah melaksanakan tugas untuk menjajagi berbagai peluang membangun jaringan kerjasama dengan universitas-universitas di luar negeri, khususnya pada saat ini, di Negeri Belanda. Sebuah upaya yang tidak bisa tidak harus kita lakukan bila kita ingin memiliki institusi yang kompetitif. Selain dimensi akuntabilitas, relevansi, kualitas dan otonomi kelembagaan, jaringan kerjasama merupakan salah satu dimensi penting dalam mengembangkan perguruan tinggi di era global ini.

Bapak ibu dan hadirin yang saya hormati, izinkan saya menyampaikan pokok-pokok pikiran dalam orasi ilmiah ini, dengan sebuah judul: "Membangun Sumber Daya Manusia yang Sehat dan Berkarakter melalui Peningkatan Daya Saing Universitas (khususnya LPTK)".

Kalau kita melakukan flash back mengacu pada hasil evaluasi Bank Dunia terhadap 150 negara pada tahun 1995, dikemukakan bahwa faktor penentu keunggulan suatu negara adalah: innovation (45 persen), networking (25 persen), technology (20 persen), dan natural resources (10 persen). Lebih dari lima belas tahun yang lalu, namun inovasi dan jejaring, juga teknologi, sudah mengambil posisi yang sangat penting dalam menyumbang keunggulan suatu negara. Kita yang mengalami masa itu tahu, belum banyak di antara kita yang memiliki laptop, telepon seluler, dan seterusnya. Persewaan PC ada di mana-mana, begitu juga dengan jasa telepon umum. Sangat berbeda dengan kondisi saat ini.

Belasan tahun berikutnya, Wagner (2008) mengemukakan konsep 'the survival skills for new generation'. Menurutnya, keterampilan-keterampilan penting untuk bisa bertahan hidup pada generasi baru ini meliputi: critical thinking and problem solving; collaboration across networks and leading by influence; ability and adaptability; initiative and entrepreneurialism; effective oral and written communication; accessing and analyzing information; serta curiousity and imagination. Kalau kita perhatian, semua ini lebih kepada pengembangan soft skills, selain juga, sebagaimana temuan Bank Dunia pada belasan tahun sebelumnya, networking dan teknologi tetap menjadi prioritas. Yang juga mungkin di luar pikiran kita adalah komunikasi tertulis dan kemampuan imajinasi. Dua hal yang ternyata sangat diperlukan untuk mampu survive dalam era saat ini.

Kita juga mengenal apa yang disebut "The 21st century knowledge and skills rainbow", di mana core subject dan tema-tema pada abad ke-21 ini juga tidak berbeda jauh dengan apa yang sudah dikemukakan oleh Bank Dunia dan Wagner, yaitu meliputi: life and career skills; learning and innovation skills; serta information, media and technology skills. Hal ini sangat relevan dengan sebuah artikel tentang tren skill masa depan, di mana semua yang berbasis rutinitas dan manual (routine cognitif, routine manual) cenderung menurun grafiknya. Sebaliknya hal-hal yang melibatkan expert thinking dan complex communication meningkat dengan sangat pesat.

Bapak ibu dan hadirin yang saya banggakan, maka tidak salah bila dikatakan, pada era global ini, hard skill/specific skil dan soft skill/generic skill/karakter, adalah ibarat dua sisi mata uang: tak terpisahkan.

Maka mari kita menjadi profesional. Berbagai penelitian menggambarkan, profesionalitas ternyata hanya ditentukan oleh 10 persen knowledge, 15 persen skill. Selebihnya yang sangat menentukan adalah interpersonal relationship (25 persen), dan yang paling menentukan lagi adalah attitude (50 persen). Dalam attitude inilah karakter melekat erat.

Tepatlah bila kementerian pendidikan nasional sejak tahun 2010 mencanangkan pendidikan karakter dalam rangka membangun karakter bangsa (nation character building). Perilaku berkarakter yang ditekankan meliputi olah pikir, olah hati, olah rasa/karsa dan olah raga; dengan nilai-nilai luhurnya: cerdas, jujur, peduli dan tanggung jawab. Kalau kita kembalikan pada sifat-sifat Nabi berati fathonah (cerdas), siddiq (jujur), tabligh (peduli) dan amanah (tangguh). Kesimpulannya, kita harus memiliki IQ (intellectual quotient), SQ (spiritual quotient), EQ (emotional quotient) dan AQ (adversity quotient).

Bapak ibu dan hadirin, saat ini, dalam rangka implementasi kurikulum 2013, kita mengenal adanya pergeseran paradigma belajar abad 21. Ciri abad 21 ini adalah: informasi (tersedia di mana saja dan kapan saja); komputasi (lebih cepat memanfaatkan mesin); otomasi (menjangkau segala pekerjaan ruitn); dan komunikasi (dari mana saja dan ke mana saja). Berdasarkan ciri-ciri ini, maka model pembelajaran diarahkan untuk mendorong peserta didik mencari tahu dari berbagai sumber, melakukan observasi, dan bukan diberi tahu; pembelajaran diarahkan untuk mampu merumuskan masalah (bertanya) bukan hanya menyelesaikan masalah (menjawab);  pembelajaran diarahkan untuk melatih berfikir analitis (pengambilan keputusan) bukan berfikir mekanistis (rutin); pembelajaran menekankan pentingnya kerjasama dan kolaborasi dalam menyelesaikan masalah.

Selanjutnya apa yg dimaksud daya saing? Daya bermakna kekuatan, saing berarti mencapai lebih dari yang lain dari segi mutu, atau memiliki keunggulan tertentu. Daya saing bermakna kekuatan untuk berusaha menjadi lebih baik dari yang lain, atau unggul dalam hal tertentu, baik yang dilakukan seseorang, kelompok, maupun institusi tertentu. Kemampuan daya saing meliputi: kemampuan memperkokoh posisi pasar, kemampuan menghubungkan dengan lingkungannya, kemampuan meningkatkan kinerja tanpa henti, dan kemampuan menegakkan posisi yang menguntungkan.

Untuk memiliki daya saing, perguruan tinggi harus memiliki visi dan misi yang berorientasi pada dimensi lokal sekaligus global. Dimensi lokal seperti akuntabilitas, relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan dan jaringan kerjasama, akan membawa perguruan tinggi menjadi institusi yang unggul. Akuntabilitas berkaitan dengan sejauh mana perguruan tinggi mempunyai makna dari the share holder, yaitu masyarakat. Perguruan tinggi bukanlah menara gading, oleh sebab itu diperlukan adanya partisipasi masyarakat. Perguruan tinggi tidak hanya berfungsi menggali dan mengembangkan ipteks, tapi juga suatu industri jasa untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Selanjutnya dalam aspek relevansi, perguruan tinggi seharusnya dapat memenuhi kebutuhan nyata di lapangan (ipteks, moral, etika dan agama). Dalam kaitan ini juga, sangat diperlukan adanya partisipasi dunia kerja dan industri. Pada dimensi kualitas, perguruan tinggi merupakan sumber SDM tingkat tinggi (kaum intelek). Sebagai agent of change. Pada aspek otonomi kelembagaan, institusi perguruan tinggi harus memiliki kebebasan akademik dan mimbar akademik, manajemen, penyusunan program, penganggaran, dan seterusnya. Sedangkan pada dimensi jaringan kerjasama, sepenuhnya kita menyadari bahwa perguruan tinggi bukanlah self-sufficient institution, dengan demikian perlu kemitraan yang sejajar antara semua perguruan tinggi, dunia usaha dan industri, lembaga riset, pemerintah daerah dan sebagainya.

Sebagai mana pada dimensi lokal, pada dimensi global, perguruan tinggi harus kompetitif, berorientasi pada kualitas, dan juga harus membangun jaringan kerjasama. Supaya memiliki daya kompetitif global, perguruan tinggi harus memiliki program unggulan. Kualitas perguruan tinggi juga sangat dipengaruhi oleh fasilitas dan mutu riset, serta terbitan dalam bentuk jurnal ilmiah internasional. jaringan kerjasama dengan perguruan tinggi terbaik di tingkat regional dan internasional, misalnya dalam bentuk pertukaran tenaga pengajar dan mahasiswa, riset bersama, dan sebagainya, akan menjadikan perguruan tinggi memiliki keunggulan dan daya saing.

Bagi perguruan tinggi, strategi untuk menghadapi berbagai perubahan yang terjadi dalam era global ini adalah tiga kata kunci, yaitu quality, efficiency dan relevance. Quality harus ditingkatkan terus-menerus secara terprogram (continuous improvement) sehingga diperoleh tingkat efisiensi terbaik dan kompetitif (competitive advantage), dibuktikan melalui kepuasan konsumen (customer focus); dan semua ini hanya bisa tercapai dalam sistem organisasi yang sehat dengan tatalaksana organisasi yang baik (good university governance).

Dalam kaitan ini, maka revitisasi LPTK harus dilakukan. Lesser (2001) mengemukakan suatu lembaga (termasuk LPTK) yang modern dan berkualitas memerlukan modal dasar: pengetahuan (intellectual capital); fisik (physical capital); sosial (social capital); dan manajemen berbasis mutu (total quality management). Kampus seharusnya merupakan pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, nilai-nilai, keterampilan dan pengembangan kapasitas pribadi (modal intelektual). Fasilitas fisik kampus termasuk ICT dan instrumen manajerial untuk memastikan proses pendidikan dan pembelajaran harus belangsung secara berkualitas dan nyaman (modal fisik). Di lain pihak, kampus harus merupakan entitas di dalam dan di luar kampus (modal sosial). Terakhir, prinsip-prinsip total quality management harus menjadi pedoman pengelolaan kampus (sistem manajemen yang berbasis mutu).

Selain itu kurikulum LPTK juga harus mendapat perhatian tersendiri. Didesain secara khusus dengan memperhatikan karakteristik khas profesi pendidikan yang mengedepankan: penguasaan keilmuan yang kuat; penguasaan ilmu pendidikan, filsafat pendidikan, psikologi pendidikan dan perkembangan, etika, dan pendidikan multi kultural; praktek pengajaran yang bukan sekedar praktek tetapi harus didesain di mana calon guru harus berada di lingkungan sekolah secara terus-menerus dalam waktu tertentu dengan pembinaan yang jelas dan terstruktur; mengamati dan mendiskusikan permasalahan yang ditemui di kelas, dan melakukan ujian berulang-ulang dengan karakteristik yang berbeda-beda sehingga dia dapat menghayati bagaimana menjadi seorang guru yang sesungguhnya; dan pengembangan kepribadian seperti kepemimpinan, peduli dan sayang kepada anak-anak, serta cinta profesi.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah penataan aktivitas mahasiswa. Aktivitas kehidupan kampus bukan hanya pada upaya menumbuhkan kecintaan dan penguasaan teknologi, tetapi juga diarahkan pada penguasaan keterampilan yang berhubungan dengan pertumbuhan profesinya sebagai bekal kelak manakala menjadi guru. Dengan demikian dapat diharapkan, kita akan mampu menghasilkan anak Indonesia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, kreatif, inovatif (pasal 1 UU Sisdiknas).

Bapak ibu dan hadirin yang saya hormati, guru profesional menjadi bagian dari guru yang efektif. Karakteristik guru profesional menurut Hay McBer (2000) adalah: kematangan pribadi, percaya diri, dapat dipercaya dan respek pada orang lain; kemampuan berpikir analitis dan konseptual; kemampuan perencanaan dan ekspektasi, inisiatif, dan senantiasa melakukan perbaikan; memiliki jiwa kepemimpinan seperti fleksibilitas, mengelola siswa secara akuntabel dan cinta belajar; serta hubungan dengan orang lain seperti bekerja di dalam tim dan memahami orang lain.

Tentang guru yang profesional, kita juga pasti sangat mengenal ungkapan ini: "Poor teacher tells, good teacher teaches, best teacher inspires the students".

Terakhir, bapak ibu dan hadirin yang saya banggakan, rahasia perusahaan yang berumur panjang bukan karena terkuat, melainkan yang paling adaptif. Maka marilah kita menjadi individu-individu yang adaptif dan memiliki kemampuan untuk berkembang. Mari kita  membentuk habit, selanjutnya, biarlah habit yang akan membentuk kita. Sebagaimana yang dikatakan Aristotle: "we are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit".

Untuk menutup orasi saya, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada pembina dan ketua yayasan, rektor, dan segenap civitas UNP Kediri. Kesempatan ini telah mempertemukan saya dengan orang-orang hebat yang sedang menjalankan sebuah institusi yang hebat. Kesempatan ini juga telah mempertemukan saya dengan bapak saya, Drs. Moeljadi, beliau adalah mantan PR2 di Unesa; juga dengan sahabat saya, Dr. Atrup, MM, teman seperjuangan ketika menempuh studi S3 di Universitas Negeri Malang.
Saya juga ingin mengucapakan selamat kepada para wisudawan serta para orang tua dan keluarga. Selamat, satu tahap telah sukses terlampaui. Semoga jalan ke arah masa depan yang cemerlang terbentang luas, dan semoga Saudara semua bisa meraih cita-cita luhur Saudara, serta mampu membawa Indonesia menjadi lebih baik dan bermartabat.

Terakhir, mohon maaf bila ada kekhilafan dalam kata-kata dan perilaku saya. Billahi taufiq wal hidayah, wassalamualaikum wr wb.

Kediri, 19 Februari 2013

LN

Sabtu, 02 Februari 2013

Aceh Singkil 4: Catatan yang Tercecer (Tamat)

Tiga hari berkelana di Aceh Singkil memberikan banyak pengalaman berharga bagi saya dan teman-teman satu tim. Wilayah yang terdiri dari daratan dan kepulauan, dengan masyarakat dari berbagai suku, dan mayoritas penduduknya muslim (meski ada satu pulau yang hampir seratus persen penduduknya adalah nonmuslim), serta keberadaan berbagai adat dan budaya, semakin membuka mata kita betapa kayanya Tanah Air Indonesia. Lengkap dengan kekayaan alam (terutama kelapa sawit dan hasil laut), juga hal-hal yang berbau ghaib dan mistik, membuat Aceh Singkil menjadi begitu unik. Pada beberapa perbincangan kami dengan kepala sekolah dan masyarakat Aceh Singkil, beberapa kali terlontar semacam 'warning' bagi kami, agar tidak melakukan hal-hal yang bersifat pantang, selalu  bersikap hati-hati dan waspada serta melakukan sesuatu dengan penuh keyakinan. Bila tidak yakin atau ragu-ragu, sebaiknya tidak dilakukan, baik dalam urusan makanan maupun hal-hal lain. Di Aceh Singkil, ajaran Islam begitu kentalnya mewarnai kehidupan masyarakat. Di sisi lain, aroma mistik dan kepercayaan yang seringkali tak bisa dijelaskan dengan akal sehat juga begitu dipegang teguh oleh sebagian masyarakat, bahkan secara turun-temurun. Karakteristik yang pada umumnya masih kuat melekat pada masyarakat tradisional.

Tsunami yang pada tahun 2004 dan setelah itu disusul dengan gempa Nias telah memporakporandakan sebagian wilayah Aceh Singkil.  Berbagai bantuan melimpah untuk program recovery. Belasan LSM, bahkan puluhan, berlomba-lomba menggerojokkan bantuan, baik berupa fresh money maupun berupa barang mulai dari sembako, lembu, benih ikan, itik, perahu, bahkan juga perbaikan jalan, rumah, perkantoran dan lain-lain. Mungkin karena begitu banyaknya bantuan sehingga semua itu sempat meninabobokan masyarakat Aceh Singkil. Bantuan yang awalnya dimaksudkan oleh para donor sebagai 'kail', ternyata tidak dimanfaatkan secara optimal, karena 'kail' itu justru banyak yang dijual dan ditukar dengan barang-barang konsumtif.

Bahkan sampai saat ini pun, bantuan dari LSM masih sesekali datang. Maka tidak heran, ketika pertama kali kami bertemu Marlon di Bandara Polonia, driver yang dikirim oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Singkil untuk menjemput kami, pertanyaan pertama yang dia lontarkan adalah: 'ini dari LSM?'. Berikutnya dia katakan, bahwa Unesa dia pikir adalah LSM di bawah Unesco, atau setidaknya perwakilan Unesco di Indonesia. Glodak!

Menurut Marlon, penampilan kami seperti orang-orang dari LSM. Tapi begitu dia, juga para petugas dari dinas, serta masyarakat melihat bagaimana cara kerja kami, pembicaraan-pembicaraan kami, dan juga sikap kami, mereka baru menyadari bahwa kehadiran kami di Aceh Singkil, di berbagai pelosoknya, bukanlah demi sebuah formalitas. Apa yang kami lakukan bersama-sama anak-anak kami yang sedang mengabdikan diri mereka di sana, adalah sebuah bentuk perjuangan kecil demi membangun pendidikan. 'Mau apa orang itu kemari?', kata Marlon, pertanyaan itu hampir selalu terlontar dari masyarakat, setiap kali kami tiba di suatu tempat. Sejurus kemudian, setelah Marlon menjelaskan siapa kami dan mau apa kami, orang-orang itu mendekat, menyapa ramah, bahkan beberapa menawari kami untuk mampir ke rumahnya. Tentu saja, hal ini tidak lepas dari penilaian mereka atas kinerja para guru pengabdi itu, para peserta SM-3T, yang menurut mereka, para guru SM-3T bekerja dengan sungguh-sungguh dan penuh dedikasi.

Selama kunjungan (atau lebih tepatnya disebut 'petualangan') kami di Aceh Singkil, bendera merah putih berkibar di semua halaman sekolah, kantor dan hotel. Namun beberapa di antaranya sudah tidak sepenuhnya merah dan sepenuhnya putih. Bahkan beberapa ada yang sudah koyak dan berjuntai pada bagian pinggir bawahnya. Panas dan hujan telah melapukkan bendera-bendera itu. Harapan kita adalah, semoga hal itu tidak melapukkan rasa nasionalisme mereka. Bagaimana pun kita agak miris ketika menemukan kenyataan bahwa ada sekolah yang menolak melaksanakan upacara bendera (meskipun di Jawa mungkin masih sesekali ditemukan hal serupa). Juga, ketika seorang siswa menyatakan, warna bendera Indonesia bukanlah merah putih (karena yang dia lihat adalah bendera yang warnanya telah memudar menjadi merah muda dan putih kelabu). Mungkin kita harus menyadari,  jawaban siswa itu tidak terlalu salah karena itulah kenyataan yang dia lihat di depan mata. Bahkan ketika dia menolak ketika diminta untuk menghormat bendera, mungkin kita harus melakukan refleksi, adakah yang salah dalam pendidikan kewarganegaraan kita di sekolah, atau bahkan dalam proses penanaman rasa cinta tanah air pada umumnya oleh bangsa ini.
  
Belum banyak daerah pelosok yang kami kunjungi. Tapi meski begitu kami bisa merasakan, betapa kinerja sebagian besar aparat pendidikan di berbagai pelosok itu masih sangat perlu ditingkatkan. Saya masih ingat, ketika kami berkunjung ke Talaud pada 2012 yang lalu, seorang petugas dinas PPO  Kabupaten Talaud, perempuan, integritas dan dedikasinya begitu mengagumkan kami. Dia mendampingi kami sampai ke pelosok mana pun, dan peta lokasi sekolah ada di kepalanya. Hafal di luar kepala. Di mana pun di sekolah yang kami kunjungi, dia disambut dengan sangat baik dan penuh kehangatan. Nampak jelas dia sangat membumi. Namun begitu, tidak banyak orang seperti dia. Di kabupaten yang lain, bupati dan kepala dinasnya beserta seluruh staf juga sangat responsif, menyambut baik kehadiran para guru SM-3T dengan penuh suka cita, dan mereka memastikan akan menjamin keamanan dan keselamatan guru-guru tersebut. Mereka tahu di mana sekolah-sekolah yang membutuhkan guru-guru itu. Tapi mereka juga nyaris tidak pernah berkunjung ke sekolah-sekolah tersebut. Pengawas tidak seluruhnya tahu di mana sekolah-sekolah yang menjadi wilayah tanggung jawabnya. Kepala sekolah bahkan tidak perlu datang setiap hari, seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali cukuplah. Medan yang berat dan cuaca buruk seringkali menjadi alasan. Guru-guru mengajar dengan semaunya, mangkir dari tugas tanpa merasa bersalah. Perilaku semacam itu ibarat virus yang menular, sebagai akibat dari lemahnya kepemimpinan dan minimnya figur panutan. Etos kerja yang rendah mulai dari pimpinan puncak daerah, menjalar sampai ke aparat-aparat di bawahnya, ke pengawas, kepala sekolah, guru, dan dalam kondisi yang seperti itulah siswa belajar. Ditambah dengan daya dukung masyarakat khususnya orang tua yang lemah, lengkaplah sudah. 

Saat ini kami baru saja menginjakkan kaki di Surabaya. Beberapa menit yang lalu Sriwijaya Air yang kami tumpangi sejak dari Medan-Padang-Jakarta telah mendarat di Bandara Juanda dengan selamat.  Setelah sejak kemarin sore kami melakukan perjalanan panjang dari Singkil, ditemani kabut tebal yang menghalangi pandangan, dan puluhan truk tangki pengangkut CPO yang memacetkan jalan;  saat ini kami telah kembali bertemu dengan keluarga kami masing-masing. Alhamdulilah. Satu tugas telah tunai. Tubuh boleh lelah, tapi jiwa dan semangat berjuang dan berkarya harus terus bergelora..... Amin YRA.

Juanda Surabaya, 2 Februari 2013. Pukul 23.00 WIB.

Wassalam,
LN

Jumat, 01 Februari 2013

Aceh Singkil 3: Ke Pulau Banyak

Laut tenang sekali ketika saya menatapnya dari teras hotel pagi ini. Tapi suara deburan ombak terdengar sangat jelas. Membuncah menghempas pantai. Laut hanya berjarak sekitar 75 meter di depan hotel. Setumpuk awan yang menggumpal di kaki langit seperti lukisan alam yang begitu indah. Pagi hari di Singkil, dan mentari mengintip di balik setangkup mendung.

Setelah menyelesaikan sesi pemotretan di pantai dan sarapan dengan menu yang sama seperti kemarin, kami diangkut pak Dasir ke jembatan tempat mangkalnya speed boat. Lengkap dengan pelampung kami. Speed boat yang kami sewa adalah speed boat polisi air. Berkapasitas sepuluh orang, beratap dan berjendela, serta bersirine. Ada dua tempat tidur di badan depan,  enam tempat duduk di badan tengah termasuk kursi untuk tekong dan kotekong (pengemudi dan asistennya), dan satu kursi panjang di badan belakang yang tidak beratap. Ketika kami datang di pangkalan, speed boat masih dibersihkan. Dua orang polisi air menyapa kami dengan ramah, dan menyilakan kami memasuki speed boat begitu speed boat telah siap.

Untuk menyeberang ke Pulau                                                                                                Banyak, ada tiga jenis transportasi yang tersedia. Kapal feri, seminggu dua kali beroperasi, itu pun bergantung cuaca, dengan waktu tempuh sekitar empat jam. Boat, berkapasitas dua puluh orang, beroperasi setiap hari, waktu tempuh sekitar tiga jam. Feri maupun boat ongkosnya sama, dua puluh lima ribu seorang. Selanjutnya speed boat, yang ini harus sewa, sejuta sampai sejuta limaratus ribu sekali jalan, berkapasitas delapan orang, jarak tempuh satu jam. Kami tidak menggunakan ketiganya, melainkan menyewa speed boat polisi air (polair), demi keamanan dan kenyamanan. Memang ongkos sewanya sedikit lebih mahal, tapi seimbang dengan 'ketenangan batin' kami. Bagaimana pun, kami memerlukan ekstra kekuatan mental untuk menempuh perjalanan air ini. 

Di luar perkiraan kami, ternyata di dalam speed boat  polair sudah tersedia pelampung. Belum memasuki badannya saja, warna oranye menyala itu begitu saja menyadarkan kami, betapa tololnya kami. Tanpa pikir panjang, pelampung yang sudah kami tenteng langsung kami lemparkan kembali ke mobil. Wah, firasat saya mungkin benar, pelampung yang kami bawa jauh-jauh dari Surabaya itu mungkin hanya akan kami gunakan untuk 'ciblon' di Danau Toba. Ha ha....

Maka speed boat pun bergerak. Tenang. Beberapa bangunan rumah dan bangunan besar berbentuk silinder bekas pabrik CPO, yang kami lewati, terlihat merana. Sebuah kenangan dari peristiwa tsunami. Ya. Pada beberapa meter bagian tepi laut, dahulunya adalah daratan, banyak rumah penduduk, ada pabrik CPO, dan tsunami telah memporak-porandakan semuanya.

Menaiki speed boat polair, serunya tidak seperti naik speed boat biasa. Pengalaman saya naik speed boat di beberapa tempat wisata, juga ketika menyeberang dari Talaud ke Pulau Lairung, tidak saya dapatkan di sini. Tidak ada goncangan yang sangat keras seperti naik oto di jalan makadam serta tidak ada acara berbasah-basah. Speed boat polair ini memang bergoncang-goncang, berglodak-glodak, tapi karena ukurannya lebih besar dan tinggi, goncangannya tidak sampai membuat perut kami mulas. Seorang polisi memegang kemudi, dan saya duduk di sebelahnya, sambil memperhatikan polisi yang lain berdiri gagah di palka untuk memastikan laju dan arah speed boat.

Waktu menunjukkan pukul 08.59 ketika kami sudah berjalan sekitar setengah jam.  Sejauh mata memandang adalah hamparan laut yang airnya berkilauan bak mutiara karena tertimpa sinar matahari. Badan speed boat yang memecah ombak menyemburatkan warna putih berpendar-pendar dari bagian sisi-sisinya. Belasan burung camar berterbangan di depan mata. Beberapa saat yang lalu, kami meninggalkan pangkalan, meninggalkan belasan perahu yang masih tertambat. Saat ini hanya kamilah satu-satunya yang ada di tengah samudra yang luas ini, tak ada kapal lain. Ketika saya tanyakan ke bapak polisi yang sedang memegang kemudi, kenapa hanya kita yang ada di tengah laut, dia jelaskan kalau saat ini sedang musim angin dan tidak banyak perahu yang berlayar.

Pukul 09.21. Nampaklah pulau indah itu. Dengan hamparan nyiur yang melambai-lambai. Puluhan perahu nelayan bersandar. Rumah-rumah nelayan berbaris. Warna-warni dan aroma kehidupan pantai tersaji indah. Kami berdiri menatap semuanya dengan riang. Dua orang peserta SM-3T, Jihad dan Nasrul, menyambut kami, mengulurkan tangan membantu kami keluar dari speed boat. Kepala Sekolah SMP 1 Pulau Banyak juga ada. Tinggi kurus, berkopiah, wajah tuanya tirus dan ramah.

Dermaga ini mirip pasar. Ya, banyak toko, warung, dan lorong-lorong yang di kanan kirinya adalah penjual sayur dan berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Sayur di sini mahal. Sawi yang di Jawa seharga dua ribu rupiah, di sini bisa sepuluh ribu. Sebaliknya, kelapa sangat murah, seribu rupiah sebutir.

Disebut Pulau Banyak karena wilayah ini terdiri dari banyak pulau, pulau besar maupun kecil, konon hampir seratus pulau, ada yang berpenghuni dan tidak. Yang berpenghuni adalah Pulau Balai, Pulau Tuangku dan Teluk Nibung. Di tiga pulau inilah para peserta SM-3T ditugaskan. 

Di SMP 1 Pulau Banyak sudah menunggu belasan peserta SM-3T. Mereka yang dari berbagai pulau itu memang sengaja diminta bergabung di sini. Ada yang datang dari desa Ujung Sialit dan Sukamakmur, keduanya ada di Pulau Tuangku. Kepala sekolah SMA 1 Pulau Banyak dan SMP 1 Teluk Nibung juga hadir. Maka terjadilah silaturahim yang akrab dan menyenangkan pada pagi menjelang siang pagi ini.

SMP 1 Pulau Banyak memiliki empat guru PNS dan sembilan  guru honorer. Ada 202 siswa yang terbagi dalam tujuh rombel. Di antara empat guru PNS tersebut, hanya satu yang sudah tersertifikasi, yaitu Kepala Sekolah, bapak Amrin T, S. Pd. Beliau yang menjemput kami di dermaga tadi. Di sekolah ini ditugaskan satu peserta SM-3T, yaitu Nasrul.

Selanjutnya di SMP Satap Teluk Nibung, sekolah yang tempatnya berada di pulau yang lain, hanya ada dua guru PNS, salah satunya adalah kepala sekolah, yaitu bapak Ramli. Beliau lulusan D2. Guru honorer ada empat orang. Di tempat ini ditugaskan empat guru SM-3T. Sekolah ini terdiri dari tiga rombel, dan jumlah siswa seluruhnya hanya 52. Sekolah baru, baru meluluskan satu kali (17 siswa), dengan tingkat kelulusan UN 100 persen.
 
Tepat pukul 11.10 kami pamit. Perjalanan akan kami lanjutkan ke Pulau Tuangku. Ada tambahan muatan karena lima orang peserta SM-3T turut serta bersama kami. Dua dari mereka memang bertugas di Ujung Sialit, di Pulau Tuangku. Kepala sekolah SMP 1 Pulau Banyak juga mendampingi kami. Selebihnya adalah peserta dari Pulau Balai, mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk berkunjung ke Ujung Sialit, mumpung ada tumpangan gratis. Hehe....

Ujung Sialit merupakan desa yang mayoritas penduduknya berasal dari Nias. Hampir seratus persen nonmuslim. Meski di kampung nelayan, kulit mereka putih dengan mata sipit serta rambut pirang. Nama-nama mereka juga khas, antara lain: Boy, Roy, Fanes, David, Beki.  Ada satu SD dan satu SMP di desa itu. Tidak memerlukan waktu lama untuk mengitari desa Ujung Sialit dari satu ujung ke ujung lainnya. Selama sekitar satu jam, kami menghabiskan waktu di SD Ujung Sialit, berjalan-jalan di antara lorong-lorong kampung yang beraroma khas pantai, menyapa para orang tua dan anak-anak yang sedang sibuk dengan berbagai aktivitas; di bawah terik matahari yang sedang panas-panasnya.

Oleh karena ini hari Jumat, kami harus segera kembali ke Pulau Balai. Tidak ada masjid di sini. Para peserta SM-3T yang bertugas di Ujung Sialit selalu mencari tumpangan untuk menyeberang ke Pulau Balai agar mereka bisa menunaikan sholat Jumat di masjid. Ujung Sialit, yang hanya berjarak tempuh tiga puluh menit dari Pulau Balai, memiliki kultur dan agama yang sama sekali berbeda. Betapa kayanya Indonesia.

Begitu sampai di Pulai Balai, sementara para pria menunaikan sholat jumat jamaah di masjid, kami para ibu menikmati makan siang yang dijamu oleh Kepala Sekolah SMP 1 Pulau Banyak, di sebuah tempat makan di kampung nelayan. Menunya terdiri dari nasi putih, gulai ikan tongkol, balado ikan buncilak (sejenis tongkol tapi kecil-kecil) dan sayur campur. Sayur campurnya sangat segar. Terbuat dari daun singkong muda, leuncak, terong kecil, dan kacang panjang, berkuah bening dengan sedikit irisan cabe merah. Benar-benar cocok untuk hidangan di siang yang terik ini.
 
Kami meninggalkan desa Pulau Balai di Pulau Banyak ini pada pukul 14.22. Saat kami kembali memasuki speed boat, barisan para peserta SM-3T melambai mengiringi perjalanan kami. Mata mereka bercahaya dan senyum mereka merekah cerah. Entah kenapa, tiba-tiba saja saya diliputi rasa haru. Di tempat ini, mereka berjuang. Jauh dari segala yang mereka cintai di tempat asal. Kehangatan keluarga, makanan enak, lampu-lampu kota, bahkan mungkin belahan jiwa. Bergulat dengan berbagai tantangan, di antara tajamnya perbedaan kultur dan mungkin agama. Namun ketegaran mereka meluluhkan hati saya. Saya bangga pada mereka semua, para guru pengabdi itu. Sebongkah doa saya panjatkan, semoga Allah SWT senantiasa meringankan jalan mereka dalam mengemban tugas pengabdiannya. Amin YRA. 

Siang semakin terik
Panas membakar
Ombak membuncah
Berpendar memecah pantai
Meletup-letupkan jiwa

Wahai para guru pengabdi,
Mari melukis cakrawala
Mengukir angkasa
Tumpahkan segala mimpi dan asa
Demi masa depan negeri tercinta

Pulau Banyak, 1 Januari 2013

Wassalam,
LN

Kamis, 31 Januari 2013

Aceh Singkil 2: Singkohor dan Danau Paris

Malam tadi, meleset dari perkiraan saya, kami tiba di Aceh Singkil pada pukul 23.10. Tapi sebenarnya, andai saja tidak terjadi tragedi ban 'mbledos', mungkin kami bisa sampai lebih cepat. Saat itu pukul 22.23. Ketika saya sedang menikmati dengkuran  teman-teman yang pulas kelelahan, dan saya berusaha terus berjaga supaya bisa menemani driver melek (sejak dari Medan saya duduk di sebelah driver), tiba-tiba ban Iikiri belakang mobil meletus. Mobil spontan limbung setelah terdengar suara keras berdentum, dan ada yang terasa 'mlesek' di sebelah kiri. Untungnya laju mobil sedang tidak terlalu kencang karena jalan yang berbelok-belok memang tidak memungkinkan. Saat itu wilayah Rimo baru saja kami tinggalkan dan hanya perlu sekitar sepuluh menit untuk mencapai Aceh Singkil.  Terpaksalah kami berhenti dulu. Driver membongkar ban dan menggantinya dengan ban cadangan. Tidak memerlukan waktu lama, hanya sekitar 15 menit dan mobil siap melaju lagi. 

Maka sampailah kami di sini. Di Hotel Bidadari. Saya tidak tahu apakah ini hotel terbaik di Aceh Singkil. Hotel yang sama sekali tidak terkesan hotel mewah, dengan lobi yang tidak jelas di mana tempat meja front office-nya, dengan sebuah meja makan dan dua kursi (kursi yang lain berada di teras bersisian dengan sofa kumal dan koyak), dan ketika kami datang hanya ditemui oleh seorang laki-laki yang berkaus dan bercelana pendek, yang hanya melihat-lihat saja kami menurunkan bagasi dari mobil, lantas menunjukkan di mana kamar-kamar kami. Sebuah kamar berukuran 5x5 meter, itu pun sudah termakan oleh sekotak kamar mandi,  dengan satu single bed yang cukup untuk tidur berdua, dan satu extra bed yang dihamparkan langsung di lantai. Sebuah televisi LG model lama berukuran 21 inchi di atas meja yang merangkap rak untuk meletakkan digital satellite receiver yang berdebu tebal dan sebuah sajadah. Tanpa meja, tanpa kaca, tanpa meja rias dan kaca cermin. Apalagi lemari dan mini refrigerator atau safe deposit box sebagaimana yang biasa kita lihat di hotel-hotel bagus, tentu tidak ada.

Saya mengenyahkan keinginan untuk segera membersihkan diri dan membaringkan tubuh di atas springbed yang melambai-lambai karena malam itu juga kami akan berkoordinasi dengan dinas pendidikan Kabupaten Aceh Singkil. Pak Dasir, kasi dikmen bagian kurikulum disdik, segera tiba menyambut kami. Begitu juga Yusuf, koordinator SM-3T Aceh Singkil (kami menyebutnya lurah) dan dua temannya, Fadil dan Nahdiyin, yang bertugas di Danau Paris, sudah berkumpul. Kami menggeser kursi di teras dan duduk melingkar. Saya sendiri duduk di sofa koyak itu. Malam ini kami akan konkritkan rute monev besok pagi. Setelah berunding agak lama, memperhitungkan waktu, keterjangkauan lapangan sasaran, kondisi medan, dan jarak tempuh dari satu titik ke titik lain, maka kami putuskan hari pertama besok kami fokuskan ke wilayah daratan. Hari kedua baru ke wilayah pulau. Itu pun kalau cuaca memungkinkan. Semoga. Kami mengakhiri meeting pada tengah malam lebih sedikit, yaitu pukul 24.12. Saya langsung masuk kamar, bergabung dengan bu Nanik dan bu Lusi yang sudah mandi dan bersiap tidur. 

Pagi ini, saya dibangunkan oleh suara hujan yang seolah ditumpahkan dari langit. Suara itu semalaman mengganggu tidur saya berkali-kali. Meski waktu sudah menunjukkan pukul 05.30, di luar masih gelap. Saya bergegas mengambil air wudhu dan sholat shubuh, disusul bu Nanik. 

Begitu pagi mulai terang, kami baru tahu kalau hotel ini berdekatan dengan pantai. Air laut yang berkilauan tertangkap dari jendela kamar.  Begitu kami keluar dari kamar dan memeriksa sekitar hotel, ternyata pantai ada di depan hotel juga. Jadilah pagi ini kami manfaatkan waktu untuk berfoto-foto. Agak-agak narsis gitu. Hehe....

Bu Nanik, yang biasanya tidak berjilbab, pagi ini mengenakan jilbab. Cantik. Bu Lusi juga. Ketika sarapan pagi, dengan menu nasi gurih dan balado teri medan, di sebuah warung yang letaknya tidak terlalu jauh dari hotel, saya geli melihat bu Lusi. Meski berjilbab, dia mengawali makan paginya dengan doa yang khas: atas nama Bapa di Surga dan Roh Kudus......    

Pagi ini kami memasuki ruang Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) pada pukul 09.10 menit. Lebih lambat satu jam lebih dari rencana kami. Ya, pukul 08.00 ternyata masih terlalu pagi untuk mengawali aktivitas di kantor-kantor. Maka setelah sarapan, kami masih sempat 'pusing-pusing' melihat speedboat yang besok pagi akan membawa kami ke Pulau Banyak, baru menuju ke kantor disdik. 

Kepala disdik, lelaki berpostur tinggi berkulit hitam, ramah menyambut kami. Dialah Yusfit Elmi, S.Pd., kepala disdik kabupaten Aceh Singkil. Kami diterima di ruangnya yang sederhana dan sejuk. Saya memperkenalkan empat teman tim monev yang lain, juga tiga peserta SM-3T yang bersama kami. Menyampaikan salam Rektor dan PR1, mengucapkan terimakasih untuk keterbukaan pemda dalam menerima para peserta, dan menyampaikan tujuan kami melakukan monev ini.

Menurut Kadisdik, masyarakat Aceh Singkil sangat heterogen.  Mereka berasal dari suku Minang, Batak, Nias, Aceh dan Pakpak. Aceh Singkil sendiri merupakan daerah paling pangkal di Aceh, berbatasan dengan Tapanuli, Sumatera Utara. Juga merupakan kabupaten terluas di Aceh. Terdiri dari sebelas kecamatan: Pulau Banyak Barat (PBB), Pulau Banyak, Kuala Baru, Singkil, Singkil Utara, Gunung Meriah, Danau Paris, Singkohor, Kota Baharu, Simpang Kanan dan Suro. Ada 229  sekolah, yaitu: SMA: 11sekolah; SMK: 4 sekolah; SMP: 33 sekolah; SD: 102 sekolah; dan TK: 79 sekolah. Dari jumlah tersebut, 83 di antaranya adalah sekolah swasta (1 SMA, 1 SMK, 3 SMP dan 78 TK). 

Di antara sebelas kecamatan, enam di antaranya menjadi tempat tugas para peserta SM-3T, yaitu:  PBB, Pulau Banyak, Kota Baharu, Kuala Baru, Singkohor dan Danau Paris. Danau Paris merupakan daerah perbatasan dengan Tapanuli Tengah, masyarakatnya memeluk agama Islam dan Nasrani dengan perbandingan fifty-fifty. Pulau Banyak Barat merupakan daerah wisata, yang menonjol adalah wisata bahari khususnya menyelam (sambil menikmati terumbu karang dan mencari gurita) serta memancing (di sini disebut 'mengirik'). Pohon kelapa yang menghasilkan buah kelapa muda yang melimpah juga merupakan daya tarik tersendiri. Namun konon, bagi pendatang baru, disarankan untuk tidak langsung mengonsumsi kelapa muda. Katanya bisa mudah terjangkit malaria, atau bisa terkena 'tasapo' (disapa oleh makhluk ghaib penghuni pulau atau oleh hantu lawik/hantu laut). Wallahu a'lam.

Kami konvoi dengan dua mobil selepas dari kantor disdik. Satu mobil dengan driver pak Marlon, berisi pak Beni, bu Nanik dan bu Lusi. Satu mobil lagi, mobil dinas, dikendarai pak Fitra, staf disdik, dengan penumpangnya pak Dasir, pak Sulaiman, Yusuf, dan saya sendiri yang duduk di sebelah pak Fitra. 

Tujuan kami adalah SMP 2 di kecamatan Singkohor. Sekitar satu setengah jam perjalanan. Menempuh jalan yang lumayan mulus, meski ada beberapa bagian yang belum beraspal dan juga harus melintasi beberapa jembatan kayu yang nampaknya tidak terlalu aman. Jalan berkelok-kelok, naik turun, dan di sepanjang kanan-kiri jalan adalah hutan kelapa sawit yang rapat. Sesekali diselingi dengan pemandangan berupa bukit-bukit dan lembah-lembah nan hijau. PAD terbesar Aceh Singkil memang dari sawit dan ikan, juga sektor pariwisata. Tidak heran jika puluhan truk tangki yang mengangkut CPO (minyak mentah) adalah teman kami menempuh perjalanan tadi malam.  

Meski sudah menempuh perjalanan sejauh satu setengah jam, SMP 2 
ternyata tidak juga ketemu. Lebih dari sejam kami hanya putar-putar, bolak-balik, tanya sana-sini, dan nyaris tidak berhasil. Sampai akhirnya Fadil menelepon dan kami diminta balik arah, kembali ke SMA 2 Gunung Meriah, padahal tempat itu sudah kami lewati setengah jam yang lalu. Ketika saya tanya ke teman-teman dinas apa tidak pernah ke SMP 2, jawabnya itu bukan bagian mereka, tetapi bagian dikdas. Jawaban yang di telinga saya terdengar sangat aneh. Bagaimana tidak. Kami sedang melakukan monev, didampingi orang-orang disdik, tapi ternyata mereka juga belum tahu di mana tempat yang akan kami kunjungi itu. Kalau saya diminta untuk memberi rekomendasi untuk disdik, maka rekomendasi saya yang pertama adalah, disdik Aceh Singkil sebaiknya lebih sering turun ke lapangan supaya tahu di mana letak sekolah-sekolah yang ada di wilayahnya.

Setelah melalui jalan tak beraspal yang lumayan jauh, ketemulah SMP 2 Singkohor. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.30-an. Sementara kami menikmati tari Ranup Lampuan yang dibawakan tujuh siswa putri, sebuah tari-tarian untuk menyambut tamu atau menyambut pengantin, peserta SM-3T yang menunggu kami di SMA 1 menghubungi kami dan menyampaikan kami sudah ditunggu dari pukul 11.00. Tapi hidangan makan siang, berupa lontong sate dan buah-buahan segar sudah disiapkan, tidak mungkin kami abaikan. Maka sekali lagi, kami disuguhi tari-tarian selama kami menikmati hidangan makan siang. Pengisian instrumen monev selesai, pengumpulan tulisan dan buku harian selesai, maka kami segera pamit untuk meluncur ke SMA 1 Singkohor.

Kami sampai di SMA 1 Singkohor pada pukul 14.30. Sekolah sudah sepi, tapi kepala sekolah dan para peserta SM-3T masih setia menunggu kami. Kami berdialog dalam waktu cukup lama di sebuah ruang yang dilengkapi dengan hidangan makan siang dan kue-kue. Siang itu banyak hal yang terungkap. Dialog interaktif antara para peserta, kasek SMA 1 Singkohor dan SMA 2 Singkohor, perwakilan dari disdik, dan tim monev SM-3T berjalan dengan sangat bermakna. Tak terasa dua jam sudah kami di situ. Sekitar pukul 16.30, kami mohon pamit. Masih ada tempat yang harus kami datangi, yaitu Danau Paris. Jaraknya dua jam dari Singkohor. Maka waktu yang kami perlukan untuk kembali ke hotel masih empat jam. Tubuh yang mulai lelah tidak terlalu kami hiraukan karena mengunjungi anak-anak kami di Danau Paris adalah hutang yang harus kami tuntaskan. Meski tidak bisa bertemu mereka di sekolah karena waktunya jelas tidak memungkinkan, setidaknya kami bisa mengunjungi tempat tinggal mereka, berbincang dengan mereka tentang berbagai persoalan yang mereka temui di lapangan dan mendengar harapan-harapan mereka. 

Sepanjang perjalanan sejak pagi tadi, tidak seperti di Sumba Timur dan Talaud, kami banyak menemukan perkampungan. Meski hutan-hutan sawit, bukit dan lembah sangat mendominasi, Aceh Singkil bukanlah tempat yang sangat tertinggal. Sekolah-sekolah juga relatif lebih maju dibanding dengan sekolah-sekolah di Sumba Timur. Kelas-kelasnya juga kelas-kelas yang tidak terlalu kecil, berkisar 20-40 siswa per kelas.  Jumlah guru PNS di sekolah-sekolah juga lebih banyak meskipun memang belum memadai, baik dari jumlah maupun mutu. Di SMA 1, contohnya, dengan delapan kelas pararel, jumlah guru PNS ada empat belas orang, dan guru honorer ada lima orang. Di antara guru-guru tersebut, tidak ada satu pun yang memiliki latar belakang pendidikan bidang sejarah dan geografi. Maka terjadilah, seperti yang diistilahkan oleh kepala sekolah, jeruk makan jeruk. Lulusan SMA mengajar SMA. Tidak ada rotan, akar pun jadi. Kepala sekolah sendiri, pak Syafri, adalah lulusan diploma. Menurut pak Dasir, memang ada sekitar 30 persen guru yang belum memenuhi kualifikasi S1/D4. 

Untuk masalah makanan, ketersediaan, aksesibilitas dan konsumsi masyarakat juga jauh lebih baik daripada di Sumba Timur. Setiap kita ke sekolah, selalu menemukan hidangan yang lumayan enak dan lengkap, dengan standar rasa dan penyajian yang tidak jauh berbeda dengan di Jawa. Memang ada yang agak sulit didapatkan, misalnya di Kuala Baru, yaitu tahu dan tempe. Kalau pun ada, bahan makanan ini harganya sangat mahal, bisa lima enam kali dengan harga di Surabaya. 

Tapi hari ini kami baru melihat keadaan di daerah daratan. Besok, bila segala sesuatunya memungkinkan, kami akan mengunjungi wilayah pulau, yaitu Pulau Banyak. Sesuai dengan namanya, mungkin akan lebih banyak yang kami bisa ceritakan.  

Aceh Singkil, 31 Januari 2013

Wassalam,
LN

Rabu, 30 Januari 2013

Aceh Singkil 1: Semangat!

Pagi masih gelap. Shubuh baru berlalu, tapi kami sudah berada di bandara Juanda. Pada pukul 06.00, sekitar satu jam lagi, kami akan terbang ke Jakarta. Transit sekitar 30 menit, melanjutkan perjalanan lagi ke Medan. Dari Medan, sejauh 8-9 jam, kami akan menempuh perjalanan darat menuju Aceh Singkil.

Di Aceh Singkil inilah 40 anak-anak kami, peserta SM-3T, ditugaskan. Ada 17 orang ditugaskan di daerah kepulauan (Pulau Banyak dan Banyak Barat), selebihnya di daerah daratan. 

Kami satu tim lima orang. Dr. Sulaiman (sekretaris SM-3T Unesa), Dr. Nanik Indahwati, Beni Setiawan, M.Si, Lucia TP, M.Pd, dan saya sendiri. Pak Beni yang termuda. Empat belas tahun di bawah saya. Meski begitu, dialah ketua rombongan tim monev ini. Ketangkasan dan kepribadiannya yang sangat baik membuat kami mempercayakan kepadanya urusan koordinasi dengan Kepala Dinas Pendidikan Aceh Singkil serta para korcam. Juga memastikan semua uborampe monev beres: surat tugas tim, instrumen monev, SK penempatan peserta dan sebagainya, bahkan termasuk mengamankan tiket dan boarding pass untuk keperluan SPJ. Sementara bu Lucia, seperti biasanya, menangani urusan konsumsi dan akomodasi. Kecermatan dan ketelitiannya sangat cocok untuk pekerjaan itu.

Tim yang lain, sebanyak 9 orang, pukul 7.55 pagi ini juga, berangkat ke Sumba Timur. Ketua rombongannya adalah Drs. Suwarno Imam Syamsul, M.Pd. Dalam rombongan itu ada Dekan FIP, Drs. I Nyoman Sudarka, M.Si, selaku pimpinan Unesa, mewakili Rektor. Drs. Heru Siswanto, M.Si (mantan kepala humas Unesa) juga ada. Satu-satunya perempuan adalah Dra. Wiwik Sri Utami, M.Si, selain sebagai anggota panitia SM-3T juga sebagai anggota Pusat Penjaminan Mutu (PPM) Unesa.

Yang berbeda antara tim monev Aceh Singkil dan Sumba Timur adalah bagasinya. Bagasi tim monev Sumba Timur biasa-biasa saja. Sedangkan tim Aceh Singkil, selain ransel-ransel dan dos berisi berkas-berkas sebagaimana yang dibawa oleh tim Sumba Timur, kami juga bawa pelampung. Masing-masing membawa satu. Warnanya oranye menyala. Pelampung yang kami bawa menandakan kami siap untuk turun ke daerah pulau. Tentu saja bila cuaca memungkinkan. Kami sempat bercanda tentang pelampung. Kalau tidak berhasil menyeberang ke pulau, kami akan gunakan pelampung itu untuk 'ciblon' di Danau Toba. Kami juga meledek diri sendiri, seperti tidak percaya sama Sriwijaya Air saja, masa pelampung bawa sendiri....
 
Sriwijaya Air, pesawat yang kami tumpangi, mendarat di Polonia, tepat pukul 11.40. Cuaca cerah dan hawa panas langsung terasa menerpa wajah kami yang selama tiga jam tadi kedinginan di dalam pesawat (sekitar satu jam dari Surabaya-Jakarta, dan dua jam dari Jakarta-Medan). Bagi saya, ini adalah kali kedua saya menginjakkan kaki di Medan. Kunjungan saya yang pertama adalah pada 2009 yang lalu. Saat itu saya diundang Unimed untuk menjadi tenaga TA (Technical Assistance) pada kegiatan pengembangan perangkat assesmen di Jurusan PKK FT Unimed. Selama seminggu saya di sana. Sehari menjelang kepulangan saya ke Surabaya, saya dijamu mengunjungi Danau Toba dan menyeberang ke Pulau Samosir.

Saat ini, saya sedang napak tilas perjalanan saya sekitar tiga tahun yang lalu. Mobil Innova sewaan yang dikendarai pak Marlon, driver kami, melaju di atas jalanan yang naik-turun berbelok-belok begitu lepas dari kota Medan. Panas terik tadi ternyata hanya sebentar saja. Udara dingin dan jalan yang dipenuhi kabut menemani perjalanan kami.

Medan, Pancur Batu, Sibolangit, kami tempuh dengan lancar. Kami terus melaju. Sampai di Bandarbaru kami berhenti untuk beristirahat sebentar di sebuah tempat makan,  sekalian memberi kesempatan pak Marlon untuk merokok. Sambil menikmati jagung bakar dan bandrek. Ada juga wajik dan pecal. Yang terakhir ini di Jawa disebut pecel. Sayur-sayuran yang direbus, dimakan dengan sambal kacang. Rasa daun jeruk purutnya sangat tajam, sedap dan segar. Suasana terasa seperti di kawasan Puncak atau Payung di Batu. Di ketinggian, dingin, berkabut.

Mobil lantas mengarah ke arah Berastagi. Tapi sampai Tahura,  kami mengambil arah ke kiri, potong kompas, menghindari macet di Berastadi. Jalan sempit, pas untuk dua mobil berpapasan. Sama seperti tadi, berbelok-belok dan naik turun. Tahura adalah daerah yang subur, sepanjang kanan-kiri jalan penuh dengan pepohonan, bunga-bunga, sayur mayur, kebun jagung, jeruk, stroberi. Andai tidak mengingat waktu yng semakin sore dan tubuh yang mulai lelah, rasanya ingin mampir ke wisata agro stroberi dan jeruk barang sebentar.

Ketika mencapai Tiga Panah, suasana semakin menyenangkan. Tidak hanya jeruk dan stroberi yang berlimpah, tapi juga manggis, terong belanda, salak, pepino, dan....yang juga sangat khas, adalah mangga mini. Ya, saya menamainya mangga mini, karena mangga itu kecil-kecil. Orang setempat menamainya mangga golek. Sama sekali tidak seperti mangga golek yang kita kenal di Jawa. Mangga yang ini ukurannya tidak sampai sekepalan tangan anak-anak, padat, warnanya kuning-kuning mengundang selera. Aromanya mirip mangga podang di Jawa. Cara makannya pun mirip. Mangga setelah dicuci, diremas-remas, ditekan-tekan, sampai 'gembur'. Setelah itu buat satu gigitan kecil di ujungnya, dan hisap-hisaplah airnya. Jus alami. Tidak pakai juicer. Tanpa gula. Segar asli.

Sebagian besar wilayah yang kami masuki adalah wilayah yang mayoritas penduduknya memeluk Kristen Protestan. Banyak gereja, banyak makam yang dipenuhi salib-salib, banyak anjing dan babi. Beberapa kali melewati orang yang lagi menyelenggarakan pesta pernikahan, juga kematian. 

Tiga Panah kami tinggalkan. Sebentar lagi kami akan mencapai Merek. Sekitar satu setengah jam lagi mencapai Sidikalang dan Pakpak Barat. Dari Pakpak Barat, satu setengah jam lagi kami tempuh untuk mencapai Subulusalam. Lanjut ke Rimo, yang membutuhkan waktu sekitar satu jam, dan sekitar satu jam juga kami baru akan mencapai Aceh Singkil. Artinya,  total perjalanan yang masih harus kami tempuh sejauh lima jam-an. Kalau sekarang pukul 17.00, maka kami akan mencapai Aceh Singkil pada sekitar pukul 22.00. Wow. Perjalanan sehari penuh. Semangat. 

Tanah Karo, 30 Januari 2012

Wassalam,
LN