Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Jumat, 19 April 2013

MBD (7): Sirih Pinang dan Bukit Sinyal

Bersampan ria...
Siang ini, sekitar pukul 10.30 WIT, setelah menyelesaikan dialog dengan guru-guru dan kepala sekolah di SMP Negeri 2 Letwurung, kami melanjutkan perjalanan menuju SMP Negeri 6 Ahanari. Meskipun namanya SMP 6, tapi tidak berarti di Babar Timur ini ada banyak SMP. Dari sejarahnya, Pulau Babar dulu hanya terdiri dari satu kecamatan, tersebar dari Babar Barat dan Babar Timur. Meskipun sekarang sudah terpisah, sekolah-sekolah yang ada tetap dinamai sesuai dengan namanya dulu.

Perjalanan dari penginapan ke sekolah-sekolah kami tempuh dengan bersepeda motor, begitu juga perjalanan ke SMP Negeri 6 Ahanari. Sepeda motor kami pinjam dari guru, kasek, kepala UPTD, dan dari penduduk setempat. Maka jadilah kami berkonvoi masuk desa keluar desa, dari satu sekolah ke sekolah lain. Mas Heru denga Mudho, Noval dengan Risna, Ratri dengan Ika, Nanda dengan Puri, Daniel, Sampurno, Melkianus, Junaidi, Fani, semuanya berboncengan. Saya sendiri membonceng mas Rukin. Paket lengkap. Bawa wartawan untuk meliput 'sak ngojek-e'. Hehe...

Jarak tempuh menuju SMP 6 Ahanari sejauh sekitar 30 menit. Melintasi beberapa desa, sehingga konvoi kami menarik perhatian para penduduk untuk keluar rumah menyaksikan konvoi. Mungkin di perkampungan seperti ini jarang ada orang bersepeda motor sebanyak itu. Juga melintasi perkebunan kelapa yang menghampar persis di sisi pantai, mirip sekali dengan di Talaud. Bedanya dengan Talaud, jalan-jalan di kebun kelapa harus beberapa kali melintasi jembatan-jembatan yang melintang di atas sungai-sungai kecil.

Menjelang pintu gerbang desa Ahanari, kami semua turun. Ternyata ada upacara penyambutan khusus. Suasananya ramai sekali tapi penuh khidmat. Saya didampingi mas Heru dan mas Rukin disilakan jalan di depan, dan para peserta yang lain di belakang kami. Selembar kain tenun dikalungkan ke leher kami bertiga oleh ibu Kepala Sekolah. Kemudian seorang bapak, mungkin tetua desa, menyalami tangan saya, memegangnya terus, sambil mengalunkan sebuah 'lagu'. Di bawah terik matahari, suaranya mendayu-dayu merdu, disaksikan oleh para sesepuh desa yang lain, guru-guru, puluhan siswa dan masyarakat. Sederetan siswa laki dan perempuan berseragam putih dan biru, saling bergandeng tangan, membentuk barisan setengah lingkaran, ada di depan kami. Di sebelah sana, di halaman sekolah, puluhan siswa berseragam putih biru juga, berbaris rapi dan tenang. Semuanya seperti menghayati alunan senandung bapak tetua tersebut.

Oriae lurik  
Mliona lekiau 
Mole koralel 
Piyoliwul namreia ulin 
Morelino wawan 

Terjemahannya kurang lebih seperti ini:

Orang besar dan berpendidikan,
Datang dari rantauan
Sampai di Ahanari
Katong (kita) berdoa kepada Tuhan
Katong hidup bersenang-senang

Bait ini diulang-ulang sampai beberapa kali, sampai akhirnya berhenti, berganti dengan hentakan alat musik tifa yang dipukul-pukul oleh dua siswa. Empat siswa perempuan menari di sekitar tifa itu, mengenakan pakaian adat. Puluhan siswa yang bergandeng tangan bergerak rancak mengikuti irama. Mereka membawakan tarian adat 'seka', menari dengan gerakan-gerakan sederhana, ke kiri dan ke kanan sambil 'menyanyi' juga. 

Tidak tahan menikmati saja tarian mereka, saya bertanya kepada seorang ibu pembawa payung yang sejak tadi berdiri di belakang saya. 'Bolehkah kami ikut menari?' Tanya saya. 'Boleh, ibu, semua akan lebih senang.' Tanpa pikir panjang saya bergerak di barisan penari, menyambungkan lengan saya, diikuti mas Heru, juga beberapa peserta SM-3T. Mereka bertepuk tangan melihat kami ikut menari bersama. Siang itu, matahari begitu teriknya, keringat bercucuran di wajah dan tubuh kami, namun keramahan dan ketulusan orang-orang bersahaja ini menyejukkan hati kami semua.

Lantas tibalah acara itu. Makan sirih pinang. Sejauh ini saya belum berhasil memaksa diri saya untuk mencoba mencicipi suguhan yang melambangkan penghormatan itu. Di Sumba dan di Talaud saya masih bisa menolak halus, meski pak rektor saja mengunyahnya. Tapi untuk kali ini tidak bisa tidak, saya harus menerima uluran sirih pinang dari ibu Kepala Sekolah, begitu juga mas Heru dan mas Rukin. Saatnya sudah tiba di mana saya akhirnya harus menyerah: menikmati rasa sirih pinang yang sepat dan pahit itu, di hadapan khalayak ramai. Haha....

Selesai dengan sirih pinang, kami dipandu memasuki halaman sekolah, dengan puluhan murid yang berbaris rapi. Mereka menyanyikan sebuah lagu. Liriknya tentang penghormatan pada guru, rasa bangga dan terimakasih mereka pada kami dan Unesa. Ya, Unesa disebut dalam lagu itu. Usut punya usut, ternyata pencipta lagu itu adalah Andi, seorang guru SM-3T yang bertugas di sekolah tersebut. Sebuah lagu yang sangat manis dan menyentuh, dilagukan dengan sangat merdu.

Di mana pun tempatnya di Maluku ini, semua orang seperti bersuara merdu. Mereka memiliki bakat alam yang luar biasa dalam urusan tarik suara. Kehidupan gereja yang lekat dengan lagu-lagu sangat membentuk keahlian ini. Juga petuah-petuah nenek moyang yang disarikan dalam bentuk nyanyian-nyanyian. Andaikata pita suara itu bisa dikloning dan diperjualbelikan, mungkin pita suara orang Ambon akan menjadi oleh-oleh favorit. Hehe.... 

Berfoto bersama di SMP Satap Nakarhamto.
Di SMP 6 Ahanari yang memiliki 99 siswa yang terbagi dalam empat rombel itu, ada empat guru yang semuanya PNS, ditambah tiga guru dari SM-3T. Yang sudah memiliki sertifikat pendidik profesional baru satu, dari prodi PAK, dan juga satu-satunya yang sudah S1. Selain mengajarkan agama Kristen, guru lulusan STAKPEN (Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan) Ambon ini juga mengajar PKn.

Peserta SM-3T yang bertugas di sekolah yang sangat sederhana ini adalah Melkianus, Andi dan Fani. Melkianus dari prodi Pendidikan Biologi, tapi dia juga harus mengajar Fisika dan Tikom (Teknik Informasi dan Komunikasi). Andi dari prodi Pendidikan Matematika, juga memiliki tugas tambahan mengajarkan Tikom. Begitu juga dengan Fani, meskipun dari prodi Pendidikan Sejarah, dia mengajar Bahasa Inggris sebagai tugas tambahannya. 
Seperti itulah mereka, menjadi apa saja untuk memenuhi kebutuhan akan guru.

Kami menyantap hidangan kue-kue dan teh panas yang disediakan di sebuah ruang kelas. Sambil mengobrol dengan kepala sekolah, komite, pendeta, dan juga guru-guru. Saya juga meminta pak tetua menyampaikan syair lagu yang dinyanyikannya tadi, dan menjelaskan maknanya. Seperti yang saya tuliskan di atas itulah hasilnya. 

Selesai menikmati kue, kami bermaksud pergi ke bukit sinyal. Ingin melihat di mana tempat para peserta SM-3T dan masyarakat setempat melakukan komunikasi dengan menggunakan ponsel mereka. Didampingi seorang bapak guru dan murid-murid, kami semua beramai-ramai menuju bukit sinyal. Tempat itu ada di bukit yang cukup tinggi dan terjal, sekitar lima ratus meter dari sekolah. Saking terjalnya, kami sampai harus terengah-engah untuk mencapainya dan musti sebentar-sebentar beristirahat di beberapa titik yang landai. Ratri, salah satu peserta SM-3T, bahkan sudah mengibarkan bendera putih sebelum mencapai puncak bukit. 'Nyerah'. 

Tapi jerih payah itu terbayar. Di atas bukit, kami tidak hanya mendapatkan sinyal. Tapi juga mendapatkan pemandangan yang wow. Luar biasa indahnya. Nun jauh di bawah sana adalah pantai dan laut yang biru berkilau-kilau. Dilengkapi dengan bukit berbatu dan pepohonan yang rapat. Atap-atap rumah seperti kotak-kotak korek api yang tersusun begitu indahnya. Kami semua takjub terpukau dengan hamparan lukisan alam yang dahsyat itu.

Turun dari bukit sinyal, kami melanjutkan perjalanan ke SMP Satap Tutuwawang. Sekolah ini letaknya persis di dekat pantai. Kami hanya sekedar mampir saja di sekolah ini, dan bermaksud melanjutkan perjalanan ke sebuah desa terpencil yang bernama Ampelas. Namun rute yang harus kami lalui begitu beratnya. Melintasi jalan kecil di sela-sela bebatuan pantai, sepeda motor harus 'dijeal-jejalkan' sedemikian rupa supaya bisa lolos menyelinap di antara batu-batu besar itu. Meski gua dan batu-batu pantai yang indah begitu mengobati kelelahan kami, namun karena tidak semua sepeda motor bisa lolos dan mencari speedboat sewaan juga tidak berhasil, maka kami memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan. 

Sembari menuju jalan pulang, kami sempatkan mampir ke pantai. Bermain sampan. Saya sempat 'nyemplung' karena sampan kemasukan air. Tapi rasanya puas bisa bermain sampan meski di bawah sinar matahari yang terik sampai menyakiti kulit muka. Beberapa waktu yang lalu, Nanda pernah mengirimkan foto-foto dan videonya ketika dia sedang bermain sampan dengan anak-anak di desanya,di  desa Mahaleta di Pulau Sermata, Mdona Hyera. Saat melihatnya, saya menyimpan keinginan suatu saat ingin bermain sampan seperti itu. Hari ini 'keturutan.' 

Kami pun kembali berkonvoi menuju penginapan di sore yang mulai turun. Hari ini begitu luar biasa. Ada banyak pengalaman baru yang sangat menakjubkan. Ada banyak pelajaran hidup baru yang begitu berharga. Setiap detik terasa begitu penuh arti....

Aharani, Pulau Babar Timur, MBD, 18 April 2013.

Wassalam,
LN

Kamis, 18 April 2013

MBD (6): Dan UN...?

Saya di halaman SMAN Letwurung bersama Ratri dan Tika.
Meski hanya sarapan sepotong donat, kami memulai kunjungan ke SMA Negeri Letwurung dengan penuh semangat. Waktu menunjukkan pukul 07.30 WIT. Seharusnya kami 'kulonuwun' ke kantor UPTD dulu, namun karena Kepala UPTD sedang melakukan supervisi ke sekolah-sekolah untuk memastikan UN SMA hari terakhir ini baik-baik saja, maka kami memutuskan untuk langsung ke sekolah dulu. Memanfaatkan waktu. 

SMA Negeri Letwurung  sebelumnya adalah SMA PGRI Letwurung. Baru pada Maret 2013 yang lalu diresmikan sebagai SMA Negeri. Bangunannya terlalu sederhana untuk sebuah SMA. Bangunan sederhana itu pun merupakan bangunan baru. Ratri dan Tika, dua peserta SM-3T, yang bertugas di sekolah itu masih sempat merasakan mengajar di bangunan lama yang berada di halaman sekolah itu juga, yang kondisinya jauh lebih memprihatinkan. Mungkin karena masih baru, bahkan papan nama sekolah pun tidak ada, sehingga saya menamakannya sekolah tanpa  nama.

Di sekolah ini, jumlah guru PNS ada tujuah orang (termasuk kasek). Guru kontrak provinsi ada empat orang. Dari sekian guru, seorang guru berlatar belakang pendidikan Matematika (murni, bukan kependidikan), seorang berlatar belakang pendidikan Sosiologi (dari Sospol, bukan kependidikan). Selebihnya adalah guru Agama Kristen, guru Sejarah, BK, dan  Matematika (lulusan PGSLP); masing-masing satu orang. Kepala sekolah sendiri, Viktor Hemata, S.Pd, adalah lulusan Pendidikan Geografi, FKIP Universitas Pattimura. Namun kasek tidak mengajar, lebih banyak melaksanakan tugas-tugas lain sebagai kasek, sehingga sekolah ini praktis tidak memiliki guru Geografi.
Koleksi buku SMAN Letwurung yang terbatas.
Mesin Tik Manual.

SMAN Letwurung di tengah alam MBD.

Dengan komposisi seperti itu, maka sekolah tidak memiliki guru Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Kimia, Biologi,  Geografi dan Ekonomi. Selama ini, mata pelajaran tersebut diajar oleh guru-guru yang bukan bidangnya. Maka kehadiran Ratri yang berlatar belakang Pendidikan Ekonomi dan Ika yang dari Pendidikan Geografi, sangatlah membantu kekurangan tersebut. Selain mengajar sesuai bidang mereka, keduanya juga mengajar Bahasa Indonesia.

Tidak hanya Ratri dan Ika yang tiba-tiba harus menjadi 'superwoman' atau 'superman'. Sebagian besar peserta SM-3T harus mengajar mata pelajaran tambahan di luar bidangnya. Seringkali bahkan bukan bidang yang serumpun dengan latar belakang pendidikannya. Kondisi sekolah menuntut mereka untuk menjadi apa saja supaya siswa bisa tetap belajar dan tidak terlalu banyak jam pelajaran yang kosong

Sekolah ini tidak memiliki genset sehingga listrik praktis tidak tersedia. Ada perpustakaan namun koleksi bukunya sangat minim, hanya buku-buku paket saja yang dibeli dari dana BOS. Itu pun jumlahnya sangat terbatas, tidak cukup untuk memenuhi rak buku yang hanya. berukuran 3x4 meter. Tidak ada komputer, tidak ada laboratorium, tidak ada fasilitas olah raga dan kesenian. Tapi masih ada satu mesin tik manual yang diletakkan di ruang perpustakaan, entah untuk apa.

Jumlah siswa sebanyak 113 orang yang terbagi dalam 6 rombel. Saat ini, siswa yang mengikuti UN sebanyak 19 orang, dari jurusan IPA 7 orang dan IPS 12 orang. Entah bagaimana mereka harus mengerjakan soal-soal UN itu, sementara bekal mereka begitu terbatas. Tapi, setidaknya, ada 40 persen nilai raport yang akan membantu kelulusan mereka....

Setelah selesai di SMA Negeri Letwurung, kami melanjutkan perjalanan menuju UPTD Dikpora Kecamatan Babar Timur. Kepala UPTD,  Lakburawal, A.M.Pd, adalah pria yang ramah. Meski 'hanya' lulusan Sarjana Muda, di sini seseorang bisa menjabat sebagai Kepala Sekolah bahkan Kepala UPTD. Kepala UPTD sangat mengharapkan adanya bantuan tenaga guru melalui program SM-3T ini bisa terus berlanjut, terutama untuk memenuhi kebutuhan guru dari latar belakang pendidikan yang diujikan di UN. 

Dari kantor UPTD, kami melanjutkan perjalanan ke SMP Negeri 2 Pulau-Pulau Babar. 
Kaseknya, sudah lebih dari 20 tahun bertugas di sekolah tersebut. Beliau merupakan bapak piara Mudho dan Sampurno, dua peserta SM-3T yang ditugaskan di sekolah itu. Istilah bapak piara atau ibu piara merupakan istilah yang lazim untuk menyebut orang tua di mana seseorang menumpang di rumah mereka.

Di sekolah ini, jumlah siswa sebanyak 179 orang yang terbagi dalam enam rombel. Jumlah guru tiga belas orang plus dua peserta SM-3T. Tidak ada guru Bahasa Indonesia dan Matematika. Dari jumlah guru tersebut, dua orang lulusan S1 PAK, selebihnya adalah lulusan diploma, termasuk kasek. Guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik profesional baru dua orang. Tahun kemarin sebenarnya kasek masuk kuota dan sudah sempat mengikuti Ujian Kompetensi Awal (UKA), namun ketika harus berangkat mengikuti PLPG, laut sedang bergelora, dan kendala cuaca ini telah menutup kesempatannya untuk mengikuti PLPG pada tahun tersebut.

Dalam perbincangan kami dengan para guru yang pada umumnya sudah sangat senior dan mungkin beberapa dari mereka sebentar lagi pensiun, Ibu Heni Kastera, seorang guru PAK mengemukakan, selama dalam kebersamaan, kehadiran SM-3T sangat menyentuh kehidupan anak-anak Indonesia, terutama di SMP Negeri 2 Pulau-Pulau Babar. Para siswa, guru dan masyarakat  sangat bersukacita, bahwa ada guru-guru muda dari Indonesia yang mau datang untuk berbagi dengan mereka. Mereka tidak hanya membagikan ilmu, namun juga  membagikan kepedulian. Nuansa kebersamaan dalam Bhinneka Tunggal Ika tidak hanya sebagai wacana, namun  benar-benar nyata melalui program SM-3T ini. Seorang guru yang lain, bapak Benoni, menyampaikan rasa bangganya ketika sekolah menerima bantuan dua orang tenaga guru. Mereka sangat berarti dalam membangkitkan semangat belajar siswa, serta memberikan dampak positif baik dalam pembelajaran di kelas maupun dalam peningkatan manajemen sekolah. 

Masih ada satu sekolah lagi yang harus kami kunjungi siang ini, yaitu SMP Negeri Ahanari. Meski baru dua sekolah yang sudah kami lihat, kondisi kedua sekolah tersebut membuat saya seperti 'blangkemen'. Dalam nuansa UN seperti ini, baik yang saat ini sedang atau sudah berjalan (tingkat SMA), maupun yang saat ini sedang melakukan persiapan (tingkat SMP dan SD), kondisi sekolah-sekolah di Kecamatan Babar Timur ini, juga sekolah-sekolah di wilayah terpencil yang lain yang sudah pernah saya lihat, membuat saya seperti kehilangan kata-kata. Saya mencoba mencari makna UN bagi guru, bagi siswa, bagi masyarakat. Otak saya tumpul. Mereka ada di lapisan bumi paling bawah sementara UN adalah sesuatu yang entah apa itu, berada di langit ketujuh. Saya tidak yakin mereka benar-benar belajar untuk mempersiapkan UN karena sesungguhnya mereka tidak paham apa yang harus mereka pelajari. Mereka hanyalah robot yang harus datang dengan seragam putih abu-abu, duduk di kursi yang sudah disediakan, menerima LJK, menerima soal, dan mulailah membuat bulatan-bulatan. Saya tidak yakin mereka benar-benar mengerahkan pikiran ketika memutuskan untuk membuat bulatan-bulatan itu. Pengalaman sudah mengajarkan pada mereka, seperti apa pun mereka, semuanya akan lulus. UN hanyalah formalitas saja demi memperoleh selembar ijazah. Sementara tanpa itu pun, mereka telah mendapatkan banyak pelajaran dan pengalaman di laboratorium kehidupan mereka. Di sebuah sekolah bernama alam semesta.

Siswa SMAN Letwurung tengah mengikuti UN.
Sampai di sini, saya menjadi tidak terlalu yakin, apakah sekolah itu penting? Seperti apakah mutu manusia-manusia yang dihasilkan dari proses pendidikan yang mengabaikan nilai-nilai hakiki sebagai manusia? Bukankah pendidikan itu seharusnya memanusiakan manusia? Bukankah sekolah itu seharusnya mendidik manusia untuk menjadi cerdas (fathonah), jujur (siddiq), peduli(tabligh) dan tanggung jawab (amanah)? 

Dan UN.....?

Entahlah, sampai di sini otak saya benar-benar tumpul...

Letwurung, Pulau Babar Timur, MBD, 18 April 2013.

Wassalam,
LN

MBD (5): Kalwedo

Saya di depan mobil yang melayani internet.
Pagi di Tepa. Kami mengawali makan pagi di penginapan. Penginapan hanya menyediakan teh panas dan kue-kue: pisang goreng, nagasari dan kue lapis. Ibu Mirna, ibu guru yang baik hati itu, mengirim nasi goreng, telur ceplok dan krupuk. Lengkaplah makan pagi hari ini. Kami menikmatinya di ruang makan, bersama Noval dan Mudho.

Kunjungan pertama kami pagi ini adalah UPTD Dikpora kecamatan Pulau-Pulau Babar. Sebuah kantor yang memanfaatkan rumah tua. Kantor itu juga disebut rumah tua. Bukan karena dia menempati rumah tua, tapi karena rumah itu menjadi tempat menyelesaikan segala urusan. 

Kami juga bertemu dengan Kabid SMP Dinas PPO MBD, bapak Otis. Beliau menyampaikan ucapan terima kasihnya pada kami untuk program SM-3T ini. Harapannya, pada waktu-waktu yang akan datang, program ini terus berlanjut, bahkan kalau bisa ditambah jumlah gurunya. Kekurangan guru di daerah MBD merupakan persoalan terbesar, terutama di daerah-daerah pulau-pulau kecil. 

Menurut ibu Maria, kabid SMA Dinas PPO MBD, yang kami temui tadi malam di rumah bapak ketua klasis, sebanyak sekitar 80 persen guru di MBD belum memenuhi kualifikasi S1/D4. Mereka yang sudah memenuhi kualifikasi tersebut mayoritas lulusan Pendidikan Agama Kristen (PAK). Para guru ini mengajar apa saja yang bisa mereka ajarkan di sekolah, tidak hanya agama, namun mungkin juga PKn, Bahasa Indonesia, Sejarah, dan sebagainya, yang sama sekali tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka. Bila guru-guru benar-benar tidak memiliki kompetensi (baca: keberanian) mengajar mata pelajaran yang bukan bidangnya, mata pelajaran itu bisa-bisa tidak pernah diajarkan, meskipun itu mata pelajaran yang di-UN-kan. Ini benar-benar terjadi di suatu sekolah, di mana sejak kelas satu, siswa hanya diajar dua kali untuk mata pelajaran Biologi, itu pun oleh guru honorer yang kemudian berhenti mengajar. Mereka baru diajar lagi mata pelajaran Biologi setelah kedatangan para peserta SM-3T. Siswa-siswa tersebut saat ini adalah siswa yang sedang dan akan menempuh UN. Sedih. 

Setelah mengunjungi UPTD, kunjungan kami lanjutkan ke SMA Negeri Tepa, tempat Noval dan Risna bertugas. Kami berjalan kaki saja, karena di kampung kecil itu, jarak dari satu titik ke titik yang lain tidaklah terlalu jauh. Di SMA Negeri Tepa, sebagaimana di SMA seluruh Indonesia saat ini (kecuali di 11 provinsi yang tertunda UN-nya), UN hari ketiga sedang berlangsung. Kami datang sekitar pukul 09.15, dan seharusnya, lima belas menit lagi UN selesai. Tapi ternyata sekolah menambah waktu sepuluh menit lagi. Menurut kepala sekolah, waktunya ditambah karena siswa perlu mengecek apakah nama dan lain-lain sudah dituliskan dengan benar. Ada polisi, ada tim independen, ada panitia sekolah yang telah menyetujui penetapan 'injury time' tersebut.

Selesai kunjungan ke SMA Negeri Tepa, kami kembali ke penginapan, bersiap-siap check out untuk melanjutkan perjalanan menuju Kecamatan Babar Timur. Memang di Tepa ini hanya ada satu sekolah saja yang menjadi tempat tugas peserta SM-3T. Selebihnya ada di Babar Timur dan Mdona Hyera.

Waktu tempuh dari Tepa ke Babar Timur sekitar dua jam. Mobil yang membawa kami adalah mobil ranger double gardan, menyewa dari seorang pengusaha dari Letwurung. Sampurno, Puri dan Junaidi, tiga peserta yang bertugas di Letwurung dan Mdona Hyera, datang bersama mobil itu. Jadi pasukan kami menjadi bersepuluh. Ditambah drivernya, pak Hau, menjadi bersebelas.

Saya duduk di sebelah pak Hau yang sedang mengemudikan ranger. Laki-laki tinggi kurus itu berkulit hitam dan berambut keriting, khas Ambon. Beranting dan bergelang monel. Lengan kirinya bertato. Meski penampilannya berkesan 'sangar', dia ramah. Di sepanjang perjalanan, dia menjawab semua pertanyaan saya dan teman-teman dengan sangat terbuka.

Mas Heru dan mas Rukin duduk di jok tengah. Sedangkan para peserta SM-3T, sebanyak tujuh orang, semuanya ada di kabin belakang. Bagasi kami juga ada di kabin bersama mereka.

Perjalanan menuju Letwurung adalah perjalanan yang menyenangkan. Meski jalannya tidak rata dan beberapa kali menemui jembatan yang putus, namun kondisi jalan relatif rata, lurus, tidak terlalu berbelok-belok naik turun. Tidak seperti di Sumba, traveling di Letwurung ini masih memungkinkan kita untuk tidur pulas di dalam mobil, karena tubuh tidak perlu terbanting-banting ke kanan dan ke kiri. Laut yang indah ada di sebelah kiri kami, dan pohon-pohon kelapa yang sedang lebat buahnya adalah pepohonan yang dominan memenuhi pantai. 

Kami juga sempatkan mampir di Nakarhamto, tempat tugas Daniel, Didin dan Tika. Daniel menyambut kami dengan kerinduan yang tidak disembunyikannya, sampai matanya memerah basah. Anak muda yang waktu berangkat dulu gendut, sekarang langsing. Turun hampir tiga belas kilogram. Aktivitas mengajarnya yang padat telah membantunya menurunkan berat badan. Begitu juga pola makan masyarakat Nakarhamto yang tidak pernah makan pagi (kecuali minum kopi, teh dan kue atau ubi), serta mengonsumsi makanan pokok tidak selalu nasi (tetapi lebih sering jagung, ubi kayu, sukun dan pisang), sangat membantu Daniel memperoleh berat tubuh normal secara alamiah. Betul-betul diet yang murah-meriah dan sukses.

Kami sempat makan siang di tempat tinggal Daniel dan kawan-kawan, sebuah rumah sederhana milik seorang guru yang dipinjamkan pada mereka. Meski sebelumnya kami sudah makan siang di tengah perjalanan dengan menu bekal kami dari Tepa, kami semua makan lagi untuk tidak mengecewakan Daniel dan kawan-kawan yang sudah memasak buat kami. Orang-orang kampung juga membawakan kelapa muda untuk kami, sehingga kami siang itu benar-benar kekenyangan dan 'klempoken'.

Kami juga sempatkan bertamu ke rumah kepala desa yang rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari tempat tinggal Daniel dan kawan-kawan. Berbincang tentang berbagai hal ditemani segelas kopi. Kopi mereka adalah kopi bening, hanya ada sedikit sekali serbuk kopi di bagian dasar gelas, sedangkan warna airnya lebih mirip dengan teh. Kebetulan saya dan mas Rukin bukan penyuka kopi, maka kopi bening itu malah bisa kami nikmati. Mas Rukin bahkan menghabiskan dua gelas. Entah karena haus, entah karena doyan...hehe

Uniknya, meskipun Nakarhamto adalah desa terpencil, namun tidak ada satu pun orang yang buta huruf. Mereka adalah orang-orang yang religius, dan sejak kecil mereka sudah membaca Alkitab. Jadilah membaca menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. 

Namun ini tidak berarti pendidikan di sana sudah maju. Di SMP tempat Daniel dan kawan-kawan mengajar, hampir semua gurunya memiliki 'kaki baminyak'. Begitu kata kepala desa yang pensiunan marinir itu. Licin. 'Seng' betah di tempat. Pergi-pergi terus. Daniel dan kawan-kawan selain harus mengajar sesuai dengan bidangnya, mereka juga mengajar mata pelajaran lain karena gurunya tidak ada, atau kalau pun ada, kaki mereka pada 'baminyak'.

Melanjutkan perjalanan lagi ke arah Letwurung, dengan Daniel, Tika dan Didin bergabung bersama kami. Daniel dan Didien berboncengan sepeda motor, sedangkan Tika bergabung di mobil. Karena Tika masih dalam proses pemulihan setelah terkena malaria, maka Tika duduk di jok tengah, bersama mas Heru dan mas Rukin. Seekor ikan besar, entah apa namanya, yang diperoleh Daniel dari penduduk setempat, kami bawa juga untuk menu makan malam kami nanti.

Di hampir setiap pintu masuk desa, kami menemukan tulisan 'kalwedo' pada pintu gerbangnya yang sederhana. Kalwedo berarti selamat, ucapan selamat bagi siapa saja yang sedang memasuki desa tersebut. Kalwedo juga biasa diucapkan ketika minum bersama, atau 'cheers' dalam bahasa yang kita sudah kenal. Ucapan yang biasa diungkapkan saat acara minum bersama dengan mengangkat gelas dan saling menyentuhkan gelas-gelas tersebut. Minuman yang biasa mereka minum adalah sopi, minuman keras yang terbuat dari fermentasi bunga kelapa.

Desa mereka adalah desa-desa kecil saja. Tidak lebih dari sepanjang satu dua kilometer. Umumnya adalah perkampungan yang rapi, dengan banyak pepohonan dan bunga-bunga di pekarangan rumah, yang sekaligus juga sebagai pagarnya. Keluar masuk desa hampir selalu diawali dengan pintu gerbang masuk bertuliskan 'kalwedo' dan diakhiri dengan pintu gerbang keluar bertuliskan 'Amato' (selamat jalan).

Tibalah kami di Letwurung. Di depan sebuah penginapan tak bernama. Namun jangan mengira kalau penginapan ini adalah penginapan yang kurang representatif. Meski di pelosok, dengan jumlah KK tidak sampai ratusan, penginapan yang hanya satu lantai ini cukup luas dan menyenangkan. Dengan kamar yang luasnya sekitar 42 meter persegi, satu single bed atau twin yang nyaman, AC, TV flat besar, sofa dan meja, almari dan toilet, serta sebuah meja dan kursi kerja, juga kamar mandi yang besar dan cukup modern, penginapan ini terlalu mewah untuk ukuran Letwurung. Kami mengambil tiga kamar, satu untuk saya sendiri, satu untuk mas Heru dan mas Rukin, satu untuk Noval dan kawan-kawan.

Sore setelah mandi, kami beramai-ramai berjalan menuju pelabuhan. Wow, luar biasa indah pemandangannya. Beberapa orang sedang memancing, dan ikan-ikan yang didapat adalah ikan yang besar-besar. Beberapa remaja bermain gembira, lompat dari bibir jembatan, dan 'nyemplung' ke laut yang jaraknya sekitar tiga empat meter, berenang-renang ke tepian, dan bercengkerama ramai sekali. Anak-anak, di sisi yang lain, juga tidak kalah ramainya, 'ciblon' di laut dan berenang saling berkejaran. Mereka adalah perenang dan pemancing ulung yang ditempa oleh alam. Wajah-wajah mereka yang tampan dan cantik meski berkulit hitam, adalah wajah-wajah Portugis yang menegaskan bahwa mereka sangat mungkin memiliki garis keturunan itu. Sinar matahari  yang redup tak juga menyamarkan gerak ribuan ikan kecil-kecil yang bertumpuk-tumpuk di dasar laut, berenang-renang, bergerombol-gerombol. Sungguh indah suasan sore ini, dilengkapi dengan keceriaan anak-anak kami, para peserta SM-3T, yang begitu menikmati 'hari kebebasannya'.

Malam ini kami berkumpul di ruang tamu penginapan yang luas dan bersih. Dua ekor ikan bakar yang besar-besar, pemberian penduduk setempat, adalah menu santap malam kami. Melkianus, Andi dan Fani, ketiganya bertugas di SMP Negeri Ahanari, sekitar tiga puluh menit perjalanan dengan motor, bergabung juga. Kami berdiskusi banyak hal sampai larut malam. Berbagi pengalaman-pengalaman mereka di sekolah dan di masyarakat. Memastikan form monev, laporan tengah tahun, buku harian, tulisan tentang pengalaman berkesan, foto-foto, video-video, sudah dihimpun semua. Juga merencanakan perjalanan monev besok paginya. 

Malam yang larut di Letwurung
Suara alam indah mengalun
Wajah-wajah manis 
Mengulum senyum
Penuh dengan harapan yang menggunung
Esok, akan datang saat
Di mana segalanya akan semerbak harum...

Letwurung, Pulau Babar Timur, MBD, 18 April 2013

Wassalam,
LN

Rabu, 17 April 2013

MBD (4): Tepa yang Ramah

Berjalan di kampung Tepa.
Kapal Pangrango akhirnya merapat di dermaga pada sekitar pukul 19.00. Tidak terlalu meleset dari perkiraan sebelumnya. Kami bersiap turun. Membagi beban bagasi untuk bertujuh. Bersiap di depan pintu keluar, berdiri mematung bersama para penumpang lain dengan bagasi kami masing-masing.

Begitu kami menghambur keluar kapal, sebuah gerobak menyambut kami. Oo, ternyata bagasi kami akan diangkut dengan gerobak. Noval dan Risna memanggil-manggil seorang perempuan dengan sebutan kakak. Tangan mereka saling melambai. Si kakak, yang ternyata ibu Mirna Tabalubun, guru SMA 1 Tepa tempat Risna dan Noval bertugas, sengaja datang menjemput kami dan menyiapkan ojek-ojek untuk kami.

Malam ini kami bertamu ke rumah ketua klasis (ketua kelompok gereja), bapak Ampi, untuk 'kulonuwun'. Seorang yang sangat santun, ramah, rendah hati. Ibu Ampi, seorang guru di SMA 1 Tepa, tidak kalah santun dan ramahnya. Rumahnya yang bersih dan rapi seperti memberikan kehangatan dan ketulusan. Kebetulan ketika kami datang, pak Ampi sedang ada tiga orang tamu juga, yang datang dari Ambon. Mereka satu kapal dengan kami. 

Kami dijamu makan malam di rumah pak Ampi, dan menghabiskan banyak waktu untuk berdiskusi dengan pak Ampi dan ketiga tamunya. Orang-orang yang cerdas, kritis, sangat argumentatif, namun tetap rendah hati.  Kami berdiskusi tentang kondisi MBD sebagai wilayah yang berbatasan dengan Australia dan Timor Leste dengan segala tantangannya. Kami juga menggali informasi tentang keberadaan Tiakur sebagai ibu kota kabupaten MBD yang baru serta potensi adanya upaya pemekaran Kisar dan beberapa wilayah di sekitarnya menjadi  kabupaten baru lagi. Berbagai hal terkait dengan kebijakan pemerintah pusat dan daerah menyangkut bidang pendidikan juga tak luput menjadi bahan diskusi kami malam itu. 

Ketiga tamu pak Ampi itu datang dari Ambon karena akan menghadiri sidang klasis dan peresmian klasis baru di Letwurung. Bupati akan hadir pada acara itu, sekaligus peresmian kecamatan baru. 

Di wilayah ini pada awalnya hanya ada satu kecamatan, yaitu kecamatan Pulau-Pulau Babar. Kemudian berkembang menjadi tiga kecamatan, Babar Barat, Babar Timur dan Mdona Hyera. Mekar lagi menjadi enam kecamatan setelah ditambah Marsella, Dawelor dan Wetang. Kemudian berkembang lagi menjadi delapan kecamatan, dan saat ini sudah mekar menjadi tujuh belas kecamatan.  Alasan pemekaran tersebut adalah pertimbangan rentang kendali (span of control). Karena MBD merupakan wilayah kepulauan, dan laut adalah satu-satunya sarana transportasi, maka komunikasi, koordinasi dan pengendalian antar pulau menemui banyak kendala. Lebih-lebih bila laut sedang bergelora, maka komunikasi dengan dunia luar bisa terputus selama berbulan-bulan. Tidak ada satu pun kapal yang berani berlayar atau merapat dari dan menuju pulau-pulau tersebut. Komunikasi lewat telepon juga tidak memungkinkan karena belum ada fasilitas untuk itu. Satu-satunya komunikasi adalah melalui surat, itu pun kalau ada kapal bersandar dan surat bisa dititipkan pada kapal. Para peserta SM-3T di Mdona Hyera mempunyai kenalan orang kapal, sehingga bila kapal merapat, mereka bisa menitipkannya untuk diposkan di kota tujuan. Beberapa waktu yang lalu, Nanda yang tinggal di Mdona Hyera mengirimkan suratnya untuk kami dengan cara seperti itu, dan sekitar dua bulan kemudian surat baru kami terima. Pada saat itu laut sedang bergelora dan kapal tidak berlayar sampai beberapa waktu.

Meski baru semalam, kami sudah bisa merasakan betapa ramahnya masyarakat Tepa. Dalam perkampungan kecil yang cukup rapi dan padat, dengan jalan-jalan tanahnya yang lumayan lebar, di mana-mana nampak teduh oleh pepohonan. Laut dan pantai melengkapi keindahan kampung yang hampir seratus persen penduduknya adalah Kristen Protestan itu. Di sepanjang jalan, setiap kami berpapasan dengan orang-orang setempat, mereka menyapa kami dengan ramah, 'selamat malam, ibu, bapak....'. Sambil mengangguk dan tersenyum. Bila mereka sedang asyik bermain kartu atau mengobrol, mereka menghentikan aktivitas  sejenak untuk sekedar menyapa kami. Meski di mana-mana terpasang salib, termasuk di pohon-pohon kelapa, di dinding-dinding, di atas genteng, azan berkumandang merdu setiap tiba waktu sholat. Penginapan yang kami tempati pun begitu 'homy', bersih dan ramah.

Tepa, meski untuk mencapainya memerlukan waktu berhari-hari dari Ambon dan Kupang, namun pada dasarnya wilayah ini bukanlah wilayah yang serba kekurangan. Kondisi SDM, sarana prasarana pendidikan, dan juga kesuburan tanahnya masih jauh lebih baik daripada Sumba Timur. Sekolah-sekolah yang ada juga tidak terlalu kekurangan guru. Lebih dari 50 persen lulusan SMA dan SMK di Tepa, menurut bapak Ampi, meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi. Mereka memilih Ambon, Surabaya atau Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan. Sebagian besar penduduknya adalah petani, namun pegawai dan pedagang juga cukup banyak. Penduduk Tepa juga banyak yang memiliki hewan ternak, terutama sapi, kerbau dan babi. Air melimpah, hasil bumi seperti padi, jagung, umbi-umbian dan sayur-sayuran tumbuh subur. Laut menyediakan ikan yang luar biasa banyak, tidak salah kalau Maluku dijuluki lumbung ikan. 

Problem utama wilayah ini adalah infrastruktur, baik untuk jalan, komunikasi maupun listrik. Sinyal ponsel lebih banyak off-nya daripada on, dan listrik hanya tersedia di malam hari. Untuk mencapai Tepa juga hanya bisa melalui laut, baik dengan kapal-kapal perintis atau dengan kapal PELNI semacam Pangrango dan Marsella.

Noval dan Risna sangat beruntung mendapatkan tugas di tempat ini. Mereka berdua tinggal di sebuah rumah di dekat rumah bapak klasis, dengan bapak dan ibu piara yang sangat baik. Tempat tinggal mereka sangat representatif dibandingkan dengan tempat para peserta yang bertugas di Sumba Timur dan Aceh Singkil.  Saya katakan ke mereka, bahwa mereka ibarat pindah tidur saja dari Surabaya ke Tepa.

Tepa, Pulau Babar, MBD, 16 April 2013 
      

MBD (3): Berlayar ke Tepa

Pagi ini, pukul 07.15 WIT, kami bertujuh sudah naik angkot menuju pelabuhan Saumlaki. Kami akan berlayar menumpang kapal Pangrango menuju Tepa. Di Tepa ada Noval dan Risna. Tepa merupakan ibu kota kecamatan Pulau-Pulau Babar. Pulau Babar sendiri terdiri dari dua kecamatan, Kecamatan Pulau-Pulau Babar dan Babar Timur. Ibu kota Kecamatan Babar Timur adalah Letwurung. Mudho bertugas di Letwurung, bersama tiga teman lainnya. Sedangkan Nanda di Kecamatan Mdona Hyera, tepatnya di Sermata, desa Mahaleta. Mdona Hyera merupakan kecamatan yang terdiri dari dua pulau, Pulau Luang dan Sermata. Di Pulau Luang ada 5 peserta. Jarak tempuh dari Pulau Babar ke Pulau Sermata enam jam; dari Sermata ke Luang, dua jam. Semua ditempuh dengan kapal motor (kapar nelayan) atau kapal perintis (Maloli, Santika, Sabuk 34 dan Maumere). Jadwal kapal perintis tidak tentu. Dalam keadaan cuaca ekstrim, bahkan tidak ada kapal yang berlayar sampai berbulan-bulan karena kapal-kapal perintis pun tidak berani bersandar.

Itulah sebabnya untuk monev kali ini kami tidak berani sampai ke Mdona Hyera, meskipun sebenarnya kami sangat menginginkannya. Andaikata ada kapal perintis yang bisa kami tumpangi menuju ke sana, jadwal kembalinya tidak bisa dipastikan. Bisa-bisa kami tertahan sebulan dua bulan di Mdona Hyera. Tanpa sinyal. Terputus dengan dunia luar.

Mudho, Noval, Nanda dan Risna sudah bersama kami sejak kemarin. Menginap di penginapan yang sama. Menghabiskan waktu untuk berdialog dan curhat. Anak-anak manis itu  sengaja datang ke Saumlaki untuk menjemput kami. Berangkat dari Tepa dua hari yang lalu, menumpang kapal Maloli, sebuah kapal perintis.  Mengarungi laut selama sekitar 17 jam, bercampur jadi satu dengan barang dan binatang (kambing, babi, ayam dan anjing). Bahkan juga jenazah. Jenazah itu diangkut dari Lelang (ibu kota Kecamatan Mdona Hyera), menuju Pulau Dawelor, dan akan dimakamkan di sana.

Akhirnya kami sampai di Pelabuhan Saumlaki. Dari kejauhan, Pangrango nampak dikerubuti banyak calon penumpang dan pengantar. Saya, mas Heru dan Mudho, ke bagian loket pembelian tiket. Setelah bertanya ke petugas, seketika kami agak kecewa. Kamar habis, hanya ada tiket ekonomi. Ya sudah, apa boleh buat. Kemarin kami yakin saja kalau masih akan kebagian kamar sehingga tidak memesan tiket dari kemarin. Setelah kami membayar harga tiket dan menerima tiketnya, saya bergumam sendiri, 'sayang ya tidak kebagian tiket kamar.' Eh, ternyata gumaman saya didengar oleh seorang petugas yang lain, kelihatannya atasan dari petugas yang pertama. Perempuan itu bertanya: 'Ibu mau ambil kamar?' Langsung saya jawab 'ya.' 'Semuanya, untuk tujuh orang ini?' Saya mengangguk pasti. 'Baik, ibu tunggu sebentar ya.'

Setelah nego sana-sini termasuk nego harga, jadilah kami masuk ke dua kamar kelas dua. Nomer 3003 dan 3010. Meski ambil dua kamar, akhirnya kami 'ngumpul' saja di satu kamar. Ngobrol, melihat foto-foto aktivitas para peserta SM-3T, melihat video-video kehidupan masyarakat MBD, dan berdiskusi. Karena kami belum makan, kami juga pesan makanan di pantry yang hanya menyediakan satu-satunya menu: nasi ayam. Nasi putih, ayam goreng tepung, saus sachet, dan seiris mentimun. Kami sangat menikmatinya. Juga menikmati 'kelahapan' anak-anak kami makan ayam goreng yang sudah sejak enam bulan tidak ditemuinya. Begitu juga ketika saya mengeluarkan apel dan jeruk, mereka langsung melahapnya juga. Setiap suapan seperti begitu berarti. 

Selesai makan dan meneruskan diskusi, kami memutuskan untuk naik ke dek kapal. Mencari udara segar. Mas Rukin memilih tinggal di kamar, tidur, semalam dia tidak bisa tidur nyenyak. Kami menuju buritan, lantas menuju bagian depan. Menikmati samudra nan luas tak berbatas. Daratan yang nun jauh di sana membentuk bukit-bukit kecil berwarna kelabu. Langit yang teduh seperti payung raksasa yang siap menaungi ke mana pun kapal ini berlayar. Puluhan ikan terbang berkejaran di depan mata. Sungguh indah benar ciptaan Sang Maha Indah. 

Kami akan menempuh perjalanan ini selama sekitar sepuluh jam. Tadi kapal mulai bergerak meninggalkan Pelabuhan Saumlaki pada pukul 08.30. Saat ini pukul 11.30. Sekitar pukul 18.30 nanti kami akan merapat di Tepa.

Puas menghirup udara segar di dek dan di anjungan, kami turun. Di dek lantai tiga, kami dicegat oleh tiga orang bapak. Mereka memperkenalkan diri sebagai anggota DPR komisi B, sekda MBD, serta pejabat dari Dinas Perhubungan. Tadi ketika akan naik ke anjungan, kami memang lewat di depan mereka, dan nampaknya gerak-gerik kami menarik perhatian mereka. Kami akhirnya mengobrol dan mendiskusikan banyak hal di dek, tentang kondisi kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan berbagai kebijakan pemerintah yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan rakyat MBD. Sebagai kabupaten yang baru (sejak 2008), hasil pemekaran dari MTB (Maluku Tenggara Barat),  MBD memang masih sangat jauh dari maju, di semua bidang. Ibu kota kabupatennya saja, Tiakur, baru saja beroperasi sejak November 2012 yang lalu. Sebelumnya masih di Kisar sebagai ibu kota sementara, menunggu Tiakur siap. MBD memiliki puluhan pulau, enam pulau terluar berhadapan dengan negara lain. Tiga pulau, yaitu Marsela, Babar dan Mdona Hyera berhadapan dengan Australia; sedangkan Wetar, Kisar dan Leti berhadapan dengan Timor Leste.  

Ketiga pejabat itu menyambut sangat senang program SM-3T ini. Meski mereka yakin, program ini tidak akan maksimal tanpa kolaborasi lintas sektor. Infrastruktur jalan, komunikasi, sarana kesehatan, pendidikan, semua perlu dibangun. Ada bahaya mengintai yang begitu dekat bila semua sektor ini tidak segera mendapatkan perhatian yang cukup. Ancaman terhadap keutuhan NKRI. Uluran tangan dari negara-negara yang terdekat, sangat berpeluang mengancam rasa nasionalisme rakyat di daerah perbatasan yang haus akan sentuhan dan sapaan dari pemerintah pusat.

Kami sholat di mushola, di lantai paling atas. Mushola yang bersih, terawat dan wangi. Sujud dalam kondisi seperti diayun-ayun lembut karena goyangan kapal. Mas Rukin mengimami kami. Mushola tidak terlalu ramai, hanya ada kami dan dua orang yang lain. Mungkin waktu sholat berjamaah kelompok besar sudah usai. 

Selesai sholat, kami kembali ke kamar. Ngumpul lagi. Kamar yang satu dibiarkan kosong. Sambil menunggu waktu, kami belajar bahasa daerah Pulau Babar. Unik. Ini dia beberapa istilah dalam bahasa Pulau Babar.

Tas plastik : tas beribut
Sudah penuh: su pono
Sudah lembek: su lombo
Mereka: dong
Saya: beta, ose (pada anak yang lebih kecil atau kalau lagi marah), ale (pada teman sebaya).
Adik kecil: nara
Gadis: nona
Jejaka: nyong
Mas: bung (biasanya disingkat bu). Jadi Noval biasa dipanggil bu Noval.
Mbak atau kakak: usi
Kita: katong
Bohong: parlente
Punya: pung
Jangan: jang
Kambing: pipi
Jalan-jalan: ronda
Jelek: tar baik
Tidak: tar, seng
Saling: baku
Saling memeluk (baku polo)
Genit: cakadidi
Genit sekali: cakadidi mandidi
Sumur: perigi
Air putih: teh putih
Teh tawar: teh seng pake gula
Diulang-ulang: Taputer-tabalik
Wajah ngantuk: muka kering, muka seng ada judul, muka munafik
Kakek: tete
Nenek: nene
Tuhan: tete manis
Hantu: tete momo
Penyu: tete ruga
Cari gurita: balobe
Senar: tasi
Surut, kering: meti (laut su meti, artinya laut sudah surut)
Bia: kerang
Air laut: air garam
Belinjo: ganemo
Ketela: kasbi
Terimakasih: danke
Lombok: cili
Untuk: par
Air: gera
Kelapa: nora
Sendok: hnyora
Parang: weleh

Ada ungkapan lucu ciptaan anak-anak SM-3T sendiri: 'Seng makan mati, makan seng juga mati' (Tidak makan mati, makan seng juga mati).

Sekitar pukul 16, kami kembali menaiki dek. Cari angin lagi sambil melihat pulau yang sudah nampak. Pulau Marsela merupakan pulau terjauh, ada di sisi kiri kapal. Pulau Babar, seolah sudah begitu dekat, meski jarak tempuh masih sekitar dua jam lagi, ada di arah depan kiri kapal. Di bagian kanan kapal, berurutan: pulau Dawelor, Dawera, Dai,  dan Wetang.

Angin berhembus kencang di atas dek. Air laut, sejauh mata memandang, berwarna hitam, menunjukkan kalau kami sedang berlayar di laut dalam. Tak terasa sudah sekitar delapan jam kami berlayar. Sepanjang perjalanan, sinyal ponsel lebih banyak off daripada on. 

Dua jam lagi....
Dan laut yang hitam
Setia menggerakkan kapal
Membelah samudra 
Memercikkan buih-buih

Sedang matahari di ujung barat
Tak jua beradu
Seperti menunggu
Kapal bersandar
Di pelabuhan Tepa 
Yang sedang merindu.... 

MBD, 16 April 2013

Wassalam,
LN

Senin, 15 April 2013

MBD (2): Tiba di Saumlaki

Sesaat setelah turun di Saumlaki menggunakan pesawat perintis.
Menunggu di Bandara Pattimura sekitar 3 jam. Express Air yang seharusnya terbang pukul 7.00 WIT ditunda keberangkatannya sampai nanti pukul 11.00 lebih. Check in baru dibuka sekitar pukul 10.00. Kami memilih duduk-duduk saja di teras bandara. Sementara itu, Noval dan Mudho, dua peserta SM-3T dari MBD, terus memantau keberadaan kami. Mereka, bersama Risna dan Nanda, dua peserta yang lain, sudah menunggu dan siap menjemput kami di bandara Saumlaki. Mereka sudah menyewa angkot untuk penjemputan itu.

Sekitar pukul 10.30, kami check in. Kalau kemarin ketika check in di Surabaya kami tidak kena tambahan biaya untuk bagasi, hari ini kami kena kelebihan 17 kilogram. Per kilogramnya Rp. 30.000,-. Maka kami membayar Rp. 510.000,- untuk buku-buku dan sambal pecel untuk oleh-oleh. Apa boleh buat. Free bagage untuk pesawat kecil ini hanya 10 kilogram. Dos-dos kami saja satu dosnya ada yang beratnya 18 kilogram. Padahal ada empat dos, plus dua koper milik saya dan mas Heru.

Ternyata kami masih harus menunggu cukup lama lagi. Pesawat dikabarkan baru akan tiba di bandara pada 11.48. Ya sudah, 'ngleset' lagi aja...

Sekitar pukul 12.50, akhirnya saat boarding tiba. Kami bersiap menaiki pesawat. Petugas bandara menyediakan payung-payung besar dan kami berjalan cepat di bawah guyuran gerimis yang rapat, menuju ke arah Express Air yang sedang menunggu. Pesawat perintis itu nampak begitu mungil di antara Lion Air dan Wings Air yang juga sedang menunggu penumpang. 

Akhirnya Express Air pun membelah angkasa, bersama 16 penumpangnya dan empat awak pesawat. Mendung pekat membuat badan pesawat bergetar-getar saat menerobos gumpalannya. Tapi hanya sebentar. Selebihnya, tenang. Sampai akhirnya, setelah terbang hampir satu jam,  kami disuguhi pemandangan yang luar biasa indah, sesaat sebelum pesawat mendarat. Daratan yang nampak hijau rata. Tersebar di mana-mana. Seperti onggokan-onggokan bukit yang dijatuhkan dari langit begitu saja. Semakin mendekat, hijaunya berubah menjadi sebuah gradasi, hijau tua, hijau muda, hijau kekuningan. Itulah pulau-pulau. Laksana melihat peta saja saya memandanginya dengan penuh takjub. Di antara pulau-pulau itu, adalah samudera luas yang biru, berkilau-kilau. Di tengah sebuah pulau yang besar, saya perkirakan itulah Saumlaki, sebuah garis membelah tumpukan pepohonan. Jalan yang panjang berkelok-kelok. Hanya satu-satunya jalan, yang di bagian ujungnya ada semacam kerumunan, pasti kerumunan rumah.

Saumlaki. Akhirnya kami menginjakkan kaki di ibu kota Maluku Tenggara Barat (MTB) ini. Cuaca cerah. Saya yakin anak-anak kami sudah menunggu di depan pintu kedatangan bandara. Saya pun tidak sabar untuk segera bertemu mereka.

Dan benar. Keempat anak muda itu sudah berdiri di depan pintu keluar ruang kedatangan yang sempit. Sempit ruangannya, sempit juga pintunya. Noval, Mudho, Nanda dan Risna. Wajah mereka yang ceria dan menyungging senyum mencerahkan hati kami. 

Sesuai janji, mereka sudah menyiapkan angkot untuk menjemput kami. Semua bagasi masuk. Saya duduk di depan. Yang lain di belakang. Angkot bergerak meninggalkan halaman bandara, mengikuti jalan-jalan yang beraspal yang tidak terlalu lebar, naik turun. Saumlaki adalah sebuah kota kecil yang cukup ramai, ada angkot, ada banyak kendaraan bermotor. Ada beberapa penginapan yang lumayan bagus. Ada plaza juga, namanya Satos (Saumlaki Town Square), meski bangunan dan isinya jauh dari Sutos di Surabaya atau Matos di Malang. Banyak rumah di sepanjang jalan, juga tempat-tempat makan. Menurut Mudho dan kawan-kawan, di sini banyak orang Jawa. Merekalah yang banyak membuka warung-warung makan itu. Siang ini pun ketika kami menikmati makan siang yang sudah telat (pukul 15.00), pemilik warung berasal dari Lumajang. Mereka sudah tiga tahun merantau di Saumlaki ini, dan tahun ini sudah bisa pergi haji. 

Hari ini kami habiskan waktu untuk berdialog dengan keempat peserta SM-3T. Kami duduk-duduk di selasar lantai dua penginapan Kharisma, tempat kami transit sebelum berangkat ke Tepa besok pagi. Menggali berbagai persoalan yang mereka hadapi. Memastikan segala sesuatunya berjalan dengan seharusnya. Bertanya tentang keberadaan sekolah, murid-murid, guru-guru, masyarakat, dan aktivitas mereka. Cerita tentang sulitnya akses jalan, terbatasnya sarana prasarana, minimnya daya dukung sekolah dan masyarakat, minimnya guru, sampai ke keterbatasan sinyal dan listrik, ibarat cerita pengantar tidur saking seringnya kami dengar. Kami membesarkan hati mereka,  memberikan banyak masukan, dan juga mengatakan, 'karena itulah kalian semua ditugaskan di tempat ini...'

Saumlaki, 15 April 2013

Wassalam,
LN